Actions

Work Header

two can play the game (or maybe just die)

Summary:

"Kamu nggak bisa begini, Kak," Jeongin terengah dari tempatnya duduk; tempat tidur megah berwarna putih sementara satu kakinya terikat rantai di tiang penyangga ranjang itu.

Hyunjin tersenyum dan mengangkat alis seakan seorang anak kecil baru saja mencoba mengajarinya sesuatu, "Tapi kayak yang kamu lihat, aku bisa," katanya tenang.

Chapter Text


"Kamu nggak bisa begini, Kak,” Jeongin terengah dari tempatnya duduk; tempat tidur megah berwarna putih sementara satu kakinya terikat rantai di tiang penyangga ranjang itu.

Hyunjin tersenyum dan mengangkat alis seakan seorang anak kecil baru saja mencoba mengajarinya sesuatu, “Tapi kayak yang kamu lihat, aku bisa,” katanya tenang.

Jeongin menatap Hyunjin dengan benci, masih berusaha melakukan sesuatu dengan rantai yang mengikat kakinya. Hyunjin menatapnya dengan lembut, dan demi Tuhan, itu menjijikkan sekali.

“Kamu tahu nggak akan bisa ngapa-ngapain, Jeongin, Sayang.” Jeongin bergidik saat Hyunjin meraih dagunya, memaksa iris mereka bertemu. “Kamu lupa dulu juga pernah begini? Bedanya, kali ini aku nggak bakal bebasin kamu. Dan aku juga nggak bakal biarin siapa pun ngambil kamu dariku lagi. Bahkan Seungmin pun nggak akan punya kesempatan sekarang.”

Jeongin menggeleng keras — atau paling tidak, dia mencoba, karena tangan Hyunjin menahan wajahnya tetap menatap lurus pada pria itu. “Nggak, nggak, please,” katanya putus asa, “Kak, tolong — ”

“Panggil aku,” kata Hyunjin, alisnya bertaut, “yang bener, kalau kamu mau ngomong, Omega.”

Jeongin menggigit bibir bawahnya, menahan sebisa mungkin agar matanya tidak berair, “Please, aku tunangan adikmu, Ka — ”

Hyunjin menekan dagu Jeongin semakin kencang sekarang, membuatnya tersedak.

“Alpha!” jerit Jeongin, “Please, please, Alpha…”

Pria di hadapannya tersenyum puas, melonggarkan cengkramannya. “Betul, begitu.”


 

 

***

 

Hyunjin menelisik sekeliling sesaat setelah dia menyapa pemilik gedung besar itu — Jackson Wang, yang entah sudah keberapa kalinya menyelenggarakan pesta dalam minggu ini. Dia tersenyum saat melihat sosok yang dicarinya, menyempatkan diri mengambil dua gelas sampanye dari pelayan yang lewat sebelum menghampiri Minho.

“Kak.” Hyunjin mengulurkan satu gelasnya pada Minho — yang ditanggapi dengan alis terangkat — meski yang lebih tua turut mengambil gelasnya. “Kamu masih ngincer dia, ya,” komentarnya pelan saat melihat arah pandang Minho. Adiknya — Seungmin Kim, berdiri di lantai bawah, mengobrol dengan kolega bisnisnya meski kerutan lelah di dahinya tak bisa disembunyikan. “Kupikir kamu prefer Omega setelah kalian putus. Udah beberapa bulan sejak dia tunangan sama Jeongin, dan kamu masih belum move on?”

Minho tidak menjawab, menyesap sampanyenya dengan tenang, membuat Hyunjin berdecak. “Lihat dia.”

Alpha yang lebih tua justru mengalihkan pandangannya pada Hyunjin — kenapa juga Hyunjin harus menyuruhnya melakukan sesuatu yang sudah jelas sedang dia lakukan sejak tadi?

“Kayaknya dia lagi kesusahan nyari Jeongin,” jelas Hyunjin tak sabar. “Dan Kakak harus say thanks ke aku buat itu. Kakak jadi punya kesempatan buat hibur dia sekarang — bisa lebih jauh, malah, kalau Kakak lebih berani.”

“Kamu bakal tetap ambil Jeongin dari dia, terlepas dari gimana perasaanku,” gerutu Minho, meletakkan gelas kosongnya di meja. “Jangan terlalu kasar sama Jeongin. Gimana pun juga, dia Omega.”

“Jangan khawatir,” kata Hyunjin pelan, membiarkan Minho melewatinya ke lantai bawah dan menghampiri Seungmin, bicara lebih kepada dirinya sendiri sebelum menenggak sampanyenya lagi. “Aku nggak akan kasar selama dia nurut, kok.”


 

 

***

 

“Tadi pergi sama siapa?”

Jeongin menelan ludah, senyumnya hilang begitu saja. Dia berdiam di tempatnya, tidak berani melangkah maju meski Hyunjin yang sedang duduk di sofa hanya berjarak beberapa langkah darinya — matanya bahkan tidak meninggalkan berkas-berkas dalam genggamannya, sesekali menukarnya dengan berkas lain di meja.

Itu pertanyaan yang biasa Hyunjin ajukan tiap dia baru selesai bepergian — yang tentu saja, setelah melewati interogasi tentang ke mana dan dengan siapa dia akan pergi. Jeongin sudah lama tinggal di mansion Hwang, dia tidak ingat sejak kapan — Hyunjin bersikeras memintanya tinggal, mengatakan tidak aman untuk tinggal sendirian karena dia Omega setelah beberapa bulan mereka berpacaran. Hyunjin juga selalu memastikan aromanya sudah melingkupi tubuh yang lebih muda sebelum keluar rumah, “Biar nggak ada yang dekat-dekat,” katanya.

Jeongin suka. Tapi sekarang, situasinya berbeda.

Hyunjin tahu. Seharusnya Jeongin sadar dia tidak akan bisa menyembunyikan apa pun dari Alpha itu — Alphanya.

“Jawab.”

Jeongin masih diam, memilih memilin keliman ujung blouse-nya.

“Tadi bisa haha-hihi seharian, sekarang lihat aku aja nggak berani? Nggak bisa ngomong?”

