Actions

Work Header

PARALOGISME

Summary:

Di dunia yang terlalu sunyi untuk menyembuhkan luka, seorang dokter berdiri di antara ambang batas antara sumpah dan belas kasih.

Notes:

(See the end of the work for notes.)

Work Text:

Hujan turun senyap menyatu dengan sinar rembulan yang gemerlap. Zayne meloncat turun dari kereta bendi yang membawanya menuju Bosham di West Sussex. Sepatu bot dengan sol terkikis menjejak jalan bebatuan yang keras, menyebabkan sisa-sisa lumpur memercik kepada mantel panjang bernoda debu angin malam tak berkesudahan. Pria tersebut mengangkat topi, pandangannya menelisik sebuah gereja Anglikan yang kokoh berdiri pada tebing tertinggi di wilayah Chichester Harbour. Sebuah bangunan dengan lonceng berkarat dan jendela berkaca patri, serta menyimpan nisan kuno milik mendiang Raja Canute dan putranya. Tongkat kayu oak dengan cat pelapis mengkilap tergenggam pada tangan berlapis sarung, menuntunnya menyusuri adimarga yang sedikit tergenang akibat laut pasang.

Langkahnya tertuju pada sebuah bangunan berdinding bata merah dengan jalan berliku. Lampu hangat menyorot gargoyle di atas gapura—tatapan matanya kosong, namun Zayne tahu benda itu melihat segalanya. Ia mengeratkan genggaman pada koper kulit yang rangka besinya telah berkarat dan rapuh, sebelum memasuki bangunan lebih jauh. Pintu agung berukir tembaga menyambut pria itu dengan derit menggelegar. Seorang pelayan pria berdiri menyambut ramah: rambut beruban dan klimis, sorot mata sayu namun tetap penuh kewaspadaan, dan punggung yang bungkuk digerus usia dan waktu. Iris kelabu menyelisik rupa Zayne dari ujung kepala hingga kaki, sebelum akhirnya berucap dengan suara yang samar, hampir tak terdengar, “Saya hampir tidak mengenali Anda, Dokter.”

Pria yang disebut ‘dokter’ menyunggingkan seutas senyum, lalu membiarkan si pelayan membawanya menyusuri lorong-lorong kelam. “Mohon maaf atas keterlambatan ini.” Dirinya berujar sembari menyamakan langkah dengan orang tua yang masih bugar di usia yang tak lagi muda.

Walter merungguh di sebuah meja sudut, menyalakan sebatang lilin di atas cawan kuningan. Bau kayu lapuk menguar dari ruangan dengan pintu-pintu tertutup. Tidak ada yang terjaga selain si pelayan tua dan beberapa gadis penjaga perapian dapur agar tetap menyala. Mereka mencapai ujung lorong di sayap kanan bangunan, mendatangi cahaya temaram yang menerobos pada pintu. Zayne menghentikan langkah, menanti Walter masuk terlebih dahulu. Pria tersebut mendekatkan api lilin yang berkobar ke wajah sang dokter, coba mencermati mimik mukanya.

Sudut-sudut bibir Walter berkedut, tangannya telah berada di kenop pintu. “Kondisi Nona muda kami telah bertambah parah beberapa purnama silam. Anda pergi untuk dinas lama sekali, Dokter, seisi rumah hampir berserah diri.” Hening singkat merayap di antara keduanya. “Para ahli medis didatangkan dari Skotlandia dan Prusia, tiada seorangpun yang bisa menyembuhkan. Berita-berita tidak bertanggung jawab mulai menyebar dari mulut ke mulut, berkata bahwa Nona terjangkit batuk dingin atau mimpi hitam para peternak.”

Pintu kamar paling ujung terbuka. Di tengah ruangan berdiri dengan angkuh sebuah ranjang kayu mahoni. Keempat pilarnya menjulang tinggi, dengan batang yang ramping dan ukiran spiral menjalar dari ujung ke ujung. Pada puncak tiap-tiap tiang bertengger finial dengan wujud kepala singa berlapis emas kusam. Kelambu transparan menjuntai dari kanopi ranjang, menyembunyikan sesosok raga yang terbaring dalam dekap selimut usang. Zayne melangkah dengan hati-hati. Tongkat disandarkannya pada celah lemari pakaian, sebelum ia memilih untuk duduk di sebuah bangku segitiga yang telah dipersiapkan. Walter menyibakkan kelambu yang menghalang, membantu Zayne mencermati seperti apa wujud pasiennya kini. Trina Alfreic terlelap dengan mata sedikit terbuka. Wanita yang sama dengan seseorang dari masa lalunya sekarang hanya bisa berada di atas tempat tidur. Sesekali dia meracau bahasa yang tidak dimengerti oleh siapapun, dalam kesempatan lain, pelayan mendapati gadis tersebut berdiri di ambang jendela dengan tatapan kosong.

