Actions

Work Header

A Whole New Story: Transformers High School AU Fanfiction

Summary:

Pernah bayangin nggak, gimana kalau tokoh-tokoh Transformers menjalani kehidupan SMA? Ini adalah cerita berbagai tokoh dari franchise Transformers menjalani kehidupan sebagai anak SMA! Mulai dari kehidupan sekolah, pertemanan, bahkan... percintaan?

Penasaran dengan kisah mereka? Check it out~

Notes:

Yuhuu aku balik lagi dengan cerita ff transformers lainnya yang kali ini aku collab dengan @karaish
Ini projek Transformers dengan konsep Lokal High School. Jadi tiap Cybertronian di sini sekolah ala2 anak2 SMA gituu. Nah anak SMA nya di Indonesia yaa. Bukan di tempat lain. Jadi yaa berasa kayak anak2 SMA Indo aja
Trs ini Half-human body AU. Maksudnya, tubuhnya human, kepalanya kepala original mereka. Jadi yaa bisa dibayangin sendiri ya
Silakan dinikmati~

(See the end of the work for more notes.)

Chapter 1: Cekcok Saat MOS

Chapter Text

“Oh, jadi kamu berani lawan saya?”

Suara itu terdengar lantang. Siswa di hadapan laki-laki itu tak memberi balasan. Pandangan tajam penuh amarah ia tujukan pada lawan bicaranya, berharap siswa itu akan tertunduk takut. Namun, siswa itu justru menyipitkan mata, memberikan sebuah tatapan sinis yang membuat aliran darahnya semakin naik mendidih. 

Brak!

Kali ini, ia memukul whiteboard yang berada di sampingnya.

“Apa maksud kamu tatap-tatap saya begitu?!”

“‘Begitu’ bagaimana?” Siswa baru itu menjawab dengan suara rendah dan tenang, tidak lemah, juga tidak kuat, memberi kesan menantang sosok di hadapannya.

“Kurang ajar kamu, ya! Nggak punya sopan santun sama yang lebih tua!” Tangan kanannya terangkat di atas kepala, tapi siswa baru tersebut tetap bergeming seakan tahu kalau ia tidak akan memukulnya begitu saja. 

Tangannya terkepal sejenak, sebelum beralih ke tanda pengenal yang terpasang di depan dada siswa baru itu. 

"Megatron. Jadi, nama kamu Megatron," ucapnya. 

Siswa baru itu juga melirik ke tanda pengenal yang terpasang di almamater kakak kelas itu.

“Iya, Kak Sentinel Prime," balasnya. Suara itu terdengar rendah dan sinis ketika menyebut namanya, yang lagi-lagi membuat Sentinel naik darah.

“Kamu—!”

“Kak!”

Tangan Sentinel melayang di udara, tetapi suara panggilan seseorang dan gerakan kursi yang terdengar menghentikan tindakannya. Laki-laki itu menoleh ke pemilik suara. Hal pertama yang ia tangkap adalah dua buah antena biru yang tertaut di kepala lelaki itu. Ia menatap wajah siswa yang tertutupi masker abu-abu itu sebentar, tampak sedang memastikan sesuatu.

“Kenapa? Kamu mau ikut-ikutan ngelawan?” Kesan marah masih terdengar dari suara sang kakak kelas, tetapi di satu sisi suara milik lelaki itu juga melemah.

"Bukan begitu, Kak. Saya nggak bermaksud lancang, tapi–"

"Sebut nama dulu. Nggak sopan tiba-tiba kasih argumen tanpa sebut nama."

Siswa itu terdiam sejenak, sebelum akhirnya ia membuka suara. "Nama saya Optimus, Kak. Menurut saya–"

"Dari gugus berapa?"

"Saya Optimus, Ketua Gugus Tujuh."

Mata biru Sentinel melirik ke tanda pengenal Megatron. Di sana tertulis 'Gugus 1'. Sebelum Sentinel sempat bicara lagi, Optimus langsung melanjutkan argumennya yang sempat terpotong. 

"Saya cukup keberatan dengan tindakan Kakak kepada Megatron. Menurut saya, tindakan kakak itu sudah cukup kelewatan. Bukankah sebagai Kakak OSIS seharusnya Kakak membimbing adik kelasnya dengan baik? Kenapa Kakak malah menyudutkan dia seperti itu?"

Mata Sentinel beralih pada Megatron. Sentinel dapat melihat senyum miring yang samar-samar ditunjukkan oleh Megatron. Ia membayangkan kalau adik kelasnya ini sedang mentertawakannya.

Namun, sebisa mungkin, Sentinel menahan amarahnya agar tidak meledak. "Ohhh … Jadi, kamu mau jadi pahlawan kelas?" ucap Sentinel pada Optimus. 

"Bukan begitu, Kak. Saya cuma mengutarakan pendapat," balas Optimus lagi. 

"Bukankah kita di sini untuk belajar mengeluarkan pendapat?" Tiba-tiba Megatron buka suara. "Materi di hari pertama, berani dalam berpendapat."

Sentinel menggertakkan deretan gigi miliknya. Dua tangan terkepal erat saat melihat senyuman Megatron yang tampak semakin jelas. Senyuman yang merendahkan. 

Megatron tidak takut jika mendapat pukulan darinya, justru ia menantikannya. Sentinel pasti akan mendapat masalah besar kalau terbukti melakukan kekerasan di depan kelas. 

"KAMU INI–"

"Sentinel!"

Lagi-lagi bentakan Sentinel dipotong, kali ini oleh suara bariton dari arah pintu. Suara yang begitu familier, sekaligus suara yang tidak diharapkan di saat seperti ini. 

Sentinel langsung menyembunyikan dua tangan di belakang ketika ia menghadap pada sosok yang kini berjalan menghampirinya. "I-Iya … Kak Magnus?"

Sosok yang sedikit lebih tinggi darinya berdiri di hadapan dengan dua alis bertaut ke bawah. "Saya dapat laporan dari kelas lain tentang sikapmu pada adik-adik baru kita. Tolong ikut saya ke luar kelas."

"Ba-Baik, Kak."

Cahaya biru safir di mata Ultra Magnus mengarah pada rekan seangkatan Sentinel yang duduk di kursi guru. "Jetfire, segera siapkan adik-adiknya untuk materi selanjutnya. Sebentar lagi kita ke auditorium."

"Siap, Kak."

Mata merah Megatron menatap dua punggung yang melangkah keluar itu. Ketika pintu tersebut tertutup, ia baru menyadari ada yang memperhatikannya dari jendela, sepasang mata berwarna ungu dan tampak tajam dari seorang siswi yang sepertinya salah satu panitia OSIS. 

"Megatron, silakan kembali ke tempat duduk kamu."

"Baik, Kak." Megatron melihat kakak pendampingnya sekilas sebelum melihat ke jendela. Ternyata sosok itu sudah tidak ada. Ia pun kembali ke tempat duduknya, tak mau ambil pusing perkara papan nama yang tidak lurus membuatnya harus menerima bentakan dari Sentinel di depan kelas.

Jetfire mengacungkan ibu jarinya pada Optimus. "Bagus sekali, Optimus. Kamu sudah berani mengungkapkan pendapat. Yang lain bisa belajar dari Optimus, ya."

Optimus tersenyum mendapat pujian itu. Ia juga tersenyum sekilas pada Megatron yang melewatinya untuk duduk di kursinya paling belakang, tetapi Megatron tidak membalas senyumannya. Ekspresinya dingin dan tatapannya tajam. Ia melirik Optimus, tetapi tidak sampai 1 detik, ia sudah melihat ke depan. 

Optimus hanya menghela napas sebelum ia kembali duduk di kursinya.

"Bagus, Mus. Kakak OSIS nyebelin kayak Sentinel emang harus ditindak," puji teman sebangkunya. 

"Makasih, Ratchet," balas Optimus. 

Sampel suara dari Optimus dan Ratchet diputar ulang dengan volume rendah oleh teman sebangkunya Megatron. 

"Nggak usah diulang. Gue juga denger, Soundwave. Maksudnya apa muter ulang omongan mereka?" balas Megatron, lalu melirik heran ke teman sebangkunya itu. “Terus, kok lo bisa muter suara omongan orang gitu, sih? Lo ngerekam pake apaan, dah?”

Sosok yang lebih rendah darinya itu hanya mengedikkan bahu. Tampaknya ia tidak ingin memberi jawaban tentang rekaman suara itu. Megatron memutar mata sekilas sebagai tanggapan. Dibanding rasa penasaran, suasana hatinya sedang kurang baik untuk bicara banyak dengan teman sebangkunya yang sedari tadi hanya diam. Ia pun mendengarkan penyampaian kakak kelasnya yang hendak mengarahkan mereka ke auditorium sekolah.

***
Materi negosiasi yang mereka terima di ruang auditorium adalah materi terakhir masa orientasi sekolah. Setelah ini, mereka diarahkan untuk kembali ke kelas masing-masing. Setiap kakak pembimbing kelas memberitahu tugas terakhir mereka untuk hari ini, yaitu meminta tanda tangan seluruh anggota OSIS yang ada di sekolah. 

Untuk kelas X-1, Jetfire dengan senang hati memberi tanda tangannya lebih dulu. Setiap siswa mengantre untuk mendapatkan tanda tangannya sebelum mereka keluar kelas dan mencari tanda tangan yang lain. 

Tidak semua anggota OSIS memberikan tanda tangannya begitu saja seperti Jetfire. Ada yang harus dimarah-marahi dulu, ada yang harus dikejar-kejar dulu, sampai ada yang memberikan syarat agar mereka mau memberikan tanda tangannya. 

Optimus mengamati siapa saja yang tampak mudah mendapatkan tanda tangan. Setelah menentukan target, barulah ia bergerak. Ratchet ikut di sebelahnya. Kebanyakan siswa lain diam-diam mengikuti Optimus. Termasuk Megatron sendiri. 

"Soundwave, Optimus mau minta tanda tangan siapa aja?"

Ia mengeluarkan sebuah alat perekam kecil dari saku celananya. 

"Oh, jadi lo ngerekam dari situ."

Soundwave menekan tombol putar, lalu terdengar suara Optimus dan Ratchet. 

"Kak Windblade baik. Dia pernah bantu gue, terus Kak Ultra Magnus juga. Ketua OSIS harusnya bisa lebih baik dari anggotanya. Kak Astrotrain kayaknya juga baik. Nanti kita lihat yang ramai aja, yang susah belakangan."

Megatron mengangguk. "Oke. Berarti mulai dari Kak Windblade."

Soundwave menggeleng cepat sambil menyembunyikan rekamannya. Lalu, ia menunjuk ke arah di mana Ultra Magnus sedang duduk di sebuah bangku yang masih sepi. "Jangan ikutin sesuai arahan Optimus. Pasti rame."

Mulut Megatron membulat. "Oh, iya, bener. Kita selangkah lebih dulu. Baru nanti ke Kak Windblade."

Mereka berdua pun bergerak untuk meminta tanda tangan Ketua OSIS lebih dulu. Ultra Magnus cukup kagum dengan keberanian mereka berdua karena meminta tanda tangannya lebih dahulu, dan benar saja, Ultra Magnus memberikan tanda tangannya tanpa syarat. 

Lalu, mereka menuju Astrotrain. Perawakannya yang besar dan menjulang tinggi membuat Soundwave berdiri sedikit di belakang Megatron. Akan tetapi, Megatron sendiri tampak tak gentar. Ia memasang tubuh tegap dan tidak ada ekspresi takut di wajahnya. 

"Mau apa?" ketus Astrotrain. 

"Tanda tangan, Kak. Boleh nggak?" tanya Megatron. 

"Nggak."

"Oh. Ya, udah."

Soundwave cukup kaget melihat Megatron tiba-tiba meninggalkannya begitu saja. "Loh, tanda tangan–"

"Dianya nggak mau. Gimana lagi?"

Megatron berhenti mendadak saat melihat Optimus bergerak menuju Astrotrain. Ia diam-diam melihat pergerakan Optimus dan rombongan yang dibawanya. 

"Kak, boleh minta tanda tangannya?" tanya Optimus. 

"Nggak boleh." Jawaban yang sama dengan yang diberikan kepada Megatron. 

"Yah, kenapa, ya, Kak? Apa saya harus ngelakuin sesuatu dulu buat dapet tanda tangan Kakak?"

Ia menyilangkan tangan di depan dada. Matanya melirik ke Sentinel yang bersantai di sudut koridor. "Minta tanda tangan dia dulu, baru ke saya."

Siswa di belakang Optimus langsung ragu. Satu per satu dari mereka mulai menyebar untuk mencari tanda tangan selain yang ditunjuk Astrotrain. 

"Mus, kita cari yang lain aja," saran Ratchet. 

Optimus memandang mata merah Astrotrain yang tampak menyala cukup terang. "Baik, Kak. Aku minta tanda tangan Kak Sentinel dulu, baru Kakak?"

"Iya. Saya mau tanda tangan kalau sudah ada tanda tangan Sentinel."

Tanpa menggubris saran Ratchet, Optimus melangkah mendekati Sentinel. Mau tak mau, Ratchet pun mengikutinya. 

Akan tetapi, tanpa disangka-sangka Megatron berjalan di samping Optimus.

"Lah? Kenapa lo pada ikut-ikutan?" kaget Ratchet. 

"Lo mau jalan berduaan aja buat minta tanda tangan Sentinel?" balas Soundwave. 

"Y-Yaa … nggak, sih. Mending rame-rame."

"Sepertinya kita punya tujuan yang sama," ucap Megatron pada Optimus. 

Halah apaan! Lu emang ngintilin Optimus dari tadi, batin Soundwave. 

Optimus tersenyum sekilas. "Bagus, deh. Kita nggak ngerasa disudutin kalo rame-rame," balasnya. 

Sampailah mereka di depan Sentinel yang sedang bersandar pada pembatas koridor. Ia sedang memandang ke arah lapangan di depannya. 

"Kak Sentinel," panggil Optimus.

Sentinel cukup tertegun dengan kehadiran mereka. "Kalian nekat sekali ke sini."

"Kami boleh minta tanda tangannya, Kak?" tanya Optimus tanpa menggubris komentarnya. 

"Hmm … Boleh nggak, yaaa?" Sentinel mengusap dagu sambil melirik ke atas. 

"Boleh apa nggak, Kak?" tanya Megatron. Suaranya terdengar menuntut akan jawaban. 

Sentinel langsung memandang sinis Megatron. "Lah? Emang saya ngomong sama kamu?"

"Dia bilang 'kami', berarti saya juga termasuk."

Sentinel mendecih sekilas. "Lo songong banget, ya. Yang pasti lo nggak bakal dapet tanda tangan gue." Ia mengubah kata sapaan dan gantinya saking jengkelnya dengan Megatron.

Megatron tak menunjukkan reaksi apa-apa yang berarti, sementara Optimus menunjukkan ekspresi harap pada kakak kelasnya itu. Demikian juga Ratchet.

Sentinel memandangi mereka dengan wajah masam agak lama. Terlalu lama berpikir, akhirnya ia memanggil Ratchet. “Kamu, sini. Kertas sama pena.”

Ratchet menurut, menyodorkan kertas dan pena yang dia genggam pada Sentinel. Ia segera memberikan tanda tangan di atas kertas itu.

“Sekarang, kamu pergi ke tempat yang lain,” suruh Sentinel muram. Ratchet menoleh pada Optimus sebentar, sebelum akhirnya ia meninggalkan mereka bertiga ke tempat Astrotrain.

Sentinel melipat tangannya di bawah dada, menaikkan kepala dan memandang rendah untuk menjaga wibawa yang sempat hilang. “Kamu sama temanmu yang ngelawan tadi harus minta maaf ke saya kalau mau dapat tanda tangan saya,” ujarnya dingin, “dan kamu yang di belakang, kamu dapat tanda tangan kalau teman di depanmu udah dapat tanda tangan dari saya.”

Megatron dan Optimus sempat saling melirik. Optimus baru hendak membuka mulut ketika ia mendengar Megatron berkata, “Nggak. Saya nggak salah.”

“Kamu nggak salah?” Sentinel hampir kembali meradang, tetapi ia mencoba menahan emosi kalau-kalau tak ingin ditegur lagi oleh ketua OSIS-nya sendiri. “Nggak tahu diri.”

Pandangan laki-laki itu beralih ke Optimus yang masih tampak menimbang-nimbang. Tak ingin berlama-lama, Optimus pun segera mengeluarkan kata-kata.

“Kak Sentinel, tolong maafkan saya jika perilaku saya sewaktu di kelas tadi tidak pantas kepada Kakak.”

Megatron langsung melirik ke arah Optimus dan memelototkan matanya. Sentinel melihat baik-baik kedua mata biru Optimus yang menunjukkan sorot kelembutan. Ia menggantung situasi agak lama sebelum akhirnya ia mengulurkan tangan tanpa mengucapkan apa-apa. Optimus pun segera memberikan kertas dan pena kepadanya.

Setelah memberikan tanda tangan kepada Optimus, Sentinel melirik sinis pada Megatron, menunggu tindakan yang diambil oleh adik kelasnya itu. Megatron seketika berbalik badan dan berjalan pergi, dengan Soundwave yang mengikutinya dari belakang.

Ketika jarak mereka sudah jauh, Sentinel memanggil Optimus yang masih berdiri di tempat. “Mus, panggil temenmu yang itu.” Ia menunjuk ke arah dua siswa tadi pergi.

“Megatron?”

“Bukan, yang satunya.”

“Oh … Iya.”

Optimus segera berlari ke arah dua lelaki itu dan mendekati Soundwave. Megatron yang berhenti berjalan di depan mereka menoleh sesaat, kurang mendengar jelas apa maksud Optimus mencegat Soundwave seketika.

Dalam beberapa waktu, ketika Optimus kembali berlari ke arah Astrotrain, Megatron masih memandangi laki-laki itu, seakan tanpa sadar meninggalkan rasa heran dalam benaknya sendiri.

Chapter 2: Siapa Kakak Itu?

Chapter Text

"Soundwave. Dia anggota OSIS, bukan?" Megatron menunjuk seorang siswi dengan almamater biru OSIS yang dari tadi memperhatikannya. Mereka kembali berdiri di sisi lapangan sendiri setelah Soundwave kembali dari tempat Astrotrain.

"Ehmm … sebentar." Soundwave sedang membuka-buka buku tugasnya untuk mencari nama siswi anggota OSIS, namun Megatron sudah berjalan lebih dulu menghampirinya.

"Eh, Ga! Lo kenapa jalan duluan!" Ia buru-buru mengejarnya. Akan tetapi, sayangnya Megatron sudah lebih dulu tiba di hadapan siswi tersebut sebelum Soundwave sempat mencegahnya. 

"Kak. Minta tanda tangan. Boleh?" tanya Megatron.

Mata ungu itu tampak setengah terbuka. Wajahnya terukir senyuman tipis yang tampak sedang menyembunyikan sesuatu. "Coba cari namaku dulu di buku itu."

Megatron melirik ke nama yang terpasang di almamater itu. "Blackarachnia." Ia pun membuka lembaran demi lembaran buku tersebut. 

"Kok nama Kakak nggak ada, ya?" Soundwave bertanya lebih dulu. 

"Karena nama aku emang nggak pernah ada di buku itu, Manis." Suara siswi itu terdengar menggelitik telinga mereka. 

Soundwave refleks mengambil satu langkah ke belakang Megatron, sedangkan Megatron sendiri memasang wajah masam. "Kalau gitu kenapa Kakak di sini dan pakai almamater itu?"

"Memangnya aku nggak boleh di sini?" Pertanyaan itu tidak bisa Megatron jawab, tetapi sebelum Megatron hendak pergi, ia sudah melanjutkan ucapannya. "Aku udah lihat kamu nantang Sentinel di kelas tadi. Jujur aja, aku tertarik dengan sikap beranimu tadi."

"Tapi karena itu, saya nggak dapat tanda tangannya," ketus Megatron. Ia biasa saja saat melihat enam tangan laba-laba di punggung siswi itu menunjukkan sebuah reaksi. Berbeda dengan Soundwave yang mulai tidak nyaman saat merasakan enam tangan tambahan itu seperti sedang mengawasi mereka berdua dan siap menyerang kapan saja. 

"Jangan pedulikan tanda tangannya. Memangnya dia artis? Bukan!" serunya. "Bahkan, jangan pedulikan tanda tangan OSIS lainnya juga. Tugas yang kamu terima cuma buat formalitas."

Megatron memandang dua tanda tangan yang baru ia dapatkan. "Memang .…"

Arachnia tersenyum miring. "Kita bisa bekerja sama. Kalau kamu mau balas dendam sama sikap Sentinel, kamu bisa cari aku di–"

"Ra,” suara Astrotrain tiba-tiba menyela. "Kak Magnus udah larang lo buat keliaran di sini." Kehadirannya yang tiba-tiba di antara mereka cukup membuat ketiganya terkejut. 

Biar begitu, siswi itu menampilkan tawa sekilas. "Iya, iya, gue tahu." Lalu, ia melirik ke Megatron dan mengedipkan sebelah matanya. "I'm looking forward to see you, sweety," ucapnya sebelum ia menghilang di belokan koridor. 

"Apa pun yang dikatakan Arachnia, jangan ikuti begitu saja. Kamu bisa lebih pintar dari laba-laba aneh itu," ucap Astrotrain dengan tatapan dinginnya. Sebelum Megatron bertanya lebih lanjut, Astrotrain sudah pergi meninggalkannya. 

"Betul kata Kak Astrotrain. Jangan percaya. Dia pasti siswa bermasalah," setuju Soundwave. 

Ucapan Soundwave ada benarnya juga, pikir Megatron. Dia tidak mungkin buat masalah di hari pertama dia bersekolah. Namun, ia sedikit menerima apa yang dikatakan siswi tersebut tentang tugas sebagai formalitas. Jadi, ia cukup enggan mencari tanda tangan lain yang sulit dan terima apa adanya saja. 

Hari kedua orientasi sekolah ditutup dengan pengecekan buku tugas. Jetfire hanya menggeleng tak percaya waktu melihat tanda tangan yang dimiliki Megatron hanya dari Ultra Magnus dan Windblade. Walau begitu, ia tetap memberi nilai buku tugas itu. 

Di kelasnya, Optimus yang paling banyak mendapat tanda tangan dan Megatron yang paling sedikit. Namun, Optimus tidak terlihat angkuh, sedangkan Megatron tidak terlihat sedih. Mereka berdua biasa saja dengan hasil yang mereka dapatkan. 

Keesokan harinya adalah hari terakhir orientasi sekolah, yaitu pertunjukan ekskul yang tersedia di sekolah itu. Siswa baru hanya menikmati pertunjukan tersebut tanpa rasa was-was. Lalu, acara ekskul tersebut ditutup dengan pidato singkat dari kepala sekolah, sebelum akhirnya mereka melepas tanda pengenal mereka dan dilempar ke langit--sebagai tanda kalau masa orientasi mereka telah selesai. 

Biar begitu, mereka tahu kalau masa senang-senang mereka belum berakhir. Mereka harus menghadapi tes penempatan kelas di keesokan harinya sebelum pembelajaran benar-benar dimulai. Jika mereka ingin mendapatkan kelas yang diinginkan, mereka harus belajar dengan giat. Tentu saja, Megatron dan Optimus belajar untuk mendapatkan kelas yang diinginkan. 

Setelah mereka mengerjakan tes penempatan tersebut, pengumuman penempatan kelas akan diberikan di hari Senin, bersamaan dengan hari pertama mereka masuk sekolah untuk belajar. 

***

Lelaki dengan penutup kepala abu-abu itu berjalan menuju kelas X IPS-1, hasil jurusan yang tak meleset dari dugaannya. Sesampainya ia di ruangan, ia segera mengambil tempat duduk paling depan di tengah-tengah depan papan tulis. Tak lama ia duduk dan tidak begitu peduli pada lingkungan seisinya, seorang siswa lain mendekati tempat duduknya.

“Eh, gue duduk di sini, ya? Belum ada yang nempatin, 'kan?”

Lelaki abu itu melihat ke arah siswa dengan ransel punggung berwarna merah putih yang bagian tengahnya berwarna kuning.

“Iya, boleh.”

Siswa itu pun meletakkan tas dan duduk di samping kirinya. Ia kemudian mengulurkan tangan padanya.

“Gue Starscream. Lo?”

“Megatron.” Ia menjabat tangan teman sebangkunya sekilas. Setelahnya, ia melihat lelaki itu menyentuh sekitar wajah, tampak seperti menyugar kepalanya yang padahal tertutup oleh penutup kepala berwarna hitam hingga ke bagian rahang.

“Lo kenapa masuk IPS?” tanya Starscream terdengar ingin tahu. Alis Megatron berkerut sebentar sebelum menjawab pertanyaannya.

“Emang minat gue di sini,” katanya. “Lo?”

“Sama, sih.” Tangannya masih menyugar sisi-sisi kepalanya. “Lagian jurusan IPA terkenal serius. Mati kutu gue kalo jadi anak IPA. Untung gue pinter, jadi bisa masuk ke jurusan yang gue pengen.”

Megatron tak mengindahkan ucapan lelaki itu, tetapi ia tak tahan dengan tingkah Starscream yang cukup mengherankan.

“Di depan lo nggak ada cermin,” tuturnya pada Starscream.

“Gue tahu,” jawab Starscream, “Tapi pantulan wajah gue masih kelihatan di depan whiteboard.”

Satu hal yang Megatron tangkap dari perilaku orang di sampingnya ini. Narsis. 

Walau begitu, Starscream tampaknya tak menggubris tatapan heran dari teman sebangkunya atau dari teman-teman sekelasnya yang lain. Ia sibuk dengan urusannya seakan ia sedang berada di dunianya sendiri. Saat bel berbunyi, baru ia berhenti dari aktivitasnya itu.

***

Optimus dan Ratchet berjalan ke kantin bersama ketika jam istirahat tiba. Di tengah jalan saat melewati koridor lantai satu menuju kantin, mereka bertemu dengan kakak kelas mereka yang bernama Sentinel.

“Optimus!” Tangan kakak itu melambai. Wajahnya tersenyum lebar, memberikan kesan ramah yang membuat Ratchet heran. Mereka berjalan mendekat ke arah satu sama lain. “Mau ke kantin?”

“Iya, Kak,” ujar Optimus masih menjaga kesopanan.

Akan tetapi, Sentinel tiba-tiba berujar, “Kalau lo mau manggil gue Sentinel aja sekarang nggak apa-apa kali.”

“Sori?” Ratchet melotot sambil menaikkan sebelah alis. Ia tak mengerti akan omongan kakak kelasnya.

“Loh, temen lo belum tahu, Mus?” tanya Sentinel tertegun. “Iya, sih. Lo emang pinter nggak ngaku-ngaku nama lo Optimus Prime. Kalo pas di kelas kemarin pada tahu, buset, nggak lucu kalau gue kasar ke lo, 'kan," lanjutnya sebelum Optimus sempat menjawab. 

“Gue tahu nama belakang Optimus ada 'Prime'-nya, cuma gue kira nama kalian sama-sama 'Prime' karena itu nama pasaran ….” Ratchet berujar sambil mencubit dagu. “Dia siapanya lo, Mus?” tanya Ratchet bingung. Ia melihat ke arah Optimus yang entah mengapa memasang wajah enggan.

“Sepupu gue.” Ia menjawab dengan tatapan malas.

“Nggak mirip,” ceplos Ratchet tanpa sadar, membuat lelaki di depannya langsung berpaling pandangan ke arahnya cepat.

“Sepupu jauh.” Optimus tak sungkan memberi keterangan. “Dia kecepetan masuk sekolah.”

“Gue pinter,” ucap Sentinel percaya diri. “Ya, udah. Ayo gue tunjukin makanan yang enak. Entar keburu rame. Bisa-bisa malah habis.”

Sentinel merangkul leher Optimus, sementara Ratchet berjalan sejajar di sisi kakak kelasnya itu. Ia masih tidak menyangka kalau teman sebangkunya itu ternyata kerabat dari kakak OSIS yang menyebalkan selama MOS kemarin. Jika dilihat dari reaksinya, tampaknya Optimus tidak terlalu peduli kalau kakak sepupunya itu dicap menyebalkan oleh dirinya. 

***

Starscream bangkit berdiri dari tempat duduk ketika bel istirahat sudah berdering.

“Ga, lo ke kantin?” tanya Starscream pada teman sebangkunya itu.

“Iya.” Temannya itu menjawab, tetapi tiba-tiba seseorang muncul di depan pintu kelas.

“Bang!” Sosok itu memanggil. Wajahnya serupa dengan Starscream. “Makan bareng, yuk!” Ia berjalan penuh semangat ke arah Starscream. 

“Oh, adik gue manggil,” gumamnya pelan yang masih terdengar oleh Megatron. 

“Kembar?” tanya Megatron setengah tak peduli.

Starscream menoleh ke belakang sesaat. “Mata lo minus?”

“Mata lo mau gue bikin minus?” Balasan Megatron sempat membuat Starscream terkejut. Matanya melebar sebelum akhirnya kelopak matanya turun dan mengerling. 

"Siapa, Bang?" tanyanya setelah ia melirik tak suka ke Megatron sekilas. 

"Temen sebangku gue, Megatron," jawab Starscream padanya, lalu kembali menoleh ke Megatron. “Ini adik pertama gue. Namanya Skywarp. Satu lagi Thundercracker. Dia masuk IPA.”

“TMI*,” cetus Megatron tanpa memandang ke arah Starscream.

“Gue cuma ngasih tahu, ya, ta—”

“Gue nggak jadi ikut.” Megatron memotong omongannya. “Titip, ya.”

Starscream masih memandangi … memelototi Megatron tak percaya. Megatron tahu maksud dari tatapan Starscream. Ia hanya menatap nyalang balik tanpa menambahkan apa-apa lagi. Skywarp juga kesal mendengar tanggapan itu, tapi ia memilih untuk tidak memperkeruh suasana dan mendapat bentakan dari abangnya yang temperamen karena ikut campur.

Akhirnya, teman sebangkunya itu memutus pandangan, dan sebelum ia berjalan keluar kelas bersama adiknya, ia bertanya, “Lo mau titip apa?”

“Nasi ayam komplit sama air mineral.”

Megatron memandangi dua kakak-beradik itu selagi mereka menjauh sampai menghilang dari pandangan. Pikirannya dihinggapi rasa tidak yakin bahwa ia akan betah dengan teman sebangkunya itu.

Akan tetapi, anehnya tidak ada keinginan di pikirannya untuk menyuruh sosok itu pergi.

*TMI = Too Much Information

 

Chapter 3: Teman Sebangku yang Menjengkelkan

Chapter Text

“Mus, kan nanti jabatan Kak Magnus mau selesai, nih. Nanti lo dukung gue nyalon jadi ketua OSIS, yak.”

Pernyataan yang diangkat Sentinel di tengah santap siang jam istirahat mereka hampir membuat Optimus tersedak oleh energon yang sedang diminumnya. “Lah, lo beneran mau jadi ketos?” ujarnya dengan dua mata terbelalak.

“Iya. Emang kenapa? Kok lo kaget gitu, sih?” heran Sentinel.

“Gue kaget-nggak-kaget sebenernya. Gue tahu lo orangnya haus perhatian. Tapi, ya, nggak usah jadi ketos juga, lah. Kasihan anggota lo nanti.”

Sentinel menoyor kepala Optimus tanpa rasa bersalah. “Yee, emangnya gue ketos apaan. Gini-gini, gue tahu juga caranya bersikap jadi seorang pemimpin,” timpalnya. “Gue serius, Mus. Nanti lo dukung gue, yak. Jadi tim sukses gue waktu gue nyalon. Nanti gue traktir dah.”

Optimus hanya memutar mata sebelum ia menjawab, “Iya, terserah.”

Ratchet yang dari tadi diam saja menyimak, mencoba untuk bergabung dengan mereka. “Berarti nanti wakilnya siapa?”

Sentinel mengusap dagu panjangnya sejenak dengan mata memicing. Ia memikirkan nama-nama yang menurutnya cocok untuk menjadi wakilnya. “Hmm … rencananya, sih, Jetfire. Dia cocok tuh jadi wakil gue. Bisa diandelin.”

Optimus menggeleng sambil mendecak. “Kasihan Kak Jetfire.”

Sentinel menunjukkan kepalan tangannya. “Lo bener-bener, ye, Mus. Jangan bikin gue emosi dah. Gue lagi pusing nih mikirin teguran Pak Ketos.”

“Teguran waktu MOS itu? Bukannya MOS udah selesai? Kenapa masih dibahas?” bingung Optimus.

“Jadi gini, Mus. Sebenernya bukan waktu MOS aja.” Sentinel mengambil posisi nyaman duduk di kursi kantin itu sambil melihat sekitar sejenak, memastikan apakah ada yang memperhatikan atau tidak. Setelah tahu tidak ada orang yang dimaksud, akhirnya ia buka suara dengan nada lebih pelan dari sebelumnya. “Sebelumnya lo berdua kenal Blackarachnia nggak?”

“Nggak,” jawab Optimus. Ratchet menggeleng.

“Arachnia temen sekelas gue. Dia kelas sepuluh ikutan OSIS, tapi kelas sebelas berhenti. Gue nggak tahu kenapa dia berhenti, tapi gue yakin pasti ada alasan liciknya.”

“Alasan licik?” bingung Ratchet.

“Dia di angkatan gue, terkenal licik dan paling suka ngadu ke guru kalau ada yang nyontek. Pokoknya caper banget, dah. Nah, waktu MOS itu dia dateng buat jebak gue sampe akhirnya gue kena tegur Pak Ketos. Abis itu dia juga ngadu ke guru kalau gue nggak ikutan kerja waktu kerja kelompok. Gue kena tegur sama guru killer itu. Akhirnya gue kena tegur Pak Ketos lagi. Kalau sampai gue buat masalah terus, bisa-bisa kesempatan gue buat nyalon jadi ketos, nggak ada,” jelasnya dengan suara naik turun, tapi tidak sampai berteriak.

Optimus mengangguk sekilas. “Kayaknya dia nggak mau lo jadi ketua OSIS, deh. Ya udah, lo nyerah aja, Nel.”

Rahang Sentinel mengeras. “Lo mau baku hantam, Mus? Ayo!”