“Maaf,” cicit Jeongin.

“Aku minta kamu jawab, bukan minta maaf.”

“Beomgyu,” kata Jeongin pelan.

“Yakin cuma Beomgyu?”

“… — seung.”

Hyunjin mendongak dari berkas-berkas tadi, menelengkan kepala. “Siapa?”

“Heeseung, Kak.”

“Duduk.” Yang lebih tua mengedik pada tempat kosong di sisinya, melepas kacamata dan memijat pangkal hidungnya.

Ragu-ragu, Jeongin mendekat dan duduk di samping Hyunjin. Dia masih belum berani menengadah — sebab dia tahu dia salah.

“Aku bilang apa soal syarat kamu pergi?” tanya Hyunjin.

“Boleh asal disetujuin sama Kakak… dan, dan selama temenku Omega.”

“Kamu bilang pergi sama siapa kemarin?”

“Beomgyu…”

“Aku selalu setuju setiap kamu bilang mau jalan dan main sama Beomgyu, inget? Aku bahkan nggak ngirim kamu sama orang-orangku lagi karena aku mulai percaya sama kamu. Aku pikir kamu nggak bakal nyalahgunain itu. Aku cuma meleng sekali, dan kamu berani bohong? Heeseung itu Alpha, Jeongin.”

“Tapi dia nggak bakal ngapa-ngapain aku,” bantah Jeongin. “Mereka, kan, temen sekolahku dulu. Mereka nggak bakal — ”

“Tahu dari mana?” salak Hyunjin kesal. “Alpha itu nggak seperti yang kamu pikirin, berapa kali aku harus bilang? Mereka nggak pernah tulus temenan sama kamu! Mereka pasti mau kamu buat tujuan yang lain! Aku selalu lindungin kamu buat mastiin kamu baik-baik aja, apa susahnya pahamin itu?”

“Tapi aku juga mau punya temen,” keluh Jeongin yang sekarang mendongak, matanya berair. “Kakak cuma bolehin aku pergi sama Beomgyu atau Felix, dan bahkan yang boleh ke sini cuma Felix — K, kakak ketemu sama semua yang Kakak mau, kenapa aku nggak boleh? Kakak cuma nggak mau aku ketemu siapa-siapa, kan? Kakak cemburu? Nggak bolehin aku ketemu orang selain mereka… Nggak ada yang jahat ke aku, aku juga bisa li — ”

“Jeongin!”

Jeongin tersentak, menunduk dalam-dalam lagi.

“Apa harus tunggu kejadian dulu, baru kamu ngerti? Cuma rumah ini tempat yang aman buat kamu! Aku cuma lakuin segalanya buat lindungin kamu, tapi kamu pikir aku seegois itu?”

Adalah hening yang mengisi ruangan itu setelah kata-kata Hyunjin terlontar. Hyunjin menghela napas, dan Jeongin lagi-lagi dilanda rasa bersalah. Hyunjin benar. Dia seharusnya tidak buru-buru berpikir buruk, selama ini Hyunjin cuma… cuma memprioritaskan keamanannya, kan?

“Aku nggak tahu harus kayak gimana lagi kalau kamu nggak nurut begini.”

Jeongin mendongak, dan matanya melebar saat melihat setetes air di pelupuk Hyunjin. Dia menangis.

“Maaf, aku nggak tahu kalau kamu mikir aku ngelakuin semua demi kepentinganku sendiri padahal satu-satunya yang kupikirin cuma kamu…”

Jeongin ikut terisak, “Nggak,” katanya, menyentuh ujung kemeja Hyunjin, “Kakak, maaf, maaf… aku yang salah — aku… aku, aku harusnya nggak mikir kayak gitu. Aku harusnya tahu Kakak cuma mikirin buat kebaikan aku,” sesalnya, membiarkan yang lebih tua merengkuh Jeongin dalam dekapannya.

“Bener,” kata Hyunjin, menenggelamkan senyumnya di ceruk leher Jeongin, menghirup dalam-dalam aroma peach segar si omega, “Karena yang Kakak pikirin selalu cuma kamu.”

Tapi pada dasarnya Jeongin juga manusia — begitu pembelaan diam-diamnya ketika suatu saat Hyunjin menemukan bahwa lagi-lagi, dalam sesi jalan-jalannya dengan Beomgyu, ada saja Alpha yang ikut bergabung — paling parah saat si omega memaksakan diri ikut reuni dan membohongi beberapa server Beta yang ditugaskan untuk menjaganya setelah insiden pertama — Jeongin tidak pernah dibiarkan pergi sendirian lagi (meski entah bagaimana, berkat Beomgyu, mereka selalu menemukan cara untuk mengelabui orang-orang itu).

Jeongin hanya ingin berteman. Bukannya Beomgyu dan Felix tidak cukup, tapi dunianya bisa lebih luas dari itu, kan? Dia selalu berpikir keputusannya sudah benar, tidak apa-apa melewati aturan yang Hyunjin ciptakan untuknya, sampai dia berakhir dalam kungkungan Hyunjin pada suatu malam, dengan si alpha yang memaksakan dirinya pada Jeongin, terus menggigit scent gland miliknya seperti kesetanan, sebab Jeongin terlalu beraroma seperti orang lain.

“Kak — ”

Ini bukan yang pertama malam-malam mereka dilalui dengan kasar, tapi itu adalah kali pertama Hyunjin sama sekali tidak mendengarnya.

“Kakak, maaf, sakit — ”

“Maaf?” geram Hyunjin di telinganya, “Baru minta maaf sekarang? Kamu mikirin aku, nggak, selama kamu seneng-seneng tadi?”

“Aku nggak seneng-seneng,” isak Jeongin tertahan. “Aku cuma mau temen — ”

“Kebebasan yang kukasih buat kamu masih belum cukup?! Beomgyu dan Felix itu apa? Kamu segitu gencarnya buat dapetin Alpha lain selain aku?”