Zayne menarik napas dalam-dalam, jemarinya tergerak menyingkirkan surai keemasan gadis itu, lantas melihat lebih dekat ke kulit-kulitnya yang kini keras menghitam. Kulit wanita itu putih pucat, nyari tembus cahaya setelah terjangkit penyakitnya. Tulang pipi dengan garis wajah lembut kini dipenuhi sisik keras, kontras dengan potret gemulai yang dipajang di dinding atas perapian. Walter membawa lilin ke arah Zayne, menggumamkan beberapa kalimat sangsi, “Putri tua kaum Saxon yang malang …. Lahir dari darah orang-orang yang menaklukkan negeri ini, katanya.”

Si pelayan membungkuk lantas berbisik, “Apakah Nona akan baik-baik saja?”

Wajah di atas ranjang itu masih Zayne kenali, namun yang mendiami tubuhnya bukan lagi Trina—sesuatu yang menggerogoti sukmanya dari dalam sebelum berubah menjadi entitas bukan manusia sepenuhnya. “Tubuh itu masih hidup, Walter. Tetapi jiwanya … entah berlabuh ke mana. Dia berjalan di antara dua masa … ” Zayne memejamkan matanya sejenak sebelum melanjutkan, “ … seperti seseorang yang sudah meninggalkan dunia ini tanpa benar-benar pergi.”

Kamar tidur berubah sunyi senyap. Zayne membunuh waktunya hanya untuk mencermati wajah Trina, lebih lama untuk sekadar dokter yang ditugaskan untuk menyembuhkannya. Buku catatan medis dikembalikan ke dalam saku. Jarinya, yang semula menggenggam pena, terulur nyaris mengusap pipi gadis itu, namun berhenti di udara—tidak ada yang menangkupnya. Hangat perapian coba membendung kenangan dan rindu tertahan. Kerlip matanya menyembunyikan hal lebih dalam yang bisa diungkapkan lidah manusia—rasa kehilangan yang terlalu berat diutarakan. Trina tak lagi mengingatnya. Tidak akan pernah. Sehingga kini, dirinya hanya bisa terbelenggu dalam ruang asmara yang fana.

Dia menunduk menatap kedua tangannya—tangan yang sudah melampaui berbagai macam insiden dan luka, menyembuhkan yang sakit, menahan ajal. Hidup dan matinya telah disumpah sebagai seorang penyelamat. Namun kini, tangan itu tak berkutik di ambang sesuatu yang berada di luar kuasanya. Trina bukan lagi terbaring sebagai pasien, melainkan seseorang yang terlalu berharga jika harus dibiarkan hancur perlahan. Dibiarkan kehilangan dirinya sendiri seiring waktu, dan beralih menjadi makhluk haus darah yang bukan manusia lagi.

“Terkadang, tidak semua penyakit bisa diusir.” Zayne bangkit dari duduk, meraih rantai berkarat yang menahan gadisnya agar tetap di tempat. “Tetapi selalu ada cara untuk memerdekakan jiwa-jiwa yang belum berpulang.”

Walter terdiam, tangannya yang berkerut mengepal di sisi tubuh, menggenggam permintaan mustahil yang tidak sempat dilafalkan. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi, meletakkan cawan lilin pada meja kecil di samping ranjang, kemudian bertolak keluar ruangan. Zayne mengaduk tas kulitnya, mencari sesuatu yang merupakan hasil pengembaraannya hingga ke seberang benua. Gesekan logam dan botol kaca beradu pekat dalam dilema dan waktu yang seolah melambat. Sebuah kantong linen berserut pita yang sangat ringan—hampir tidak bernyawa. Kantong itu berisi serbuk berwarna abu kecokelatan yang harum getir: mandragora. Tanaman yang konon dilarang oleh kalangan medis sejak abad ke-17 karena efeknya yang tidak terkendali. Akar mandragora dikeringkan lalu ditumbuk halus, disimpan dalam tempat teduh dan kering agar efek zat aktifnya tidak hilang.

Pandangan Zayne beralih dari kantong kecil di genggaman kepada Trina yang masih terlelap bagai putri tidur. Pria tersebut memicingkan mata, seolah-olah ia adalah algojo yang siap mengayunkan kapaknya kapan saja. Pria itu membungkuk di atas ranjang, mengecup kening Trina sebelum mengumandangkan perpisahan. Ia membuka kantong perlahan, baunya menusuk kenangan. Jari-jarinya sempat gemetar meski hanya sepersekian detik. Lalu dia segera bangkit, menuju perapian yang menyala redup. Butiran halus mengalir perlahan dari sela-sela jari Zayne, api mendesis perlahan saat serbuk mandragora menyentuh bara. Asap membumbung perlahan, sunyi melahap ruang. Zayne menoleh, menatap sosok yang terpejam dalam damai. Dengan suara patah-patah, ia menorehkan kalimat itu, lebih kepada dirinya sendiri daripada siapapun di dunia ini.

“Malam ini, pada pukul dua dini hari, Trina Alfreic resmi dinyatakan meninggal dunia.”

Notes:

Mandragora (Mandrake) adalah tanaman yang dikenal oleh zat psikoaktif-nya selama berabad-abad. Dikaitkan dengan hal mistis juga sihir sebab bentuknya menyerupai kaki manusia. Mandragora memiliki kandungan alkaloid yang sangat beracun sehingga dapat menyebabkan halusinasi, kejang, bahkan kematian.