“Sa-Santai, Kak, santai. Bercanda kok tadi hehe .…” Optimus tertawa renyah.
Sentinel mengembuskan napas cepat sambil membuang wajah ke arah Ratchet. “Lo jangan ketularan kurang ajarnya Optimus, ya, Chet.”

Ratchet mengangguk sekilas. “Berarti Kak Arachnia ini berbahaya gitu kah? Jadi kita nggak boleh dekat-dekat dia?”

“Berbahaya banget sampe bunuh kalian sih, nggak, ya. Cuman, yaa … hati-hati aja. Kadang kita nggak tahu apa dia tulis nama kita ke list ‘kejahilan’ dia apa nggak.”

“Emang orangnya kayak gimana?” tanya Optimus.

“Pokoknya dia laba-laba. Cuman ada satu siswa yang punya tangan lebih dari dua, itu dia orangnya.”

“Oke. Nanti kita hati-hati sama dia.” Optimus mengangguk. 

Sebuah pikiran terlintas di benak Sentinel. “Eh, lo berdua nanti ikut OSIS, 'kan?”

“Emang pendaftarannya udah dibuka?” kaget Ratchet.

“Belom, sih. Tapi biasanya beberapa minggu setelah MOS ada informasi lebih lanjut. Nanti gue kabarin lagi, deh,” jawabnya. “Oh, iya. OSIS sama MPK daftarnya buka barengan, jadi lo berdua bisa ikut OSIS atau MPK. Lo harus OSIS ya, Mus.”

“Nanti gue pikir-pikir dulu.”

“Ya, elah, pake dipikir-pikir segala,” timpal Sentinel. Optimus hanya memutar mata, tidak terlalu menanggapi omongan Sentinel.

***

Megatron tidak melihat tanda-tanda Starscream kembali ke kelas lagi. Tampaknya teman sebangkunya itu memilih makan di kantin dibanding di kelas. Niatnya untuk meminta jatah makanan yang Starscream beli di kantin, pupus sudah. Walau Starscream kemungkinan besar menolak untuk dibagi, dia akan memaksa untuk membaginya.

“Ga, lo ke kantin nggak?” 

Sebuah suara di sampingnya membuat Megatron mengangkat kepala dari catatan yang baru selesai ia tulis. “Oh, Soundwave. Lo ke kantin?”

“Iya. Mau ikut?”

Megatron memutar setengah tubuhnya ke belakang, ke arah sosok murid berpenutup kepala merah jingga yang duduk di sudut kelas. “Lo nggak ke kantin bareng temen baru lo? Siapa namanya?”

“Blaster. Ogah. Mau ikut nggak? Kalau nggak–”

“Ya udah, gue ikut.” Akhirnya Megatron beranjak dari duduknya.

Mereka pun keluar kelas dan berjalan berdampingan di koridor. Beberapa saat tidak ada yang memancing topik, sampai akhirnya Soundwave buka suara lebih dulu. “Siapa nama temen sebangku lo?”

“Starscream.”

“Lo sendiri nggak ke kantin bareng dia?”

“Males. Dia nyebelin. Narsis pula, hih.”

“Berarti kita punya temen sebangku yang sama-sama nyebelin.” Soundwave mengedikkan bahu.

“Lah, lo sendiri kenapa duduk sama dia? Gue duduk di depan karena di sebelah lo udah ada yang isi.”

“Lo sendiri telat datengnya. Gue udah tag tempat buat lo, tapi dia nyerobot main duduk aja. Kursi yang lain udah ditempatin dan gue juga nggak mau di paling depan.”

Megatron terdiam sejenak sebelum membalas, “Ya, udahlah.”

Kehadiran Megatron dan Soundwave yang tiba di kantin disadari oleh Starscream yang sedang menikmati energon dinginnya di meja kantin.

“Gue kira dia nggak bakal ke kantin. Ujung-ujungnya ke kantin juga,” gumam Starscream. “Ya, udah. Nasi ayamnya nggak usah gue beliin.”

“Siapa?” Skywarp langsung mengangkat kepala dari makanan yang sedang disantapnya. Matanya tertuju ke arah yang kakaknya lihat. “Oh, Megatron.” Ia menyadari sesuatu darinya. “Eh, dia sama siapa, tuh? Dia punya temen?”

Starscream menaikkan sebelah alis. “Nggak tau, deh. Gue kira dia nggak punya temen. Wajah gahar, antisosial, galak. Orang gila kayak apa yang mau temenan sama dia?”

Skywarp mengangguk setuju. “Tapi gue heran kenapa lo malah duduk sama dia, Bang.”

“Karena nggak ada tempat duduk lagi!” seru Starscream.

“Salah sendiri kenapa lo ngacanya lama banget. Padahal udah tahu telat,” sambar Thundercracker tanpa melepas pandangan dari buku biologinya.

Starscream melotot padanya. “Lo jangan banyak omong, ya, Dek!” semburnya. “Kalau gue bisa minta kursi lebih di kelas gue, gue bakal minta dah. Tapi gue terlalu baik karena kasihan ngelihat dia duduk sendirian. Eh, ternyata Megatron itu sikapnya kayak gitu. Pantes aja nggak ada yang mau duduk sama dia. Galak, suka perintah seenaknya, suka ngancem. Gimana dia mau punya temen?”

Suara dehaman dari arah belakang Starscream cukup membuatnya tersentak. Ia langsung menoleh ke belakang, untuk mendapati sosok berbadan besar dan tegap menghalangi pandangannya.

“Siapa yang suka perintah seenaknya?” Suara Megatron seperti petir menyambar di siang hari.

“Eh … Ga.”

“Mana nasi ayam gue?” tagih Megatron sembari melirik Starscream ke bawah.

“Lo bukannya udah makan sama temen lo?” ujar Starscream mencari pembenaran.

“Lo nggak inget gue titip makanan ke lo?”

“Tapi, kan, lo udah ke kantin–”

“Bukan berarti gue nggak jadi titip, ya. Seenak jidat banget lo jadi orang gue lihat,” potong Megatron.

Starscream menatap wajah Megatron, agak ketir-ketir. “Maaf, kalo gitu?”

“Nggak,” tukas Megatron. “Berdiri, pesenin gue nasi ayam bungkus satu.”

“... Lo kan bisa pesen sendiri?”

“Gue minta lo yang pesenin.”

“Kenapa mesti gue?”

“Karena lo belum pesenin titipan gue.”

“Lo kok aneh, sih?” Starscream yang awalnya merasa enggan kini bangkit berdiri. Bukan karena hendak menuruti keinginan laki-laki itu, tetapi karena mulai emosi menghadapi perilaku teman sebangkunya sendiri.

“Gue? Aneh?” ulang Megatron sarkastik. “Bukannya elo? Kerjaannya di kelas cuma nyisir kepala doang.”

“Bangsa–”

Tangan Starscream melayang hendak menampar Megatron. Namun, dengan cepat Megatron menangkap pergelangan tangan Starscream.

“Elo nampar?” tanya Megatron menyindir. “Bukan mukul?”

Mata Starscream membelalak. Wajahnya memerah seketika. Rasa dongkol dan malu berkumpul menjadi satu, mengalahkan rasa sakit dari kuatnya genggaman tangan lelaki di depannya. Belum lagi menyadari kalau mereka berdua mulai jadi sorotan siswa-siswa di kantin, dan menarik perhatian tiga lelaki yang dari tadi sibuk sendiri dengan topik omongan mereka.

“Eh, itu kenapa ada ribut?” Optimus mencoba melihat dari celah-celah siswa yang berkerumun di depan pandangannya.

“Hah, siapa?” Sentinel menoleh ke belakang. Ia menangkap siluet kepala yang familier dari arah pandangnya. Refleks, ia bangkit berdiri dan mendekati kerumunan itu.

Starscream semakin menjadi, tak ingin rasa malunya diketahui sekitar. “Gue nampar karena mulut lo mesti dihajar!”

“Hei!” Sentinel berusaha masuk ke dalam kerumunan, menemukan sosok Megatron yang menjengkelkannya tempo lalu berada di tatapan mata. “Lo lagi?”

Megatron menoleh dan melirik sekilas mendapati Sentinel berada di dekatnya. Tangannya belum melepas Starscream, sedangkan Starscream terperangah mengetahui ada kehadiran lain di antara mereka.

“Masih kelas satu tapi udah pada buat ulah begini?! Lo pada nggak punya rasa sungkan apa?!” bentak Sentinel ke arah mereka berdua. “Ini sekolah, bukan sarang preman! Siapa yang ngajarin lo pada buat berantem di hari pertama belajar, hah?!” Suara lantangnya cukup membuat seluruh perhatian tertuju padanya sesaat.

“Nggak ada yang berantem,” sahut Megatron. “Ini namanya pembelaan diri.”

Megatron mengempaskan tangan Starscream ke bawah, membuat lelaki itu meringis kesakitan.

“Sia–” Starscream hampir mengumpat lagi, tetapi ia urungkan karena melihat tolehan Megatron yang sinis.

Sialan! Ia pun mengumpat dalam hati.

“Bang, kayaknya tangan lo kenapa-kenapa tuh. Ke UKS, ya?” tawar Skywarp pada abangnya itu. Starscream tak mengucap apa-apa. Thundercracker yang sedari tadi tampak kebingungan menanggapi situasi kini langsung mencoba menuntun Starscream bersama Skywarp keluar dari kantin.

Keheningan yang terjadi di antara banyak siswa itu setelahnya dipecah suara bel istirahat selesai. Semua bubar begitu saja kembali ke kelas masing-masing.

Chapter 4: Fakta yang Mengejutkan

Chapter Text

Mata pelajaran jam terakhir kelas X IPS-1 adalah sosiologi. Megatron mencatat beberapa materi yang menurutnya penting, sedangkan Starscream hanya memperhatikan omongan guru dengan wajah masam, masih memegangi tangan kanannya yang ternyata memunculkan bekas merah keunguan. Sebenarnya ia bisa menulis dengan tangan kiri, tetapi suasana hatinya terlalu buruk untuk melakukan hal serajin itu.

Kelas ditutup dengan guru yang memberikan murid-muridnya tugas kelompok berpasangan, tentunya terhadap teman sebangku agar tidak menyulitkan pembagian kelompok. Starscream mengerling, melihat Megatron merapikan buku dan alat tulisnya ke dalam tas biasa. Laki-laki itu tampak tidak merasakan ketegangan setelah kejadian di kantin tadi.

Benar saja, setelah guru keluar dan kelas dibubarkan, Megatron memanggil Starscream yang sedang memasukkan barang-barangnya pelan dengan santai.

“Star, tugas kelompoknya kerjain hari ini, ya?” ajaknya pada laki-laki itu.

Starscream yang menyampirkan ransel punggung terhenti sejenak. Lelaki itu berdiri membelakanginya, tak langsung menunjukkan reaksi. Ia mencoba mengumpulkan kewarasan terlebih dahulu sebelum menjawab.

“Gue nggak mood. Besok aja, ya.”

“Kita nggak tahu besok bakal ada tugas apa lagi. Kalo lo hari ini lowong, baiknya hari ini aja. Lo pasti lowong, kita kan baru masuk sekolah.”

“Nggak.”

Starscream mengambil satu langkah, tetapi pertanyaan Megatron kembali mencegahnya. “Lo ada kesibukan apa habis ini?”

Starscream tertunduk diam. Ini orang… minta maaf ke gue aja nggak tapi sesantai ini ngajak ngomong gue lagi, batin Starscream tak habis pikir. Diamnya Starscream membuat Megatron kembali bersuara.

“Kalo nggak ada, ayo kerjain hari ini aja.”

“Langsung ke rumah gue, kalo gitu.” Starscream mengalah pada akhirnya. “Lo ikut gue.”

Akhirnya dua lelaki itu berjalan beriringan keluar kelas. Sebelum sampai di koridor utama, mereka berpapasan dengan Skywarp dan Thundercracker yang berjalan dari arah yang berlawanan.

“Kok ini orang di sebelah lo, Bang?” tanya Skywarp heran sekaligus menunjukkan ekspresi tidak suka.

“Gue sama dia mau kerja kelompok di rumah.” Starscream menjawab seadanya.

“Hari ini banget?”

“Dia yang minta.”

“Kok lo nurut?” heran Skywarp. 

Starscream enggan menjawab lagi, ia segera lanjut berjalan dan kedua adiknya mengikuti, pun Megatron di masing-masing sisi.

Ketika mereka sampai di pinggir jalan, sebuah mobil sedan berwarna hitam menghampiri. Skywarp langsung mengambil duduk di depan samping sopir, sementara Starscream dan Thundercracker duduk di belakang di antara Megatron. Semuanya tak mengucap apa-apa hingga mereka sampai ke kediaman tiga bersaudara itu.

***

Rumah si tiga kembar bisa terbilang cukup luas walau tidak begitu megah, tetapi menunjukkan bahwa keluarga mereka adalah keluarga berada yang memiliki ekonomi lebih dari cukup. Starscream menyuruh Megatron menunggu di ruang tamu yang mereka jadikan tempat belajar untuk mengerjakan tugas bersama. Ia memutuskan untuk mengganti baju rumah yang lebih santai sebelum kembali berurusan dengan teman sebangkunya itu.

“Mbok, siapin makanan sama minuman, yaaa,” pintanya pada pembantu rumah tangga yang ada di dapur ketika ia sudah duduk di lantai dan berhadapan dengan meja.

“Jadi lo orang yang berkecukupan,” celetuk Megatron sembari melihat seisi ruangan dan ruangan lain yang tidak tertutupi sekat, seperti ruang keluarga dan salah satu kamar yang tampak dalam pandangan matanya.

“Hm? Ya, bisa dibilang gitu.” Starscream agak tak mengerti dengan ucapan tiba-tiba temannya itu. “Bokap gue punya pangkat tinggi di militer, sih. Nyokap aslinya IRT biasa, cuma lagi keluar aja.” Ia mengucapkan itu dengan kesan sedikit pamer, walau pada akhirnya tahu sepertinya Megatron tidak begitu peduli.

Beberapa saat kemudian, Si Mbok datang dengan dua gelas minuman energon berperisa jeruk dan beberapa camilan. Starscream memperhatikan Megatron yang mengambil gelas minuman dengan dua tangan dan memberikan senyuman tipis tanda terima kasih. Setelah pembantu rumah tangga itu pergi, Starscream mengatakan sesuatu dengan sebelah alisnya yang naik.

“Gue heran sama lo.”

Megatron menyesap minuman dingin itu sedikit. “Kenapa?” Ia kemudian langsung mengambil kesimpulan cepat. “Lo kira gue nggak ngerti tata krama?”

“Tampang lo emang tampang orang nggak ngerti sopan santun, sih, kalo gue boleh jujur.”

Tak ada perubahan ekspresi pada wajah lelaki gahar itu. “Satu hal yang gue tahu. Kalo dikasih sesuatu sama orang, kita harus berterima kasih.”

I see,” tanggap Starscream tak begitu peduli. “Ya, udah. Ayo kerjain tugasnya.”

Mereka berdiskusi akan jawaban pertanyaan dari tugas yang diberikan oleh guru mereka. Tak terjadi keributan atau pertengkaran. Starscream lebih banyak mendengarkan dan menyetujui usul jawaban yang diberikan temannya itu, sembari sesekali memberi tambahan untuk dituliskan pada lembar jawaban. Di tengah-tengah diskusi, Skywarp datang untuk ikut bergabung dalam obrolan tugas mereka berdua, sementara Thundercracker menetap di kamar dengan kesibukannya sendiri.

Mereka berdua selesai mengerjakan tugas dengan Skywarp yang kembali mengungkit kejadian di kantin lagi.

“Jadi kalian udah baikan?” tanya Skywarp karena sedari tadi melihat diskusi mereka berjalan mulus.

“Baikan dari apa?” tanya Megatron meminta kejelasan, sedangkan Starscream menatap adiknya dengan wajah yang kembali masam.

“Lo bikin tangan abang gue sampe memar.” Skywarp menerangkan. Dari suaranya itu terdengar sebuah penekanan. Megatron melirik sekilas ke arah pergelangan tangan Starscream yang sempat ia genggam. Benar, ada muncul memar di sana. Sejauh ini Starscream tampak menyembunyikan hal itu darinya. Saat Megatron memutus pandangan dari arah bawah, ia bertemu dengan mata Starscream yang menatapnya dengan wajah kelewat dingin. Keduanya saling tatap dalam diam agak lama.

Skywarp tampak menuntut Megatron mengeluarkan kata maaf, tetapi Starscream langsung bersuara, “Udahlah, Dek. Nggak usah diungkit.”

“Kayaknya gue emang kelewatan,” sela Megatron tiba-tiba. “Gue minta maaf kalo gitu. Gue nggak punya niatan buat nyakitin lo.”

Kedua kakak beradik itu langsung menoleh ke arah Megatron tak percaya. Hening kembali mengisi sejenak, sampai akhirnya Starscream berujar, “Nggak usah dipikirin.”

Skywarp memandang heran ke arah kakaknya. Masalahnya, itu bukan perangai kakaknya untuk menerima perlakuan orang begitu saja.

Sinar matahari masuk ke ruang tamu, menunjukkan waktu sudah dekat dengan senja.

“Bentar lagi gelap. Kalo gitu gue pulang dulu, ya.”

“Gue antar,” tawar Starscream yang lebih pada kalimat mutlak.

Megatron memandangi Starscream sebentar. “Kalo gitu pake jaket lo. Jangan pamer-pamerin memar lo ke orang.”

Lelaki itu tak menanggapi. Ia bangkit berdiri untuk berjalan menuju kamarnya, diikuti Skywarp di belakang. Sewaktu di kamar saat Starscream hendak mengambil jaket berwarna merah-putih-kuningnya dari dalam lemari, Skywarp bertanya bingung, “Bang? Kok reaksi lo gitu sama dia?”

“Lo nggak lihat dia orangnya kayak apa?” Starscream tak menatap adiknya. “Lo sendiri yang bilang dia buat tangan gue sampe memar.”

“Tapi kan … lo nggak pernah biarin orang berlaku seenaknya ke lo.”

Abang tertuanya itu tak memberi tanggapan apa-apa lagi. Ia langsung keluar kamar untuk menemani Megatron pulang ke rumah dengan angkutan umum karena lelaki itu yang meminta.

***

Tempat tinggal temannya itu rupanya tak jauh dari sekolah, bahkan bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki, dan Starscream terkejut karena ternyata Megatron tinggal di ….

… sebuah indekos.

Starscream berpikir, cukup banyak hal ganjil yang ia dapati dari temannya itu hanya dalam waktu sehari. Temperamennya yang buruk, sikap sok pengaturnya yang agak di luar akal …. Ia ingin mengantarnya pulang sebenarnya karena penasaran seperti apa kehidupan Megatron. Ia berekspektasi bahwa lelaki itu juga berasal dari keluarga berada, bahkan mungkin lebih darinya sehingga ia bisa bersikap seenaknya sendiri pada setiap orang yang ia jumpai. Namun, yang ia jumpai hanyalah kos-kosan biasa di depan mata.

Bangunan itu sebenarnya tak buruk. Minimalis, pada faktanya. Hanya saja Starscream tak percaya kalau ia akan menemukan siswa SMA yang sebaya dengannya sudah memutuskan untuk tinggal sendiri jauh dari keluarga.

“Lo tinggal sendiri?” tanya Starscream saat mereka tiba di depan pintu kamar Megatron.

“Iya.” Bunyi kunci terbuka terdengar. Megatron membuka pintu, memperlihatkan ruangan tidurnya yang tertata rapi dan tidak begitu banyak diisi barang.

Starscream masuk memandangi seisi ruangan bernuansa monoton itu. Dinding berwarna putih dan tidak ada hiasan dinding apa pun, selain lemari tempel kotak-kotak yang diisi beberapa buku dan barang lain, serta gantungan baju yang tidak tergantung apa-apa.

Melihat kamar Megatron yang cukup rapi, Starscream bisa melihat kalau Megatron sebenarnya punya kepribadian mandiri. Seharusnya ia bisa melihatnya ketika ia lebih memilih untuk pulang dengan angkutan umum, dan ia tidak menolak Starscream untuk mengantarnya pulang bisa jadi karena memang ia tidak peduli akan hal itu. Hanya saja, pertikaian di kantin tadi menunjukkan hal yang bertolak belakang.

Pada akhirnya ia berpikir lagi, kalau memang dia yang salah karena sudah mengiyakan titipan makanan yang diminta Megatron.

“Mau minum apa?” tanya Megatron yang sedang jongkok di depan kolong meja yang pinggirnya menempel pada dinding. Starscream menoleh, mendapati sebuah kulkas mini hitam berada di hadapan lelaki itu.

“... Lo kos eksklusif,” simpul Starscream yang merasa hampir kasihan pada temannya itu. Ia belum berniat mengiyakan tawaran yang Megatron ajukan. 

Megatron menoleh. “Semi,” koreksinya pada Starscream. “Gue emang butuh kulkas, tapi gue nggak pesen yang ada AC-nya.”

“Orang tua lo jauh?” tanya Starscream penasaran.

“Ya, gitu.” Megatron tak langsung menjawab, membuat Starscream mengerutkan alisnya sedikit.

“Gue nggak usah minum.” Ia seketika memberi gestur menolak dengan tangannya. “Gue mau langsung pulang aja.”

“Oke.” Megatron masih berjongkok di depan lemari pendingin mungil itu. Starscream masih berdiri di tempatnya, menunggu Megatron melanjutkan ucapan. Akan tetapi, ia tetap sibuk memandangi entah-apa yang ada di dalam kulkas mininya itu. Melihat sikap teman sebangku dengan penutup kepala yang sepenuhnya berwarna abu-abu itu masih membuatnya tidak habis pikir. Starscream pun lantas keluar dari kamar temannya dan menutup pintu pelan dari luar.

Chapter 5: Kakel Penggemar dan Keheranan Starscream

Summary:

Awal Ironhide anggap Optimus super hero dia.
Starscream heran kenapa Megatron bisa disuruh-suruh sama Soundwave.
Mungkinkah Optimus dan Soundwave pakai guna-guna untuk dapat perhatian mereka?

//Author ditabok warga//

Chapter Text

"OH JADI NAMA LO OPTIMUS? GUE IRONHIDE, SALAM KENAL, BRO!"

Optimus terheran saat sosok berpenutup kepala berwarna merah tiba bersama Sentinel dan langsung menjabat tangannya. "I-Iya …. Salam kenal." Optimus agak canggung dengan sikap antusiasnya yang mendadak itu. 

"Mus, ceritain ke gue, kenapa temen sekelas gue yang paling judes ini, malah kelihatan senyum banget di depan lo," tanya Sentinel yang terdengar menuntut. 

"Dia penyelamat hidup gue, Nel! Jangan macem-macem lo, ya," peringat Ironhide sambil menunjuk Sentinel setelah ia puas berjabat tangan dengan Optimus. 

"Woi! Aturan gue yang bilang gitu, yak! Optimus adek sepupu gue!" balas Sentinel tak kalah kencang. Mereka tak peduli menjadi pusat perhatian di kantin itu. 

"Lo jelasin aja, deh, Mus. Daripada mereka berantem, 'kan," saran Ratchet di sebelahnya. 

Optimus mengembuskan napas sekilas. "Gue cuman bantuin dia cari dompetnya aja, dan ternyata jatuh di selokan kering yang lumayan dalem. Jadi gue ambilin, deh."

"YOU ARE MY SAVIOUR , OPTIMUS!" seru Ironhide lagi.

"Lebay lo," celetuk Sentinel. 

"Gue nggak bakal bisa pulang sama makan kalau dompet gue hilang, anjir," balas Ironhide. 

"Kenapa lo nggak ambil sendiri? Selokannya kan kering," heran Sentinel. Sebuah jawaban langsung terlintas di benak ketika ia melihat Ironhide dan Optimus secara bergantian. "Oh, iya. Lo kan pendek, ya, Ron. Pantes aja Optimus yang peka itu bantuin lo."

Ironhide berdiri. "Anjir. Bisa diem nggak lo? Gue lempar ke tong sampah, mau?"

"Ini bayaran gue setelah temuin lo sama Optimus? Oke, cukup tahu aja gue," cibir Sentinel. 

"Sialan lo–"

"Kak Ironhide. Sabar aja. Kak Sentinel emang gitu orangnya," sela Optimus. 

Ironhide memberi hormat sekilas. "Oke, siap, Optimus. Gue akan sabar."

Akhirnya, ia kembali duduk di kursinya dengan patuh. 

"Wah, kayaknya join ke sini asik, nih."

Mereka berempat langsung menoleh ke sumber suara di samping mereka, ke arah dua murid yang salah satunya mengenakan visor berwarna biru muda dan yang lainnya dengan dua ujungan runcing merah menukik ke atas di atas jidatnya, membawa minuman dan makanan dengan dua tangan mereka. 

"Jazz, Prowl. Sini, gabung aja," ajak Optimus seraya bergeser. Jazz duduk di sebelah Optimus sedangkan Prowl di hadapan Jazz, di sebelah Ironhide. 

"Oh, ini Jazz sama Prowl," gumam Sentinel. 

"Iya. Kakak sepupunya Optimus, 'kan? Salam kenal." Jazz kembali menjadi yang bicara pertama, dan ia mengangguk sekilas pada Sentinel. 

"Mereka siapa lo, Mus?" tanya Ironhide dengan mata memicing pada mereka berdua. 

"Mereka temen gue dari SMP. Yang pake visor itu–"

"Gue Jazz," sela Jazz sambil menyunggingkan senyum terbaiknya dan menjulurkan tangan pada Ironhide.

"Ironhide. Gue sekelas sama Sentinel." Ia membalas jabatan tangan Jazz, tetapi tidak dengan senyumnya. 

"Gue Prowl," tambah Prowl tanpa memberikan jabatan tangan juga senyuman, kemudian lanjut menyantap makanan siangnya. 

"Tumben lo join ke sini waktu ada Kak Sentinel. Biasanya lo ogah," sambar Ratchet tiba-tiba.

"Terus terang banget lo, ya," timpal Jazz sambil tertawa sekilas. "Kantin lagi penuh-penuhnya, nih. Kita nggak dapet meja lagi. Cuman ini yang sisa," lanjutnya. 

"Lo ogah ketemu gue, Dek?" Sentinel terlihat tersinggung. 

"Kagak, Bang," balas Jazz cepat. "Gue sekarang mau ketemu lo juga."

"Kenapa?"

"Jadi gini, Bang. Gue mau tanya. Ekskul band bukanya kapan, ya? Sebelum pendaftaran OSIS atau sesudah pendaftaran OSIS?"

"Ya, ndak tau. Kok tanya saya."

"Yah, gue kira OSIS tahu segalanya," keluh Jazz. 

"Anjir, lo kira OSIS itu Primus?" timpal Ironhide. "Tanggal pendaftaran ekskul mah urusan pengurus ekskul. Bukan OSIS, tapi OSIS bakal ngasih deadline buat rancangan program tiap ekskul ke OSIS. Jadi biasanya ekskul itu udah buka pendaftaran sebelum OSIS," tambahnya. 

"Lo ikut OSIS, Kak?" tanya Ratchet penasaran. 

"Udah nggak."

"Oh, berarti kayak Kak Arachnia, ya."

"Woi! Gue nggak sudi, ya, disamain sama nenek lampir itu!" bentak Ironhide sambil menunjuk Ratchet.

Ratchet pun menciut. "Maaf, Kak. Maaf."

"Emang kenapa nggak lanjut OSIS lagi?" tanya Optimus. 

"Gue ada kerjaan di luar sekolah. Gue juga udah izin dari sekolah buat bisa kerja sambilan dan nggak ikut ekskul biar bisa fokus kerja di luar." Suara Ironhide kembali tenang saat bicara dengan Optimus. 

"Jadi … gue tanya ke anggota ekskul band , ya. Kakak-kakak sekalian ada yang tahu siapa yang bisa gue hubungi?" tanya Jazz. 

"Emangnya perwakilan ekskul band nggak ada yang samperin kelas lo?" balas Sentinel.

"Nggak ada."

"Belum," jawab Prowl. "Baru ekskul debat, tari, sama paskibra aja yang berkunjung tiga hari belakangan ini ke kelas kita."

"Ya, udah, kalau gitu sabar aja. Nanti mereka juga datang." Sentinel meneguk minuman dinginnya dulu sebelum melanjutkan. "Mumpung kalian berempat ada di sini, gue mau kasih tahu, nih. Bentar lagi bakal ada acara lagi buat kalian. Acara Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa, atau LDKS. Yang mau ikut OSIS sama MPK, wajib datang."

"Kalau yang nggak minat OSIS boleh ikutan, nggak?" tanya Jazz.

"Justru ini wajib buat semua kelas sepuluh. Nanti bakal ada info lebih lanjut. Kalian harus ikut, nggak boleh nggak. Nanti urusannya sama guru wakil kesiswaan yang killer ." Kemudian Sentinel mengeluarkan tanya yang sedari tadi ia tahan, “Omong-omong, Jazz, itu visor lo nggak nutupin pandangan mata lo? Apa nggak bisa dinaikin?”

Jazz memegangi dua sisi kepalanya. “Enggak, Kak. Emang udah gini dari sananya. Emang nggak kelihatan kalo dilihat dari depan, tapi di balik visor gue ada dua bola mata, kok.”

"Iya, gue sempat heran sama desain kepala wajah kita yang macem-macem. Sempet denger anak angkatan kalian sampe ada yang nggak punya muka sama tangan.” Sentinel menerangkan. “Kalo emang dari sananya nggak apa-apa, sih, soalnya guru-guru juga waspada takutnya siswa malah gaya-gayaan–Mus, lo nggak pilek, 'kan? Buka masker lo.”

“Kenapa, sih, lo. Gue udah siap makan juga.”

“Buka aja. Mending gue yang negur daripada guru yang negur.”

“Kenapa gue mesti ditegur kalo desain penutup kepala gue emang kayak gini? Ada fitur buka tutup masker segala.” Bunyi masker besi terbuka-tertutup turut terdengar di telinga mereka sembari melihat penutup mulut itu menutup dan membuka.

“Kalo itu cuma Primus yang tahu, sih, ya.” Ironhide menimpali perdebatan mereka. Semua menoleh ke arah Jazz ketika laki-laki itu bersuara lagi.

“Banyak gue lihat yang maskeran kayak Optimus … mereka bukan 'yang dari sananya' kayak visor gue ini, 'kan? Soalnya kalo iya, gue jadi penasaran mereka kalo makan gimana.”

“Lah, gue barusan bilang di angkatan kalian ada yang nggak punya muka sama tangan.”

Senyap kemudian menghampiri, dan menyelimuti mereka yang termenung bingung hingga akhirnya tak ingin berpikir lebih lagi. 

***

Setiap guru wali kelas mengingatkan siswa-siswanya untuk mengikuti ekskul yang ada di sekolah. Selama dua minggu ini, banyak kakak kelas yang bolak-balik ke tiap kelas untuk mengajak adik-adik mereka mengikuti ekskul mereka. Optimus sudah memantapkan diri mengikuti OSIS. Ratchet cukup penasaran dengan MPK. Jazz langsung bergabung dengan band tanpa pikir panjang, sedangkan Prowl ikut ekskul Karya Ilmiah Remaja.

Di sisi lain, Megatron menunggu OSIS untuk datang ke kelasnya dan mengajak mereka mendaftar OSIS. Akan tetapi, sampai saat ini ia tidak melihat mereka datang. Ketika bel pulang berbunyi, Starscream bertanya pada Megatron. 

"Lo nggak jadi ikut forum debat?"

Megatron memandang kertas formulir di tangannya. "Lo sendiri?"

"Ya, ikut, lah. Adek-adek gue juga pada mau ikut forum ini." Starscream berdiri dengan tas ranselnya. "Lo beneran nggak mau ikut, nih?" tanya Starscream sekali lagi saat melihat formulir itu masih kosong. 

"Jangan sok peduli. Lo duluan aja."

"Siapa yang peduli sama lo, sialan," dengus Starscream. "Ya, udah, kalo gitu. Semoga lo dimarahin wali kelas."

Akhirnya ia keluar dari kelas itu untuk menghampiri dua kelas adiknya dan mengajak mereka berdua mengembalikan formulir itu bersama. Megatron masih terdiam di tempat duduknya seraya memandangi kertas formulir itu. Tak butuh lama bagi Megatron untuk mendengar suara Soundwave yang baru tiba di mejanya sambil menggendong tas ransel. 

"Masih kosong? Katanya lo mau ikut forum debat."

"Lo ambil dua formulir dan kasih satu formulir ini ke gue. Jadi lo pikir gue mau ikut?" balas Megatron. 

"Terus lo maunya ikut apa?" 

"Ya, OSIS, lah."

"Lo masuk OSIS karena disuruh Si Laba-laba itu, kan?"

Tebakan Soundwave tidak bisa dibantah Megatron. "Gue masuk OSIS karena keinginan gue, bukan suruhan orang lain–"

Perkataan Megatron tersela oleh suara rekaman Arachnia. " Kalau kamu masuk OSIS, kamu bisa jadi apa saja, dan kalau kamu berhasil jadi ketua OSIS, kamu bisa melakukan segalanya. "

"Lo mau masuk OSIS karena ini, 'kan?"

Bukti yang ditunjukkan terlalu jelas.

"Iya."

"Kenapa lo masih tetep ikutin dia? Kan udah diiingetin–"

"Terus kenapa, Soundwave? Sejauh ini dia nggak berbuat jahat. Dia cukup baik karena kasih tahu kita tentang OSIS."

"Iya, tapi kan kita nggak tahu ke depannya gimana. Kalau ternyata lo malah dijadikan umpan gimana? Dari perawakannya aja gue tahu kalo dia licik."

"Kalo dia mulai kelihatan ngejebak gue, gue bisa jaga diri."

Soundwave mulai kehabisan kata-kata. Ia tetap tidak ingin Megatron terbuai dengan gambaran yang diberikan Blackarachnia. Karena biasanya ekspektasi tidak sesuai kenyataan, bukan?

"Oke, gini aja, deh. Lo tetep ikut forum debat, tapi juga ikut OSIS. Kalau ternyata di OSIS kenapa-kenapa, lo langsung berhenti dan fokus ke forum debat."