“Nggak — ah, Kak!” isakan Jeongin makin keras saat Hyunjin memaksa blouse tipis itu lolos melewati kepalanya, “Aku nggak cuma temenan sama Alpha, aku ngobrol sama siapa aja — ”

Jelas adalah keputusan yang salah untuk mengatakannya, sebab kata “siapa saja” justru membuat Hyunjin menggeram lebih keras, dan malam itu terasa sangat panjang bagi Jeongin, sebab berapa kalipun dia meminta Hyunjin untuk berhenti, pemuda itu sama sekali tidak menghiraukannya.

Selalu, setiap pagi setelah malam-malam seperti itu, saat Jeongin membuka mata, punggungnya sudah menempel kembali di dada Hyunjin, sementara yang lebih tua memeluk Jeongin erat, berkali-kali menggumamkan kata maaf di telinganya.

Dan Jeongin pada akhirnya selalu memaafkan, sebab Hyunjin hanya melakukan itu demi kebaikannya.

 

***

 


“Tapi bukannya aneh?” kata Felix, membelai lembut rambut Jeongin saat omega itu bercerita di pangkuannya. “Kataku nggak seharusnya begitu. Kak Changbin juga selalu prioritasin aku, tapi aku nggak dilarang temenan sama siapa pun.”

Dan Jeongin tahu itu benar. Felix adalah satu-satunya jendela dunia yang ia punya sekarang — sebab Beomgyu sudah dilarang untuk menemuinya lagi. Felix, dalam tiap kunjungannya yang biasanya berbarengan dengan urusan bisnis yang dimiliki Changbin dan Hyunjin, selalu bercerita tentang banyak hal yang Jeongin tak ketahui — dan yang mungkin tak akan bisa dilihatnya secara langsung lagi, mengingat dia sudah tak diizinkan menginjakkan kaki ke luar mansion sama sekali.

“Kamu harus berontak,” kata Felix, “Kalau dipikir-pikir, memang Hyunjin itu rada aneh. Kamu kayak dikurung di sini. Kalau dia bener-bener mikirin kamu dan perasaanmu, harusnya dia denger apa yang kamu mau. Perlindungan itu bagus, tapi kamu kan nggak bisa hidup kayak gini terus.”

“Tapi Hyunjin kan cuma nggak mau aku kenapa-kenapa…” bantah Jeongin lemah.

Tapi kenapa, bisik suara kecil lain di hatinya, kenapa rasanya, benar kata Felix, selalu seperti dia dikurung di dalam mansion ini? Dia bahkan tidak diizinkan datang ke reuni sekolah sampai harus pergi diam-diam — bahkan saat dia menawarkan Hyunjin untuk ikut — toh banyak orang yang datang dengan partner mereka. Itu tidak aman, terlalu ramai, hanya akan membuat Jeongin sakit dengan banyaknya feromon yang pasti akan memenuhi ruangan, begitu kata Hyunjin waktu itu.

Dan kamu nggak pernah boleh ke mana-mana, tambah suara kecil itu lagi. Itu benar. Bahkan untuk sekedar pergi ke taman di dekat sana pun Hyunjin tidak pernah mengizinkan — ikut Hyunjin bekerja lebih tidak boleh lagi. Jeongin tahu wilayah itu dikuasai oleh Hwang, jadi seharusnya tidak apa-apa, kan?

Dan dia bahkan masih diawasi saat pergi —

“Aku nggak bisa apa-apa kalau kamunya nggak mau,” kata Felix, menghela napas lelah. Cerita Jeongin selalu sama saja setiap dia datang: Hyunjin yang seperti itu dan dia yang senantiasa dikurung — meski sebelumnya Jeongin selalu bersikeras bahwa si Alpha tidak berniat mengurungnya. “Tapi kalau kamu mau pergi dari sini, kamu bisa bilang ke aku kapan aja. Aku pasti bisa bantu kamu — walau harus ngandelin Kak Changbin, sih.”

Felix tertawa kecil, dan Jeongin iri. Dia selalu punya kuasa dan didengar oleh pelayannya atau pelayan-pelayan di kediaman ini, bahkan nyaris setara dengan Changbin sendiri. Semua permintaan Jeongin harus menunggu persetujuan Hyunjin, sehingga kebanyakan orang di mansion Hwang lama-lama tidak terlalu serius menanggapi kata-katanya.

“Kalau kamu jadi aku, kamu bakal pergi?”

Felix menunduk, berusaha menyusun kata-kata sebelum bicara, “Pada titik ini, iya. Aku nggak suka dikurung — aku memang omega, tapi aku juga manusia, kan? Kalau alpha-ku nggak mampu ngelindungin aku dan dengerin apa yang kumau, kenapa aku harus nurut sama mereka? Kita punya hak buat didengar, Jeongin.”

Dan mungkin itulah yang membuat Jeongin nekat — kata putus keluar begitu saja dari mulutnya saat jadwal makan malam mereka. Bukan hanya Hyunjin, beberapa server yang sedang menghidangkan makanan pun berhenti dari kegiatan mereka, buru-buru menyingkir keluar saat Hyunjin mengusir mereka dengan suara yang kelewat tenang.

Malam itu, Jeongin dapat hukuman lagi, hanya untuk membuktikan bahwa di mansion ini, dia memang tak akan pernah didengar.


 

 

***

 

Itulah yang memicu Jeongin untuk benar-benar pergi dari mansion, memaksakan diri turun dari kamarnya di lantai dua tanpa tangga, lupa bahwa dia tidak pernah lagi mengenal dunia di luar jendela mansion.

Jeongin merutuki dirinya sendiri saat itu, sebab seharusnya dia bicara pada Felix — karena Hyunjin tidak perlu waktu lebih dari semalam untuk menemukannya. Jeongin gegabah, dia tahu — dia tidak punya uang, koneksi, atau apa pun yang bisa membantunya, bagaimana bisa dia berpikir untuk kabur dengan kekuatannya sendiri?

Hasil dari perlakuannya malam itu cukup menyakitkan, satu lagi hukuman dari Hyunjin dalam bentuk banyak bercak kemerahan di sekujur tubuhnya dan cairan kental yang memenuhi dan menodai seprai kamar barunya hari itu.

Jeongin lebih suka menyebutnya sebagai penjara.