"Tapi kalau ternyata OSIS emang pilihan yang tepat, lo ikut OSIS juga, ya. Deal ?" Megatron menjulurkan tangan. 

"Gue bakal keluar OSIS kalau lo keluar OSIS. Deal ?" Soundwave juga menjulurkan tangan, tetapi tidak menjabat tangannya. 

Megatron pun langsung menyambar tangan itu. "Deal."

Setelah mencapai kesepakatan, Megatron pun mengisi formulir itu. Lalu, mereka berdua jalan bersama menuju ruang forum debat di lantai satu. Pintu sudah terbuka ketika Megatron baru tiba di depan pintu. 

Starscream sempat tertegun dengan kehadiran Megatron. "Loh, gue kira lo nggak jadi ikutan," komentar Starscream saat ia dan dua saudaranya berdiri di luar ruangan. 

"Gue berubah pikiran. Minggir." Megatron mendorong Starscream ke samping, dan untungnya Skywarp berhasil menangkapnya. 

"Maksud lo apa! Dorong-dorong …." Skywarp menggantungkan bentakannya saat tatapan tajam dan dingin Megatron mengarah padanya. Skywarp hanya bisa mendengus sebal sambil membuang wajah saat tahu nyalinya menguap seketika. Namun, ia melihat sekilas sosok di belakang Megatron sebelum pintu ruangan itu tertutup. 

"Lo bakal gue cap bodoh banget sih, Bang, kalau masih sebangku sama Megatron," ucap Thundercracker ketika mereka berjalan di koridor sekolah. 

"Kan gue bilang nggak ada tempat duduk lagi!" sembur Starscream. "Tapi gue bakal cap Soundwave idiot karena masih mau temenan sama diktator itu."

"Siapa Soundwave?" tanya Thundercracker.

"Orang di belakang Megatron itu, ya?" tebak Skywarp. 

"Iya. Dia."

"Lo tukeran tempat duduk aja sama dia," saran Thundercracker. 

"Duduknya belakang banget. Gue nggak mau! Terus gue juga pernah minta Megatron pindah ke belakang. Tapi, yaaa, kalian tahu sendiri, lah, jawabannya gimana."

"Emang gimana?" tanya Skywarp penasaran. 

"'Lo berani suruh-suruh gue? Lo mau tangan lo yang lain dibuat memar?'" Starscream mengimitasi bagaimana Megatron menyampaikan ancaman itu. 

"Gila, sih. Gue heran kenapa orang kayak gitu ada di sekolah ini." Skywarp bergidik ngeri. 

"Kalau Megatron nggak bisa disuruh gitu, gue lebih heran kenapa Soundwave bisa suruh Megatron ikut forum debat."

Starscream dan Skywarp langsung terdiam dan menoleh cepat ke arah adik mereka. "Maksud lo apa, Dek?" tanya mereka hampir bersamaan. 

"Oh, ternyata cuman gue yang berpikir begitu."

"Lo jangan sok pinter, Dek. Anak IPA bukan patokan anaknya pinter apa nggak," tegur Starscream sambil menggetuk kepalanya.

"Langsung aja jelasin maksudnya apaan." Skywarp ikut-ikutan menggetuk kepala adiknya. 

"Iya, iya. Jadi waktu itu lo bilang Megatron nggak ikut forum debat, 'kan, Bang?" tanyanya pada Starscream. 

"Iya. Terus?"

"Terus tiba-tiba dia muncul dan bilang kalau dia berubah pikiran. Di belakangnya ada Soundwave. Orang jarang berubah pikiran semudah itu kalau nggak ada pengaruh dari luar, bukan?" jawab Thundercracker. "Kalau Soundwave mau gabung sendiri, dia udah kembaliin formulir itu, 'kan? Tapi nyatanya dia ngumpulin formulir paling akhir bareng Megatron. Jadi–"

"Soundwave emang ngajak Megatron gabung, dan akhirnya berhasil," lanjut Starscream dengan mata memicing. 

"Mungkin Soundwave itu teman Megatron dari kecil. Makanya dia patuh aja dan dekat satu sama lain," sambar Skywarp. 

"Atau mungkin … ini tanda kalau lo bakal nemuin solusi agar nggak sebangku sama Megatron lagi," tambah Thundercracker.

Namun, dua tanggapan adiknya itu tidak Starscream gubris. Ketika mereka menunggu sopir mereka tiba, Skywarp dan Thundercracker dapat melihat tatapan tidak suka yang terpancar di mata kakak tertua mereka. Starscream sendiri juga tidak berminat untuk membagikan isi pikirannya kepada dua adiknya. Kalau ia bagikan, pasti mereka berdua menatapnya heran dan tidak menyangka. Jadi, ia pendam saja pikiran itu dalam benaknya. 

Soundwave sialan. Gimana caranya dia bisa deket sama Megatron? Kayaknya gue perlu bicara dikit sama dia.

Chapter 6: Upaya Mengambil Hati

Summary:

Akhirnya Starscream minta tips ke Soundwave gimana cara dia bisa deket sama Megatron. Mengapa Starscream bertindak demikian padahal Megatron suka kasar ke dia?

Sebentar lagi event LDKS. Apa rencana Sentinel di event tersebut?

Chapter Text

Tidak semua langkah yang akan Starscream ambil harus dibicarakan dengan dua adiknya. Jadi, sekarang ini, ketika bel istirahat pertama telah berbunyi, ia beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju meja di sudut belakang kelas sambil melipat kertas ulangan harian yang baru diberikan guru. 

"Hey, Sound–"

"Yes! Nilai gue lebih tinggi dari lo! Masa soal segampang ini, lo dapat tujuh puluh, sih. Hahaha!"

Soundwave langsung merebut kertas ulangan miliknya dari tangan Blaster. Ia tidak membalas ucapannya, namun Starscream dapat melihat dua tangannya mengepal erat. 

"Memang nilai ulangan geografi lo berapa?" Akhirnya Starscream bertanya. 

Blaster tersenyum bangga sambil menunjukkan kertas ulangannya. "Nilai paling tinggi di kelas ini!" serunya. 

"Oh, cuman sembilan lima," respons Starscream datar. 

Blaster tidak suka dengan respons itu. "Lo sendiri memangnya berapa? Pasti lebih rendah dari ini, 'kan."

"Hmm … gimana, ya." Starscream membuka kertas ulangannya lalu ditunjukkan pada Blaster. "Gue nggak jago matematika, sih. Tapi gue tahu kalau seratus lebih tinggi dari sembilan lima. Jadi, yaaa …."

Blaster mendecak sebal. "Sialan."

Setelah robot jingga itu tidak dapat membalasnya lagi, Starscream kembali beralih ke tujuannya. "Soundwave, ke kantin, yuk."

"Oh, ya, Wave. Nilai gue kan lebih tinggi. Jadi lo harus jajanin gue–"

"Tapi nilai gue jauh lebih tinggi dari lo," timpal Starscream. 

"Lah, kenapa lo ikut-ikutan, dah. Gue ngomong sama Soundwave. Dia jajanin gue–"

"Memang lo berdua udah buat kesepakatan?"

"Nggak. Nggak ada kesepakatan sama sekali," jawab Soundwave. 

"Kalau gitu gue juga bisa ikutan. Nilai gue lebih tinggi dari lu berdua. Gue bisa aja minta dijajanin kalian. Tapi karena gue BAIK, gue nggak ngelakuin itu," balas Starscream sambil menunjuk dirinya sendiri. 

"Cih. Lo pada nggak asik." Blaster berdiri dan langsung keluar kelas sambil membanting langkahnya. 

Starscream tersenyum tipis pada kepergiannya. Dalam hati ia berkata, Yes, Soundwave punya hutang budi sama gue.

"Lo mau ke kantin bareng gue?" tanya Soundwave.

"Iya." Kemudian, Soundwave teringat sesuatu. "Nggak bareng dua adik lo?"

"Gue kan ngajakin lo. Mau nggak?"

"Hmm … ya, udah." Soundwave pun berdiri dan berjalan berdampingan dengan Starscream. 

Ketika mereka melewati meja Megatron, Starscream tersenyum sinis pada Megatron dan menunjukkan ekspresi menyebalkannya. Seakan berkata, Mampus lo, nggak punya temen barengan ke kantin.

"Megatron, mau ke kantin nggak?"

Starscream terbelalak saat Soundwave malah mengajaknya. Lo ngapain ajak dia, bangke! batinnya berteriak. 

Seakan Megatron dapat membaca pikiran Starscream, ia tersenyum miring. "Gue titip aja. Starscream, gue titip nasi, ayam, minuman dingin."

"Lah, kenapa lo jadi titip ke gue?!" protes Starscream. 

"Karena Soundwave sudah bertanya, jadi lo yang jadi tempat titipan makanan gue."

"Aturan dari mana itu? Nggak bisa gitu, lah!" bantahnya. "Soundwave, kita pergi dari sini." Ia pun menarik Soundwave keluar dari kelas. 

"Titip, ya! Awas lo kalau ke sini nggak bawa titipan gue!"

Sahutan yang terdengar hingga keluar kelas itu cukup membuat Starscream bergidik ngeri. Akhirnya ia menjawab sahutan Megatron. "Iya, iya! Bawel lo!" Setelah itu, ia benar-benar menarik Soundwave menjauhi kelas. 

Ketika mereka menuruni tangga, Starscream melepas genggaman tangannya dan langsung bertanya. "Lo kenapa bisa deket banget sama Megatron? Teman lama?"

"Nggak. Gue kenal dia waktu MOS. Dia temen sebangku gue."

"Oh, ya? Tapi lo berdua kelihatan kayak udah deket banget. Kok bisa?" heran Starscream. 

Soundwave sedikit memiringkan kepala. "Kok bisa? Maksudnya?"

Belum sempat Starscream menjawab, ia bertemu dengan Skywarp dan Thundercracker yang muncul dari koridor sekolah dan hendak menuruni tangga bersama mereka. 

"Wih, Bang Star. Tumben," ucap Skywarp sambil melirik sekilas ke Soundwave. "Mau ke kantin, Bang?"

"Iya. Lo berdua juga?"

"Iya, lah. Gue udah laper, nih," jawab Skywarp. 

Mereka berempat pun berjalan menuju kantin. Skywarp mengobrol sekilas dengan Starscream, sedangkan di belakang mereka, ada Thundercracker dan Soundwave yang saling diam. Hingga mereka tiba di salah satu meja kantin yang kosong dengan makanan masing-masing, Thundercracker baru membuka suara. 

"Jadi alasan lo ajak Soundwave makan bareng kita karena …." Thundercracker sengaja menggantungkan kalimatnya. 

Karena gue mau menyelamatkan Soundwave dari tirani Megatron. Kurang BAIK apa gue? Starscream berusaha memilih kata-kata yang baik. Ia tidak mau teman sekelasnya yang pendiam itu tiba-tiba pergi saat ia mengatakan itu. Pun sebenarnya ia ada maksud lebih serius daripada apa yang ia batinkan itu. Jadi, ia pun menjawab, "Gue cuman mau ngobrol sama Soundwave. Sebagai teman sekelas, nggak ada salahnya, 'kan, buat sekali-kali ngajak dia ke sini."

"Oh, gue kira mau minta tips dari Soundwave gimana cara deketin Megatron," balas Thundercracker. 

SIALAN! DIA BISA BACA PIKIRAN TERDALAM GUE?! kaget Starscream dalam hati. Namun, dari ekspresinya saja, sudah menunjukkan kalau tebakan Thundercracker itu benar. 

"Minta tips?" Soundwave juga bisa membaca ekspresi kagetnya Starscream, sehingga ia percaya dengan ucapan Thundercracker. 

"I-Iya … sebenernya gue penasaran aja, sih. Lo kok bisa suruh Megatron ikut forum debat? Padahal dari kemarin pas gue tanyain dia ikut apa nggak, dia bilang nggak terus."

"Hmm .…" Soundwave berpikir sejenak. Ujung sedotan minumannya menyelinap ke bawah maskernya, sehingga mereka bertiga tidak dapat melihat wajahnya. "Mungkin gue kasih alasan kenapa dia harus ikut forum debat. Terus gue juga paksa dia."

"Gue juga kayak gitu, tapi dia malah ketus balik ke gue."

"Emang lo kasih alasan apa, Bang?" tanya Skywarp. 

"Gue kasih alasan 'Nanti dimarahin guru killer kalau nggak ikut ekskul'."

"Alasan kayak gitu nggak bakal mempan. Lo nggak tahu aja kelakuan dia waktu MOS. Dia berani nentang Kak Sentinel yang keliling nyari korban buat dibentak. Kalau dia kena marah guru killer , gue udah ngira kalo dia udah siapin alasan kenapa nggak ikut ekskul," balas Soundwave menjelaskan.

"Nah," Skywarp menyambung, "Lo bilang, Megatron tinggal di kos-kosan. Gue yakin dia pake alasan dia nggak bisa ikut ekskul karena harus kerja sambilan di luar sekolah buat bisa hidup."

"Oh, iya juga, sih." Starscream baru menyadari itu. 

"Megatron tinggal di kos-kosan?" bingung Soundwave. 

"Iya. Lo nggak tahu? Lo nggak pernah ke tempat tinggalnya?" Starscream semakin heran. 

"Nggak."

"Lo bukan teman dari kecilnya Megatron?" Akhirnya Thundercracker bertanya. 

"Bukan. Gue udah tanya tadi. Katanya dia baru kenal Megatron pas MOS," jawab Starscream. "Nah, lo berdua heran, 'kan. Gue juga heran banget kenapa dia bisa suruh-suruh Megatron yang nggak bisa disuruh-suruh itu," lanjutnya saat melihat keterkejutan dua adiknya. 

"Lo pake pelet dukun mana, Wave? Gue mau juga dong, buat gaet cewek-cewek cantik di sini," tanya Skywarp antusias. 

"Wah, pelet dukun, ya. Gue juga mau, dong," tambah Starscream. 

"Lo mau buat deketin Megatron juga?" sambar Thundercracker. 

"Diem lo, Dek!" Starscream melotot pada si bungsu. 

"Hmm … nggak. Gue nggak pakai pelet apa-apa. Kalau mau nyuruh Megatron, ya, lo harus kasih alasan yang jelas ke dia dan, ya … lo harus tunjukin kalau lo lebih superior dari dia."

"Tuh! Catet, Bang! Catet! Itu tipsnya!" seru Skywarp. 

"Pulpen mana pulpen! Kertas! Gue nggak bawa kertas!"

Dari reaksi yang ditunjukkan Starscream, semakin jelas bahwa ia memang ingin mendekati teman sebangkunya itu. Biar begitu, dua adiknya tidak banyak komentar dan membiarkan kakaknya mencatat apa yang diberikan Soundwave. Bukankah lebih nyaman jika bisa berteman dengan teman sebangku? Begitu yang mereka berdua pikirkan. 

Beberapa menit sebelum bel masuk berbunyi, mereka berempat sudah dalam perjalanan menuju kelas masing-masing. Tidak lupa Starscream membawa titipan yang dipesan Megatron. Ini juga salah satu tips dari Soundwave untuk mematuhi saja apa yang Megatron inginkan dan jangan sampai membuatnya marah dulu. 

"Lo telat banget," kata Megatron setelah menerima pesanannya. 

"Sama-sama, Tuan Megatron," balas Starscream dengan nada menyindir. 

Megatron memandangnya heran, sampai ia baru teringat kalau teman sebangkunya itu baru kembali dari kantin bersama Soundwave. "Lo ngomong apa aja sama Soundwave?"

Mau tahu aja apa mau tahu banget? Starscream hampir mengatakan itu. "Gue cuman penasaran sama dia. Dia kan paling pendiam di kelas kita. Jadi gue ajak aja deh ke kantin sama adek-adek gue." Ia memilih menjawab itu sesuai dengan saran dari Soundwave, yaitu jangan buat Megatron penasaran kalau sudah bertanya dengan suara yang terdengar menuntut. 

Megatron hanya mengangguk lambat. Lalu mulai menyantap makanan dan minuman sebisanya di waktu yang singkat itu. Starscream bersorak senang dalam hati. Ia merasa dirinya akan bisa lebih dekat dengan Megatron. Namun, tentu saja, ia perlu kesabaran lebih. Seperti kata Soundwave, sabar adalah kunci. 

 

***

 

Acara LDKS telah diumumkan dan pendaftarannya telah dibuka. Seperti yang pernah Optimus dengar dari Sentinel, seluruh kelas 10 wajib ikut acara penting itu. Mereka yang berminat OSIS dan MPK atau tidak berminat sama sekali, harus ikut. Setiap wali kelas juga mengingatkan siswanya untuk mengikuti acara tersebut. Jika tidak, akan berurusan dengan wakil kesiswaan yang terkenal kejam dan bengis bernama Megatronus. 

Beberapa siswa yang tidak memiliki alasan pasti untuk berpartisipasi dalam acara itu, sudah kena sembur dari Megatronus. Sebelum akhirnya mereka ikut juga walau dalam keadaan terpaksa. Bahkan, siswa yang sakit juga disuruh ikutan. Siswa yang diizinkan untuk tidak mengikuti acara tersebut jika ada siswa yang dirawat di rumah sakit atau ada keluarganya yang meninggal. Hanya itu. Tidak boleh yang lain. Karena itu, semua siswa kelas 10 akhirnya mengikuti acara tersebut. 

Di hari terakhir pengumpulan formulir pendaftaran LDKS, panitia divisi acara dan ketua penyelenggara berkumpul di ruang OSIS untuk membagikan kelompok. Ketua penyelenggaranya adalah Sentinel, sedangkan ketua divisi acara adalah Jetfire. Ada sebelas anggota divisi acara dan semuanya hadir di rapat itu. Ada beberapa ketua divisi lain yang harus menghadiri rapat tersebut juga. 

"Semuanya udah ngumpulin formulir, 'kan?" tanya Sentinel. 

"Udah," jawab Jetfire sambil merapikan tumpukan formulir yang sudah disusun sesuai kelas masing-masing.

"Kita udah acak nama-nama kelompoknya, dan ini yang kita dapat." Windblade menunjukkan hasil kocokan nama di slide powerpoint . "Ada tiga kelas IPS dan tiga kelas IPA. Semua kelompok udah ada IPA dan IPS, jadi ada dua puluh enam kelompok dengan tiap kelompok terdiri dari enam siswa. Tiga dari IPA, tiga dari IPS."

"Wah, banyak banget kelompoknya," komentar Sentinel. 

"Iya, karena tiap kelas ada dua puluh enam siswa pas dan ada enam kelas. Jadi ada 156 siswa," jawab Jetfire. 

Sentinel menoleh ke Astrotrain. "Nampan kita buat makan cemilan mereka nanti, cukup, nggak?"

"Cukup. Kita punya tiga puluh nampan."

"Oh, bagus, deh. Terus Blurr, divisi pendamping kan cuman sepuluh, ya. Nanti kakak pendamping mereka siapa aja?"

Blurr menghentikan aktivitas menulisnya. "Karena kita kekurangan anggota, jadi gue udah nyiapin beberapa nama dari divisi lain untuk jadi kakak pendamping," jelas Blurr cepat. 

"Ketua divisi nggak jadi kakak pendamping, 'kan?" tanya Jetfire. 

"Nggak. Anggotanya aja. Kebanyakan anggotanya gue ambil dari divisi konsumsi."

"Yah, jangan konsumsi, dong. Kita juga kurang orang, nih," balas Mixmaster. 

"Kalo gitu kelompoknya jangan banyak-banyak," balas Blurr. 

"Nggak bisa. Satu kelompok enam orang ini udah pas," tolak Windblade. 

"Terus pendampingannya gimana? Kita pindah-pindah kelompok, gitu?"

Jetfire mengangguk. "Iya. Lo kan cepet, Blurr. Bisalah, ya, pindah-pindah ke lima kelompok sekaligus," jawabnya sambil tertawa sekilas. Sosok berpenutup kepala berwarna biru tua dan muda itu memang terkenal menjadi atlet lari andalan sekolah sejak kelas sepuluh. Tak hanya kakinya, ia memang terkenal gesit dan bergerak cepat dalam bertindak.

"Enak aja. Mentang-mentang gue kerja cepat, bukan berarti gue bisa pegang lima kelompok, yak," protes Blurr. 

"Terus gimana, nih, Pak Ketua?" Windblade pun bertanya pada Sentinel.

"Bentar, bentar. Ini Megatron sama Optimus jadi satu kelompok?"

"Iya, hasil acakannya gitu," jawab Windblade. 

"Jangan digabung. Mereka terlalu powerful kalau disatukan. Nih, Optimus gabung sama kelompok ini aja," saran Sentinel sembari menunjuk.

"Oh, iya. Nanti kita diskakmat kayak lo waktu MOS itu, ya, kalau mereka bersama," kata Jetfire. Sentinel hanya mendengus. 

"Ada yang mau dituker lagi, nggak?" tanya Windblade setelah ia memindahkan nama Optimus. 

Blurr menunjuk ke satu kelompok. "Itu Soundwave sama Shockwave saudaraan? Boleh digabung gitu?"

"Bukan. Mereka beda jurusan. Namanya aja yang emang sama," jawab Astrotrain. 

"Yang namanya mirip, mending digabung aja, sih, ya, biar nggak ketuker-tuker," tambah Jetfire. 

"Oke. Udah fix belum, nih?" Windblade bertanya memastikan.

"Udah cocok." Sentinel menunjukkan ibu jarinya. 

"Ya, udah. Sekarang bahas pendampingnya, nih. Siapa aja yang mau jadi pendamping?" tanya Blurr cepat. 

"Gue aja yang pilihin pendampingnya. Nanti kalian semua terima jadi. Nggak boleh ada yang menolak keputusan gue kalau nggak punya solusi dan alasan yang bagus." Sentinel mengucap final.

Chapter 7: Soundwave dan Shockwave

Summary:

Punya nama hampir mirip bukan berarti mereka bakal akur. Justru sebaliknya. Gegara Starscream, Soundwave jadi gak suka sama Shockwave walo belum pernah ketemu. Apa yang sudah diperbuat Starscream? Mungkinkah Soundwave dan Shockwave bakal akur layaknya saudara yang memiliki nama belakang yang sama?

Chapter Text

"Kamu sama Shockwave saudaraan, ya?"

"Enggak, Bu. Saya nggak kenal Shockwave siapa."

"Oh, begitu. Baiklah."

Ini bukan kali pertama Soundwave dikira bersaudara dengan Shockwave. Selain itu, ada juga guru yang pernah salah menyebut namanya. 

"Shockwave? Yang namanya Shockwave mana?"

"Adanya Soundwave, Pak," kata Starscream. 

Ia membetulkan kacamata bacanya dan mendekatkan daftar absen itu ke matanya sambil menyipit. "Oh, iya. Soundwave hadir?"

"Hadir." Barulah Soundwave mengangkat tangannya. 

Ia juga bukan guru pertama yang salah memanggil namanya. Biasanya guru tersebut sudah tua dan memiliki penglihatan yang kurang baik. Selain itu, guru yang mengajar di kelas IPA dan IPS juga mengira Soundwave dan Shockwave bersaudara. Biasanya guru tersebut masih cukup muda untuk memenuhi rasa penasaran mereka saat melihat dua nama yang hampir mirip itu. 

Meskipun begitu, Soundwave tidak terlalu mempedulikannya. Ia juga tidak penasaran wujudnya seperti apa. Namun, lain halnya dengan Starscream. Ia cukup gemas dengan guru yang salah menyebut nama itu, bahkan guru yang penasaran mengapa mereka memiliki nama yang mirip hingga dikira saudara atau kerabat. 

"Soundwave lagi, Soundwave lagi. Emang nggak pada penasaran sama gue apa?" gerutu Starscream ketika sesi pembelajaran terakhir telah berakhir. 

"Sadar diri. Lo bukan orang penting," celetuk Megatron seraya memasukkan bukunya ke dalam tas. 

"Soundwave juga bukan orang penting! Tapi kenapa dia yang ditanya terus?" Suara Starscream meninggi, tapi tidak sampai didengar Soundwave yang masih beres-beres di meja paling belakang karena suasana kelas yang sedang berisik saat pulang. Akan tetapi, tentu saja Megatron bisa mendengarnya dengan jelas. Tatapan Megatron yang sinis langsung membuat nyali Starscream menciut.

"M-Maaf …," cicitnya sambil menunduk cepat. 

Megatron hanya mendengus, lalu ia kembali memasukkan tempat pensil dan buku tulis lainnya. "Soundwave sama Shockwave punya nama yang mirip, tapi nggak sodaraan. Emangnya apa yang buat lo spesial sampai buat guru yang ngajar IPA dan IPS penasaran?" tanya Megatron. 

Starscream cukup tertegun mendengar Megatron bertanya dengan suara cukup tenang. Padahal ia mengira Megatron masih ketus padanya. Daripada Megatron marah lagi karena dibuat menunggu, akhirnya Starscream segera menjawab, "Gue sama dua adik gue. Kita kembar tiga, tapi nggak ada guru yang penasaran kenapa wajah kita mirip."

Megatron memandangnya datar. "Kalau wajah lo bertiga nggak mirip, namanya bukan kembar, bodoh."

"Ih, maksud gue, nggak ada guru yang tanya kenapa gue bisa punya dua adek kembar."

"Kalau ada guru yang tanya itu, emang lo bisa jawab kenapa lo punya dua adek kembar?"

Starscream terdiam sejenak. Keningnya sedikit berkerut saat memikirkan jawaban itu, hingga ia menyadari sesuatu. "Oh, iya … gue juga nggak tahu, sih, itu jawabannya apa."

Megatron mendecak sambil memutar mata. "Ngomong sama orang bego cuman buang-buang waktu gue," balasnya sambil menggendong tas ranselnya.

"Maksud lo, gue bego?" Starscream tampak tak terima. 

"Iya. Kenapa? Lo nggak setuju sama ucapan gue?" Megatron kembali mendelik, yang membuat Starscream mendecak sebal dan membuang wajah karena tidak bisa membantah.

"Kalian nggak pulang?"

Pertanyaan Soundwave membuat perhatian mereka berdua teralihkan padanya. Sebelum Megatron menjawab, Starscream lebih dulu bertanya padanya. "Lo nggak penasaran sama kembaran lo?" 

"Kembaran gue?"

"Iya, Shockwave. Lo udah pernah lihat dia?"

"Nggak pernah dan nggak peduli," jawab Soundwave singkat. 

"Emangnya lo nggak penasaran? Siapa tahu dia mirip sama lo dan ternyata emang kembaran lo yang terpisah sejak lahir," lanjut Starscream. 

Terdengar embusan napas panjang dari balik maskernya. Tampaknya Soundwave sudah lelah dengan pertanyaan itu. Walau begitu, ia tetap akan menjawabnya. Ia mengangkat jari telunjuknya. "Pertama, gue nggak punya saudara kembar. Gue cuman punya satu adek. Namanya Soundblaster." Lalu, ia mengangkat jari tengah di sebelah jari telunjuk. "Kedua, karena gue nggak punya saudara lagi selain dia, otomatis Shockwave itu pasti beda jauh sama gue. Ketiga, jangan tanyain gue pertanyaan itu lagi," jawabnya sambil mengangkat jari manis. 

"Oh, jadi lo punya adek namanya Soundblaster. Beda berapa tahun?" tanya Megatron. 

"Beda setahun. Katanya dia mau masuk ke sini, tapi nggak tahu, deh." Soundwave mengedikkan bahu sekilas. 

Starscream berpikir sebentar. "Soundwave, adeknya Soundblaster. Nama depannya sama-sama Sound. Terus Shockwave sama Soundwave. Nama belakangnya sama-sama Wave," gumam Starscream sambil mengusap dagu. 

"Terus kenapa?" heran Soundwave. 

Starscream menatapnya dengan mata terbelalak. "Shockwave pasangan lo?!"

Kelas yang kebetulan sedang sepi, membuat sahutan Starscream terdengar hingga ke sudut kelas. Mereka bertiga pun menjadi pusat perhatian dari beberapa siswa yang masih ada di kelas. 

Parahnya, Blaster juga masih berada di kelas. Ia bersiul sekilas sebelum berkata, "Oh, jadi mereka pasangan. Pantesan nama belakangnya sama."

Bugh!

Tas selempang Soundwave mendarat cepat ke wajah Starscream. Tanpa mengatakan apa pun–apalagi minta maaf pada Starscream–Soundwave menarik tas selempang miliknya dari wajah Starscream dan membanting langkah keluar kelas. 

Megatron beranjak dari kursi dan berbalik badan ke arah teman-teman kelasnya yang sudah berpikiran yang tidak-tidak. Ia menunjuk Starscream dan berkata dengan suara lantang, "Barang siapa yang memercayai orang bego ini, maka mereka bakal gue cap bego juga!"

Setelah mengatakan itu dan melirik sinis Blaster sekilas, Megatron keluar kelas dan meninggalkan Starscream yang sempat terpaku mendengar suara lantang itu. Beberapa saat setelah saraf-saraf kabelnya terhubung kembali, Starscream pun segera berdiri dan menyusulnya. Namun, ternyata Megatron sudah hilang di belokan koridor. 

"GUE NGGAK BEGO! DASAR KEPALA BASKOM!!!"

***

Awalnya, Soundwave tidak terganggu ketika ada yang salah memanggilnya dengan Shockwave hingga teman sebangkunya itu mulai sering meledeknya dengan sebutan 'Mr. Wave.' Semua bermula saat Blaster baru mengetahui sosok Shockwave seperti apa. 

"Lo dicariin, tuh?" tanya Blaster saat itu. 

"Sama siapa?"

"Sama Mr. Wave." Blaster menyeringai. 

"Mr. Wave?"

"Siapa lagi kalau bukan pasangan lo di kelas IPA?" 

Soundwave tidak membalas ledekan Blaster, tetapi tangannya bergerak mengambil botol minuman di dekatnya juga beberapa pulpen dari tempat pensilnya dan langsung ia lempar ke Blaster. Murid berkepala jingga itu hanya tertawa sambil kabur keluar kelas darinya.

Blaster sialan! Kenapa gue punya teman sebangku kayak dia, sih?! gerutu Soundwave dalam hati. Njir. Nama adek gue Soundblaster lagi. Kadang gue juga panggil dia Blaster. Kenapa orang yang namanya Blaster sama-sama nyebelin?

Walaupun tertutup kacamata, tetapi mata sinis Soundwave saat ini mengarah pada Starscream yang tampaknya sedang berusaha bicara dengan Megatron. Ia terlihat seakan sedang tidak melakukan sesuatu yang fatal. Padahal, sebenarnya Starscream sudah memperparah keadaan setelah kemarin ia tidak sengaja–entah tidak sengaja atau bercanda–berkata kalau Shockwave adalah pasangannya. Padahal, bertemu saja tidak pernah. Apalagi bicara. 

Sadar tak sadar, Starscream sudah membuat Soundwave benci pada Shockwave juga meskipun ia tidak tahu sosoknya seperti apa. Kenapa namanya harus sama dengannya? Apakah orang tuanya kehabisan ide untuk memberinya nama? Begitulah yang Soundwave batinkan. 

Soundwave berharap tidak pernah bertemu dengan sosok itu. Namun sayangnya, harapan itu tidak terkabul. 

"Kok nilai tugas Matematika gue cuman segini?" protes Blaster setelah melihat isi buku tulisnya. "Lo dapet berapa?" Ia pun menoleh ke meja Soundwave, lebih tepatnya ke buku tulis yang masih dipegangnya. Sampul buku tersebut tertulis nama Shockwave. "Cie, ciee–"

Plak! 

Soundwave langsung memukul wajah Blaster dengan buku tulis itu. "Lo ngomong sekali lagi tentang Shockwave, gue patahin leher lo."

Dari suaranya yang terdengar lebih berat dari yang seharusnya, Blaster tahu kalau Soundwave sedang dalam mode jangan diganggu. Tanpa pikir panjang, Blaster bergegas pindah tempat duduk ke kursi kosong dari siswa yang sedang tidak masuk. 

Mata Soundwave kini beralih ke barisan kursi paling depan. Hari ini guru yang mengajar sedang tidak masuk dan mereka juga sudah diberikan tugas. Jadi, Soundwave dengan leluasa menghampiri barisan tempat duduk itu. 

Soundwave langsung membanting buku tersebut di meja Starscream. 

"Apa-apaan–"

"Lo yang balikin buku ini."

Starscream membaca nama yang tertulis di sampul depan. "Lo sendiri lah yang balikin."

"Lo udah buat gue benci sama dia. Jadi, lo yang balikin."

"Enak aja–"

"Starscream, lo yang balikin," kata Megatron. 

"Apaan, sih, Ga. Lo nggak usah–"

"Cepet balikin. Nanti tugas lo nggak bakal kelar." Megatron menyela dengan tatapan intimidasinya. 

"Ishh … iya, iya." Dengan wajah masam, Starscream mengambil buku tersebut. 

Soundwave tersenyum di balik maskernya. "Oke, makasih Mega–"

"Lo temenin Starscream."

"Lah, kok?" Senyumnya memudar cepat. 

"Yes!" Starscream bersorak. 

"Alasan lo benci Shockwave itu nggak masuk akal, bahkan kelihatan bodoh karena lo dengerin kata Starscream. Lo belum ketemu orangnya, tapi udah benci duluan. Mending lo ketemu dia dulu, setelah itu terserah mau lanjut benci apa nggak," jelas Megatron. 

"Tapi–"

Ucapan Soundwave terpotong oleh suara bel istirahat pertama. Megatron kembali menekannya untuk menemani Starscream mengembalikan buku tersebut. Akhirnya, Soundwave mengalah untuk mengikuti perkataan Megatron. 

"Kenapa lo nyalahin gue? Emang gue ngomong apa sampai lo benci Shockwave?" Starscream terlihat heran. 

"Lo emang pikun apa pura-pura nggak tahu?"

"Apaan, sih. Gue tanya baik-baik. Nggak usah ngegas."

Sebelum Soundwave sempat membalasnya, tiba-tiba seorang kakak kelas yang mereka kenal bernama Astrotrain memanggil Starscream. Astrotrain meminta Starscream mengikutinya ke ruang OSIS sebentar. 

Starscream tidak bisa menahan senyuman penuh kemenangannya. "Ah, sayang sekali lo harus nganterin ini sendiri. Good luck , Soundy," ucap Starscream sambil menyerahkan buku tersebut. Ia pun mengikuti langkah kakak kelas itu. 

"Sialan …."

Tidak ada yang bisa menemaninya. Mau tak mau, Soundwave memang harus mengantarkan buku itu sendirian. Meskipun terasa sangat berat, Soundwave memaksakan dua kakinya bergerak menuju kelas X IPA-3 dan melawan arus dari siswa-siswa yang menuju kantin. 

Pintu kelas X IPA-3 sedang terbuka. Soundwave ingin buru-buru meletakkan buku tersebut di meja siswa paling depan tanpa mengatakan apa pun biar mereka saja yang mengembalikan buku tersebut kepada pemiliknya, tapi ternyata--untuk kesekian kalinya--rencana itu tak terwujud. 

Soundwave menabrak seseorang yang hendak keluar kelas tersebut. Ia refleks meminta maaf beberapa kali saat tahu bagian tubuh apa yang tidak sengaja ia tabrak. "Ma-Maaf, Mbak. Saya minta maaf."

"Mbak?"

Sebuah suara yang terdengar berat masuk ke pendengaran Soundwave. Ia pun mengangkat kepalanya, melihat satu cahaya penglihatan bundar di kepala sosok berbadan lebih tinggi darinya itu. 

"Oh, maaf … Mas?"

Sepasang antena di kepala sosok itu bergerak ke bawah. "Cari siapa?"

Soundwave langsung tersadar. Ia pun melihat buku di tangannya. "Tolong kasih ini ke Shockwave."

Satu mata itu bergerak ke arah buku yang dipegangnya. "Oh, terima kasih." Ia mengambil buku tersebut dengan tangan kanan. 

Soundwave memiringkan sedikit kepala. "Terima kasih?" herannya.

"Iya. Terima kasih udah antarin buku gue," jawabnya. Soundwave tertegun, dan tanpa sepengetahuan Shockwave, matanya melirik dari atas ke bawah. 

"Lo dari kelas IPS-1, bukan? Kalau iya, tunggu di sini sebentar. Gue mau minta tolong kasih buku Matematika ke Soundwave." Tanpa menunggu jawaban, Shockwave kembali ke mejanya sejenak untuk meletakkan bukunya dan mengambil buku lain yang bukan miliknya. 

Soundwave bergidik ngeri. Seakan tidak mendengar permintaan Shockwave tadi, ia berjalan cepat meninggalkan kelas tersebut. Di kelasnya, ternyata Starscream sudah duduk di kursi bersama Megatron. Keduanya sedang bersama-sama menyantap kue kering dalam sebuah toples kaca. 

"Panjang umur. Baru mau gue susulin lo," kata Starscream sambil mengunyah kue itu. 

"Udah ketemu Shockwave? Gimana orangnya?" tanya Megatron. 

"Cyclops Bajak Laut Berdada Besar."

"Pffttt!! Ahahaha!" Starscream menyemburkan makanan di mulut ke sisi wajah Megatron. 

Bugh!! 

Megatron refleks meluncurkan bogem mentah ke wajah Starscream dan berhasil membuatnya jatuh dari kursi. "Kenapa lo sebut dia itu?" tanya Megatron kepada Soundwave. 

"Dia mengerikan."

"Woi! Tolongin gue!" Starscream kesulitan bangkit dari kursi yang juga terjatuh itu, tetapi tidak ada yang memedulikannya. 

Terdengar suara ketukan pintu kelas. Soundwave terkesiap saat sebuah mata bercahaya kuning langsung mengarah padanya. Dari reaksi yang ditunjukkan Soundwave, sepertinya Megatron bisa menebak siapa yang sedang masuk ke kelas mereka. Sosok itu memiliki mata satu seperti Cyclops. Lalu, tangan kirinya merupakan sebuah pengait seperti bajak laut, dan juga .… 

"Gue udah minta lo buat tunggu di depan kelas, tapi lo malah pergi duluan," ucap sosok itu. Ia meletakkan buku di tangan kanannya ke meja Megatron. "Tolong kasih ke Soundwave, ya," pintanya. 

Megatron menunjuk ke sosok berkepala biru tua di dekatnya. "Kasih langsung aja ke dia."

Shockwave langsung menoleh ke arah yang ditunjuknya. "Oh? Jadi lo Soundwave?" ucapnya dengan dua antena yang berdiri. Ia juga memperhatikan Soundwave dari bawah ke atas. "Hmm … padahal kita beda banget. Sangat nggak logis kalau mereka nggak bisa bedain kita."

Soundwave masih terdiam. Ia tidak bicara banyak menanggapi respons itu dan masih terlalu segan untuk menatapnya balik. 

"Shockwave, karena kebetulan lo ada di sini, langsung gue kasih tahu aja," kata Megatron memecah keheningan. Lalu, ia menyodorkan toples berisi kue kering itu padanya.

Shockwave hanya melihat sekilas kue kering itu tanpa ada niatan mengambilnya. "Kasih tahu apa?"

"Gue, lo, Soundwave, dan si Bodoh Starscream sama dua adiknya, ada di satu kelompok di acara LDKS nanti. Kak Astrotrain jadi Kakak Pembimbing kita. Jadi, gue menaruh ekspektasi cukup tinggi pada lo, Shockwave."

"Ekspektasi apa?"

Megatron tak langsung menjawab omongan lelaki itu. Soundwave yang masih berdiri kaku akhirnya memilih untuk ke tempat duduknya tanpa mengatakan apa pun--dan tanpa membantu Starscream yang baru turun dari kursinya yang jatuh itu. Ketika Megatron baru membuka mulut untuk berkenalan dengannya dan memberitahu kalau ia sedikit tahu tentang Shockwave dari kakak kelas, bel mendadak berbunyi. 

"Kalo ada yang mau lo sampein, ke kelas gue aja. IPA tiga paling ujung."

Laki-laki berdada bidang dan berbahu lebar itu kemudian langsung pergi meninggalkan kelas IPS-1.

Chapter 8: Siapa yang Mau Jadi Ketua?

Summary:

Akhirnya kelompok LDKS Optimus dan Megatron dipertemukan dengan kakak pembimbing masing-masing. Dari dua kelompok itu, siapakah yang mau jadi ketua dari kelompok masing-masing?

--gk ada ide buat summary :")

Chapter Text

Hari Rabu setelah pembelajaran terakhir selesai, seluruh anak kelas 10 diperintahkan oleh kakak-kakak OSIS untuk berkumpul dengan kakak pembimbing masing-masing yang sudah ditetapkan. Beberapa kelompok ternyata ada yang langsung pulang karena kakak pembimbing mereka yang kebetulan tidak bisa masuk.

Kelompok Optimus dan Kelompok Megatron merupakan salah dua kelompok yang kakak pendampingnya dapat hadir untuk memberikan mereka pengarahan. Kedua kelompok tersebut kebetulan duduk melingkar di tepi lapangan futsal tepat di bawah sebuah pohon rindang yang tampaknya hanya bisa menampung dua kelompok saja. 

Dari kejauhan, Optimus melihat kakak pembimbing kelompoknya sedang bicara dengan kakak kelas bertubuh besar yang ia kenal bernama Astrotrain. Mereka berdua bicara sekilas selama berjalan menuju tempatnya berada. 

"Selamat siang, Adik-adik." Siswi yang duduk di antara Prowl dan Ratchet itu tersenyum ramah. 

"Siang, Kak Windblade," sapa mereka hampir bersamaan. 

Optimus bersyukur karena kakak pembimbing kelompoknya termasuk ramah dan bersahabat. Selain itu, ia juga senang dengan kelompok yang dimilikinya ini. Ada Ratchet, Prowl, Jazz, Elita, dan Blaster. Mereka semua aktif dan dapat diandalkan. Blaster dan Jazz tampaknya saling akrab satu sama lain meskipun mereka baru kali ini bertemu langsung dan sebelumnya hanya berinteraksi lewat chat dalam grup media sosial saja.

Setelah Windblade memberitahu apa yang harus dibawa untuk hari Jumat nanti, ia bertanya pada mereka tentang apa yang tidak dimengerti. Karena penasaran tentang suatu hal, Optimus pun mengangkat tangan.

“Kira-kira, LDKS nanti gambarannya sama kayak MOS nggak, Kak?”

“Hampir sama, tapi namanya saja Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa. Jadi kebanyakan materi yang kalian terima nanti nggak bakal jauh dari topik kepemimpinan.” Mata biru Windblade menatap satu per satu adik-adik bimbingannya. “Dari acara itu, siapa tahu dari kalian di kelompok kakak ini, ada yang berhasil jadi ketua OSIS atau mungkin jadi seorang pemimpin yang lebih tinggi setelah dewasa kelak.” Windblade mengakhiri kalimatnya saat ia menatap Optimus yang duduk berhadapan dengannya.

“Berarti kalau mau jadi ketua OSIS, harus ikut OSIS dulu ya, Kak?” Jazz menunjuk tangan.

“Iya, dong. Kamu harus ikut OSIS dulu,” jawab Windblade.

“Iya, lah. Gimana, sih. Gitu aja nggak tau,” sahut Blaster sambil menyikutnya. “Masa anak ekskul band jadi ketua OSIS,” lanjutnya.

“Siapa tahu ada ketua OSIS dari anak band, 'kan?” ucap Jazz.

“Emang lo mau jadi ketua OSIS?” tanya Prowl.

“Kagak. Gue cuman nanya.”

“Di sini yang berminat jadi ketua OSIS, ada?” Akhirnya Windblade bertanya, tetapi tidak ada yang menjawab. Mereka ada yang terlihat ragu, bahkan ada yang tidak berminat sama sekali. Windblade bertanya ke salah satu yang terlihat ragu, tapi tampaknya cukup penasaran dengan jabatan tersebut. “Optimus, kamu nggak berminat jadi ketua OSIS? Kayaknya kamu cocok buat jadi ketua.”

“Ehm … nggak tahu, Kak,” jawab Optimus. Sebelum Windblade berkata lagi, Optimus sudah bertanya untuk mengubah topik. “Kayaknya kakak-kakak OSIS yang jadi panitia LDKS lebih sedikit dari MOS, ya, Kak? Yang lain ke mana?” 

Windblade melihat sekitar, ke arah kelompok-kelompok yang sedang duduk melingkar di sekitar sekolah, termasuk kelompok di dekat mereka yang duduk di bawah pohon yang sama. “Jumlah panitianya sama kayak MOS, kok. Cuman hari ini pembimbing yang datang kebetulan cuman sedikit. Terus kelompok LDKS ini lebih banyak waktu MOS, jadi beberapa panitia ada yang rangkap tugas, termasuk aku. Aku staf acara, tapi jadi staf pembimbing juga.”

“Emang nggak capek, Kak, kalau rangkap gitu?” heran Ratchet.

“Pasti capek. Tapi, ya, mau gimana lagi? Sekarang anggota kelompoknya lebih sedikit dari MOS supaya penugasannya lebih efektif dan nggak ada anggota yang nggak kerja.” Windblade menunjuk sekilas ke rekannya yang ada di kelompok sebelah. “Kalau kata aku, lebih capek lagi Kak Astrotrain. Dia ketua divisi perlengkapan, tapi dia diminta ketua pelaksana buat jadi kakak pembimbing juga.”

“Siapa ketua pelaksananya, Kak?” tanya Optimus.

“Kakak sepupu kamu. Kayaknya Kak Magnus ngelihat potensi di dia, makanya dia dipilih jadi ketua pelaksana.”

Setelah mendengar siapa ketua pelaksananya, Optimus dalam hati berkata, ‘Oh, pantesan.’ Sekarang ia bisa memperkirakan kalau pemilihan anggota ini ada campur tangan Sentinel juga supaya dia berada di kelompok yang ia inginkan.

Berbeda dengan Windblade yang masih berkata baik-baik tentang Sentinel di depan Optimus, justru Astrotrain bicara apa adanya di depan adik-adik pembimbingnya. Tidak ada kebohongan. Ia mengungkapkan isi pikiran, sekalian kegundahan hatinya meskipun secara tersirat.

“Seharusnya, Prowl ada di kelompok ini sedangkan Skywarp ada di kelompok Windblade. Karena dari pihak acara sudah menetapkan dalam satu kelompok itu ada 3 IPA dan 3 IPS. Tapi gara-gara Sentinel otak-atik kelompok lagi, akhirnya hanya dua kelompok yang nggak ikutin aturan awal. Kelompok ini 4 IPS dan 2 IPA. Kelompok Windblade ada 4 IPA dan 2 IPS. Kalian bisa lihat keanehan ini, 'kan?”

“Mentang-mentang ketua pelaksana, dia bisa lakuin apa aja,” komentar Megatron sambil melirik ke kelompok sebelahnya. “Kekuatan orang dalamnya Optimus kuat banget.”

“Buat yang pertama, gue setuju. Tapi yang terakhir, gue kurang setuju. Kayaknya ini kemauan Sentinel, bukan Optimus. Soalnya dia kelihatan kayak siswa yang mau sama siapa aja,” kata Astrotrain.

Sebelah alis Megatron terangkat. “Kelihatan kayak siswa yang mau sama siapa aja? Emangnya lo udah kenal dia, Kak? Kalau ternyata dia emang manfaatin kerabatnya yang jadi ketua pelaksana itu, gimana?”

Saat mengatakan itu, kebetulan Jetfire sedang berjalan di sekitar kelompok itu. “Megatron, jangan pakai lo-gue di depan kakak pembimbing,” tegurnya.

“Kak Astrotrain sendiri ngomong lo-gue di depan kita. Kalau nggak percaya, tanya aja yang lain.” Megatron membela diri.

Starscream mengangguk cepat. “Iya. Ternyata dia asik diajak ngobrol juga.”

Jetfire memandang Astrotrain, tetapi yang dipandang memasang wajah cuek dan tidak merasa bersalah. “Astro, jangan gitu. Nanti kita bicara setelah ini.”

“Iya, iya,” jawabnya setengah hati. Ketika Jetfire meninggalkan tempat itu, Astrotrain memutar mata sambil mendecak sebal. “Gue udah seneng dapet ketua divisi perlengkapan, eh, malah disuruh jadi pembimbing juga. Padahal gue nggak bisa bimbing lo pada.”

“Yah, alamat jadi bulan-bulanan kakak panitia yang lain, nih,” keluh Skywarp.

“Ya, elah. Santai aja.” Astrotrain meletakkan kertas folio di tengah-tengah mereka. “Asal kalian bawa apa yang disuruh dan mengerjakan tugas yang diminta, kalian nggak bakal kena marah. Kalau ada yang marah, padahal kalian nggak salah, kalian jangan diem aja. Bales ucapannya. Jangan jadi kambing congek. Mereka pasti bakal ciut sendiri kalau lo bisa bales argumen mereka.”

“Anjir, lo udah kayak pemberontak aja, Kak,” kata Starscream yang cukup kagum dengan ucapannya.

“Gue emang udah jadi oposisi sejak gue ditunjuk rangkap tugas. Ketua pelaksananya nggak bener,” kesalnya. “Nah, supaya kelompok ini nggak hancur, pilih pemimpin yang bener. Siapa di sini yang mau mencalonkan diri jadi ketua kelompok?”

Starscream mengacungkan jari secepat kilat. “Gue, Kak! Gue!”

Astrotrain tersenyum miring. “Semangat banget, ya. Tapi lo nggak bisa langsung jadi ketua. Harus ada kesepakatan dari anggota yang lain dulu.”

“Gue nggak percaya kalau dia jadi ketua. Jadi abang aja suka nggak bener, apalagi jadi ketua buat orang lain,” komentar Thundercracker.

“Gue setuju banget sama adek gue,” tambah Skywarp sambil merangkul Thundercracker yang duduk di sebelahnya.

“Adek-adek laknat!” kutuk Starscream.

“Gue pilih Megatron jadi ketua,” kata Soundwave sambil menunjuk tangan.

“Alasannya?” tanya Astrotrain.

“Karena dia sering punya argumen kuat. Dia juga pernah bantah Kak Sentinel waktu MOS. Jadi gue yakin dia bisa memimpin kelompok ini selama LDKS.”

“Hmm … alasan yang logis,” komentar Shockwave yang tidak diharapkan Soundwave sama sekali. “Megatron emang punya karisma seorang pemimpin juga gue lihat. Waktu gue pertama kali ketemu dia kemarin, dia nyamperin kelas gue buat jelasin lebih lanjut soal gue yang sekelompok sama dia. Bukan gue aja. Dia juga nyamperin anggota lainnya sendirian.”

Megatron tampak bangga mendengar penjelasan itu. “Gue nggak salah taruh ekspektasi tinggi sama seorang juara olimpiade kayak lo.”

“Olimpiade apaan? Pekan olimipade SMA aja belum mulai,” celetuk Starscream.

“Juara satu olimpiade IPA. Dia masuk SMA ini lewat jalur prestasi,” jawabnya.

Astrotrain cukup tertegun saat mendengar jawaban Megatron. “Lo tahu dari mana? Shockwave kasih tahu lo?” 

“Nggak. Kak Arachnia yang kasih tahu gue. Sebelum lo kasih tahu kelompok gue siapa aja, dia udah kasih tahu gue duluan siapa-siapa aja yang ada di kelompok gue beserta latar belakang mereka,” jelas Megatron begitu lancar. Ia tidak ingat kalau Arachnia memintanya merahasiakan perbincangan mereka. Dari ekspresinya, Astrotrain seperti sudah menduga Megatron akan menyebut nama itu.

“Lo masih kontak-kontakan sama Kak Arachnia?” tanya Soundwave tak menyangka.

“Iya. Emang kenapa? Kalau dia bisa kasih peluang gue buat jadi ketua OSIS, kenapa nggak?”

“Oh, lo mau jadi ketua OSIS?” tanya Astrotrain.

“Iya,” jawab Megatron pasti.

“Hah? Lo jadi ketua OSIS? Nggak mungkin,” bantah Starscream.

Megatron menatapnya sinis. Kalau Starscream ada di sebelahnya dan tidak duduk di sebelah Astrotrain, mungkin ia sudah membuat pergelangan tangannya memar lagi. “Kita buktiin aja dari sekarang. Kalau gue jadi ketua kelompok ini, berarti gue punya peluang buat jadi ketua OSIS. Yang pilih gue jadi ketua kelompok, angkat tangan.”

Starscream terkejut ketika semua teman sekelompoknya mengangkat tangan. Bahkan kakak pembimbingnya juga memilih Megatron jadi ketua kelompok mereka. Starscream hanya merutuk dalam hati dan berwajah masam ketika Megatron menunjukkan senyum angkuhnya. 

Berbeda dengan kelompok Megatron yang terjadi sedikit perdebatan karena Starscream yang ingin terpilih menjadi ketua, kelompok Optimus sebaliknya. Tidak ada yang ingin menjadi ketua kelompok, sehingga Windblade yang harus menunjuk seseorang yang terlihat cocok. Jari telunjuk Windblade mengarah ke Optimus. Awalnya, Optimus tampak ragu dan tidak yakin. Namun, karena dorongan dari teman-teman serta kakak pembimbing, akhirnya ia bersedia untuk menjadi ketua kelompok tersebut

 

Chapter 9: LDKS

Summary:

Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS) adalah tempat untuk melatih kepemimpinan dasar untuk tiap siswa. Acara yang wajib diikuti. Bagaimana cara Megatron dan Optimus menggunakan kesempatan itu untuk menunjukkan bahwa mereka dapat memimpin?

Chapter Text

Acara LDKS telah di depan mata. Hari Jumat ini, semua siswa yang hadir di sekolah membawa tas berukuran besar-besar. Selain buku yang dibawa untuk mengikuti pelajaran di pagi harinya, mereka juga membawa barang-barang penugasan yang harus dibawa untuk acara LDKS di sore harinya.

Tidak seperti kelompok lain, Megatron mengumpulkan kelompoknya–tanpa kakak pembimbing–saat istirahat pertama di salah satu meja kantin. Dengan alasan ‘untuk membicarakan rencana saat LDKS nanti’, anggota kelompoknya itu jadi tertarik sekaligus penasaran dengan maksud Megatron itu.

“Gue dapet rincian acara buat LDKS hari ini sampai hari terakhir,” kata Megatron sambil meletakkan layar ponselnya di tengah meja. 

Tangan Starscream gesit untuk mengambil ponsel tersebut. Matanya terbelalak saat melihat foto tabel berisi rangkaian acara yang terlihat lengkap itu. “Lo dapet dari mana?” Starscream memperbesar foto tersebut dan membaca beberapa rangkaian acaranya.

“Kakak kelas.”

“Kak Astro?” tebak Skywarp.

“Hmm … tapi dia nggak kirim apa pun di grup,” ucap Thundercracker sambil melihat isi grup kelompok bersama kakak pembimbingnya itu.

“Bukan.”

Sebuah nama terlintas di benak Soundwave. “Jangan bilang … dari Kak Arachnia ….”

Megatron melirik ke Soundwave sekilas, tetapi ia tidak menanggapi tebakannya itu. Diamnya Megatron adalah jawaban iya dari ucapannya. 

“Siapa Kak Arachnia?” tanya Shockwave penasaran.

“Lo nggak tahu Kak Arachnia?” heran Starscream. Ketika perhatian Starscream teralihkan, Soundwave langsung merebut ponsel Megatron.

“Nggak.”

Soundwave tidak menyimak obrolan triplet dengan Shockwave yang sedang membicarakan salah satu kakak kelas mereka. Pun tidak ada yang tahu kalau Soundwave tidak melihat gambar tabel, melainkan membuka aplikasi pesan pribadi di ponsel tersebut. Megatron yang dari tadi memperhatikan gerak-geriknya, mulai tahu kalau Soundwave membuka-buka pesan-pesan pribadinya, tetapi Megatron tidak menggubrisnya. Ia bahkan juga tidak terlihat panik, dan mungkin juga sudah menduga kalau Soundwave bakal marah dengannya karena sudah banyak berinteraksi dengan Arachnia.

“Jadi lo ajak kita ke sini buat kasih tahu apa yang udah dibilang Kak Arachnia ke lo?” Soundwave buka suara ketika ia selesai membaca pesan-pesan yang menurutnya penting.

“Iya. Gue mau buat kelompok ini jadi contoh buat kelompok lain. Ketika semua mata sudah tertuju ke kelompok ini, peluang gue buat jadi ketua OSIS pasti semakin besar karena banyak yang kenal gue,” jelas Megatron dengan suara tenang. Ia menjulurkan tangannya. “Balikin HP gue.”

Akan tetapi, Soundwave tidak mematuhinya. Ia serahkan gawai itu ke Skywarp yang duduk di sebelahnya. “Jadi lo percaya sama semua ucapannya dia?”

“Sampai saat ini, dia ngasih tahu gue fakta. Selama info yang gue dapat dari dia berguna, gue bakal terus ladenin dia,” balasnya. Terdapat jeda sebentar sebelum Megatron menghela napas dalam dan kembali berbicara.

“Soundwave,” Ia menatap mata di balik kacamata merah laki-laki itu dalam, “gue nggak tahu lo lagi kenapa, tiba-tiba lo gampang curigaan dan sensitif gini. Tapi gue nggak mau lo halangin tujuan gue.” Ia menunjuk lelaki bermasker itu. “Mulai sekarang, lo nggak boleh nolak kalau gue suruh lo kerjain tugas bareng Shockwave. Lo nggak boleh nyimpan benci tanpa alasan ke teman-teman sekelompok lo selama LDKS ini.”

Mata Megatron memperhatikan Starscream, Skywarp, Thundercracker, dan Shockwave. “Ini bukan buat Soundwave aja. Lo semua juga. Gue nggak mau kalian saling berselisih. Gue mau kelompok ini jadi kelompok yang paling solid!”

Ucapan itu lebih terdengar seperti perintah absolut yang cukup untuk membuat Soundwave terdiam dan tidak bisa berkutik. Karisma yang dipancarkan Megatron saat mengatakan itu cukup mengubah pandangan Skywarp dan Thundercracker, terutama Shockwave yang mulai tertarik dengan cara sikapnya. Hanya Starscream yang mendecih sebal. Walau begitu, ia pastinya tetap mengikuti apa yang diucapkan Megatron itu agar ia tidak mendapat bogem mentah lainnya dari tangan besar Megatron.

Gue nggak ada niat buat halangin lo, Ga. Gue khawatir sama lo yang gampang banget kemakan kesempatan tanpa mempertimbangkan risikonya. Suara pikiran Soundwave tertahan di ujung tenggorokan. Ia yang sudah mengenal tabiat Megatron dalam beberapa waktu, cukup bisa mengerti lebih baik ia memendam pemikiran itu saja daripada perdebatan malah semakin panjang.

Sedangkan di kelas tempat Optimus berada, ia tidak memberitahu kelompoknya apa pun yang bersangkutan dengan LDKS. Jazz dan Blaster sudah coba merayu Optimus untuk bicara dengan kakak sepupunya itu agar mendapat sedikit bocoran tentang LDKS, tetapi Optimus tetap menolak dengan alasan ‘itu perbuatan tidak terpuji. Seperti meminta contekan ujian kepada guru.’ Jazz dan Blaster pun tidak bisa membantah kebenaran yang diucapkan Optimus.

***

Acara LDKS dimulai pukul 4 sore ketika kegiatan sekolah sudah berakhir. Seluruh siswa kelas 10 berbaris di lapangan sesuai kelasnya masing-masing untuk mendengar kata pengantar dari ketua pelaksana dan kepala sekolah untuk membuka acara tersebut.

Setelah itu, mereka diperkenankan untuk berkumpul bersama kelompok dan kakak pembimbing masing-masing. Seperti biasa, Windblade bersikap ramah di depan adik-adiknya. Ia memeriksa penugasan awal mereka dan mengingatkan mereka yang belum selesai mengerjakan penugasan tanpa membentak. Ia juga menanamkan mindset pada mereka kalau LDKS ini tidak seseram yang mereka kira, serta berkata kalau LDKS ini baik untuk membentuk mental yang kuat.

Astrotrain sendiri kagum dengan kelompok bimbingannya. Mereka semua mengerjakan tugas dan membawa perlengkapan yang dibutuhkan. Dengan bangga dan penuh keyakinan, Astrotrain berkata pada mereka kalau mereka kemungkinan besar tidak akan kena hukuman dari panitia.

Materi pertama diselenggarakan di dalam ruang auditorium. Kali ini mereka berbaris sesuai kelompok dengan ketua kelompok berdiri di paling depan. Megatron dan Optimus berdiri berdampingan karena mereka berada di kelompok 7 dan 8. Saat pemateri memasuki ruangan, mereka baru dipersilakan duduk dan menyimak materi yang diberikan. 

Satu pemateri diberikan waktu 3 jam, lalu dilanjut ke materi berikutnya tentang public speaking yang juga diberi waktu 3 jam hingga jam 9. Mereka diberi waktu makan hanya 30 menit, juga diberikan nampan berisi camilan untuk tiap kelompok selama materi berlangsung. 

Kebanyakan kakak pembimbing memperhatikan adik-adik yang dibimbingnya dari sisi ruang auditorium, termasuk Windblade dan Astrotrain. 

"Katanya lo nggak bisa bimbing. Lihat, tuh, semua anak-anak lo dari awal sampai akhir nyimak materi terus," kata Windblade. "Di kelompok gue, paling cuman Optimus, Elita, sama Prowl aja yang dari tadi nyimak. Sisanya pada ngantuk." Ia menunjuk sekilas nama-nama siswa yang dimaksud. 

Astrotrain mengedikkan bahu sekilas. "Gue nggak ngepa-ngepain. Gue cuman kasih tahu apa yang perlu dibawa sama sedikit gambaran tentang LDKS. Sisanya gue serahin ke Megatron. Gue juga bilang ke mereka kalau gue nggak bakal bela mereka kalau mereka salah atau nggak salah."

"Lo lepas tangan? Nggak takut dimarahin Pak Ketua?" heran Windblade. 

Astrotrain tertawa sinis sambil melipat tangan di depan dada. "Lo pikir gue bakal takut sama si dagu lancip itu? Kagak. Bodo amat gue dimusuhin sama dia," ucapnya dengan suara dipelankan agar ia tidak menjadi pusat perhatian di ruangan yang sedang tenang itu. Ia tahu betul kalau masalah pasti akan membesar jika Sentinel mendengar ucapannya barusan. 

Waktu berlalu hingga pemateri meminta peserta untuk mencontohkan public speaking dengan berpidato di depan peserta. Untuk beberapa detik awal, tampaknya tidak ada yang ingin berpidato. Setelah pemateri tersebut memancing peserta untuk maju berpidato tentang topik apa saja, Optimus dan Megatron mengangkat tangan di saat yang hampir bersamaan. Mereka berdua saling melirik dan tidak menyangka kalau mereka memiliki keinginan yang sama.

“Kamu. Ketua kelompok tujuh, silakan maju ke depan.” Pemateri itu menunjuk Megatron yang ia lihat mengangkat tangan lebih dahulu.

Megatron maju ke depan podium, tempat pemateri itu memberikan materi. Matanya menyapu seluruh penjuru ruang auditorium, mengamati sekilas murid-murid dengan pandangan yang terfokus pada sosoknya.

Ia membuka suara, “Kita semua sama.”

Laki-laki itu memberi jeda. Seluruh tatapan mata, dari kakak-kakak panitia sekalipun masih tertuju padanya. “Di hadapan Primus, kita semua memiliki derajat yang sama. Baik seorang anak dari pejabat tinggi atau konglomerat negara, maupun anak terlantar di jalanan yang harus mengais sampah demi menghidupi diri dan keluarga, semuanya sama. Semua berhak mendapatkan kesempatan yang sama. Untuk menjadi apa saja, untuk melakukan apa saja, selama itu berguna bagi dirinya dan orang sekitarnya. Tidak ada hak istimewa bagi ia yang memiliki kedudukan tinggi untuk berlaku semena-mena terhadap orang yang memiliki kekurangan.”

Ia menambahkan sepatah dua patah lain sebelum akhirnya menutup pidato yang ia bawakan. Megatron mendapat tepuk tangan meriah, baik dari pemateri maupun teman-teman sekelompoknya yang lain. Ketika ia hendak kembali ke tempat duduknya, Megatron tersenyum angkuh pada Optimus seakan berkata kalau ia lebih baik. Walau begitu, Optimus tidak membalasnya.

“Lo nggak salah pidato kayak gitu?” komentar Starscream yang lebih pada heran dibanding takjub. Megatron hanya menoleh ke arah Starscream sekilas sebelum ia duduk di depan laki-laki itu, membuat Starscream lagi-lagi merasa kesal akan sikapnya yang suka tidak mengacuhkan orang. 

Optimus menuju podium saat pemateri juga memberi Optimus kesempatan untuk berpidato. Jika Megatron membawakan materi pidato dengan ambisi layaknya seorang pemimpin yang tegas, maka Optimus membawakannya dengan lembut layaknya seorang pemimpin yang pengertian. Optimus tidak lupa untuk memberikan beberapa ucapan pembuka untuk ketua pelaksana, panitia, serta teman-temannya. Lalu, ia mulai masuk ke inti pidato tentang kebebasan dalam berpendapat bagi siapa pun. Sesekali ia juga mengungkit kejadian saat MOS, ketika ia tidak diperbolehkan berpendapat. Sebelum ada yang menyanggah kalau Optimus berani mengkritik Sentinel karena ia itu adalah kerabatnya, Optimus sudah berkata lebih dahulu kalau ia juga pernah mengkritik guru yang saat itu suka kabur-kaburan dan hanya mengajar melalui pemberian video serta membuat tugas saja. Teman-teman sekelasnya menjadi bukti yang melihat tindakan Optimus itu.

Optimus menutup pidatonya dengan baik, yaitu untuk lebih merealisasikan kebebasan berpendapat untuk siapa saja agar dapat memperbaiki diri lebih baik lagi. Dari pidato yang disampaikan dengan sangat baik itu, Optimus mendapat tepuk tangan tak kalah meriah yang sama seperti Megatron. Namun, pembicara materi memberikan pujian lebih banyak kepada Optimus karena sudah membuka pidato dengan baik. Meskipun tidak bermaksud membandingkan dengan Megatron yang pidatonya langsung kepada inti, pembicara itu mengatakan bahwa pidato yang baik diawali dengan ucapan salam kepada audiens yang mendengarkan pidatonya. 

Optimus langsung duduk ke tempatnya tanpa menunjukkan ekspresi apa pun pada Megatron sebagai balasan. Megatron menatap Optimus sinis dan senyum angkuhnya hilang seketika. 

"Pidato yang bagus, Prime," puji Megatron dengan ekspresi masam yang berlawanan.

Optimus tidak menggubris apakah itu sebuah sarkas atau pujian, tetapi ia tetap membalasnya, "Makasih. Pidato lo juga bagus, kok."

Megatron tidak membalasnya dan kembali menghadap ke depan. Ia tidak memikirkan Optimus bermaksud ingin berkompetisi dengannya apa tidak. Kini, ia mengingat-ingat agenda apa yang akan mereka lalui setelah pemateri ini. 

Berkumpul bersama kakak pembimbing masing-masing untuk memeriksa rangkuman mereka saat mendengar pemateri pertama dan kedua . Ya, itu agenda selanjutnya. 

"Walaupun kakak pembimbing, mereka juga diam-diam menilai tindakan kita selama mengikuti LDKS tanpa pandang bulu. Kalau kelompoknya nggak bagus, ya, nilainya nggak bagus juga. Semakin jelek nilainya, semakin kecil peluang buat kita menang."

Ketika pikiran Starscream melayang ke mana-mana karena terlalu bosan dengan materi yang disampaikan, ia teringat dengan ucapan Megatron sebelum LDKS saat mereka diskusi bersama. Ia ingin sekali menang, walau tak tahu pasti apa yang akan mereka dapatkan. 

Starscream–apalagi Skywarp–bukan tipe yang suka mencatat materi-materi secara lengkap. Akan tetapi, karena di awal Megatron tampak sangat berambisi untuk mendapat nilai tinggi dan mengancam siapa pun yang menolak ambisinya, mau tak mau mereka harus mencatat materi yang disampaikan. Mereka tidak tahu hadiah apa yang akan didapatkan jika mereka mendapat nilai tertinggi, dan Arachnia juga tidak memberitahu Megatron apa yang akan mereka dapatkan. 