Alih-alih jendela yang menjadi satu-satunya hiburan Jeongin di kamarnya yang dulu, jendela kamar ini dipasangi teralis, dan dia bahkan benar-benar tidak dibiarkan melangkah keluar kamar. Akan ada server Beta yang datang padanya tiap saat ia perlu makan atau mandi, membawakan semua kebutuhannya. Jeongin tidak ingat berapa waktu berlalu, dia hanya tahu bahwa usianya sudah bertambah setahun lagi saat Hyunjin masuk dan menyetubuhinya dengan lebih lembut untuk alasan itu.

Jeongin sudah mual. Dia tidak bisa membenci dirinya sendiri untuk kepercayaan bodoh pada Hyunjin yang selalu dilakukannya dulu, menyalahkan diri dan terus merasa kotor. Satu kali saat server yang datang lengah, Jeongin merebut satu pisau dan mengancam akan bunuh diri — tapi Hyunjin tidak bereaksi seperti yang dia inginkan. Alpha itu berdiri tenang di pintu, tak kunjung mundur saat Jeongin berteriak padanya.

“Coba aja,” kata Hyunjin dalam. “Tapi kamu nggak berani, kan?”

Dan lagi, Jeongin membenci dirinya karena Hyunjin benar. Dia bahkan terlalu takut untuk mati.

 

***

 


Keajaiban datang dalam sosok Felix, setelah berapa hari, minggu, atau bulan lagi terlewati, Jeongin sudah tak lagi tahu.

Felix buru-buru meraih tubuh Jeongin yang lunglai kala itu, menariknya ke dalam pelukannya sambil terus mengatakan maaf — jenis ‘maaf’ yang berbeda dari yang selalu dilontarkan Hyunjin padanya, dan itu seolah mengembalikan separuh kewarasan Jeongin yang nyaris tergerus sepenuhnya.

Hari itu, Jeongin merasa hidup lagi — seperti menjadi manusia normal. Dia bahkan bisa tersenyum dan tertawa kecil mendengar sedikit candaan Felix.

“Aku mohon sama Kak Changbin,” kata Felix, “karena Hyunjin nggak bolehin aku ketemu kamu lagi. Aku takut. Aku takut banget aku terlambat — dan mungkin aku memang terlambat, karena Kak Changbin terus ngotot kalau dia rasa nggak perlu ikut campur keadaan rumah orang lain — tapi aku tahu kamu butuh aku, kan?”

Jeongin mengangguk dalam dekapnya, air matanya luruh tanpa bisa dicegah.

“Bilang sama aku.” Felix menangkup dagunya, “Apa kamu mau pergi dari sini?”

Sebelumnya, Jeongin mungkin akan mengangguk meski harus berpikir beberapa saat. Saat ini, alih-alih melakukannya, omega itu justru menatap yang lebih tua dengan nanar, “Bisa?”

“Kamu nggak inget apa yang kubilang? Aku pasti bakal bantu kamu.”

 

***

 


Begitulah, entah dengan cara seperti apa, Jeongin tidak tahu detailnya. Hyunjin pergi untuk melakukan perjalanan bisnis, dan Felix (dengan Changbin dan beberapa orang lain yang seperti bawahannya) jadi punya kesempatan untuk membantunya keluar dari sana.

“Semua bisa dibayar,” kata Felix riang saat mereka tidak sengaja melewati beberapa server yang hanya berdeham dan membiarkan mereka pergi. “Karena mereka bakal patuh sama uang. Meski aku nggak bakal bohong sih, kesetiaan orang-orang di mansion ini rendah banget.”

Felix membantunya menaiki mobil, dan mata Jeongin bertemu dengan Changbin yang menatapnya khawatir dari balik spion.

“Maaf,” katanya pelan, “karena sebelumnya bersikeras nggak mau ikut campur.”

Jeongin hanya menunduk. Dia tak pernah bicara dengan alpha itu sebelumnya.

“Nggak masalah,” kata Felix menenangkan, “Sekarang semuanya bakal selesai. Kamu nggak perlu takut lagi.”

“Kita ke mana?” tanya Jeongin serak, menoleh menatap mansion yang mulai tampak mengecil saat mobil mulai berjalan.

“Bandara. Aku pernah bilang, kan? Kakakku tinggal di Australia, ehm, dia,” Felix menelan ludah gugup, “Alpha, tapi dia bener-bener baik — aku tahu kamu mungkin masih nggak berani karena si Hyunjin sialan itu, tapi tolong percaya sama aku. Aku udah cerita semuanya — dan bahkan kalau kamu nggak mau tinggal sama Kak Chan, kami punya beberapa rumah kosong lagi. Kamu nggak akan bisa diganggu siapa-siapa.”

“Kalian…?”

Felix tersenyum pahit. “Ini bad news, tapi kami nggak bisa ngapa-ngapain Hyunjin. Kak Changbin masih punya beberapa urusan sama dia — seharusnya gitu, tapi, yah, kami mutusin buat bakal pergi ke luar negeri juga. Kayak liburan, kan? Satu-satunya yang bisa ngeluarin kamu dari mansion itu cuma kami, dan Hyunjin nggak mungkin nggak tahu itu.”

Jeongin jadi merasa bersalah lagi, tapi Felix menepuk bahunya dengan riang. “Jeongin, kamu mungkin mikir aku punya banyak temen, tapi buatku, kamu tetep temen yang paling deket dan paling kuhargai. Aku — bahkan Kak Changbin juga — nggak akan pernah nyesel ngelakuin ini.”

Malam itu, untuk pertama kalinya, Jeongin habiskan tanpa menangis, mengikuti Felix yang terus menunjuk jalanan di luar jendela mobil, menunjukkan padanya berbagai hal yang tidak pernah bisa ia lihat sebelumnya.


 

 

***

 

Tidak butuh waktu lama bagi Australia untuk menjadi rumahnya.

Felix benar, dia butuh beradaptasi dengan Chan, sebab pria itu adalah seorang Alpha, tapi Chan tidak pernah memaksanya untuk beradaptasi dengan cepat. Semua memperlakukannya dengan baik, dan saat mengenalkan Jeongin pada siapa saja, Chan selalu melabelinya sebagai “teman terbaik Felix”, yang membuatnya cepat dikenali setiap orang di sana.