Pukul 10 malam, mereka menuju kelas-kelas yang sudah dibagikan untuk mereka beristirahat. Meja dan kursi sudah ditata ke setiap sisi kelas agar mereka tidur di lantai. Kelompok Megatron ada di lantai tiga, sedangkan Optimus ada di lantai dua. Megatron memilih area di sudut kelas ketika tahu ada empat kelompok lain yang menempati ruang kelas itu. Tidak ada yang berani ketika Megatron sudah menentukan tempatnya. 

Saat mereka bergantian untuk bersih-bersih di kamar mandi sekolah, Starscream, Skywarp, dan Thundercracker yang sudah tampak segar itu membicarakan perihal tujuan Megatron yang ingin mendapat nilai tertinggi. 

"Kayaknya sebuah pengakuan," komentar Thundercracker. 

"Pengakuan? Orang ansos di kelas kayak dia pengen dapet pengakuan satu sekolah?" Starscream tertawa remeh pada komentar itu. 

"Emangnya di kelas dia pendiem banget, ya, Bang?" tanya Skywarp. "Tadi aja pas dia pidato, pembawaannya berkarisma banget. Gue sampe lupa kalau dia bukan ketua kelas di kelas lo."

"Oh. Iya, sih, ya. Gue juga kaget pas dia tunjuk tangan buat kasih pidato." Starscream berpikir sekilas. "Gimana, ya. Dia emang bukan yang pendiem banget kayak Soundwave juga, sih. Cuma emang nggak banyak omong. Pada takut duluan kayaknya lihat postur dia yang kayak gitu. Tapi kalo gue, sih, kagak, ya." Starscream berlagak dengan mengibas tangannya. Ia lalu melanjutkan, "Gue curiga. Jangan-jangan Megatron belum kasih tahu kita semua informasi dari Kak Arachnia."

"Gue udah liat chat mereka, kok. Semua yang Megatron bilang ke kita, sama kayak informasi yang dia kasih," kata Skywarp. "Eh, Bang. Emangnya Megatron pacarnya Kak Arachnia, ya? Kok Kak Arachnia panggil Megatron 'sayang' gitu?"

Starscream memandang Skywarp datar. "Kagak, anjir. Mereka nggak pacaran. Kak Arachnia aja yang kegatelan suka manggil orang pake 'sayang'. Nggak ke cewek, nggak ke cowok," balasnya. 

"Gue kira lo paling update info di kelas lo. Ternyata lo kudet banget," tambah Thundercracker. 

"Lo kan sekelas sama Swindle. Masa gitu aja nggak tahu," heran Starscream. 

"Gue jarang ngobrol sama–"

Bantahan Skywarp terpotong karena ia melihat Megatron baru masuk kelas, disusul dengan Shockwave dan Soundwave di belakangnya. Ketiganya sudah memakai pakaian yang nyaman untuk tidur. 

"Ga, lo mau kita dapat nilai tinggi buat apa?" Starscream bertanya. 

"Buat dapat pengakuan," jawab Megatron apa adanya.

"Tuh, kan," kata Thundercracker. 

"Pengakuan buat apaan? Emang lo mau jadi anak famous ?" heran Starscream. 

"Pengakuan biar gue bisa masuk OSIS. Kak Arachnia pernah bilang gitu ke gue."

"Buat masuk OSIS bukan dari pengakuan, tapi dari kelengkapan berkas dan berhasil melewati interview buat masuk OSIS." Shockwave yang berdiri di sampingnya membuka suara. Mereka berdua pun sempat saling toleh sebentar. "Tanpa perlu pengakuan, siapa pun bisa masuk OSIS. Nggak logis kalau masuk OSIS itu dari kalangan yang diakui atau famous aja."

"Gue setuju sama Shockwave karena gue pernah denger cerita tentang kakak itu dari Swindle," kata Starscream.

"Siapa Swindle?" tanya Shockwave. 

"Dia sekelas sama Skywarp. Paling tahu informasi tentang kakak kelas, biar informasi itu bisa dijual ke kita. Informasinya selalu akurat karena dia punya banyak relasi," jawabnya. "Gue sempet beli informasi ke dia tentang Kak Ara–gue singkat aja, ya, karena belibet lidah gue manggil Arachnia mulu. Waktu kelas sepuluh, dia dapet pengakuan yang bagus juga, dan berhasil masuk OSIS. Kelas sebelas, dia termasuk anak famous , tapi dia nggak ikut OSIS lagi. Orang-orang yang nggak suka sama dia, mikirnya dia berhenti tanpa alasan karena dia merencanakan sesuatu yang licik dan nggak ada yang tahu rencananya apa. Tapi Swindle tahu dari ketua OSIS langsung kalau dia gagal di interview untuk melanjutkan OSIS di kelas sebelas. Waktu itu Kak Magnus sendiri yang wawancara Kak Ara, dan bilang kalau jawaban dia terlalu meremehkan dan kurang memuaskan."

"Swindle deket sama Kak Magnus?" heran Megatron. 

"Gue nggak tahu dia deketnya dari mana. Tapi kalau gue tanya itu, pasti gue disuruh bayar lagi."

"Dih, mata duitan banget," celetuk Skywarp. 

Starscream melanjutkan ceritanya. "Mungkin insting laba-labanya aktif, jadi dia ngerasa kalau dia nggak bakal keterima. Jadi sehari sebelum diumumin, dia udah keluar duluan dari OSIS. Intinya, pengakuan itu nggak menjamin lo dapet OSIS, Ga." Starscream menutup kalimat dengan menunjuk Megatron. "Gue pernah ngelihat Swindle dapet telpon dari Kak Magnus, jadi cerita ini valid."

"Kak Arachnia cuman manfaatin lo aja, Ga. Gue ngomong ini untuk ke sekian kalinya," sambung Soundwave. 

Megatron merenungi cerita yang baru saja diterimanya itu. Arachnia memang tidak berkata padanya alasan kenapa ia berhenti dari OSIS waktu kelas 11 karena Megatron juga tidak sempat bertanya padanya. Meskipun begitu, Megatron sudah membulatkan tekadnya. 

"Gue nggak peduli lo semua bilang apa tentang Kak Ara. Gue cuman mau kelompok kita dicontoh oleh kelompok lain dan nggak diperbudak sama suruhan-suruhan aneh panitia OSIS. Kita ambil materi-materinya aja karena nggak ada ilmu yang nggak berguna buat kita."

Chapter 10: LDKS (2)

Summary:

LDKS waktu jurit malam. Ada konflik yang lebih panas dari panasnya api unggun perkemahan. Siapa yang berantem tengah malam gitu?

Chapter Text

Keesokan paginya, semua peserta LDKS melakukan senam pagi yang dipimpin oleh instruktur senam yang disediakan panitia. Setelah melakukan senam, mereka mengisi perut dengan santap pagi bersama. Mereka diberi waktu hanya 1 jam untuk mandi. Mereka kembali berkumpul bersama kakak pembimbing untuk saling berbagi pengalaman sebelum masuk ke materi berikutnya tentang nasionalisme dan mereka harus mencatat materi yang disampaikan. 

Istirahat makan siang tiba sebelum lanjut ke materi kedua tentang ketegasan dan ketiga tentang kepemimpinan tanpa jeda istirahat. Mereka hanya diberikan camilan di atas satu nampan untuk disantap secara berkelompok. 

Saat petang menjelang malam, mereka berkumpul bersama kakak pembimbing mereka lagi. Windblade menggeleng tak percaya ketika buku penugasan milik Blaster masih banyak yang belum lengkap. Tulisannya juga amburadul dan tidak terbaca. 

"Pasti kamu ketiduran terus, nih, waktu dengerin materi," komentar Windblade. 

"Hehe, iya. Maaf, Kak. Aku gampang ngantuk kalau duduk diem aja," jawab Blaster. 

"Saya udah cipratin air ke wajahnya, tapi dia masih ngantuk aja, Kak. Kalau saya siram, nanti kelompok kita kena masalah," adu Ratchet. 

"Kalau kelompok kita kena masalah terus, kita salahin Blaster aja," kata Jazz. 

"Jazz, catatan kamu juga nggak lengkap, loh. Banyak yang kelongkap juga, nih," kata Windblade. Jazz hanya cengengesan menanggapi ucapan kakak pembimbingnya itu. 

"Ini kesannya kita kayak terlalu bergantung ke Optimus banget," kata Elita, satu-satunya perempuan di kelompok itu. "Catatan dia yang paling lengkap."

"Sebenernya gue nggak terlalu masalah soal itu. Memang tugas ketua gitu, 'kan? Menanggung kesalahan anggotanya?" ujar Optimus membalas omongan Elita.

"Iya, sih. Tapi kan–"

"Nggak apa-apa, El. Kita semua pernah buat salah. Gue sebenernya juga masih ngerasa belum cocok jadi ketua kalian, tapi gue masih coba untuk ngusahain yang terbaik buat kelompok ini."

Ucapan itu mengundang senyum anggota kelompoknya, termasuk kakak pembimbingnya. Windblade tidak menyangka kalau kerabatnya Sentinel ini ternyata berada di atas ekspektasinya.

"Baguslah. Berarti kelompok ini nggak salah pilih ketua kelompok, ya," kata Windblade. "Aku kasih tahu sedikit bocoran tentang materi terakhir nanti malam, yaitu materi debat dan negosiasi. Kalau MOS kan cuman negosiasi, tapi sekarang ditambah debat juga dan pembahasan negosiasi lebih dalam. Jadi, siapkan kelompok kalian karena tiap kelompok akan saling diadu."

Selain kelompok 8, kelompok 7 juga tahu kalau nanti akan ada materi debat dari Megatron. Astrotrain hanya mendengar rencana mereka tanpa ada niatan menegur mereka atau mengadu pada atasan kalau kelompoknya itu sudah mendapat bocoran dari Arachnia. 

Saat memasuki materi terakhir, sebisa mungkin Blaster dan Jazz menyimak semua penjelasan dari pemateri, tetapi sayangnya mereka sering kalah dengan rasa kantuk. Sedangkan kelompok Megatron, mereka sudah membagi tugas. Biasanya Starscream duduk di belakang Megatron, tetapi kali ini Soundwave yang duduk di belakangnya untuk menyelipkan sebuah perekam suara agar terdengar lebih jelas. Jika ada penjelasan yang kurang, Megatron bisa langsung bertanya pada Soundwave yang bisa memutar ulang rekaman tersebut.

Shockwave yang biasanya duduk di paling belakang, kini duduk di belakang Soundwave. Tubuh besarnya dapat menutupi kembar tiga di belakangnya yang sedang mencari referensi untuk debat mereka. Megatron masih mengingat percakapannya bersama Arachnia kalau materi debat yang diangkat adalah pro dan kontra mengenai rokok. 

Megatron sedikit berharap untuk berdebat dengan kelompoknya Optimus, tetapi sayangnya harapannya tidak terkabul. Ia dihadapkan dengan kelompok 2 yang di dalamnya ada Swindle. Sedangkan Optimus dihadapkan dengan kelompok 1 yang di dalamnya ada Chromia–yang Elita ketahui pernah menjuarai debat ketika mereka masih SMP. 

"Wah, kayaknya bakal susah, nih," gumam Skywarp saat melihat Swindle tersenyum percaya diri karena berada di pihak kontra rokok. 

"Swindle bisa jadi tahu bakal ada debat dengan topik rokok ini juga, tapi bukan berarti kita bakal kalah," balas Starscream. Ia melirik Megatron yang sedang fokus membaca materi yang sudah mereka dapatkan. "Gue yakin, orang-orang kayak Swindle, pasti nggak kuat diintimidasi. Wajah gahar Megatron pasti buat dia lengah."

Setelah 15 menit mereka mempersiapkan materi mereka, akhirnya debat pun dimulai secara serentak. 

Swindle membuka debat dengan menjelaskan kenapa rokok itu harus dilarang disebarkan di seluruh Cybertron. Lalu, Shockwave membantahnya dengan berkata penyakit yang disebabkan oleh rokok hampir dianggap mitos karena tidak semua orang akan mati jika merokok terus-menerus. 

Sedangkan di sisi lain, Optimus berada di posisi kontra rokok. Ia juga membuka perdebatan dengan memberikan alasan kalau rokok itu berbahaya. Perceptor yang berada dalam kelompok pro rokok Chromia, membantahnya dengan berkata penyakit yang disebabkan oleh kecelakaan jauh lebih banyak dibanding rokok. Meskipun ia kurang puas dengan bantahannya, tetapi ia tetap menyampaikannya mengingat waktu yang diberikan mereka untuk mencari materi sangat terbatas. Lalu, Ratchet juga memberikan data pada kelompok lawannya bahwa penyakit yang disebabkan rokok masuk ke 10 besar penyakit terbanyak di Cybertron. 

Panitia acara hanya memberikan mereka waktu 30 menit untuk berdebat. Ada yang 15 menit selesai karena dari kedua belah pihak saling ragu dan tidak punya pendirian. Ada juga yang 30 menit belum selesai karena keduanya alot, tetapi terpaksa harus dihentikan karena waktu yang sudah habis. 

Swindle dan kelompoknya dibuat terdiam ketika Megatron memberikan argumen penutup sangat kuat dengan berkata kalau rokok itu menjadi penyumbang pembangunan Cybertron terbesar pertama. Megatron berhasil memberikan data dan fakta tersebut beserta beberapa undang-undang mengenai rokok yang tidak bisa dibalas Swindle. Intonasi serta wajah tegas Megatron membuat Swindle terpaku dan akhirnya menyerah. 

Berbeda dengan Megatron, kelompok Chromia yang sama-sama pro rokok, tidak bisa membalas argumen final yang diberikan Optimus yang mengatakan bahwa–pada akhirnya–rokok itu tidak memberikan kontribusi untuk masyarakat selain kerugian saja. Baik Chromia atau Perceptor yang aktif di kelompok tersebut, tidak menemukan data lebih lengkap saat mempersiapkan materi karena waktu yang terbilang singkat, sehingga kelompoknya dinyatakan kalah. 

"Mantep banget dah adek gue," kata Sentinel penuh kebanggaan saat melihat Optimus berdiri di depan bersama ketua kelompok yang menang lainnya. 

"Mantep banget dah adek bimbingan gue," sambung Astrotrain. 

"Emang siapa?"

"Megatron. Lo kenal, 'kan?"

Sentinel langsung mencarinya. Ternyata, Megatron berdiri di ujung sebelah kanan barisan tersebut. "Cih. Beruntung aja itu."

"Mending gue siapin perlengkapan buat acara jurit malam nanti, daripada debat nggak jelas sama lo," balas Astrotrain sambil melangkah pergi meninggalkan Sentinel yang hampir tersulut emosi.

"Siapa juga yang ngajak lo debat. Dih, emosi sendiri," katanya melihat Astrotrain berjalan membelakanginya.

Kali ini, mereka tidak ada agenda kumpul bersama pendamping, melainkan langsung pergi ke kelas masing-masing untuk segera tidur. Megatron mengajak mereka untuk diskusi lebih dahulu karena setelah ini adalah agenda jurit malam.

"Ga, gue ngantuk banget. Nanti aja kek diskusinya," protes Starscream. 

"Nanti kapan? Pas jurit malamnya? Lihat, tuh. Soundwave sama Shockwave aja masih semangat.” Megatron menunjuk dua sosok temannya yang duduk bersila di dekatnya.

"Gue biasanya tidur jam dua," kata Shockwave. 

"Shockwave punya gangguan tidur, dan Soundwave? Pala lo masih semangat. Udah tidur gitu anaknya," bantah Starscream. Ia menggerakkan tangannya di depan wajah Soundwave yang tertutup masker dan kacamata. Tidak ada respons. Starscream mendorong pelan Soundwave hingga ia jatuh begitu saja ke sampingnya dan menabrak Shockwave. 

"Siapa yang dorong gue?!" Soundwave segera bangkit dan melihat satu-satu wajah kelompoknya. 

"Yup, Soundwave pasti diam-diam udah tidur," kata Skywarp saat melihat respons itu. "Adek gue juga mau tidur, nih," lanjutnya saat melihat Thundercracker sudah terkatung-katung. 

Megatron mengembuskan napas. "Ya, udah. Gue cuman mau kasih tahu kalau jam tiga nanti kita dibangunin buat jurit malam. Name tag kalian nggak boleh lepas. Pasti ada kakel yang diem-diem ambil name tag kalian."

Setelah Megatron mengingatkan itu, mereka pun berbaring seperti malam sebelumnya untuk beristirahat. 

***

Setelah semua siap di pos masing-masing dan paham dengan tugas yang diberikan, panitia-panitia LDKS itu mulai menyebar untuk melaksanakan tugas. Sentinel membantu anggotanya yang bertugas membangunkan peserta. Suara lantangnya dan suara berisik dari panci yang dipukul, membuat mereka terbangun dari mimpi. Mereka yang sulit dibangunkan bakal diseret Sentinel sampai keluar kelas. Sentinel tidak khawatir Optimus bakal diseret, karena ia tahu Optimus pasti akan bangun waktu pintu kelas baru dibuka. Sentinel ingin menyeret Megatron dan anggota kelompoknya, tetapi ternyata mereka sudah bangun lebih dahulu saat lampu dinyalakan. Mereka berenam juga masih mengenakan name tag , jadi tidak ada alasan untuknya mengambil name tag tersebut saat mereka tertidur. 

Setelah semua peserta dibangunkan, mereka disuruh berbaris di lapangan dan mendengar arahan dari Jetfire di pagi buta ini. 

"Ada lima pos di sekitar sekolah ini yang harus kalian kunjungi. Kalian harus menjawab pertanyaan di setiap pos itu. Setelah semuanya sudah kalian kunjungi, kembali lagi ke sini dan tunggu kelompok lain selesai."

Satu pos hanya bisa dikunjungi satu kelompok. Kelompok 1 menuju pos 1, kelompok 2 menuju pos 2, dan seterusnya sampai kelompok 5 menuju pos 5. Setelah di pos 1, kelompok 1 menuju pos 2, sedangkan kelompok 5 menuju pos 1. Mereka semua berjalan menuju pos tersebut dengan mata tertutup dan dituntun oleh kakak pembimbing dari divisi pembimbing, bukan kakak pembimbing mereka. 

Kelompok Megatron ternyata mengunjungi pos 3 lebih dahulu yang sudah kosong. Sebelum berjalan, Blurr mengatur barisan mereka.

"Paling depan, yang paling pendek. Kamu yang pake jaket merah, maju ke depan," ucap Blurr. 

"Loh, kok saya?! Saya tinggi, loh, Kak!" protes Starscream. 

"Tapi paling pendek dari temen sekelompokmu.”

Belum sempat Starscream membantah lagi, Megatron sudah menarik kasar Starscream untuk berdiri paling depan. Ia membantu Blurr menyusun anggota kelompoknya, sehingga terbentuk barisan dari Starscream, Skywarp, Thundercracker, Soundwave, Shockwave, dan Megatron. Setelah itu, mereka pun ditutup matanya dengan kain yang mereka bawa dan saling memegang pundak satu sama lain. Blurr pun menuntun mereka mencapai pos 3.

Beberapa menit kemudian, Blurr kembali untuk menuntun kelompok 8. “Oh, sudah disusun berdasarkan ketinggian?”

“Sudah, Kak,” ucap Elita yang berdiri paling depan.

“Oke. Dipakai penutup matanya dan pegang pundak teman di depannya.” Blurr menuntun kelompok 8 mengunjungi pos 1.

Selama di perjalanan, Optimus mendengar suara bentakan yang kebanyakan dari suara-suara kakak kelas, tetapi sepertinya ia mendengar suara dari rekan sebaya juga meneriakkan apa yang kakak kelasnya pinta. 

“Kita sampai. Silakan dibuka penutup matanya.”

Setelah Blurr mengatakan itu, mereka pun membuka penutup mata. Optimus melihat sekitar dulu. Suasana sekolah ketika gelap terlihat sedikit berbeda, sehingga ia perlu sedikit waktu untuk mengenali kalau ia berada di taman belakang sekolah.

“Jangan ke mana-mana sebelum saya datang,” ucap Blurr sebelum ia pergi meninggalkan mereka.

Di depan mereka, ada satu dari dua wajah yang sangat familier. Windblade tersenyum mendapati kehadiran mereka, sedangkan perempuan di sebelahnya tampak sinis. 

“Wah, Kak Windblade yang tanya-tanyain kita?” ucap Elita seraya tersenyum.

“Iya. Aku kan masih anggota divisi acara, jadi aku harus di sini juga.”

“Tapi jangan harap kakak pembimbing kalian baik-baikin kalian, loh. Mentang-mentang kalian adik-adiknya Windblade, bukan berarti kalian bisa santai-santai!” bentak sosok di samping Windblade yang bernama Slipstream.

“I-Iya, maaf, Kak.” Elita terlihat menyesal.

Optimus melirik sekilas ke Elita, lalu ia bertanya pada Slipstream. “Memangnya ini pos apa, Kak?”

“Pos Kepercayaan pada Primus. Kami akan bertanya mengenai keyakinan kalian pada asal mula kalian tercipta hingga sampai ke sini,” jelas Windblade.

“Sebelum ditanya, kenalkan dulu nama kalian. Dimulai dari ketua kelompok.” Slipstream menoleh ke Optimus, seakan ia tahu kalau pemuda berpenutup kepala biru itu adalah pemimpin mereka.

Pos pertama memang tidak terlalu menantang karena Windblade masih tergolong kakak yang baik dan tidak bisa marah, jadi pos pertama itu seperti tempat mereka untuk beristirahat sejenak sebelum menuju pos-pos lain yang dijaga oleh kakak kelas yang tidak sebaik Windblade. 

Salah satu pos yang terbilang cukup menantang adalah pos 3 yang kini sedang dikunjungi oleh kelompok Megatron. Pos 3 itu merupakan pos ketegasan yang dijaga oleh 3 kakak kelas yang menurut Megatron dan anggotanya itu ‘sok sengak’. Mereka hanya bentak-bentak tidak jelas dan memberikan pertanyaan dengan suara tinggi. Akan tetapi, tidak satu pun dari kelompok 8 itu terpancing emosi oleh mereka. Semua anggota kelompok termasuk pemimpinnya, dapat menjawab pertanyaan dengan mudah terkait materi yang disampaikan kemarin. Soundwave yang diam-diam merekam penjelasan dari setiap pemateri yang ada adalah salah satu kunci keberhasilan mereka memahami materi tersebut. 

Untuk pos yang pertama kali dikunjungi mereka, baik kelompok Optimus atau Megatron tidak kehilangan name tag mereka. Optimus mengunjungi pos 2, dan Megatron mengunjungi pos 4. Pos yang dikunjungi Optimus berada di salah satu pendopo taman sekolah dan bisa terbilang masih tidak terlalu menantang, karena pos tersebut tentang Kepemimpinan yang dijaga oleh Sentinel, Ultra Magnus, dan Ironhide. Ironhide sudah pasti berpihak pada Optimus, apalagi Sentinel. Ultra Magnus bertanya pada mereka dengan suara tegas, tetapi masih terkesan baik. Optimus berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang kepemimpinan dengan sangat baik. Pertanyaan yang tidak bisa dijawab anggotanya, juga bisa dijawab oleh Optimus. Lagi-lagi Sentinel membanggakan adik sepupunya itu ketika mereka berenam pergi meninggalkan pos tanpa kehilangan satu name tag pun.

Pos 4 berada di lantai dua sekolah di depan ruang perpustakaan yang dijaga oleh dua kakak kelas. Salah satunya sangat familier di mata Megatron dan anggotanya. 

“Lah, lo jadi jaga pos juga, Kak Astro? Gila. Lo sibuk banget," kaget Starscream. 

"Pakai lo gue di depan kita? Kamu udah nggak punya sopan santun, ya?" seru kakak kelas bermata satu tanpa wajah dengan penutup kepala berwarna biru kehijauan di samping Astrotrain. Wajah masam Astrotrain menjawab semuanya. "Lo jangan bikin gue makin badmood , ya, Starscream. Udah, langsung jawab aja pertanyaan ini."

"Loh, Stro? Kita belum kenalin diri–"

"Ini Whirl, gue Astrotrain. Ini pos debat."

"Anj–"

"Whirl, jangan ngomong kasar di depan adek kelas."

"Lah, lo sendiri juga ngomong lo gue di depan mereka."

"Tapi ngomong kasar lebih parah."

Adu mulut mereka terus berlanjut di depan keenam adik kelas itu. 

Shockwave hendak mengangkat tangan untuk interupsi, namun Megatron menahan tangan tersebut. Ia menggeleng pelan, lalu berbisik, "Ini pos debat."

Setelah mendengar itu, Shockwave langsung paham. Ia pun menonton perdebatan mereka bersama teman sekelompoknya, sampai akhirnya Blurr tiba di sana untuk mengantar mereka ke pos selanjutnya. 

"Hei! Hei! Dari tadi kalian berdua debat sendiri? Udah kasih pertanyaan belum?" lerai Blurr. 

"Oh, iya. Belum!" Whirl menepuk kepala. 

"Lo, sih, buat masalah terus," tuduh Astrotrain pada Whirl. 

"Apaan, sih. Lo juga yang mulai."

"Kalian berdua gue aduin ke Sentinel, ya," ucap Blurr. 

"Eh, jangan, dong!" panik Whirl, tetapi Astrotrain justru cuek. 

"Makanya, jangan berantem! Tumben banget kalian berantem di sini," timpal Blurr. "Ya, udah. Kalian, tutup mata lagi dan pegang pundak masing-masing."

Starscream mendengar perkataan Blurr kalau mereka akan menuruni tangga. Dengan hati-hati mereka pun menuruni tangga itu satu per satu mengikuti apa yang dikatakan. Setelah beberapa menit melewati rintangan yang entah apa itu, akhirnya Blurr menyuruh mereka membuka penutup mata kembali. 

Mereka sudah berada di kantin. Di depan mereka ada empat kakak kelas, satu dari mereka sangat Megatron kenal. 

"Halo, sayang."

Ternyata Arachnia ada di antara mereka, sedang duduk di meja kantin dengan satu kaki bertumpu di atas kaki lainnya. Megatron hanya memandangnya datar, sedangkan yang lain memandangnya waspada–bahkan ada yang tidak suka. 

"Lo cuman tamu di sini. Jangan ganggu kami bertugas," seru seorang kakak kelas dengan sebuah kacamata merah seperti Soundwave.

"Ah, Blitz. Gue cuman nyapa kesayangannya gue, kok," jawab Arachnia dengan suara menggoda. Begitu juga tatapannya pada Megatron yang dibalas dengan tatapan biasa saja. 

"Saya kira Kakak dilarang masuk ke acara ini." Megatron buka suara untuk Arachnia. 

"Memang dilarang, tapi dia nyelinap masuk dari pintu belakang kantin," jawab sosok yang dipanggil Blitz itu. "Ya, udah, langsung aja. Saya Blitzwing, ini Brainstorm dan ini Drift." Ia menunjuk pemuda dengan masker kuning sebagai Brainstorm dan pemuda dengan ornamen kepala berwarna putih dihias permata kuning di bagian tengah atas jidatnya sebagai Drift. 

"Selamat datang di pos negosiasi!" seru Drift dan Brainstorm hampir bersamaan. Dari intonasinya, mereka tampak hangat menyambut mereka. 

"Wah, kayaknya mudah, nih," gumam Starscream pelan, tetapi masih dapat didengar Brainstorm. 

"Oh? Mudah kamu bilang?" Meskipun Starscream tidak dapat melihat wajahnya, ia bisa menebak perubahan ekspresi dari suaranya saja. "Coba sini ikut saya." Tiba-tiba Brainstorm menarik tangan Starscream cukup kasar untuk menjauhi kelompoknya. 

"Eh, ma-maaf, Kak. Saya nggak bermaksud–"

"Diam! Nggak ada yang kasih kamu izin bicara!" bentaknya, berhasil membuat Starscream terbungkam. Tiba-tiba, ia berpindah ke belakang Starscream dan melilit lehernya dengan sebelah tangan–posisinya seperti ia sedang ditawan oleh penjahat. Lalu, mata tajam Brainstorm mengarah ke kelompok 8 dan menyahut, "Teman kalian bakal saya bebasin asal salah satu dari kalian menyerahkan name tag kalian!"

"Ah, jadi ini pos negosiasi," gumam Megatron. 

Drift melihat name tag Megatron, lalu berkata, "Benar. Apa yang akan kamu lakukan sebagai ketua, Megatron?" Ia menekan satu kata di akhir pertanyaannya. 

Megatron ingin sekali berkata, kalau Starscream diambil, ya, ambil aja . Dia nggak berguna banget di kelompok saya . Namun, Megatron tahu kalau itu pasti akan memperpanjang masalah. 

"Apa ada tawaran lain?" Shockwave bertanya ketika Megatron sedang memikirkan rencana. 

"Apa yang ingin kamu tawarkan?" tanya Blitzwing. 

"Saya–"

"Bagaimana kalau," Arachnia menyela sambil melangkah mendekati mereka. Insting laba-labanya berkata kalau salah satu dari mereka ada yang sangat membencinya. Jadi, ia pun mendekati Soundwave dan menarik tangannya cukup kasar menjauhi mereka. "Dua nyawa untuk satu name tag ?" tawarnya. Ketika ia menahan tangan Soundwave yang hendak memberontak itu, salah satu kaki laba-labanya yang sangat sensitif itu merasakan sedikit gelombang elektromagnetik dari jaket yang dikenakan laki-laki itu. Perekam suara? Emangnya boleh bawa perekam suara? batinnya.

Meski begitu, Arachnia memilih untuk tidak segera mengadunya apalagi menggeledah jaket tebalnya. 

"Lah, kok makin banyak?" protes Skywarp. 

"Semakin lama kalian berpikir, semakin banyak anggota yang jadi korban!" seru Brainstorm dari kejauhan. Ia bahkan sempat menyelipkan tawa yang tak wajar saat mengucapkan itu.

"Gini aja, Kak." Megatron membuka suara. "Gimana kalo name tag diganti dengan Kakak bisa makan sepuasnya di restoran saya?"

Keempat kakak kelas itu seketika melongo takjub. Tak luput juga Starscream yang jadi tawanan.

"Hah? Gimana ceritanya lo bisa punya restoran, Ga?" tanya Skywarp terkejut.

"Kan! Gue tahu lo anak orang kaya!" ceplos Starscream pada Megatron. Mendapati tingkah Starscream yang seperti itu, Brainstorm pun mengeratkan pitingannya pada leher Starscream.

"Diam! Udah dibilang kamu nggak punya izin bicara!" bentak Brainstorm kuat.

"Aduh, Kak! Sakit, Kak!" aduh Starscream yang memang mulai kesulitan bernapas.

Secara mengejutkan, Brainstorm menutup mulut Starscream.

"Nih anak cerewet bener, ya. Nggak bisa napas beneran baru tahu rasa kamu."

"Woi, gila lo! Anak orang itu! Lo mau bikin dia mokad?!" teriak Blitzwing pada Brainstorm, tetapi Brainstorm sama sekali tak mengindahkannya.

“Storm, jangan sampe lo beneran bikin dia pingsan. Nggak seru, lah, kalo kayak gitu,” tambah Drift lebih pada membujuk. Alhasil, Brainstorm pun melepas tutupan tangannya dari mulut laki-laki itu. Ia kemudian beralih pandangan pada Megatron.

“Ho? Kamu lebih mentingin name tag dibanding kerugian kamu buat ngasih saya makan gratis di tempat kamu?" tanya Brainstorm mulai memberi pancingan.

"Iya. Emangnya name tag sepenting itu buat ditukar sama voucher makan gratis?" timpal Blitzwing. Drift ikut-ikutan menyudutkan. "Memangnya name tag itu untuk apa, ya? Kok kamu pertahanin sampe segitunya? Padahal tinggal dikasih aja ke kita."

"Sebenarnya menurut saya, name tag ini tidak penting. Harga nyawa anggota saya tidak seharga name tag murahan ini," ucap Megatron sambil menunjuk name tag di dadanya. Sebelum ada yang membalas, ia sudah melanjutkan, "Saya sebenarnya juga kasihan sama kakak-kakak sekalian kalau mendapat name tag saja. Jadi, daripada dapat name tag yang nggak bisa dimakan, kenapa nggak dapat voucher makanan saja?"

Megatron menunjukkan ekspresi iba untuk mereka, tetapi sebenarnya terselip sebuah senyuman tipis yang terkesan merendahkan. Walau begitu, ucapan Megatron ada benarnya juga. Mereka berempat tidak mungkin menolak kesempatan emas ini, bukan? Kapan lagi dapat voucher makan gratis dari adik kelas mereka? 

"Hmm … masuk akal," gumam Drift. 

Brainstrom melepaskan Starscream. "BENERAN DAPET VOUCHER , LOH, YA!!! AWAS KALAU NGGAK!!!" Brainstorm menunjuk Megatron. 

"Iya, tenang aja, Kak. Nanti pas masuk sekolah, saya kasih voucher makannya."

Arachnia tersenyum puas. "Nggak salah aku didik kamu," kata perempuan itu. "Berarti nanti aku bisa apelin kamu di sana, dong, ya."

Megatron tak menanggapi ucapan Arachnia. Soundwave yang masih jadi tawanan menarik tangannya dari genggaman Arachnia dan kembali ke tempatnya. Ia menahan keinginannya untuk membantah agar mereka bisa lanjut ke pos berikutnya. 

"Selamat, Megatron. Kelompok kalian sudah berhasil menyelesaikan pos negosiasi," ucap Blitzwing. 

"Udah selesai?" Blurr datang di waktu yang tepat. "Kalau gitu, tutup mata dan kembali ke posisi. Kelompok tujuh, lanjut ke pos berikutnya."

***

Pos terakhir Optimus ada di pos 5, yaitu pos negosiasi. Sedangkan, pos terakhir Megatron ada di pos 2, yaitu pos kepemimpinan. Hanya dua kelompok itu yang berhasil melewati tiap pos tanpa kehilangan satu name tag pun. 