Perlahan, Jeongin bisa tersenyum tulus lagi, tertawa, melihat dan merasakan hal yang hanya ia dengar dari cerita Felix, dan bahkan berjalan-jalan sendirian. Chan tidak bersifat overprotektif padanya, meski tetap ada jam malam yang harus Jeongin patuhi. Meski terhitung jarang berada di rumah, Jeongin selalu menyempatkan diri untuk masih bangun saat tengah malam saat Chan pulang agar bisa menyambutnya (mereka akhirnya tinggal di rumah yang berbeda, dan atas arahan Chan, menjadi tetangga), menggunakan kesempatan itu untuk menyalurkan rasa terima kasihnya, meski Chan terus berkata itu tak perlu.

Malam-malam seperti itulah yang membawanya mengenal Kim Seungmin — salah satu rekan kerja Chan yang juga berasal dari Korea.

Meski semua memperlakukannya dengan baik, ada keterbatasan bahasa dalam rentang waktu sejak ia baru tiba, sehingga Seungmin, selain Chan, adalah orang yang dengan cepat menjadi dekat dengannya.

Satu pertemuan mengarahkan mereka pada beberapa pertemuan yang lain, dan semuanya menuntun keduanya pada satu keputusan: pertunangan.

Semua baik-baik saja dan Jeongin merasa hidupnya akan jadi sempurna sampai pada suatu malam, Seungmin datang padanya dengan wajah khawatir. Dia harus pergi ke Korea, ada urusan bisnis yang memerlukannya. Seungmin memintanya ikut, namun seperti Seungmin yang selalu Jeongin kenal, pria itu tidak memaksanya. Dia hanya meminta Jeongin mempertimbangkannya, mengecup dahi Jeongin sebelum mereka berpisah hari itu.

Malam itu, Jeongin teringat hal yang dikatakan Felix padanya sebelum mereka benar-benar berpisah.

“Aku nggak bilang — aku nggak bisa bilang kalau insiden ini karena Hyunjin. Yang Kak Chan tahu, aku — kami; aku dan Kak Changbin, cukup deket sama dia, jadi kalau Kak Chan tahu sebenernya dia brengsek…” Felix menghela napas. “Apa kamu tahu kalau Hwang itu masih terlalu kuat buat dikalahin?” Omega itu tertawa kecil. “Maaf karena cuma bisa bantu seg — ”

Waktu itu, Jeongin buru-buru menghentikannya, sebab apa yang dilakukan Felix sudah lebih dari cukup untuknya. Yang kemudian Chan ketahui adalah Jeongin akhirnya bebas dari keluarganya yang abusive, dan pergi ke luar negeri atas saran Felix untuk membantu menenangkan diri.

Meski begitu, Jeongin atau Chan (atas permintaan Jeongin) tidak pernah menceritakan hal itu pada Seungmin, sebab perasaan mual yang tidak disukainya itu akan selalu menjalar ke tubuhnya bahkan meski Jeongin baru mulai memikirkannya.

Jeongin tahu, Chan mungkin akan mengatakan masa lalunya yang ia tahu pada Seungmin, tapi dia tidak menginginkannya; jauh dalam lubuk hatinya, Jeongin ingin ikut, dan perasaan itu cukup untuk mengalahkan ketakutannya pada Korea. Lagipula, tidak apa-apa, kan, selama dia hanya di rumah atau jauh dari pandangan Hyunjin? Dia tetap bisa menyambut Seungmin tiap saat pria itu pulang, menghabiskan waktu-waktu mereka bersama, dan harapan akan itu membuat hati Jeongin menghangat.

Malam itu, kenangan dan harapannya akan Seungmin membuatnya tersenyum dalam tidur, dia sudah mempersiapkan jawaban untuk kasihnya besok pagi.


 

 

***

 

Tidak apa-apa selama dia berada jauh dari pandangan Hyunjin.

Jeongin pikir itu akan mudah. Sungguh.

Yang tak ia duga, saat Seungmin mengajaknya ke rumah salah satu kerabat, pria yang hanya membawa kenangan buruk itu ada di sana, berdiri dengan satu tangan di saku celana, menatap Jeongin dan tersenyum miring.

“Oh, ini kakakku!” kata Seungmin riang, mengenalkan Jeongin padanya.

“Ka… kak?”

“Iya. Aku sering cerita, kan? Kakak angkatku — kami baru ketemu waktu remaja, dan usia kami sama, sih… aku lebih sering panggil dia pake nama — Hyunjin.”

Tapi “kakak” dalam cerita Seungmin terlalu nyata untuk ada dalam sosok Hyunjin — Jeongin ingat betapa Seungmin mengaguminya; kharisma yang ia miliki, kemampuannya untuk dikagumi orang-orang di sekelilingnya, juga caranya memperlakukan Seungmin yang tetap selalu tulus dan membuat Seungmin mengakuinya sebagai saudara pada akhirnya. Dalam bayangan Jeongin, “kakak” yang Seungmin miliki adalah sosok yang hangat — kalau ia disuruh memberi contoh, Chan adalah sosok yang paling mendekati itu.

“Hyunjin.” Pria itu memecah lamunan Jeongin, menjulurkan tangannya. Senyum masih terpampang di bibirnya, dan Jeongin benci itu. “Aku nggak tahu kalau tunangan yang dimaksud Seungmin itu… secantik ini.”

Seungmin menanggapinya dengan santai, dan Jeongin tak bisa menyalahkannya — sebab dia tak tahu, dan Jeongin tak berharap dia tahu.

Di bawah tatapan tajam Hyunjin, Jeongin mengulurkan tangannya juga, menahan diri untuk tidak berjengit saat Hyunjin membelai telapaknya.

Nice to meet you… Jeongin.”

 

***

 


Jeongin membuka matanya perlahan. Dia terus-menerus berharap ini semua mimpi, bahwa dia masih ada dalam dekapan hangat Seungmin saat dia bangun, bahwa Seungmin akan memasak sarapan untuknya bahkan meski stereotip dunia mereka melarang Alpha melakukan hal-hal seperti itu untuk Omega.

Rantai di kakinya berdencing saat dia bergerak, tepat saat satu server Beta membuka pintu ke kamar itu — kamar baru yang berbeda, meski Jeongin menyadari dia masih ada di rumah yang sama. Server itu bahkan tidak repot-repot mengetuk sekarang?

Jeongin mengerjap. Server yang ini, berbeda dengan yang kemarin, tampak menatapnya dengan setengah rasa iba dan ingin tahu, melirik Jeongin saat dia meletakkan nampan di sisi tempat tidur.

“Aku nggak mau makan,” kata Jeongin. Dia tidak ingat berapa kali dia mengatakan itu pada orang yang berbeda tiap harinya sejak tiba di sini — dia hanya muak.

“Maaf, Tuan Muda, tapi Anda tetap harus makan ini,” katanya prihatin. “Ini, ini dibuat biar lebih mudah dicerna…”

Jeongin tidak melewatkan tatapan si server pada rantai di kakinya — tidak sopan, dan sangat tidak seperti orang-orang pilihan Hyunjin yang biasanya — meski tidak setia dan mudah dibujuk, mereka masih selalu bermulut manis dan bersikap sok patuh, bahkan meski mereka mengabaikan Jeongin dulu. Setidaknya, mereka tidak akan terang-terangan menunjukkan perasaan mereka yang sebenarnya atau melihat apa yang seharusnya tidak mereka lihat; dan tiba-tiba saja, sebuah ide muncul di benaknya — dia masih tetap harus mencoba, kan? Sebab tidak seperti dulu, sekarang ada Seungmin yang menunggunya.

“Kamu… anak baru, ya?”

 

***

 


Heat Jeongin akan segera datang — dan sialnya, Hyunjin masih saja mengetahui itu. Pria itu tersenyum saat memasuki kamar Jeongin, menggantikan server-server-nya yang biasa. “Aku bawain makanan karena aku tahu kamu bakal lebih sensitif kalau heat.”

Dan keadaan saat ini tidak membuat Jeongin merasa lebih baik, sebab omeganya terus memohon untuk mendekat pada si alpha, mengabaikan keinginan Jeongin sendiri. Hyunjin mendekat, membiarkan Jeongin mengendus scen gland-nya, meski yang lebih muda berusaha mendorongnya menjauh.

“Omegamu butuh aku, Jeongin,” kata Hyunjin dalam nada menjijikkannya yang masih sama.

“Aku nggak butuh — ”

“Semua orang pasti tahu jawabannya kalau lihat posisi kita, kan?” Hyunjin membimbing tangan Jeongin naik ke bahunya, melingkarkannya di sana, dan Jeongin tidak punya cukup tenaga untuk menepis itu. “Just admit that you want me, Omega.”

“Apa kamu nggak punya malu?” kata Jeongin lemah — dia tahu Hyunjin tetap masih bisa mendengarnya. “Aku tunangan adikmu… Seungmin selalu ngomong kalau dia kagum sama kamu, betapa kamu di matanya — ”

“Jangan pernah,” kata Hyunjin, meraih Jeongin lebih dekat, sementara tangannya merangsek ke dalam celana yang Jeongin kenakan, membuat si empunya mengerang pelan, “bahas Alpha lain sama aku. Bukannya udah kubilang berkali-kali? Apa kamu lupa dan harus diingetin lagi soal itu?”

Jeongin menggeliat, berusaha membebaskan diri dari dekapan Hyunjin, namun percuma — dalam situasi biasa saja ia sudah jelas kalah dalam hal tenaga, apalagi saat ini.

“Lihat,” bisik Hyunjin, memaksa Jeongin mendongak, menatap dua jarinya yang terbalut cairan kental dari tubuh si omega, “Omegamu mau aku, Jeongin. Be a good Omega and take what I give to you, ya? Kamu mau sesi-sesi ini cepet selesai, kan? Behave, Jeongin.”

Jeongin mengerang lagi, yang dengan senang hati disalahartikan Hyunjin sebagai bentuk penerimaan.


 

 

***

 

Hyunjin melangkah cepat menuju ruangan tempat Jeongin disekap. Kabar dari server barusan membuatnya mengabaikan semua pekerjaannya, pikirannya terfokus pada omeganya. Pria itu menyingkirkan sever yang berusaha menghalangi jalan ke kamar Jeonginnya dengan mudah dan tertegun. Ruangan yang didominasi dengan warna putih atas perintahnya itu masih sama, kecuali tetes demi tetes kental cairan berwarna merah kecoklatan yang berpusat di ranjang, yang hanya berarti satu hal —

— darah.

“Mana dokternya?!” hardik Hyunjin pada siapa saja yang ada di sana, dia tidak peduli. Alpha itu merangsek masuk ke dalam kamar, menangkup tubuh Jeongin yang tampaknya masih memiliki setengah kesadarannya. “Jeongin, Sayang…”

Tapi alih-alih tampak kesakitan, Jeongin melebarkan senyumnya, menepis tangan Hyunjin yang bergerak ke arah pipinya.

“Coba aja. Tapi kamu nggak berani, kan?”

Iya, sebab dulu Jeongin tak punya siapa-siapa. Tapi sekarang, Jeongin akan lakukan apa pun, sebab pilihannya di dunia ini hanya dua: kembali pada Seungmin atau pergi selamanya.


 

 

***

 

Saat Jeongin membuka mata, hal pertama yang ia lihat adalah wajah khawatir Hyunjin, seolah dia tidak sadar penyebab sesungguhnya Jeongin lakukan menggores nadinya adalah dia.

“Pagi, Sayang,” sapa Hyunjin tanpa dosa, dan kalau saja tangan Jeongin tidak sedang diperban sehingga sulit digerakkan, dia pasti sudah meninju wajah sialan itu. “Kamu nggak bisa mati,” Hyunjin menggeleng, menyentuh perban yang membalut tangannya. “Aku nggak bakal biarin kamu mati. Kamu punyaku. Aku bakal panggil dokternya.”