Wajah Sentinel sudah masam lebih dahulu waktu tahu kelompok berapa yang akan berkunjung ke posnya. Setelah Blurr pergi meninggalkan kelompok tersebut, Megatron juga langsung menatap sinis pada Sentinel. 

"Kalian kenal kami bertiga, 'kan?" Sentinel membuka pertanyaan pada mereka. 

"Kenal, Kak," jawab Starscream. 

"Coba sebutin siapa aja?"

"Kak Sentinel, Kak Magnus, sama Kak .…" Starscream menggantungkan kalimatnya saat menunjuk laki-laki berpenutup kepala merah yang mengenakan jaket kulit berwarna cokelat itu.

"Tadi katanya kenal. Kok nama yang terakhir nggak tahu?" timpal Sentinel. 

"Gimana mau kenal? Kami aja baru pertama kali ngelihat dia," celetuk Megatron, yang berusaha untuk tidak terdengar emosi. 

"Kamu berani ngelunjak?" Sentinel berdiri, tetapi sempat ditahan oleh Ultra Magnus untuk kembali duduk. 

"Nama kakak ini Ironhide," jelas Ultra Magnus pada mereka.

"Sepertinya bukan anggota OSIS, ya, Kak? Saya sudah hapal semua nama OSIS sekarang, tapi nama dia nggak ada," ucap Shockwave. 

"Iya. Saya tamu di sini," jawab Ironhide. "Selamat datang di pos kepemimpinan." Laki-laki itu memberi sambutan.

"Langsung saja, ya, mengingat waktu yang tinggal sedikit," Ultra Magnus menatap Megatron yang berdiri di ujung barisan. "Menurut kamu, apa makna menjadi seorang pemimpin?"

"Menurut saya, menjadi pemimpin berarti dapat mengerahkan, menghimpun, dan menggerakkan anggotanya menuju potensi terbaiknya agar bisa mencapai tujuan bersama."

"Apa tujuan kamu jika kamu menjadi seorang pemimpin?" sambung Sentinel. 

"Tujuan saya adalah untuk membuat tatanan suatu organisasi yang baik di mana semua anggota adalah sama dan tidak memandang derajat apalagi keturunan." Megatron menatap Sentinel balik tanpa rasa takut. "Biasanya suatu organisasi itu merekrut seseorang karena ada orang dalamnya. Jika saya menjadi pemimpin tersebut, kejadian itu nggak akan terjadi. Saya akan menerima anggota sesuai potensi dan bakatnya."

Sentinel tertegun. Ia hampir tidak bisa berkata-kata untuk membantahnya.

Anjir. Ini Megatron nyindir gue? kagetnya dalam hati. 

"Tujuan yang bagus, Megatron," puji Ultra Magnus. "Lalu, bagaimana cara kamu merealisasikannya?" 

"Pertama, saya akan mengenal anggota yang saya punya lebih dulu. Lalu kedua, saya akan memberikan visi dan misi saya. Jika ada yang kurang berkenan dengan visi dan misi saya, bisa dibicarakan baik-baik. Suatu organisasi akan berjalan lancar jika pemimpin dan anggotanya dapat bekerja sama tanpa adanya perselisihan," jawab Megatron mantap. 

"Mengesankan." Ultra Magnus tersenyum sambil membaca kertas di tangannya. "Baiklah–"

"Tunggu dulu. Saya ada pertanyaan lain. Satu pertanyaan nggak bisa dijawab, dibayar dengan dua name tag kalian," sela Sentinel sambil berdiri. Kali ini Ultra Magnus membiarkannya. 

"Wah, name tag kalian belum ada yang diambil, ya," gumam Ironhide sebelum Sentinel mengajukan pertanyaan.

"Pertanyaan saya, seandainya kamu diberi kesempatan untuk memimpin sebuah organisasi, dan di dalam organisasi itu ada sahabat kamu yang sudah kamu anggap sebagai saudara sendiri. Dia punya pandangan yang berbeda soal kepemimpinan dan akhirnya dia coba ngasih tahu kamu buat berubah dan ikut sarannya dia. Kamu akan tetap pada ideologi kepemimpinanmu, atau pada persahabatanmu?"

"Saya nggak punya sahabat, Kak," jawab Megatron biasa. "Apalagi sampe dianggap saudara."

"Seandainya, ya, Ga. Se-an-dai-nya," eja Sentinel. Megatron terdiam cukup lama untuk menjawabnya. "Lima … empat … tiga … dua … satu …. Nggak bisa jawab?"

"Sabar, Kak. Saya lagi mikir, karena jujur, saya nggak pernah bayangin ada di posisi itu."

"Makanya, coba bayangin," balas Sentinel masih terlihat sabar. Megatron tampak memutar akal cepat supaya bisa menjawab pertanyaan itu.

"Gini, sih, ya, Kak. Organisasi itu kan urusannya punya tujuan bersama. Berarti saya harus dengerin pendapat mereka semua dan harus lihat pada fakta yang ada, pendapat mereka mendukung atau enggak demi kemajuan organisasi. Kalo emang sahabat saya ini penting buat saya, punya peran penting juga di organisasi, ya, saya bakal coba pertahanin dia."

"Pertahanin gimana? Sementara dia punya pandangan yang beda sama kamu."

"Bujuk dia supaya setuju sama ideologi saya."

"Kalau dia bersikeras sama pendiriannya dia?"

"Ya, berarti saya harus ngelawan dia."

"Jadi kamu ngorbanin sahabat kamu? Katanya sahabat kamu penting. Jadi yang bener yang mana, nih?"

Megatron mulai pusing dengan Sentinel yang memutar-mutar omongan. Ia masih mencoba memikirkan jawaban yang membuat Sentinel tak bisa bertanya lagi, tapi kali ini rentetan kata yang meyakinkan tak kunjung muncul di benaknya.

"Waktu habis. Dua name tag anggota kamu saya ambil." Sentinel menarik name tag milik Thundercracker dan Skywarp bersamaan sampai talinya putus. 

"Kak, pertanyaan kayak gitu perlu waktu buat dijawab. Nggak gampang buat jawab pertanyaan seberat itu–"

"Halah, banyak omong." Sentinel menyela ucapan Soundwave dengan menarik name tag miliknya juga.

"Tadi kakak bilang tarik dua name tag , kenapa punya Soundwave juga ditarik?" protes Megatron. 

"Itu jawaban finalnya?" Sentinel berhasil meraih name tag Starscream.

"Eh, Kak, jangan!!!" Starscream hendak mempertahankan name tag miliknya. 

"Bukan itu jawabannya, tapi–"

Suara tali putus terdengar kuat kala Sentinel langsung menarik kuat name tag milik Starscream. "Kalimat yang keluar dari mulut kamu adalah jawaban! Kalau jawaban kamu belum memuaskan juga, name tag anggota kamu yang terakhir bakalan saya copot!"

Sentinel memberikan empat name tag itu kepada Ironhide, lalu berjalan menuju Shockwave. 

"Jika Megatron nggak boleh bicara, maka saya boleh bicara," ucap Shockwave sambil menjauhkan name tag -nya dari jangkauan Sentinel. "Saya bukan ketua. Jadi kata yang keluar dari mulut saya bukan jawaban dari pertanyaan itu."

"Uhh, kamu mau jadi pahlawan? Sayang sekali, saya nggak kasih kamu izin bicara," balas Sentinel. 

"Setiap kakak pembimbing memberitahu peraturan selama LDKS kepada peserta sebelum acara LDKS dimulai, dan saya hafal betul dengan peraturan tersebut," kata Shockwave yang mencoba tidak menggubris balasan Sentinel. "Di situ tertulis bahwa orang asing atau yang bukan peserta dan panitia, tidak diperbolehkan berada di sekitar sekolah. Lalu, kenapa ada Kak Ironhide di sana? Padahal dia bukan siapa-siapa di sini, bukan?"

"Benar, dia tamu. Dulu dia ikut OSIS juga." Kali ini, Ultra Magnus yang menjawab. 

"Kalau begitu, mengapa Kak Arachnia dilarang ada di sini?"

Sentinel terbelalak. "Arachnia ada di sini?"

"Iya. Dia di pos lima. Tapi–"

"Aduh! Optimus sekarang di pos lima lagi!" panik Sentinel. Terjadi keheningan seketika. Megatron sebisa mungkin untuk tidak buka suara menanggapi kespontanan Sentinel.

"Terus kenapa kalau Optimus ada di sana?" heran Starscream, seakan baru saja mewakili isi pikiran Megatron. 

Sentinel berdeham sejenak. "E-Ehmm … maksudnya … seharusnya Kak Arachnia nggak boleh ada di sini karena dia belum izin ke saya selaku ketua pelaksana. Sedangkan, Kak Ironhide sudah dapat izin."

"Bukan karena Ironhide temen lo, Kak?" Megatron tak dapat menahan balasan spontan yang meluncur dari mulutnya begitu saja. Sentinel menatap garang padanya, pun Magnus yang langsung membelalak lebar.

"Megatron, cukup. Ucapan kamu udah kelewatan," tegur Magnus padanya. Sentinel pun berjalan semakin dekat ke arah Shockwave.

Shockwave masih mencoba melindungi diri dengan pertanyaan. "Kenapa Kak Arachnia nggak dikasih izin? Lalu kenapa Kakak panik waktu Optimus ada di pos lima?" cecar Shockwave. Satu mata kuningnya menatap Sentinel lekat-lekat. "Kalau Kakak sendiri nggak bisa jawab pertanyaan sesimpel itu, bukannya nggak logis kalau Kakak memaksa Megatron untuk menjawab pertanyaan yang kompleks dari Kakak?" Suara Shockwave merendah dan terdengar mengintimidasi. 

"Persetan!" Sentinel langsung menarik sisi tali name tag Shockwave. Tali itu pun terputus. Name tag itu lolos dari tangan kanan Shockwave dan ia tidak bisa meraihnya lagi dengan tangan kirinya. 

Sentinel membanting langkah menuju Ironhide untuk memberikan name tag terakhir.

"Anjir, lo emosi banget," bisik Ironhide pelan.

"Gedeg gue sama tuh dua orang. Sok iya bener," balas Sentinel pelan.

"Sentinel, jaga kata-kata kamu di depan mereka," tegur Ultra Magnus. 

"Maaf, Kak Magnus," sesal Sentinel. Ia melihat Blurr baru tiba di belakang kelompok itu. Ia mengingatkan mereka kalau waktu mereka sudah habis. "Ya, sudah. Kalian silakan kembali ke tengah lapangan. Kalian gagal di pos kepemimpinan."

"Gagal? Tapi saya bisa menjawab pertanyaan dari Kak Magnus," protes Megatron. 

"Tapi nggak bisa jawab pertanyaan saya." Sentinel menekankan. "Banyak lagak aja kamu rupanya, ya. Banyak omong. Sekarang, cepat kembali ke lapangan!"

Megatron mencibir, "Cih. Pemimpin nggak becus."

"Lo bilang apa?!" Sentinel yang sudah emosi, semakin meradang. "Lo kalo nggak mampu, jangan ngata-ngatain orang!"

Tadinya Megatron sama sekali tidak menyimpan emosi. Ia hanya melontarkan kalimat dari pikiran apa adanya. Namun, mendengar kata nggak mampu dari mulut Sentinel langsung membuatnya naik pitam.

"Lo ngerasa mampu gitu jadi orang?!" Megatron berbalik badan menghadap Sentinel langsung. Kelima temannya pun terkejut mengetahui tiba-tiba Megatron termakan emosi oleh omongan Sentinel itu.

"Sentinel! Megatron! Jangan buat keributan!" bentak Ultra Magnus seraya berdiri. 

Blurr buru-buru menyuruh mereka berbaris kembali, lalu mengajak mereka menuju tengah lapangan sebelum terjadi baku hantam antara junior dan senior. Ia sampai lupa menyuruh mereka tutup mata lagi. 

"Yah, name tag kita diambil," keluh Skywarp, mencoba mencairkan suasana. 

"Bodo amat sama name tag , yang penting gue nggak dicekik kayak di pos lima tadi," ucap Starscream. 

" Name tag gue bagus, Bang. Sayang kalau diambil gitu aja," balas Skywarp, tapi Starscream hanya memutar mata.

Ia memandang Megatron sebentar. "Ga, tadi kok lo tiba-tiba tersinggung dikatain sama Sentinel?" tanyanya. "Kayak …."

"Kayak apa?" Mata nyalang Megatron lekas melirik Starscream. Ia terkesiap. Selama mengenal Megatron, ia tak pernah mendapati Megatron semarah ini. Akhirnya, lagi, ia pun membiarkan pertanyaan yang ia ucapkan menggantung tanpa jawaban.

Kayak … Lo nangkap ucapan Sentinel dengan arti yang lain. Starscream berpikir demikian, dan penasaran apakah yang lain juga berpikir seperti itu.

Megatron melihat sekitar lapangan, terutama kelompok yang baru selesai dari semua pos. Ternyata memang tidak ada kelompok yang name tag -nya lengkap. Bahkan, ada yang tidak punya name tag sama sekali. 

Kemudian matanya beralih ke kelompok yang baru saja selesai dari pos lima. Megatron tersenyum ketika ia melihat wajah Optimus yang tampak sedih. Megatron lebih senang lagi ketika tahu hanya Optimus yang memiliki name tag , tidak dengan kelima anggotanya. 

"Wah, pantes aja Kak Sentinel panik waktu tahu Kak Ara ada di pos lima," komentar Starscream setelah melihat kelompok Optimus. Ia melirik Megatron sejenak untuk melihat tanggapannya. 

"Untung aja Kak Arachnia ada di sana. Ah, gue jadi penasaran sama reaksi Sentinel waktu adik kesayangannya itu sedih."

Starscream menutup omongan. "Iya. Kayaknya dia peduli banget sama Optimus."

Chapter 11: LDKS (3)

Summary:

Optimus tiba di post negosiasi, dan ini kali pertama dia ketemu sama Arachnia. Gadis siluman laba-laba itu ikut2an buat nego sama Optimus. Apa yang bakal Optimus lakukan biar name tag teman2nya selamat? Apa yg akan Optimus berikan pada mereka? Mungkinkah barang2 mahal? Atau jual dir-- /author ditabok

Megatron sama Shockwave gak bisa tidur, mereka diskusi bareng ttg LDKS. Tiba2 Shockwave tanyain hubungan Megatron sama Arachnia karna saking deketnya mereka. Tp Shockwave secara gk lngsung dikatain bego sm Megatron. Mungkinkah Megatron beneran pacaran sama Arachnia?

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

“Waduh … banyak banget.” Begitu gumam Jazz sepelan mungkin ketika ia baru melepaskan penutup matanya. Optimus juga ingat betul kalau pos-pos sebelumnya paling banyak diisi oleh tiga kakak panitia. Akan tetapi, di pos terakhir ini, ia melihat ada lima kakak kelas yang menyambut mereka. 

“Langsung aja karena masih banyak kelompok yang belum ke sini. Nama saya Blitzwing, yang pakai masker kuning itu Brainstorm, dan yang punya ukiran mencuat-cuat warna putih di kepalanya ini Drift. Selamat datang di pos negosiasi,” ucap Blitzwing dengan suara monoton. 

“Blitzy lupa memperkenalkan aku yang paling menawan di sini,” sambung satu-satunya perempuan yang menjaga pos tersebut. “Halo, adik-adik manis. Perkenalkan, aku Blackarachnia. Senang bertemu dengan kalian.” Ia menyunggingkan senyum manisnya yang terkesan beracun sambil melambaikan jari-jari lentiknya.

Optimus tertegun. Dalam hati ia berkata, Oh, jadi ini yang namanya Blackarachnia .

“Kan udah dibilang. Kamu, tuh, nggak diundang di sini, Ra,” ucap Drift.

“Tamu tak diundang dan tak diharapkan,” sambung Brainstorm.

“Jahatnya …,” keluh Arachnia sambil memanyunkan bibirnya. 

Meskipun bukan ditujukan kepadanya, tetapi Elita sedikit tersinggung ketika kumpulan laki-laki itu menyudutkan Arachnia sebagai satu-satunya perempuan di sana. “Maaf, Kak. Bukan bermaksud lancang, tapi saya pikir ucapan Kakak ke Kak Arachnia itu cukup jahat. Hati perempuan umumnya lebih sensitif dibanding laki-laki, jadi nggak bisa semua itu dibercandain,” ungkap Elita.

Perhatian mereka langsung tertuju kepada Elita, bahkan teman sekelompoknya juga. Mereka tak menyangka Elita akan berpihak ke Arachnia.

“Eh ... bentar. Nggak salah denger, tuh? Kamu bela Arachnia?” ulang Drift dengan dua alis terangkat.

“Wah, kayaknya adik kelas satu ini belum tahu kelakuan Kak Arachnia-nya ini gimana,” kata Brainstorm terkesan agak merendahkan.

Arachnia beranjak dari atas meja, lalu melangkah mendekati Elita dengan senyuman manis di wajahnya. “Ah, aku jadi tersentuh. Selama ini nggak ada yang bela aku.” Ia berdiri di samping Elita dan merangkulnya.

“Kita sama-sama perempuan. Sudah sepantasnya kita saling mendukung satu sama lain,” jawab Elita seraya membalas senyumannya.

Optimus merasa bersalah karena ia tidak menceritakan apa yang sudah ia ketahui tentang Arachnia dari Sentinel kepada anggota kelompoknya itu. Pun, sebenarnya ia juga tidak pernah tahu kalau ternyata Arachnia bakal datang ke tempat itu. “Elita.” Akhirnya Optimus memanggilnya. “Sepertinya ada sedikit kesalahpahaman di sini. Kak Arachnia–”

“Bukan kesalahpahaman, Optimus. Tapi kurangnya wawasanmu,” potong Arachnia. Lalu, ia menoleh ke Elita. “Elita sayang, gimana kalau kamu ikut Kakak aja?” Ia mengajaknya menjauh dari kelompok itu.

“Ke mana, Kak?”

“Sini aja. Jangan dekat-dekat teman sekelompokmu itu.”

“Kak, tapi mereka teman sekelompok saya,” tolak Elita. “Saya nggak bisa–”

“Kalau kamu kembali ke kelompokmu, aku bakal tarik name tag kamu.” Arachnia meraih name tag Elita, sebelum Elita sempat menjauhkan name tag itu.

“Kok, Kakak jadi khianatin saya? Padahal saya udah dukung Kakak tadi.” Elita terlihat kecewa.

Arachnia tertawa sekilas. “Tapi aku nggak minta dukungan kamu, sayangku,” balas Arachnia. “Lain kali jangan terlalu naif, ya, Dek. Lihat siapa yang kamu tolong. Jangan sampai kamu menyesal karena sudah menolong orang itu,” lanjutnya sambil mengusap puncak kepala Elita sekilas sebelum ia kembali memandang Optimus.

“Jadi Kakak tawan Elita?” tanya Optimus mulai merasa sangsi. “Apa nggak ada tawaran lain buat saya bisa dapetin Elita ke kelompok saya lagi?” tanya Optimus pada Arachnia.

Ketika perhatian mereka teralihkan ke posisi Elita dan Arachnia, diam-diam Brainstorm mendekati Ratchet yang berdiri di paling pinggir dan menariknya menjauh. “Bagaimana kalau perempuan itu ditukar sama laki-laki ini?” seru Brainstorm.

“Loh, kok jadi saya?” kaget Ratchet.

“Oh, kamu mau ada temennya? Ya, udah, aku cariin kamu temen.” Brainstorm menarik Jazz sebelum ia sempat menghindar. “Dua laki-laki untuk satu perempuan. Bagaimana?”

“Lah, kenapa jadi banyak, dah?” bingung Blaster. “Ini maksudnya ngepain, sih?”

“Negosiasi,” jawab Drift. “Kamu mau tawarin apa biar teman-teman kamu kembali?”

“Ehh … apa, ya?” Blaster menoleh ke Optimus. “Tawarin apa, nih, Mus?”

Optimus berpikir sejenak sambil memperhatikan satu per satu teman-temannya yang ditawan, serta kelima kakak kelasnya yang ada di pos tersebut. Sebuah ide terlintas di benaknya. “Ini boleh tawarin apa aja, 'kan?” tanya Optimus memastikan.

“Apa aja! Mau ginjal, kek. Mau donor mata, kek. Mau sertifikat tanah, kek. Yang penting bisa ditawarkan!” seru Brainstorm penuh semangat.

“Anjay, ginjal sama mata. Langsung kaya, dong,” gumam kakak kelas dengan penutup kepala yang mirip seperti Ratchet seraya tersenyum membayangkan tawaran itu. Perbedaannya hanya pada warna penutup kepalanya yang merah–dengan ukiran dan bentuk yang sedikit lebih rumit–dan ornamen menukik pendek putih pada area keningnya.

“Yang ada, kita langsung dipanggil polisi!” seru Drift.

“Ya, tapi kita diskusi dulu, dong. Aku yang tanggung jawab di pos ini. Kalau kalian buat masalah, aku yang kena!” timpal Blitzwing pada ketiga laki-laki itu. Ia beralih memandang Optimus. “Jadinya kamu mau tawarin apa? Sebagai ketua, kamu buat keputusan apa?”

“Kalau kamu kelamaan mikir, name tag teman-temanmu langsung kami ambil,” tambah Drift. Ia tiba-tiba menarik name tag Ratchet sampai terputus.

“Kenapa punya saya diambil duluan?! Optimus belum jawab, Kak!” protes Ratchet.

“Tapi Optimus lagi mikir. Kan saya bilang, makin lama mikir, makin banyak name tag yang diambil.”

“Awalnya Kakak nggak bilang gitu, yak! Kelamaan mikir, name tag -nya langsung diambil. Bukan diambil satu-satu begini!” Ratchet masih tak terima.

“Berisik banget, sih.” Drift menepuk kepala Ratchet pelan dengan name tag itu, sebelum ia menghampiri Blitzwing untuk memberikan name tag tersebut.

“Masih belum ada jawaban, Optimus?” sambar Arachnia seraya menarik-narik pelan name tag Elita.

“Ada, Kak,” seru Optimus. “Gimana kalau saya kasih voucher makanan sama minuman khas Iacon? Ibu saya jualan–”

“Halah, makanan lagi, makanan lagi,” keluh Brainstorm.

“Sebelumnya, ada kelompok yang menawarkan kami voucher makanan juga,” jawab Blitzwing. “Apa ada tawaran lain?”

“Ehmm .…” Optimus kembali berpikir. Sebuah ide terpintas di kepala Blaster, yang langsung ia bisikkan ke ketuanya. Setelah itu, barulah ia berkata lagi, “Mau dipijitin nggak, Kak?”

"Oh, nggak bisa. Kalo soal pijat Kakak ini jagonya.” Brainstorm menghampiri kakak kelas yang belum memperkenalkan diri itu dan menempelkan sikutnya di atas bahu laki-laki itu. “Kenalin, ini namanya Kak Pharma. Dia paling jago kalo urusan pijat-memijat.”

Pharma protes, “Anjir lo. Gue capek-capek belajar medis biar masuk kedokteran, lo bilang tukang pijat.”

“Tapi kan lo emang suka pijetin gue. Pijetan tangan lo nggak ada yang ngalahin, Ma,” balas Brainstorm.

“Wah, wah. Kak Pharma berani ngomong kasar di depan adik kelas, ya,” kata Arachnia sambil tersenyum licik.

Pharma langsung menutup mulut rapat. Dari wajahnya sudah bisa dipastikan kalau ia lupa ada Arachnia yang berada tak jauh dari tempat mereka.

“Wayolo, Kak Pharma. Pasti bakal diaduin Arachnia ke Kak Magnus, tuh.” Brainstorm menunjuk-nunjuk Pharma.

“Lo yang mulai, sih!” gerutu Pharma sambil mendorong pundak Brainstorm.

“Lah, lo yang mulai ngomong kasar–”

Blitzwing berdiri di antara mereka. “Kalian jangan berantem! Nanti Arachnia–”

Too late !” seru Arachnia sambil menarik name tag Elita. “Aku bakal adukan ini ke Kak Magnus!” Ia lempar name tag itu ke arah Blitzwing sebelum ia berlari cepat keluar dari pos lima yang berada di kantin.

“Sialan! Gue kejar dia dulu!” Pharma beranjak dari kursi dan segera berlari mengejar Arachnia.

Name tag itu tidak sampai ke tangan Blitzwing dan jatuh ke lantai dekat Optimus dan Drift. Optimus hendak mengambil kertas laminating itu, tetapi tangan Drift jauh lebih cepat. “Eitt, saya duluan,” ucap Drift.

“Gimana? Kalian nggak ada tawaran lain?” tanya Blitzwing.

“Kalo saya nyanyiin sambil gitaran mau nggak, Kak?” tanya Jazz.

Brainstorm tertawa geli. “Emangnya Kakak apaan? Cewek kamu?”

“Mau, dong, dinyanyiin.” Drift memiliki pendapat berbeda.

“Gitarnya mana, Kak?” tanya Jazz.

“Kan kamu yang tawarin nyanyi sambil gitaran. Ya, kamu sendiri yang sediain gitarnya, lah,” timpal Drift.

Blaster tunjuk tangan. “Aku bisa bantu ngiringin pukul meja sambil beatbox ,” ucapnya. Jazz tersenyum bangga.

“Oke, silakan. Emang mau nyanyi apa?”

Can't Hold Us by Macklemore and Ryan Lewis featuring Ray Dalton.”

“Mantap. Lagunya asyik, tuh. Tapi emangnya kamu bisa rapnya?” tanya Brainstorm yang mulai antusias.

“Bisa, dong, Kak. Ayo, Blast!”

Blaster menghampiri meja kantin dan mulai mengetuk meja tersebut dengan dua tangannya mengikuti ketukan salah satu lagu yang ia sukai itu. Ia juga mengiringi Jazz dengan beatbox yang menyesuaikan dengan musik tersebut.

Saat mendapat ketukan yang sesuai, Jazz langsung memulai lagu tersebut dengan rap sesuai dengan lagunya. Ia dengan mudah menyebutkan kata-kata cepat di dalam lagu itu. Meskipun dengan iringan musik seadanya, Jazz terlihat menghayatinya.

“Can we go back? This is the moment

Tonight is the night, we'll fight 'til it's over

So we put our hands up

Like the ceiling can't hold us.”

Bahkan bagian reffrain pun juga Jazz nyanyikan. Akhirnya, Jazz selesai menyanyikan lagu tersebut hingga selesai. Jazz mendapat tepuk tangan dari teman-teman sekelompoknya, bahkan dari Drift dan Brainstorm juga.

“Anak band banget, nih. Keren, dah!” seru Brainstorm.

“Saya emang tertarik di band, Kak.” Jazz tertawa malu.

“Berarti udah, 'kan, Kak? Kita bisa dapat name tag kita balik?” tanya Optimus.

“Udah apanya? Yang minta dinyanyiin kan Kak Drift doang. Seperti kata saya pertama tadi, kita harus diskusi dulu kalau menerima tawaran kalian,” jawab Blitzwing sambil berdiri. “Ya, udah, karena nggak ada yang bisa ditawarin selain name tag , name tag -nya Kakak ambil, ya.”

Akhirnya anggota Optimus kehilangan name tag mereka berlima. Ia pun keluar dari pos lima dengan wajah sedih dan kecewa, meskipun name tag miliknya masih melingkar di lehernya.

***

Peserta LDKS baru diperkenankan kembali ke kelas masing-masing untuk istirahat ketika waktu sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Mereka punya waktu 2 jam istirahat sebelum dibangunkan kembali untuk sarapan. 

Soundwave melirik kembar tiga yang sudah tertidur pulas. Ia ingin sekali berbaring seperti mereka juga, tetapi sayangnya masih ada pembahasan penting yang sedang diangkat Shockwave dan Megatron. Mereka berdua mendengar hasil rekaman selama jurit malam yang didapat Soundwave melalui earphone yang sudah menempel dengan rekaman tersebut. Mereka berdua sudah memintanya untuk tidur saja, tetapi Soundwave masih belum bisa mempercayakan rekaman berharganya itu pada mereka dan tidak mau rekamannya itu disita jika ada kakak panitia yang melihat. Alhasil, ia pun harus duduk bersama mereka bertiga sambil menahan rasa kantuk.

“Dari lima pos yang kita lewati, cuma pos lima yang dapat sesuatu dari kita. Coba bayangin, Ga. Kalo mereka pake cara yang sama buat ‘negosiasi’ mereka, udah berapa banyak barang, makanan, atau mungkin uang yang udah mereka dapetin?” komentar Shockwave. “Sejauh pengetahuan gue, acara LDKS seperti ini bukan ajang untuk memeras siswa, meskipun di aturan peserta dan panitia LDKS nggak tertulis pelarangan memeras itu,” lanjutnya.

“Hmm … masuk akal,” gumam Megatron sambil mengusap dagu. “Tadi gue lihat Kak Arachnia lari dikejar siswa lain. Sepertinya sekarang dia lagi nggak bisa ngomong sama gue.” Megatron berdiri untuk melihat keluar jendela sejenak. “Di sekitar sini juga dijaga sama kakak kelas. Dia nggak mungkin bisa ngomong sama gue di sini juga.” Ia pun kembali duduk.

“Saran gue, mending lo aduin ini ke guru kalau LDKS ini ada unsur pemerasan pada siswa.”

Ketika Megatron hendak membalas, ia melihat tubuh Soundwave terhuyung ke depan. Tangan Megatron refleks menahan pundaknya dari kanan, sedangkan tangan kanan Shockwave spontan menahan pundak kirinya sebelum tubuh itu menabrak lantai.

“Hei, Soundwave. Udah gue bilang, 'kan, buat tidur aja,” kata Megatron.

Soundwave kembali setengah sadar. “Rekaman gue balikin dulu.”

“Ini. Kita udah denger semuanya. Makasih.” Shockwave mengembalikan rekaman kotak itu pada pemiliknya. 

“Kalian nggak tidur?” tanya Soundwave seraya mengantungi rekaman tersebut ke saku jaket bagian dalam yang tersembunyi.

“Nggak bisa tidur,” jawab Shockwave.

“Ada yang mau gue bahas bareng Shockwave. Gue juga lagi nggak ngantuk,” kata Megatron.

“Oh, oke. Gue tidur dulu.” Akhirnya Soundwave bisa membaringkan tubuhnya di sebelah Thundercracker yang memang kosong.

Shockwave memandang Soundwave sejenak yang tampaknya langsung pulas itu, sebelum ia memandangi Megatron yang kini sedang melihat sebuah tulisan di atas kertas. Tulisan itu berisi beberapa percakapan singkat yang Megatron dengar dari rekaman.

“Mengingat lo kayaknya sering komunikasi sama Kak Arachnia … Lo beneran bukan pacarnya dia?” 

“Pertanyaan lo nggak bisa yang lebih berbobot lagi?” tanya Megatron tanpa melepas pandangan dari kertas itu.

Shockwave diam sebentar. “Soalnya terlalu asing kalo dua lawan jenis bisa sebegitu dekatnya tanpa ada hubungan apa-apa.”

“Sebegitu dekat apanya.” Megatron masih menekuri pandangannya pada kertas itu. “Hubungan gue sama Kak Ara cuma hubungan timbal-balik. Dia cuma nggak bisa buat nggak nyeplos 'sayang' ke orang aja.” Ia melirik Shockwave sesaat. “Dibilang risih, ya, gue sebenernya risih. Cuma gue berusaha buat kelihatan nggak peduli aja.”

I see ,” tanggap Shockwave padanya. “Lo pinter manfaatin orang, ya.”

Megatron yang sedang membaca-baca tulisan pada kertas itu lantas menaikkan kepala dan melirik pada Shockwave lagi. Sejauh ini, Shockwave adalah orang pertama yang tak sungkan mengeluarkan komentar seperti itu padanya.

Yah, itu bukan komentar yang mesti selalu dimaknai negatif juga, sih , pikir lelaki berpenutup kepala abu-abu itu, jadi ia tidak punya keinginan untuk membalas komentar tersebut. Ada sesuatu yang lebih penting untuk dibahas. "Nanti abis sarapan dan senam, ada agenda main game . Gue nggak tahu di sini name tag kita bakal dibalikin kalau kita menang main game atau enggak. Tapi menurut lo, kita harus bisa dapet name tag kita balik, apa lebih baik kita berpegang teguh pada pendirian kalau name tag itu cuman kertas laminating yang ditulis nama kita?"

"Lo tanya pendapat ke gue?" tanya Shockwave tak menyangka. 

Megatron memandangnya dengan tatapan meyakinkan. "Gue tahu analisis lo kuat sejak gue lihat lo debat sama Sentinel, walau, yah, kalo setaraf itu, sih, di mata gue masih belum ada apa-apanya. Lo kan juga juara olimpiade. Harusnya nggak diragukan lagi kepintaran lo."

Shockwave terdiam sejenak. Ia bukan pembaca pikiran yang bisa mengetahui apakah Megatron sedang mencoba memanfaatkannya juga apa tidak. Walau begitu, Shockwave tidak ambil pusing karena sebenarnya, ia sendiri juga memang sudah tertarik pada cara pandang Megatron tentang sebuah kepemimpinan. Ia juga cukup penasaran mengapa Megatron begitu kesal ketika berdebat dengan Sentinel.

“Lo tahu gue juara olimpiade dan berani komentar omongan gue ke Sentinel belom ada apa-apanya,” balas Shockwave pada lelaki itu. “Emang lo sepintar apa?”

“Sepintar orang yang bisa paham sama omongan dan cara berpikir lo tanpa perlu punya titel juara olimpiade,” ucap Megatron percaya diri. Antena Shockwave naik mendapati omongan Megatron yang penuh kepercayaan diri itu.

"Oke, lo minta pendapat gue,” kata Shockwave pada akhirnya. “Di aturan itu tertulis kalau name tag adalah harga diri kita. Gue nggak tahu kalau kehilangan name tag bakal mengurangi poin. Pun sebenarnya, gue juga nggak lihat di aturan itu kalau LDKS ini ada pemenangnya apa enggak. Kalaupun ada, seharusnya kita punya poin paling tinggi karena kelompok kita paling sering maju ke depan dan paling lengkap catatan materinya. Kehilangan name tag pun nggak masalah. Yang gue lihat, semua kelompok nggak ada yang name tag -nya lengkap. Paling banyak mungkin sekitar dua atau tiga name tag yang bertahan dalam satu kelompok." Shockwave mengambil satu name tag yang tergeletak di depan Megatron dan memandanginya. "Walaupun kita cuman punya satu name tag , logisnya kita masih lebih tinggi dari kelompok yang nggak pernah maju atau aktif selama pemateri."