Jeongin mengamati punggung Hyunjin yang menjauh, melihat beberapa butir obat, catatan, dan segelas air di nakas di sisi ranjang. Menoleh hati-hati pada pintu yang baru saja tertutup saat Hyunjin pergi, omega itu meraih sudut paling jauh dalam headboard ranjangnya, mengambil seberkas bubuk yang akhirnya, akhirnya, berhasil ia dapat dari server Beta yang ia bujuk terus-menerus. Jeongin bahkan ingat dia ada di sana kemarin, menyaksikannya luruh berbekal pisau yang dia berikan.

“Apa kamu tahu kalau Hwang itu masih terlalu kuat buat dikalahin? Apa kamu tahu bisnis yang dilakuin Hyunjin?”

Jeongin menggeleng — dia baru sadar, dia tak pernah tahu apa pun selain eksistensi Hyunjin itu sendiri.

“Narkoba dan obat-obatan. Jenis yang jauh lebih berbahaya, bahkan, kalau menurut Kak Changbin. Bahkan mereka punya zat-zat berbahaya yang mempan buat Alpha — kamu nggak tahu?” Felix bertanya padanya. “Obat-obatan itu biasanya emang berefek buat Beta dan Omega, sedang Alpha masih terlalu kuat buat tunduk sama zat kayak gitu. Tapi Hwang punya hal itu… aku nggak bisa bayangin. Kak Changbin juga mau berhenti dari bisnis kayak gitu, jadi ini pun bakal jadi keuntungan buat kami. Jangan ngerasa bersalah, ya?”

Jeongin tahu kemungkinannya tidak banyak, tahu kalau apa yang dilakukannya bisa saja dilaporkan oleh server tadi — namun dia tidak bisa hanya berdiam terus-menerus dan tidak melakukan apa pun.

“Kamu punya temen?” Dia bertanya pada server yang tampak mulai nyaman berada di dekatnya itu pada suatu pagi.

“Punya!” jawabnya riang. “Meski nggak semuanya baik, tapi ada beberapa yang mau jadi temenku. Kamu juga,” katanya tulus, “temenku, kan? Kamu nggak akan sendirian lagi — aku bisa ceritain apa pun yang kamu mau tahu.”

Jeongin tersenyum samar. Siapa, ya, namanya? Yena? Yuri?

“Yuna!” katanya, agak sebal. Sepertinya Jeongin tanpa sadar menyuarakan isi pikirannya. “Jeongin, kamu lupa lagi.”

“Maaf,” kata Jeongin, mencoba tersenyum. “Yuna. Kamu tahu bisnis Hwang?”

Yuna memainkan nampan yang dibawanya, ragu-ragu mengangguk. “Narkoba… obat-obatan… zat berbahaya yang,” Dia menambahkan denga nagak gugup, “bahkan katanya bisa lumpuhin Alpha. Aku pernah denger rumor itu.”

“Kamu tetep kerja di sini walau tahu itu?”

Dia mengangkat bahu. “Semua orang butuh utang, tahu. Gaji di sini itu besar. Pengorbanannya sebanding, kan?”

“Kamu tahu di mana barang-barang kayak gitu disimpen?”

Yuna menggigit bibirnya. “Kami punya giliran jaga — maksudku, tugas sebagian pelayan di sini dibebanin buat itu, kan. Meski ada beberapa yang diandelin buat ngawasin kamu juga.”

“Dan kamu tahu mana yang bahaya?”

Gadis itu tampak tak nyaman di bawah tatapan menuntut Jeongin, “Aku nggak tahu pasti, tapi… temenku… mungkin ada beberapa yang tahu.”

“Apa kamu pikir kamu bisa dapetin beberapa buatku?”

Yuna menengadah, sadar bahwa dugaannya benar. “Jeongin! Apa kamu mau minum itu?! Kamu bakal — ”

“Coba kamu jadi aku,” kata Jeongin, memasang ekspresinya yang paling meyakinkan. “Aku yakin satu rumah ini juga tahu aku punya tunangan, kan? Aku nggak tahu kamu tahu fakta ini atau nggak, tapi tunanganku itu adiknya Kak Hyunjin. Apa menurutmu nggak sakit, jadi aku yang dipaksa dikurung di sini sementara dia mungkin nunggu aku di luar sana? Hidupku dulu bahagia, Na, sampai aku terpaksa masuk ke sini lagi. Aku cuma mau berhenti ngerasa sakit.”

“Nggak, pasti ad acara — ”

“Kamu juga pasti tahu, kan?” potong Jeongin, “Kalau aku pernah berusaha keluar dari sini dan gagal? Apa kamu tahu sakitnya jadi dua kali lipat kalau bayangin itu? Kamu nggak mau bantu aku? Cuma kamu yang aku punya di sini — aku bener-bener…” Jeongin terisak ke tangannya, dan dia tulus saat mengatakan ini, “… nggak mau hidup selamanya di sini. Mending aku mati dari pada nggak bisa ketemu Kak Seungmin lagi. Dia hidupku, Na.”

Dan begitulah, beberapa tetes air mata lagi cukup untuk meyakinkan Yuna. Jeongin tidak bisa menahan rasa bahagianya saat Yuna masuk ke kamarnya untuk sesi makan malam dan berseru tertahan, “Kamu bener! Katanya ada beberapa obat yang nggak nimbulin rasa sakit dan kita bisa langsung meninggal — itu obat yang mempan buat Alpha, dan walau agak susah nyarinya, aku bakal pastiin buat dapetin itu!”

Sedikit banyak informasi yang dia peroleh dari Felix sebelum perpisahan mereka sangat bermanfaat, dan Yuna yang naif bahkan tidak curiga.

“Apa aku boleh minta tolong sedikit lagi?” pinta Jeongin setelah Yuna bercerita kalau dia akan segera tahu yang mana obatnya (dengar-dengar, Hyunjin sendiri memang sering memberi perintah soal obat-obatan, mengingat itu alasan mansion itu berdiri, jadi Yuna berhasil mengelabui orang-orang bahwa Hyunjinlah yang membutuhkan).

“Kenapa?”

“Dapur punya pisau yang cukup kuat buat,” Jeongin memeragakan gerakan menggesek nadinya sendiri, “kan?”

Yuna mengerjap. “Kamu bilang… Jeongin, itu, itu bakal sakit — ”

“Buat jaga-jaga,” kata Jeongin berkilah. “Yuna, please, kamu mungkin nggak tahu karena nggak ada di posisiku, tapi setiap hari bener-bener kerasa kayak aku mau mati — nggak, aku bener-bener milih mati dari pada harus hidup sehari lagi di sini, please, aku mohon, aku cuma… cuma nggak mau harapanku hancur kalau ternyata obatnya salah.”

Sekali lagi, harapannya akan kematian mungkin menyentuh Yuna, dan atas permohonan Jeongin yang terus diucapkan, gadis itu menyelundupkan dua pisau pada kunjungannya untuk sarapan.

“Jeongin.”

Jeongin menengadah, menatap dokter tua yang berjalan di belakang Hyunjin, membiarkan tubuhnya diperiksa. Setelah beberapa saat dan sang dokter menyampaikan bahwa yang perlu dilakukan hanya minum obat teratur untuk memulihkan kondisinya, Hyunjin mengusir dokter itu keluar, lagi-lagi hanya menyisakan mereka berdua.

“Minum obatnya, Sayang,” kata Hyunjin lembut, menyodorkan gelas airnya.

Jeongin menggeleng, beringsut menjauh, meski jantungnya terus berdebar tak karuan sejak tadi.

“Apa kamu bener-bener mau pake cara kita yang biasa?” tanyanya manis, menjejalkan dengan paksa obat-obatan itu lebih dulu ke mulut Jeongin.

Cara mereka yang biasa. Cara yang konyol, kalau Jeongin memikirkannya sekarang. Hyunjin akan minum air dan mengecupnya setelahnya, mendorong obat-obatan itu dengan lidahnya dalam ciuman mereka. Menjijikkan.

Jeongin masih berusaha menjauh, sementara Hyunjin meraih gelas dan meminum isinya, “Nah, sek — ”

Tak butuh waktu lama untuk obatnya bekerja, pikir Jeongin, saat suara gelas yang pecah menubruk lantai memenuhi indra pendengarannya. Tubuh Hyunjin luruh ke lantai, menengadah menatap Jeongin, dalam usahanya untuk memahami apa yang terjadi. Jeongin menelengkan kepala, menyaksikan darah mengalir turun dari bibir pria itu sementara penglihatannya mulai memudar tanpa bisa mengucapkan sepatah kata pun sebelum tubuh itu sepenuhnya jatuh ke lantai, tangannya mengenai pecahan gelas tadi.

Ternyata bisa semudah ini. Jeongin menyentuh dadanya, menekan debaran yang belum juga reda. Suara nampan jatuh dari ujung pintu yang tidak disadarinya terbuka mengalihkan perhatian Jeongin. Yuna.

“Kamu tahu, kan, kalau aku beneran sayang sama kamu?”

Jeongin tertawa, merasakan senyum dalam suara Seungmin barusan. “Gombal!” katanya, meski dia membiarkan lengan Seungmin melingkari pinggangnya sementara sang Alpha meletakkan dagu di bahunya.

“Tapi aku serius,” katanya merengut.

“Gimana kalau aku jadi ulat? Kecoak? Amoeba?”

“Aku bakal tetep sayang sama kamu,” kata Seungmin.

“… Gimana kalau ternyata masa laluku nggak sebagus punyamu?”

“Memangnya kenapa?” Alis Seungmin tertaut. Jeongin tidak pernah menceritakan masa lalunya, dan Seungmin tetap menghargai keputusan itu. Dia akan menunggu sampai Jeongin siap, berapa lama pun tidak masalah. “Semua orang bisa punya masa lalu yang jelek, kan? Yang terpenting itu sekarang, Jeongin.”

“Kalau gitu, gimana kalau ada kejadian di masa depan… hm, yang nggak baik, yang ngelibatin aku?”

“Contohnya? Kamu jadi maling? Maling hatiku? Kan udah.”

Mau tak mau, Jeongin tertawa. “Kamu nggak bisa serius, ya.”

“Sebetulnya,” kata Seungmin, setelah tawa Jeongin reda, “kupikir aku nggak bakal terlalu peduli. Aku suka kamu karena itu kamu — mau apa yang kamu lakuin… kupikir aku bakal tetep suka? Bahkan walau kamu bunuh orang — selama ada alasannya — eh, tapi, kalau itu kamu, kayaknya aku nggak bakal masalah kalau kamu lakuin semaumu.”

Waktu itu, Jeongin bergidik mendengarnya.

“Kamu takut?” tanya Seungmin peka.

“Nggak juga,” jawabnya jujur, “cuma karena itu keluar dari mulutmu…”

“Jeongin,” kekeh Seungmin geli, menghirup dalam-dalam aroma peach-nya yang manis, “bahkan aku pun bukan orang yang sebaik itu. Hmm, let’s say, kalau kamu ngelakuin kejahatan dan minta aku nutupin semuanya, aku percaya aku bakal lakuin itu.”

Yuna masih terkejut di ujung pintu, tapi itu membuat Jeongin jadi bisa bergerak lebih dulu.

Dua pisau, katanya pada Yuna. Yuna tidak bertanya kenapa — mungkin karena terlalu percaya, dan itu salahnya.

Satu untuk menyakiti dirinya sendiri, membuat kesempatan untuk Hyunjin menengoknya dengan kepastian bahwa akan ada minuman di nakas.

Yang kedua, seandainya racunnya tidak bekerja, Jeongin akan mempertaruhkan segalanya untuk membunuh Hyunjin apa pun yang terjadi, dan jika gagal, dia hanya perlu membunuh dirinya sendiri — dia tidak takut lagi untuk mati.

Jeongin beranjak dari ranjang, melangkah menuju pintu dan mengangkat pisaunya. Dia sudah membunuh sekali, dan menambah satu korban lagi bukan masalah — Seungmin akan mengurusnya.