Megatron tersenyum samar pada penjelasan itu. " Jadi intinya …."

"Intinya, kita nikmati aja game yang ada tanpa mikirin name tag . Sebentar lagi acara ini selesai. Buat apa mikirin kertas laminating ini?" Shockwave menatap Megatron sambil mengembalikan name tag itu pada pemiliknya. 

"Kita punya pemikiran yang sama." Megatron mengalungkan name tag itu di lehernya. 

"Kalau lo juga mikirin itu, kenapa lo minta pendapat gue?" heran Shockwave. 

"Gue ngetes lo." Megatron melihat dua antena Shockwave menurun ketika ia menjawab itu. 

"Lo salah banget udah ngetes juara satu olimpiade sains kayak gue," timpal Shockwave. 

Megatron tertawa sekilas sambil menepuk pundak Shockwave. "Ternyata lo bisa sombong, ya," ucapnya. 

Shockwave mendengus. "Jangan lupa laporin itu ke guru sebelum kakak-kakak yang jaga pos lima keenakan dapat sesuatu dari angkatan kita buat dituker sama kertas laminating.” Shockwave mengingatkan sambil menunjuk kertas yang dipegang Megatron. 

"Iya. Nanti kita kasih bukti rekaman Soundwave aja. Bukti itu lebih kuat. Catatan ini buat gue pelajarin aja."

"Pelajarin buat apa?"

"Ada beberapa pertanyaan penting yang bisa gue jawab yang menurut gue itu ilmu penting. Terus pertanyaan Sentinel yang nggak bisa gue jawab itu … walau gue kesel banget sama dia, sebenarnya pertanyaan Sentinel itu sangat bagus. Gue nggak tahu ke depannya gimana, tapi gue yakin kalau situasi yang Sentinel buat itu, bisa jadi menimpa gue juga. Entah beberapa bulan lagi atau berpuluh-puluh tahun lagi, gue harus tahu jawabannya sebelum gue benar-benar ada di situasi itu."

Mata satu Shockwave memandang Megatron lurus mendengar hal itu. “Terkait itu,” katanya memulai omongan lagi. “Lo kok tiba-tiba naik darah waktu dikatain Sentinel nggak mampu ?”

Lirikan Megatron kali ini tampak lebih masam, dan butuh beberapa waktu baginya untuk memberi jawaban. “Gue nangkepnya dia udah ngira dan sembarang ngukur kemampuan gue duluan kalo gue nggak bisa jadi ketua kayak dia gitu. Makanya gue nggak terima.”

Shockwave tak memberi balasan apa-apa. Ia tampak sudah cukup puas dengan jawaban lelaki yang kembali menekuri kertas di pegangan tangannya itu.

Notes:

Dear readers, kalian sadar gak kalo Prowl itu sbnrnya ada di kelompok Optimus?
Tp di sini gak muncul samsek Prowl nya dan malah kek gak dianggep samsek selama di post nego. Duh kasian banget ya. Sabar ya Prowl :" )

//Prowl meninggalkan fanfiction

Eh jangan ngambek dong!
Bentar ya. Dirujuk dulu. Moga2 nanti dia mau muncul lagi hehehe

Chapter 12: LDKS (4)

Summary:

Hari terakhir LDKS.
Wayoloo Soundwave ketahuan bawa rekaman sama Arachnia. Kira2 dia bakal ngepainin Soundwave ya? Kira2 Arachnia bakal cepu ke panitia gak ya?
Terus waktu rebut2an name tag. Optimus sama Megatron saling bernego biar mareka dapet anggota name tag masing2. Gimana tuh ya cara negonya? Mungkinkah nego2an mereka terasa kayak nego2an waktu mereka lagi terpecah jadi 2 kubu //ehh

Chapter Text

Minggu pagi adalah hari terakhir acara LDKS di sekolah itu. Mereka tidak diperkenankan mandi terlebih dahulu karena kata panitia acara, mereka akan bermain game dan akan kotor-kotoran. Jadi, lebih baik setelah bermain game saja. Mereka hanya dibolehkan cuci muka dan gosok gigi saja sebelum sarapan. 

Dari lantai tiga, seorang perempuan dengan kaki laba-labanya itu sedang mengamati barisan peserta LDKS sambil bertumpu tangan. Tatapannya tampak bosan. Sesekali ia menguap saat mengamati mereka. 

"Ra? Gue kira lo udah pulang."

Tanpa menoleh, ia tahu siapa pemilik suara itu. "Lo pikir gue bakal pulang setelah dibentak-bentak? Nggak bakal, Say," balas Arachnia.

“Lo dibentak sama Kak Magnus?” tanya Windblade penasaran.

“Kagak. Sama Sentinel yang sok iya itu, lah. Kak Magnus emang marah, cuma lo tahu lah tabiat Kak Magnus gimana.” Ia menjelaskan perangai ketua OSIS yang selalu tenang dan tampak kaku itu. "Gue justru mati bosan kalo di rumah terus. Lo sendiri ngepain di sini? Bukannya lo ngawasin anak-anak lo?"

Windblade ikut bersandar ke pembatas lantai tiga itu. "Dari sini gue juga bisa ngawasin Optimus dan kawan-kawan," ucapnya sambil mencari di mana anak-anaknya berada. "Lo nggak ada kapoknya, ya, Ra. Padahal udah dilarang dateng ke sini dan nggak boleh ikut campur sama urusan LDKS. Apa karena Sentinel jadi ketua pelaksananya?"

"Itu salah satunya. Gue juga ada urusan lain di sini, tapi kayaknya urusan itu bakal susah selesainya," jawab Arachnia dengan mata terfokus pada siswa dengan penutup kepala abu-abu itu, Megatron. 

"Urusan apa?"

Gue nggak bakal kasih tahu lo, lah, batin Arachnia. Walau begitu, sebuah ide terlintas di benaknya yang membuatnya menyembunyikan senyum liciknya. "Lo tahu 'kan gue ada di sini. Dilarang ke lantai satu sampai semua acaranya selesai. Padahal gue bermaksud buat bantu kalian." Ia menghadap ke Windblade sambil menunjukkan wajah sedihnya. 

"Bantu apa? Bukannya lo di sini cuman buat tukang adu sama buat onar aja?"

"Ah, orang yang udah dibenci, emang susah, ya, buat ngelihat kebaikan orang itu. Padahal niat gue baik loh."

"Gue nggak benci sama lo, tapi semua orang tahu kelakuan lo kayak apa,” ucap Windblade pada perempuan itu. Biar begitu, ada rasa tak enak mampir dalam hatinya. “Ya, udah. Iya, sorry . Lo mau bantu apa, Ra?" 

Arachnia mengarah ke lapangan dan menunjuk asal ke barisan peserta di sana. "Waktu jurit malam, insting gue berkata kalau salah satu dari mereka, ada yang diem-diem bawa perekam suara dan ngerekam semua aktivitas di sini."

Windblade terbelalak. "Lo serius?"

"Insting gue nggak pernah bohong, Say."

"Lo tahu siapa yang bawa?"

Mending gue kasih tahu itu Soundwave apa nggak, ya? Ah, kalau langsung gue kasih tahu, kayaknya nggak bakal seru deh, pikirnya. "Gue lupa siapa. Soalnya gue agak ngantuk juga waktu itu dan posisinya lagi gelap banget. Jadi gue nggak inget mukanya gimana," jawab Arachnia.

"Beneran nggak tahu siapa? Namanya, lo nggak tahu? Aduh, kalau sampai dia ngerekam yang nggak-nggak terus dikasih tahu ke guru, kita bisa kena masalah, nih," panik Windblade. 

"Gue bener-bener lupa. Tapi tenang aja, Windy. Kayaknya dia nggak ngerekam yang nggak-nggak, selagi acaranya emang berjalan sesuai rencana dan nggak ada masalah. Gue yakin dia ngerekam hal yang sia-sia aja."

"Gue seneng denger kata-kata optimis lo, tapi kan gue nggak tahu isi rekamannya itu apa aja. Takutnya ada kakak kelas yang kerekam ngomong kasar atau gimana–"

Suara Windblade terpotong ketika ia mendengar suara Jetfire melalui pengeras suara kalau mereka akan memulai game . Semua kakak pembimbing diminta menemani adik-adiknya selama game tersebut. 

"Lo ke sana aja. Urus Optimus dkk. Nanti gue cari anak yang bawa perekam suara itu."

"Beneran? Lo mau bantu kita?"

Arachnia tersenyum meyakinkan. "Iya, dong. Kan gue dibesarkan di OSIS juga, tapi sayangnya gue nggak boleh turun ke bawah, sih …." Senyumnya sedikit memudar. 

"Ya, udah. Lo turun ke bawah aja bareng gue. Nanti gue bilangin ke yang lain."

"Gue saranin, lo serahin aja kasus ini ke gue. Nggak usah terlalu menyebarkan yang lain. Gue takutnya acara ini berantakan gara-gara panitianya sibuk ngecekin barang bawaan anak-anak aja."

"Oh, iya juga, ya. Pasti acaranya ngaret kalau pada tahu kasus ini. Ya, udah. Gue serahin ke lo, ya. Nanti gue bilang ke panitia lain kalau lo di bawah buat ngawasin aja."

***

Seperti yang dikatakan panitia, mereka akan main kotor-kotoran. Kelompok yang kalah dalam game itu akan terkena lemparan lumpur di sekitar sekolah. Semua game yang disediakan panitia menuntut kerja sama kelompok. Mulai dari scavenger hunting , tarik tambang, masuk bola ke keranjang, sampai lari estafet. 

Tidak ada kelompok yang tidak kotor terkena lumpur. Bahkan, yang menang semuanya pun juga terkena lumpur karena 'keisengan' panitia. Suasana saat permainan berlangsung itu terlihat menyenangkan. Windblade juga banyak tertawa ketika melihat ada panitia yang kena lumpur oleh panitia lainnya. Ia sampai lupa dengan paniknya akan peserta yang membawa perekam, seolah-olah ia menyerahkan sepenuhnya kasus itu pada Arachnia yang hanya berdiri di sudut lapangan di bawah pohon. 

Pukul 10 siang, waktu bermain sudah selesai. Mereka dipersilakan untuk bersih-bersih dan berganti pakaian. Mereka hanya diberi waktu 1 jam. Waktu yang terbilang singkat untuk mereka mengantre kamar mandi dengan peserta lainnya. 

" Name tag kita, kira-kira bakal dibalikin nggak, ya?" tanya Chromia setelah ia keluar dari kamar mandi. 

"Kayaknya, sih, bakal dibalikin. Tapi kita harus usaha buat name tag kita balik," jawab Elita sambil mengusap sisi wajahnya yang masih basah dengan handuk. Ia dan Chromia berjalan berjajar menuju kelas mereka di lantai 3.

"Berarti kayak waktu kita MOS itu, ya? Kita ngelakuin yang disuruh kakel buat dapat tanda tangan mereka?"

"Kira-kira begitu, dan biasanya, ini acara terakhir sebelum kita pulang."

"Oh, bagus, deh. Semoga aja Perceptor nggak kebanyakan mikir buat dapet name tag kita. Waktu di pos lima, dia mikirnya lama banget. Akhirnya semua name tag kelompok kita diambil sama Kak Brainstorm, deh," cerita Chromia. "Ketua kelompok lo Optimus, ‘kan? Dia gimana? Name tag dia keambil juga kayak ketua kelompok gue, nggak?"

"Optimus juga kebanyakan mikir, kok. Tapi name tag dia nggak diambil."

Elita pun menceritakan pengalamannya itu pada Chormia ketika mereka tiba di kelas yang diisi oleh peserta perempuan itu. Jika mereka saling membahas pengalaman tentang jurit malam, maka Megatron dan anggota kelompoknya membahas rencana tentang acara terakhir LDKS. Mereka membicarakannya di luar kelas ujung koridor yang sepi. 

"Gue dapat surat dari Kak Arachnia."

"Surat cinta?" celetuk Soundwave dengan suara ketus. 

"Ciee ciee, Megatron dapat surat cinta," sambar Skywarp sambil tersenyum konyol. 

Megatron menatap Skywarp sinis, yang berhasil membuat anak tengah itu berhenti tersenyum dan mengarah ke yang lain. "Surat tentang acara selanjutnya. Anehnya, dia juga minta gue kasih ini ke lo." Megatron menunjukkan sebuah lipatan kertas lainnya yang bertuliskan ‘Soundwave’. 

"Apa isinya?" tanya Soundwave tanpa berniat menerimanya. 

"Nanti gue kasih ke lo setelah gue baca surat buat gue," kata Megatron sambil membuka selembar kertas miliknya. Megatron membaca itu dalam hati. Setelah paham, ia pun buka suara. "Intinya, name tag kalian ada di Sentinel. Pasti Sentinel bakal kasih kita syarat buat dapetin name tag itu."

"Coba gue lihat." Starscream menjulurkan tangannya. 

"Lo nggak percaya sama ucapan gue?" tanya Megatron sinis.

"Percaya, tapi gue mau lihat aja. Nggak boleh?"

"Nggak."

"Oh, ya, udah." Starscream menarik tangannya lagi dengan wajah masam. 

Megatron menyerahkan satu kertas lainnya pada Soundwave. "Lo baca sendiri aja, Sound. Siapa tahu dia sukanya sama lo."

"Dih, amit-amit," timpal Soundwave sambil menerima surat tersebut. 

"Benci sama Kak Arachnia yang udah bantuin kita itu nggak logis," komentar Shockwave. 

"Persetan sama otak lo yang isinya logis nggak logis aja."

"Anjir … Baru pertama kali gue denger itu dari mulut Soundwave," gumam Starscream tak menyangka. 

Shockwave tidak mengatakan apa pun, tetapi tangan kanannya yang terkepal terangkat dan hendak diluncurkan ke laki-laki di sebelahnya.

"Sabar, Shockwave! Sabar!" Thundercracker yang duduk di sebelah Shockwave pun langsung menahan tangannya. 

"Asyik! Ada baku hantam! Gue pegang Shockwave. Lo siapa, Bang?" seru Skywarp. 

"Shockwave juga, lah. Emang Soundwave bisa menang dari body Shockwave yang kayak binaragawan gitu?" jawab Starscream. 

"Lo berdua malah judi! Bantuin gue dong!" Thundercracker masih merasakan kekuatan Shockwave yang masih ingin meninju teman sekelompoknya itu. 

"Shockwave! Berhenti! Kalau lo sampai buat keributan, gue nggak segan-segan keluarin lo dari kelompok gue!" ucap Megatron tegas. 

"Tapi dia duluan yang mulai!" tunjuk Shockwave. 

"Soundwave lawan lo pakai ucapan. Logisnya , lo bales dia lewat ucapan juga. Bukan kekerasan!" ucap Megatron lantang. “Bikin heran gue aja lo. Pinter-pinter kok gampang kemakan emosi.”

“Oh, nggak salah lo ngomong gitu ke gue?” Nada suara Shockwave mulai naik.

“Lo ngungkit kejadian waktu di pos Sentinel? Emangnya gue sampe nonjok dia?”

Perkataan Megatron benar dan Shockwave tidak tahu harus membalas apa, sehingga ia diam saja dan membuang wajah. 

Tiba-tiba saja, Soundwave menyobek kertas itu. Tindakan yang berhasil membuat mereka terkejut. 

"Kenapa lo sobek? Kalau isinya penting, gimana?" kaget Starscream.

"Gue nggak suruh lo buat sobek surat itu," ucap Megatron. 

"Sori, Ga, tapi gue udah terlanjur kesel." Tangannya masih tidak berhenti menyobek kertas itu sampai berkeping-keping. 

Skywarp mengambil satu sobekan kertas yang tercecer di lantai. " Dear Soundy ?" Hanya ada kalimat itu. "Itu beneran surat cinta?" tebak Skywarp. 

"Bukan. Ini surat ancaman. Gue udah terjerat ke sarang laba-labanya kayak lo, Ga," jawab Soundwave sambil memungut sobekan kertas itu. 

Megatron menatapnya curiga. "Surat ancaman? Gue selama ini nggak diancam. Emang isi suratnya apa?"

Soundwave berdiri untuk membuang kertas itu ke tempat sampah di dekatnya. Ia melihat sekitar lapangan, dan matanya terhenti pada seorang perempuan yang berdiri di bawah pohon sudut lapangan. Itu Arachnia. Perempuan itu tersenyum sinis sambil melambaikan tangan pada Soundwave. 

Tanpa membalas lambaiannya, ia pun kembali duduk melingkar bersama teman sekelompoknya. "Dia tahu gue bawa rekaman suara selama LDKS ini. Dia pasti langsung aduin gue ke kakak panitia kalau sampai gue kasih rekaman ini ke guru." Penjelasan Soundwave membuat mereka kembali terbelalak. 

"Kok dia bisa tahu? Dari mana dia tahunya?" bingung Thundercracker. 

Meskipun Shockwave masih kesal dengan Soundwave, ia masih bisa berpikir logis. Kalau sampai ia diadukan ke kakak panitia, sudah pasti kelompoknya dan dirinya juga terkena masalah. "Kayaknya pas jurit malam, waktu Kak Arachnia tarik Soundwave. Sejauh yang gue pahami, tangan laba-laba itu cukup sensitif untuk merasakan getaran elektromagnetik dari benda elektronik. Dalam jarak sedekat itu, Kak Arachnia pasti bisa merasakan getaran itu dari jaket Soundwave."

"Aduh, kita harus gimana, nih?" panik Skywarp. 

"Sound, dia bilang apa aja ke lo? Cuman suruh lo diem aja dan nggak kasih tahu hasil rekaman ke guru?" tanya Megatron. 

"Iya." Soundwave mengangguk lemas. "Maaf, Ga," lirihnya.

"Ya, udah. Lo simpen aja rekamannya. Jangan kasih tahu itu ke guru."

Optik tunggal Shockwave langsung menatap Megatron. "Kan kita mau aduin itu ke guru. Lo mau kakak-kakak pos lima itu dapat barang-barang yang mereka mau? Lo mau pemerasan ini terus berlanjut?"

"Itu kita pikirkan nanti. Buat sekarang, kita fokus sama kelompok kita dulu. Kalau sampai panitia adain razia mendadak dan kita dapat masalah karena Soundwave ketahuan bawa perekam suara, gua janji bakal hancurin perempuan laba-laba itu dengan tangan gue sendiri."

***

Setelah mereka bersih-bersih dan sudah mengenakan kemeja putih serta bawahan hitam sesuai perintah, mereka dikumpulkan kembali ke tengah lapangan. Jetfire mengingatkan mereka bahwa name tag adalah barang penting. Benda itu adalah harga diri mereka. Jadi, Jetfire memberikan mereka waktu untuk mencari name tag yang sudah diambil oleh kakak-kakak panitia. 

"Waktu kalian satu jam tiga puluh menit. Dimulai dari se–"

Ucapan Jetfire tersela oleh sahutan dari arah gerbang sekolah. Brainstorm mengangkat dua tangan tinggi-tinggi yang keduanya sedang memegang banyak name tag

"WAH, DI LUAR ADA ABANG-ABANG TUKANG SATE YANG NGGAK PUNYA KIPAS. AKU KASIH INI KE ABANG-ABANGNYA, AH!"

Elita menepuk-nepuk cepat pundak Optimus di depannya. "Mus, Mus. Gue masih inget itu Kak Brainstorm. Name tag kita diambil sama dia di pos lima," ucapnya. 

"Kita ke sana." Optimus pun bergegas menghampiri Brainstorm yang hendak keluar gerbang sekolah, tetapi ternyata bukan kelompok Optimus yang menghampirinya, ada kelompok Perceptor dan Swindle juga. 

Brainstorm yang kaget ada banyak siswa yang menghampirinya, langsung bergegas keluar gerbang sekolah dan berlari.

"Eh, mampus! Itu si bego Brainstorm malah keluar sekolah. Cepet kejar! Kejar!" panik Sentinel sambil menepuk Blurr yang sedang melewatinya. 

"Aduh! Siapa yang kasih name tag ke Brainstorm, sih?!" Blurr pun segera berlari mengejarnya secepat kilat. 

Jetfire yang sadar kalau staf acara ada yang keluar sekolah, langsung membuat pengumuman lagi di atas panggung. "Kakak-kakak panitia, jangan sampai ada yang keluar sekolah, ya. Kalau adik-adik kita kenapa-kenapa, kita yang tanggung jawab."

Kakak-kakak yang lain mulai bermunculan dengan name tag di tangan masing-masing. Ada yang kejar-kejaran di sekitar lapangan, ada yang nyanyi bareng di depan kakak panitia, dan ada yang duduk diam saja di tengah lapangan sesuai permintaan kakak panitia yang memegang name tag

Astrotrain tidak ingin ambil pusing dengan drama name tag ini. Jadi, ia berikan saja name tag yang ia pegang pada pemiliknya. Betapa bahagianya empat siswa yang mendapat name tag mereka begitu saja dari tangan Astrotrain tanpa syarat.

Astrotrain terheran dengan adik-adik bimbingannya. Bukannya mulai mencari, mereka malah duduk santai di bawah pohon. Ia pun menghampiri mereka. "Lo pada nggak cari name tag ?" 

Starscream mengedikkan bahu. "Kita tunggu perintah dari Megatron aja." Ia menunjuk Megatron yang berdiri di sisi lain lapangan. Megatron berdiri membelakangi mereka dan tampaknya ia sedang mencari sesuatu. 

"Emang ketua lo mau ngepain?"

"Nggak tahu. Pokoknya kita disuruh diem aja biar dia yang kerja," jawab Starscream lagi. 

"Pokoknya ketua gue hebat." Ucapan Skywarp mengundang tatapan sinis dari Starscream. 

"Kalau kita duduk diem aja di sini, kena tegur panitia nggak, Kak?" tanya Thundercracker. 

Astrotrain melihat sekitar. Rekan-rekan panitianya tampak sibuk dengan drama name tag itu. "Kayaknya enggak." Astrotrain duduk di sebelah Thundercracker. "Gue tadi pegang empat name tag dari kelompok lain, tapi karena gue males kasih syarat-syarat nggak jelas, langsung gue kasih aja ke mereka. Lagian, buat apa ada drama-drama kayak gini? Buang-buang tenaga sama waktu aja. Nggak jelas."

"Lo kayak terpaksa masuk OSIS, Kak," komentar Thundercracker. 

"OSIS-nya nggak. Cuman kepanitiaan ini aja yang gue nggak suka."

Soundwave menunjuk ke arah Megatron. "Dia mulai jalan."

Perhatian mereka pun tertuju pada sosok yang ditunjuk. Megatron berbalik badan dan berjalan ke arah mereka. “Sentinel baru keluar ruang auditorium,” kata Megatron.

“Terus? Kenapa nggak langsung lo samperin dia?” heran Starscream.

“Kalau gue langsung minta name tag kita, pasti nggak bakal dikasih Sentinel. Jadi gue tunggu aja sampai dekat-dekat waktunya selesai.”

“Main panggil Sentinel aja lo. Dia lebih tua dari lo,” timpal Astrotrain, tetapi wajahnya malah menunjukkan senyum yang terkesan bangga.

“Gue nggak peduli. Gue udah hilang respect sama dia,” balas Megatron.

Senyuman Astrotrain hilang sejenak saat melihat wajah serius dan kesalnya Megatron. “Emang kenapa? Gue ketinggalan kabar apa?”

“Emang di kelompok panitia lo, nggak ada cerita-cerita gitu, Kak?” heran Skywarp. “Biasanya kan kalian pada ghibah tuh kalau ada kejadian.”

“Ada. Tapi bukan tentang kelompok lo. Tentang Arachnia yang ngaduin Kak Pharma ke Kak Magnus karena udah ngomong kasar. Yaa … pokoknya tentang Arachnia yang dibentak Sentinel dan disudutkan kakak-kakak kelas tiga yang hadir termasuk Kak Magnus. Ini kejadiannya setelah kita selesai jurit malam.”

Ternyata ini jawaban mengapa Megatron tidak melihat Arachnia berkeliaran di koridor, dan ternyata ini juga jawaban setelah ia melihat Arachnia dikejar oleh seseorang. Tampaknya orang yang mengejar itu bernama Pharma yang disebutkan Astrotrain tadi.

“Berarti nggak ada yang bahas Megatron, ya?” tanya Skywarp memastikan.

“Nggak.”

“Yah, kasihan banget nggak ada yang bahas lo, Ga!” sambar Starscream sambil tertawa sinis.

Megatron melotot pada Starscream. “Lo bisa diem, nggak?” ancam Megatron dengan suara mengintimidasi.

“I-Iya, sorry . Sorry .” Starscream langsung menunduk patuh.

“Emang kenapa, sih? Lo ada masalah sama Sentinel?” tanya Astrotrain penasaran.

Megatron mendecih sekilas. “Gue males ceritain ulang. Soundwave, jelasin ke Kak Astro.”

“Baik.” Soundwave merogoh saku celana. Ketika ia baru menyentuh benda kotak itu, ia baru teringat kalau Astrotrain belum tahu tentang rekaman tersebut. Astrotrain sering meninggalkan mereka ketika mereka sedang melengkapi penugasan, sehingga mereka dengan leluasa bisa mendengarkan hasil rekaman tersebut.

“Kenapa, Wave?” tanya Astrotrain.

“Kak, tolong jangan panggil dia ‘Wave’. Nama saya ada ‘Wave’-nya juga,” kritik Shockwave.

“Oh, iya. Oke, sorry .”

Soundwave mengeluarkan tangannya dari saku celana tanpa mengambil apapun. “Jadi waktu itu kita ada di pos–”

“Sentinel datengin Optimus!” seru Starscream sambil menunjuknya.

“Udah gue duga. Pasti Optimus diuntungkan sama Sentinel terus!” geram Megatron.

“Eh, Ga. Ini gue lanjut ceritain ke Kak Astro?” tanya Soundwave.

“Iya, lo lanjut cerita aja. Gue ngawasin Sentinel sama Optimus,” kata Megatron tanpa melepas pandangan dari mereka berdua yang terlihat kepalanya saja karena terhalang oleh panggung pinggir lapangan.

“Jadi, Kak Astro. Waktu kita di pos dua–”

“Eh, tunggu,” sela Astrotrain. “Jetfire kayaknya dateng ke sini.” Ia beranjak dari duduknya ketika melihat kepala divisi acara menghampiri mereka.

“Oke ….” Soundwave terdengar lelah.

“Mending nggak usah diceritain sekalian, deh. Topik tentang Megatron kayaknya emang nggak seru,” kata Thundercraker pada Soundwave yang dibalas anggukan sekilas.

Ternyata Jetfire memang menghampiri mereka. “Kalian kenapa duduk-duduk di sini? Name tag kalian sudah lengkap?”

“Belum, Kak. Kita lagi menunggu kesempatan,” jawab Starscream.

“Menunggu kesempatan?” Jetfire memandang Astrotrain untuk jawaban.

“Saya juga nggak paham maksudnya apa,” kata Astrotrain sambil mengedikkan bahu.

“Astro udah kasih name tag kelompok lain?” tanya Jetfire lagi.

“Udah. Tugas saya udah selesai, ‘kan?”

“Tugas perkap udah selesai? Kamu ketua divisi perlengkapan, ‘kan?”

Astrotrain menepuk jidat. “Oh, iya! Anggota gue pada ke mana?” 

“Di auditorium. Langsung ke sana, gih.”

“Oke. Makasih, Jet!” Ia pun bergegas ke tempat yang dimaksud. Tinggallah kelompok 7 di bawah pohon itu.

“Itu name tag kelompok berapa, Kak?” tanya Starscream sambil menunjuk tumpukan name tag di tangan Jetfire.

“Kelompoknya Optimus.” Jetfire menjawab sambil melihat kelima name tag di tangannya yang ia dapatkan dari Brainstorm karena lelaki itu terlampau banyak membawa name tag siswa.

Megatron langsung menoleh cepat ke arah Jetfire. “Terus Kakak kasih syarat apa ke Optimus buat dapatin name tag itu?” 

“Hmm … belum kepikiran syarat, sih. Tapi yang pasti, saya nggak bakal kasih segampang itu walau dia saudaranya Sentinel.”

“Oh, bagus, deh. Saya kira Kakak langsung kasih gitu aja,” ucap Megatron yang terdengar lega.

“Kalian ada ide, nggak?” tanya Jetfire.

Push up seratus kali aja, Kak!” seru Skywarp penuh semangat.

“Lari keliling lapangan lima puluh kali,” saran Thundercracker.

“Ah, itu masih nggak ada apa-apanya. Kelompok Optimus harus berdiri di atas panggung dan bilang ‘ All hail Starscream !’” Begitu saran Starscream tanpa rasa malu.

Wah, narsis banget , komentar Jetfire dalam hati. Ia memperhatikan Shockwave dan Soundwave yang tampaknya tidak berminat untuk memberinya ide. Lalu, ia mengarah ke Megatron yang masih menatap jauh ke depan. Jetfire tidak tahu ia sedang melihat apa, tetapi ia memilih untuk menghampiri Megatron sambil menjulurkan name tag di tangannya.

Name tag anggota Optimus saya kasih ke kamu aja, ya. Nanti saya bilang ke Optimus. Syaratnya terserah kamu aja,” kata Jetfire.

“Kakak serius kasih ini ke saya?” tanya Megatron.

Jetfire tersenyum. “Iya. Saya mau ada urusan lagi setelah ini, jadi nggak bisa lama-lama di sini.” Setelah mengatakan itu, Jetfire berdiri dan meninggalkan mereka.

Saat melihat Jetfire pergi menjauh, Megatron langsung memberikan lima name tag itu pada Starscream. “Titip ini. Jangan kasih ke Optimus kalau dia langsung minta ke lo. Gue samperin Sentinel dulu.”

“Oke, siap.”

Megatron sedikit kaget waktu tahu ternyata Sentinel juga sedang berjalan ke arahnya. Ia berhenti di samping panggung dan meminta Megatron mendekatinya.

"Kenapa, Kak?" tanya Megatron masih berupaya menjaga kesopanan.

" Name tag anggota kamu udah saya kasih ke Optimus,” terang Sentinel padanya. “Kalo kamu mau anggota kamu name tag -nya lengkap, minta sama dia.”

Sudah gue duga, batin Megatron. Tapi ia cukup segan untuk mematuhi perintahnya begitu saja. Jadi, ia berkata, “Saya tahu di LDKS ini name tag diibaratkan sebagai harga diri buat kami, tapi apa nggak ada yang lebih penting selain harga diri? Kayak kurang masuk akal aja soalnya menurut saya."

Sentinel mengangkat satu tangannya. “Sssh. Kamu mau masuk OSIS apa enggak?" 

Megatron terdiam. Sentinel tidak begitu peduli dengan diamnya Megatron, walau ia agak heran dengan tanggapan yang ditunjukkan lelaki itu.

Ia pun melanjutkan, “Kalo mau masuk OSIS, syaratnya harus kelompok kamu aja yang name tag -nya lengkap. Inget. Cuman ada satu kelompok yang name tag -nya lengkap yang berpeluang besar masuk OSIS tanpa pemberkasan dan interview . Kalau ada dua kelompok lebih, peluang emas itu nggak bakal ada." 

“Beneran bisa langsung masuk OSIS tanpa interview ?” tanya Megatron sekali lagi.

“Beneran. Kalau mau, ya, samperin Optimus. Kalau nggak, ya, udah. Sekarang, pergi dari pandangan saya. Saya males lihat muka kamu terus,” kata Sentinel sebelum ia berbalik badan dan meninggalkannya.

Megatron ingin saja membalasnya, tetapi ia tidak ingin membuat masalah lebih panjang dengan Sentinel. Akhirnya, ia pun menghampiri Optimus yang kali ini sedang berjalan ke arahnya. Mereka pun dipertemukan di tengah lapangan basket sekolah.

“Megatron, gue dengar dari Kak Jetfire, name tag kelompok gue ada sama lo, ya?” Optimus melirik ke tangan kosong Megatron. “Mana name tag kelompok gue?”

Megatron melirik ke tangan Optimus yang juga kosong. Lalu, ia melirik ke Ratchet di sebelahnya yang tampaknya sedang memegang tumpukan kertas laminating. “Itu name tag kelompok gue?”

“Iya, ini punya kalian.”

Name tag kalian ada di tempat gue.” Megatron melewati mereka dan mengajak mereka ke tempat kelima anggotanya berada. “Starscream, mana name tag mereka?” 

Starscream pun berdiri dan memberikan name tag itu kepada Megatron. 

“Dari tadi kalian santai-santai di sini?” kata Ratchet tak menyangka.

“Iya. Emang kenapa?” jawab Skywarp.

“Yang lain pada capek-capekan cari name tag , kalian malah duduk santai di bawah pohon. Lo ada orang dalemnya, ya? Makanya langsung tahu name tag kalian di mana?” curiga Ratchet.

“Orang dalem?” Starscream tertawa sinis. “Justru kalian kali yang punya orang dalem. Lo nggak lihat ketua lo siapa? Optimus Prime. Adik sepupu Sentinel Prime. Harusnya, kalian yang diuntungkan di sini!”

“Optimus nggak ngomong apa-apa dan nggak tahu name tag kita ada di siapa. Sedangkan kalian, duduk-duduk aja, langsung tahu kalau name tag kalian ada di Optimus!” bentak Ratchet.

“Yeee, siapa yang tahu? Yang nunjukin name tag kita-kita ada di kalian kan lo sendiri, tuh,” balas Starscream menunjuk lima name tag yang dibawa Ratchet. Ratchet menggeram, tetapi Optimus mencoba menahan omongannya.

“Chet, tahan emosi lo,” pinta Optimus. “Starscream, lo jangan memperkeruh suasana.”

Starscream melipat tangan di dada. “Lo siapa suruh-suruh gue?” 

“Biarin aja dia. Anggap dia nggak ada,” kata Megatron dengan gestur tangan seakan menyingkirkan sesuatu ke belakang.

“Woi–”

“Diem, Bang! Diem!” Skywarp langsung membekap mulut Starscream dan menariknya duduk lagi.

Optimus sempat menoleh sedikit ke arah Ratchet di belakangnya, “Lo salah ngomong, tau, Chet. Kan gue barusan bilang Kak Jetfire ngasih tahu name tag kita ada sama dia.”

“Ups, sorry , Mus,” balas Ratchet pelan.

Setelah suasana kembali tenang, akhirnya Optimus buka suara pada lawan bicara di depannya. “Ya, udah. Gue kasih name tag anggota lo, lo kasih name tag anggota gue. Deal ?” Optimus menjulurkan tangannya.

Megatron memandang sekilas tangan Optimus yang tergantung itu. “Lo bayar name tag anggota lo sama name tag lo sendiri. Gimana?”

“Lah, apa-apaan?” Ratchet membantah tak terima.

Optimus mengangkat sebelah tangan, memberi isyarat Ratchet untuk tidak ikut campur. “Coba kasih gue alasan kenapa lo kasih syarat itu?”

“Kalau gue nggak dapat name tag lo, salah satu anggota di kelompok lo bakal dinyatakan nggak lulus di acara ini.”

Optimus tertegun. “Siapa?”

“Gue nggak tahu siapa, tapi itu perintah dari Kak Sentinel.”

Optimus tidak langsung menjawab melainkan terdiam lebih dahulu dan menimang-nimang keputusan. Antara percaya dan tidak percaya. Namun, kalau nama Sentinel sudah disebut, biasanya perintah itu memang benar. Biar begitu, Optimus merasa aneh dengan perintah itu. Biar begitu, Optimus merasa aneh dengan perintah itu. Di satu sisi, bisa jadi Sentinel sedang berusaha mengujinya melalui Megatron: apakah dia akan tega untuk membiarkan name tag teman-temannya tidak kembali, atau mendapatkan kembali kelima name tag temannya tanpa miliknya?

Optimus juga tidak diberitahu konsekuensi sebenarnya jika sampai akhir acara, mereka tidak mengenakan name tag mereka sendiri. Ia melihat siswa-siswa lain yang mulai berkumpul di lapangan mengenakan name tag masing-masing di dada--tentu itu milik mereka sendiri, bukan?

Jika hanya Optimus sendiri yang tidak mendapatkannya ... apakah ia harus membawa kelima temannya dan kelompok lawan untuk menerima konsekuensi yang belum pasti?

Namun, Optimus tidak mau membiarkan risiko apa pun terjadi pada teman-temannya. Meski merasa agak dongkol mengapa Sentinel harus sampai berbuat seperti ini, akhirnya Optimus melepaskan name tag miliknya. “Oke, kalo gitu.”

Ratchet melotot. “Mus? Lo serius mau kasih name tag lo? Kalau ternyata ini akal-akalan Megatron aja gimana?”

“Buat apa gue ngakalin lo? Gue bilang begini karena gue juga peduli sama kelompok lo.” ucap Megatron.

“Iya, gue percaya, kok.” Optimus tersenyum sambil menyerahkan name tag tersebut.

Megatron membalas senyumnya, tetapi Optimus tidak tahu ada apa di balik senyuman itu. “Makasih udah percaya sama gue.”

Akhirnya, Optimus dan Ratchet kembali ke kelompok mereka yang sedang duduk di koridor dengan name tag mereka berlima tanpa name tag Optimus.

“Emang beneran bakal ada yang nggak lulus dari LDKS ini?” tanya Skywarp polos.

“Kita lihat aja nanti,” ucap Megatron tanpa melepas senyumnya. 

Waktu untuk mencari name tag sudah habis. Mereka diperintahkan untuk kembali berkumpul di tengah lapangan. Jetfire kembali berdiri di atas panggung untuk mengumumkan kalau mereka semua lulus dari acara LDKS.

“Selain itu, ada kelompok terbaik dan tersolid, nih. Kelompok itu memiliki penugasan paling lengkap, paling rapi, dan semua anggota memiliki name tag mereka.” Jetfire membuka lipatan kertas dari saku celananya. “Kelompok itu adalah …. Kelompok tujuh! Silakan Megatron, sebagai ketua kelompok tujuh, maju ke depan untuk mengambil hadiahnya.”

Dengan bangga, Megatron berdiri dan melangkah menaiki panggung. 

“Sebelum diterima hadiahnya, coba kasih kesan dan pesan dulu, dong,” kata Jetfire sebelum ia menyerahkan mikrofon yang ia pegang pada Megatron.

“Hmm … kesan pesan, ya …” Megatron berpikir sekilas. “Acara ini cukup berkesan, tapi di sini, saya mau menekankan pada kalian, teman-temanku sekalian. Saya berdiri di sini atas usaha saya sendiri bersama teman-teman sekelompok saya yang solid. Kalau bukan karena kerja keras kami, saya tidak mungkin berada di sini mewakili kelompok tujuh. Saya di sini sebagai bukti bahwa semuanya bisa kalian raih tanpa khawatir kalau saingan kalian memiliki kekuatan lebih besar karena dorongan dari orang-orang berpengaruh. Asal kalian gigih, tekun, dan ambis, kalian pasti bisa mendapatkan apa yang kalian inginkan.”

Skywarp bertepuk tangan paling meriah sambil menyahut namanya. Lalu, disusul dengan Thundercracker dan beberapa peserta lain yang tergerak dengan ucapan Megatron itu.

Jetfire menerima mikrofon dari Megatron. “Wah, Megatron hebat sekali. Saya mintanya kesan pesan, tapi malah dikasih pidato,” kata Jetfire sambil tertawa sekilas. Blitzwing naik ke panggung untuk memberikan sebuah kotak besar disampul cokelat kepada Megatron, lalu ia turun dari panggung setelah menyelesaikan tugasnya.

“Ini saja hadiahnya?” tanya Megatron.

“Iya. Dapat itu juga udah lumayan banget, loh. Kamu harus bersyukur,” kata Jetfire sambil menepuk pundaknya.

“Maksud saya, kelancaran buat masuk OSIS,” kata Megatron lagi dengan suara pelan. 

Mulut Jetfire membulat. Ia baru teringat sesuatu. “Oh, iya.” Jetfire maju beberapa langkah ke depan panggung. “Sebentar lagi pendaftaran OSIS dan MPK akan segera dibuka. Jadi, bagi kalian yang tertarik dengan OSIS, dateng aja ke ruang OSIS dan MPK di lantai satu sebelah ruang auditorium, ya. Kalian cuman perlu lengkapin berkas sama wawancara. Setelah itu kalian tunggu sampai pengumumannya. Pemberkasan dan wawancara ini berlaku buat semua peserta, ya. Baik yang menang jadi kelompok tersolid atau nggak, kalian semua harus melengkapi berkas yang diperlukan dan melalui wawancara.”

Sentinel sialan! Jadi dia bohongin gue?! batin Megatron yang rasa dongkolnya tak kunjung hilang kala ia turun dari panggung dan kembali ke kelompoknya.

Chapter 13: Sebuah Kebohongan

Summary:

Akhirnya Optimus tau kebohongan Megatron selama LDKS. Gimana reaksi Optimus pas tau itu? Kecewa udah pasti. Abis itu apa?

Notes:

Maaff yaa baru update hehe. Semoga sukaaa~

Chapter Text

Seusai kegiatan LDKS, para siswa di Sekolah Menengah Atas Cybertron itu pun kembali menjalani proses belajar-mengajar. Agenda terdekat yang ditunggu-tunggu adalah pembukaan pendaftaran OSIS dan MPK, juga kegiatan ekskul yang akan mulai beroperasi di minggu depan.

Seperti biasa, Optimus dan teman-teman menyantap makanan berat di kantin bersama saat jam istirahat–dan seperti biasa, Sentinel pasti menimbrung di meja mereka, tetapi kali ini ia datang dengan wajah yang tidak biasa.

“Eh, Mus. Gue ketemu lo juga akhirnya di sini,” ujar lelaki berkepala biru oranye itu.

“Nyariin gue lo, ‘kan,” ujar Optimus basa-basi.

“Udah dari kemarin, tapi gue hectic ngurusin evaluasi LDKS kemarin dan lain-lainnya.” Laki-laki itu mengambil tempat duduk di hadapan Optimus, menyuruh Jazz dan Prowl yang berada di sana menyisihkan ruang untuknya. “Nah, sekarang gue mau tanya.”

“Apa?”

“Kok lo ngasih name tag lo ke Megatron?” ucap Sentinel dengan ekspresi heran. “Ya, gue nggak begitu masalahin, sih, sebenarnya. Cuma penasaran aja.”

Optimus mengerutkan kedua alisnya kentara. “Lah, lo bilang kalo gue nggak kasih name tag ke dia, anggota gue bakal ada yang nggak lulus.”

Mendengar hal itu, wajah Sentinel pun langsung berubah sangsi. "Ngawur! Kapan gue bilang gitu?"

"Lah, kata dia." Optimus kembali menyuap nasi ayam kantin ke mulutnya setelah mengatakan itu. Mendengar pengakuan Optimus yang tak ia sangka, Sentinel pun menepuk jidatnya sendiri.

"Gila lo! Lo pasti langsung kasih ke dia, 'kan?” Sentinel tak percaya mengetahui sisi polos sepupunya ini. “Kok lo langsung percaya, sih?"

Optimus memandang Sentinel lekat-lekat. “Lah, katanya nggak masalah buat lo?”

“Emang enggak, karena nggak ada pengaruhnya juga,” ucap Sentinel menggaruk belakang kepalanya. “Cuma apa, ya. Gue tuh niatnya mau ngerjain dia. Gue bilang kalo name tag kelompok dia lengkap–dan cuma kelompok dia yang lengkap, kesempatan dia buat masuk OSIS bakal lebih besar.”

“Wah, parah lo, Nel,” tunjuk Optimus dengan jarinya. “Ortu lo ngajarin lo bohong kayak gitu?”

“Berisik, ah, Mus.” Sentinel tak terima. “Intinya, gue kira seenggaknya lo bisa berkelit buat menangin kelompok lo dan dapetin hadiah kelompok terbaik. Eh, rupanya lo malah dibodohi dengan mudahnya sama Megatron.”

“Ini nggak sukanya gue sama lo,” ucap Optimus setelah kunyahan nasi di mulutnya habis. “Lo suka ikut campur urusan orang, bahkan di saat orang nggak minta apa-apa sama lo. Bantu orang bukan kayak gini caranya, Nel. Gue juga nggak pernah minta apa-apa sama lo.”

Sentinel melihat ke arah lain. “Ya, udah. Sori kalo gue terlalu over. Gue kan cuma mau balas budi sama lo. Lo suka traktir gue makan di kantin semenjak masuk.”

“Suka? Kalo gue lihat, lebih ke lo yang sering minta ditraktir sama dia, Kak,” ucap Prowl yang dari tadi menyimak baik obrolan mereka.

“Orang luar nggak usah ikut campur.” Sentinel menunjuk Prowl seakan mengancam.

“Udah, Prowl. Nggak usah nambah-nambah omongan. Ngomong sama Sentinel nggak bakal ada kelarnya.” Optimus menimpali untuk memutus obrolan di antara mereka. Ia kembali melanjutkan makan dari nasi yang masih sisa. Namun, beberapa saat kemudian, ia baru terpikir akan sesuatu dari apa yang disampaikan Sentinel padanya.

"Nel,” panggil Optimus pada lelaki itu. “Jadi dia bohong ke gue, dong?"

"Ya, iya, lah." Sentinel melipat tangannya di bawah dada. "Gue juga nggak nyangka, sih. Gue kira dia bakal ngasih lo syarat apa gitu, dibanding bohong."

Beberapa saat kemudian, Sentinel tersadar akan sesuatu. "Berarti dia beneran mau masuk OSIS? Anak kayak gitu mau ngapain di OSIS?"

“Jujur, gue lihat Megatron wibawanya kelihatan banget, sih,” komentar Jazz menanggapi omongan Sentinel. “Pasti dia udah ada pandangan mau jadi ketos.”

“Iya, tapi,” Sentinel menoleh ke arah Jazz. “Megatron itu gue lihat ambisinya doang yang gede, visinya dia kagak kelihatan. Ya, kali dia mau jadi ketos cuma karena pengen nyingkirin gue–yang mana dia nggak bisa–atau ….”

“Nunjukin kalo dia bakal jadi pemimpin yang lebih baik dibanding lo, Nel,” ucap Optimus seakan menjadi jawaban final.

Sentinel memasang wajah tak puasnya. “Aneh aja, sih, gue. Masih kelas satu udah mikir ke sana. Lo aja belum ada pikiran buat jadi ketos, ‘kan, Mus?”

“Baru juga masuk, Nel.” Optimus menyuarakan persetujuannya. “Lo juga nyuruh gue masuk OSIS. Ya, udah, sih, gue coba dulu aja. Kayaknya kalo ekskul gue tunggu ekskul bela diri buka pendaftaran aja, deh.”

“Oh, iya. Yang itu bukanya masih menjelang akhir tahun nanti setahu gue.” Sentinel mengarahkan pandangan kepada teman-teman Optimus. “Kalian semua pada masuk ekskul apa jadinya?”

“Saya udah masuk PMR. Nanti pas pendaftaran MPK buka mau ikutan juga,” jawab Ratchet padanya.

“Kalo saya, sih, tetep band, Kak. Ini tinggal nunggu pengumuman bentar lagi,” ucap Jazz menyambung omongan. “Eh, Prowl. Lo jadinya ikutan karya ilmiah remaja?”

“Enggak. Gue pindah ke paskibra, nggak jadi masuk KIR. Seleksinya masih entaran.”

Mereka yang duduk di meja yang sama dengan Prowl langsung memberi sahutan takjub.

“Wah, cowok paskib. Ngeri,” tanggap Sentinel padanya. “Siap-siap dikejer-kejer cewek lo, Prowl.”

“Emangnya anak band nggak bakal ditaksir para cewek juga?” sanggah Jazz tampak tak puas.

“Biasanya juga, sih. Cuma kalo elo, gue nggak tahu, ya, bakal ada yang naksir apa enggak.” Sentinel menyindir sambil menyelipkan tawa pada Jazz.

“Omongan lo emang suka jahat gitu, ya, Kak,” ujar Jazz apa adanya. Tak ada lagi yang menanggapi selain Sentinel yang masih memberikan tawa remeh.

Di sela-sela keheningan itu, Optimus memikirkan Megatron yang rela berbohong kepadanya selagi menyuap sisa-sisa nasi hingga tandas.

***

Pemikiran tentang Megatron masih sesekali berputar di benaknya. Seakan pemikiran itu akan hilang setelah ia bertanya langsung untuk memastikan dengan mata dan telinga sendiri. Optimus berencana untuk menghampiri Megatron ketika istirahat di keesokan harinya. Namun, guru Matematika yang baru saja mengajar memintanya ke ruang guru untuk mengambil buku tugas kelasnya, dan ternyata, di saat itulah ia tak sengaja berpapasan dengan Megatron dari arah yang berlawanan. Lelaki itu pun memanggilnya.

"Ga."

"Ya?” Sosok yang dipanggil menyahut. “Lo ada perlu sama gue?"

"Lo bohong ke gue?"

Hening sesaat menghampiri. Kedua laki-laki itu saling bertatapan cukup lama.

"Iya." Akhirnya, Megatron menjawab. Ia tahu kebohongan apa yang dimaksud laki-laki berantena biru itu.

"Kok sampe segitunya?" tanya Optimus meminta jawaban. Megatron masih memandangnya dalam diam. Ia tak ingin memperpanjang pembahasan soal ini, jadi ia berbalik badan untuk meninggalkannya. Akan tetapi, Optimus mencegahnya lebih dahulu. "Lo suka bohong gini?"

"Hah?" Megatron memasang ekspresi agak heran. "Gue suka bohong atau enggak bukan urusan lo."

"That was your first time?" tebak Optimus padanya. Megatron lagi-lagi hanya diam saja. Optimus pun melanjutkan, "Ga, lo tahu sekalinya orang kalo udah keenakan bohong bakalan bohong terus?"

"That’s not your fucking business." Ia kembali lanjut mengambil langkah pergi, tetapi lagi-lagi omongan Optimus mencegahnya.

"It's such a pity."

"Why did you say that?"

"Apa yang lo kejer?"

Megatron semakin heran dengan perilaku Optimus yang seperti mendorongnya untuk mengungkapkan sesuatu. "Look, gue nggak tahu kenapa tiba-tiba lo jadi kepoan gini, tapi–"

"Lo tipe yang menghalalkan segala cara buat ngeraih tujuan lo." Optimus berucap. "Bener, 'kan?"

"Then?" ucapan Megatron menantangnya. "Lo mau ceramahin gue? Please, it's all just about name tag yang nggak penting."

"It was all just about name tag yang nggak penting, pada awalnya. Soal name tag emang ga penting, tapi tujuan yang lo punya penting." Optimus diam sebentar. "I thought you better than this."

"What do you mean?"

Optimus akhirnya pun melewati Megatron. "Maaf kalo gue kesannya ikut campur, tapi tolong ingat apa yang gue bilang ke lo barusan."

Lelaki itu berjalan masuk ke ruang guru. Megatron, untuk yang ke sekian, dibuat terheran melihat sikap Optimus yang seperti itu.

***

Selama menyimak pelajaran di kelas, Megatron jadi memikirkan ucapan Optimus yang cukup tersirat, tetapi ia tahu kenapa Optimus seperti itu. Seolah … Optimus begitu peduli dengannya, dan, ia takut kalau nantinya akan ada kejadian yang tidak menyenangkan ke depannya. Entah itu kejadian yang ia lakukan, atau kejadian yang muncul dikarenakan dirinya sendiri. Ia berpikir, ia sudah punya Soundwave yang suka memperingatkannya tentang Kak Arachnia, jadi untuk apa Optimus mengatakan hal-hal yang seperti itu juga?

"Lo kayak orang punya banyak pikiran," celetuk Starscream yang melihat pandangan Megatron yang kosong. Megatron lantas kembali memfokuskan diri pada materi yang disampaikan oleh guru, secara mereka berdua duduk paling depan di dekat meja guru yang sedang berdiri di sisi lain kelas.

Starscream masih memperhatikan teman lelaki sebangkunya itu, dan sudah biasa dengan omongan dan tanggapannya yang selalu tak dijawab. Ia pun kembali diam ikut mendengarkan penjelasan materi hingga bel berdering tanda pulang.

Saat Starscream hendak melangkah pergi, Megatron yang juga berdiri di sampingnya mencegah dengan memegangi bahunya.

“Apa?”

“Bentar, gue mau ngumpulin anak-anak kelompok LDKS kemarin di kantin.” Lelaki itu mengambil telepon pintarnya untuk memberikan panggilan grup.

“Gue samperin adek-adek gue langsung aja dulu. Lo telepon Shockwave,” saran Starscream padanya. Lelaki itu keluar kelas dan Soundwave tiba menggantikan kehadirannya.

“Sound, kita kumpul dulu di kantin sama yang lain,” ujar Megatron pada sosok bermasker dan berkacamata merah itu. Seusai Shockwave mengiyakan ajakannya dari seberang telepon, mereka berdua pun berjalan menuju kantin untuk bertemu dengan yang lain.

Keenam siswa itu langsung mengambil tempat duduk masing-masing dengan Megatron membawa sebuah kotak besar yang ia ambil dari loker kelasnya.

“Nih, buka, gih.” Ia meletakkan kotak kardus itu di tengah-tengah mereka. Starscream dengan cepat langsung merobek kertas yang membaluti kotak itu dan membuka kotak kardus itu. Di dalamnya terdapat enam tas beraneka warna dan peralatan tulis bermerk tiga set lengkap.

“Wuih, hadiahnya bagus banget!” seru Starscream girang. “Gue ambil peralatan tulis sama tas pinggang hitamnya, ya.”

Skywarp dan Thundercracker juga mengambil tas punggung dan peralatan tulis yang tersisa, kemudian Soundwave juga mengambil tas punggung berwarna biru tua, menyisakan tas punggung lain berwarna abu-abu di dalam kotak.

“Shock? Lo nggak ambil?” tanya Megatron sembari menunjuk ke dalam kotak.

Shockwave menggeleng. “Enggak. Gue lihat kalian lebih membutuhkan.”

“Shockwave, kalo dikasih hadiah itu harus diterima. Itu bentuk apresiasi,” ucap Megatron padanya. “Ini hadiah kelompok. Walau jumlahnya nggak pas enam, semua anggota harus terima hadiahnya.” Ia menoleh ke arah tiga kembar yang tadi kesenangan mengambil hadiah begitu saja. “Thundercracker, mana yang lebih lo butuhin, tas atau alat tulis?”

“Um ….” Pertanyaan Megatron sejenak membuatnya bingung untuk menanggapi. “Tas atau alat tulis ….”

“Gue terima alat tulisnya aja.” Akhirnya, Shockwave memberikan suara. Thundercracker pun memberikan satu set peralatan tulis yang ada padanya kepada lelaki itu.

“Ye, Shockwave. Butuh nggak butuh kalo dikasih hadiah, ya, diambil aja kali,” kata Starscream tampak tak terima. “Anak orang kaya lo, ya?”

Shockwave hanya diam dengan mata satunya yang terarah pada Starscream.

“Sombong,” ejeknya pada Shockwave.

“Kalo gue bilang nggak, gue bohong namanya.”

“Orang tua lo kerja apa emang?”

“Peneliti dua-duanya.” Shockwave menerangkan singkat.

“Wah, lo pasti ditinggal terus sama orang tua lo, ya,” tanggap lelaki itu. “Kayak dia, nih. Sampe dikosin malahan.” Starscream menunjuk Megatron di sebelahnya dengan ibu jari.

“Wah, lo ngekos?” Shockwave cukup tertegun mendengar hal itu. “Ada yang didikan ortunya lebih keras dari gue, ternyata, tapi menurut gue kayaknya emang ortu lo yang jauh, ya? Lebih ke keadaan yang menuntut.” Shockwave memberi komentar sambil berpikir sendiri.

Megatron tak langsung menjawab. “Bisa dibilang gitu.” Tatapan matanya agak sendu. Ia kemudian beralih pandangan pada tas yang masih ada di dalam kotak kardus. “Kalo gitu tas abu-abunya gue ambil, ya,” ujar Megatron sambil mengambil tas itu. Tak ada suara balasan dari lelaki serupa cyclops itu.

Setelah mengambil semua hadiah itu, mereka pun bubar menuju gerbang sekolah.

Megatron yang berjalan kaki menuju indekos yang tak jauh dari letak sekolahnya berada, memegang tas abu-abu baru itu di depan badan, seolah memberi kesan kalau ia menjaga barang itu dengan baik.

Chapter 14: Rasa Yang Mulai Timbul

Summary:

Ada kejadian selama LDKS yang memunculkan sebuah rasa antara sepasang sejoli. Siapa kah mereka? Siapa yang menabur benih cinta yang akan bersemi di suatu saat nanti?

Notes:

Sehari lngsung 2 bab boleh lah ya~

Chapter Text

“Tooor. Temenin gue ke kantin, yuk.”

Seorang gadis berpenutup kepala biru muda kehijauan di kelas IPA-2 sedang menarik lengan teman sebangkunya untuk menemaninya ke kantin.

“Bentar, bentar, tugas gue belum siap–” Laki-laki yang mengenakan kacamata sebelah yang menempel dari penutup kepala hitamnya itu tampak sibuk pada buku tulis dan pena yang masih ia genggam di tangan.

“Demi Allspark, Perceptor! Itu tugas matematika masih seminggu lagi dikumpulin!”

“Kok grafiknya masih nggak ketemu, ya? Ini kayaknya beneran soalnya yang salah.”

“Iiiiiiiih, Perceptor!” Gadis itu melepas tangan Perceptor dan menggerutu sambil memanyunkan bibirnya.

“Minta temenin sama yang lain sana,” saran Perceptor pada gadis berkepala biru itu.

“Ah, Tor. Gue nggak deket sama yang lain selain elo …,” ucapnya agak pelan. “Ayo ke kantin.”

“Iya, iya.” Perceptor meletakkan pena dan menutup buku tulis matematikanya. “Ini gue udah kelar.”

Mereka berdua pun berjalan keluar kelas menuju kantin. Sebelum memasuki area kantin, Elita tampak sedang berjalan sendirian dari arah seberang.

“El!” panggil Chromia melambaikan tangan. Sosok yang dipanggil menyahut.

“Eh, Mia. Mau makan di kantin bareng?” tanya Elita padanya. Chromia mengangguk dan mereka bertiga pun jadi duduk di satu meja yang sama.

“Gimana LDKS kemarin, El?” tanya Chromia di sela-sela makannya.

“Gimana apanya?” Dua antena Elita saling menjauh ke arah yang berlawanan.

“Lo sama Optimus.” Chromia menyeruput gelas es jeruk besarnya. “Gue lihat kalian deket waktu LDKS kemarin.”

“Masa iya?” tanya Elita dengan memasang sedikit tawa. “Optimus mah deket sama semua orang, Mia.”

“Tapi kan lo punya kesempatan buat bisa lebih dekat lagi, tuh, selama LDKS kemarin.”

“Haha, maksud lo?” Elita masih berlagak tak mengerti dengan arah pembicaraan teman dekatnya ini.

“Nggak ada apa-apa gitu selama LDKS kemarin?”

“Nggak … ada?” Elita memasang senyuman yang disertai kebingungan, kemudian kembali memakan santapan siangnya.

“Lo ngomong apa, sih, dari tadi, Mi?” tanya Perceptor yang juga sedang makan seraya tak paham.

“Ah, lo nggak ngerti, mah, sama obrolan kayak gini,” tanggap Chromia dengan wajah pasrah.

Sementara itu, di meja yang lain, Optimus sekawan tampak membicarakan sesuatu yang topiknya tidak jauh berbeda.

“Eh, Mus. Gimana lo sama Elita?” tanya Prowl di tengah kunyahan nasi ayam kantin langganan mereka.

“Gimana apanya?” tanya Optimus tak paham.

“Ya, Primus, Mus.” Jazz menyuarakan kekecewaannya. “Lo nggak naksir? Manis, loh, dia,” ucap Jazz memberi pandangan.

Optimus tak langsung menjawab. Jazz pun menambahkan, “Tapi kami nggak mau, lah, duluin ketua.”

“‘Kami’? Gue nggak ada pikiran mau deketin dia, ya.” Prowl bersuara tidak setuju. “Tapi bener kata Jazz, Elita manis. Agak heran aja, sih, gue, kalo lo sampe nggak ngelirik. Apalagi lo nyikapin Elita baik selama LDKS.”

“Gue juga enggak. Nggak ada pikiran ke situ.” Ratchet juga memberi tanggapan.

Optimus masih terdiam. Setelah diperhatikan, ternyata matanya sudah membulat lebar dengan wajah menatap lurus ke depan. Garis bibirnya pun jadi datar.

“Lah, ini orang malah jadi patung,” ucap Jazz padanya.

“Mus, lo nggak apa-apa?” tanya Ratchet di sampingnya agak khawatir. “Keselek?”

Optimus menggeleng. Ia lalu menunduk sedikit ke bawah. Rupa yang tidak tertutupi masker itu tampak memunculkan rona merah tipis sebelum ia menutupnya dengan kedua tangan.

“Gue malah jadi kepikiran karena kalian tanyain ….”

Prowl adalah orang yang tawanya paling kencang mendengar ucapan Optimus.

“Ngakak banget lo! Naksir orang karena ditanyain pendapat sama temennya!” Lelaki dengan sepasang ornamen merah runcing yang menukik pada penutup kepala putihnya itu masih tertawa terbahak-bahak. Begitu juga dengan Jazz.

“Gue nggak nyangka Prowl bisa kayak gini,” komentar Ratchet yang agak tertegun melihat tingkah teman sekelasnya itu.

“Chet, gue bukan mesin pembunuh berdarah dingin,” balas Prowl, masih mencoba menghentikan tawanya yang mengundang perhatian seisi kantin.

“Abisan lo waktu LDKS kemarin diem aja hampir kayak hantu, nggak ada suaranya.”

“Prowl emang kayak gitu, Chet. Kalo pas lagi kepengen diem, ya, bakal diem banget dia. Sampe kalian nggak bakal sadar sama keberadaannya.” Jazz menerangkan. “Tapi kalo udah kayak gini, ya, gini kelakuannya.”

Ratchet menoleh ke arah Optimus. “Jadi? Lo suka sama Elita?”

Optimus masih menutupi wajahnya. “Nggak tahu ….”

“HAHAHAHAHA. UDAH, MUS. PEPET AJA. JANGAN KASIH KENDOR!!!!!”

“Gue kayak ngelihat orang lain.” Ratchet masih berkomentar tentang tingkah Prowl di depannya yang tiba-tiba tampak di luar kendali.

“Prowl kalo udah heboh emang hebohnya melebihi gue. Harap maklum.”

“Abisan lucu! Kalo nggak ditanyain soal Elita dia nggak bakal naksir Elita gitu? Logikanya itu, loh!” Prowl sendiri berupaya meredakan kehebohan dari dirinya sendiri. Ia memegangi perutnya. “Aduh, perut gue sakit.”

“Kayaknya ada yang manggil nama lo, El?” kata Chromia yang mendengar sepintas lalu. Ia menoleh ke belakang dan mendapati empat siswa yang sedang bercengkerama di ujung barisan meja yang tertata. Mereka tampak asyik dengan topik obrolan mereka sendiri.

Tiba-tiba saja, badan Prowl berbalik menghadap meja Chromia dan teman-temannya. Awalnya, gadis itu mengira mereka saling tatap, tetapi saat ia menelusuri arah tatapan lelaki itu, ternyata pandangannya tertuju pada Elita yang duduk di depannya.

“El, kayaknya lo diomongin deh sama mereka.”

“Siapa?” Elita mencoba melongok ke meja yang ditunjuk Chromia.

Di meja Optimus, Prowl berkomentar, “Panjang umur, Mus. Orangnya ada di sana.” Ia kembali pada suara datarnya yang tenang.

“Terus emangnya kalo Elita di sana gue mau ngapain?” Optimus yang sudah selesai makan pun kembali menutup wajah dengan masker besi abu miliknya.

“Samperin, dong. Minta nomornya,” saran temannya itu.

Optimus melirik ke atas sedikit. “Kalo nomor hape, mah, gue punya. Kan ada di grup kelompok LDKS.”

“Oh, iya, ya. Enak, dong. Tinggal chat buat pedekate,” tanggap Jazz.

“Nggak, ah. Terlalu cepet buat gue deketin sekarang.”

“Gue seneng, seenggaknya lo udah komitmen mau deketin dia.” Prowl kembali tertawa walau tidak sekeras tadi. Optimus menolehkan kepala ke arah lain sembari bertopang pipi.

“Jadi lo jadi tim sukses pedekate Optimus sama Elita, nih?” tanya Jazz ke Prowl.

“Nggak juga, sih--maksud gue, kalo ada yang mau diusahain sama temen, pasti bakal didukung sama temennya, dong? Iya, nggak?” ujar Prowl menatap teman sebangkunya di kelas itu. “Gue sama Jazz jadi tim hore, deh. Lo gimana, Chet?”

“Gue, sih, terserah Optimusnya aja, ya. Soal perasaan kan yang tahu Optimus sendiri.”

Tak lama usai makanan mereka tandas, mereka pun bergegas bangkit dari meja kantin. Saat Prowl berdiri di samping Optimus, ia meletakkan tangannya di bahu kiri lelaki itu sembari berteriak ke meja yang tadi sempat ia lihat.

“Elita! Optimus titip salam!”

“Prowl!” tegur Optimus dengan mata membelalak lebar.

“Parah lo, dah. Orang-orang jadi tahu, dong.” Jazz geleng-geleng melihat kelakuan temannya itu.

“Kalo Optimus nggak pedekate ke Elita juga bakal jadi angin lalu, Jazz,” ucap Prowl pada teman dengan mata tertutup visor biru itu.

Pandangan Optimus mengarah ke meja Elita. Ia melihat gadis berpenutup kepala merah dengan antena tipis itu masih duduk di meja. Tatapan mereka bertemu. Keduanya saling membalas dengan senyuman kikuk.

Tak lama kemudian, bel berbunyi tanda istirahat sudah berakhir.

***

Megatron berjalan menuju ruang OSIS di dekat ruang auditorium sewaktu istirahat tiba. Lelaki itu menilik dari balik pintu, mendapati ruangan yang sepi, hingga kemudian melihat Ultra Magnus sedang duduk di kursi meja utama.

“Permisi, Kak Magnus,” ucap Megatron sambil masuk ke dalam ruang OSIS. Magnus yang sedang merapikan tumpukan kertas di genggaman tangan menoleh.

“Oh, Megatron.” Ia meletakkan berkas itu di sudut meja dan bangkit berdiri untuk menghampiri adik kelasnya. “Ada perlu apa?”

“Saya mau tanya soal pendaftaran OSIS, Kak.” Megatron memberitahu maksud kedatangannya.

“Pendaftaran OSIS mulai dibuka minggu depan,” terang lelaki berbadan besar itu. “Tapi kalau ada yang mau kamu tanya, silakan.”

Lelaki berkepala biru itu mempersilakan Megatron dahulu untuk duduk di sofa panjang yang ada di ruangan itu. Mereka pun duduk berhadapan saat ini.

“Untuk mendaftar jadi ketua OSIS apa harus dari anggota OSIS?” tanyanya.

“Tidak, Megatron. Namun, alangkah baiknya kalo kamu jadi anggota OSIS terlebih dahulu, biar kamu tahu budaya kerja OSIS itu gimana,” terang Ultra Magnus padanya. “Kamu waktu SMP tidak ikut OSIS?”

“Tidak, Kak.” Megatron menggeleng.

“Kalau saya boleh tahu, apa yang membuat kamu ingin jadi ketua OSIS?” tanya kakak kelasnya itu. “Kalau saya boleh berkomentar, menurut saya ambisi kamu masih terlalu dini. Apa ada yang kamu kejar?”

Megatron tampak terpekur sejenak.

“Saya … cuma mau kejadian saya dengan Kak Sentinel sewaktu MOS tidak terjadi lagi di periode OSIS berikutnya, dan jurit malam sewaktu LDKS ….” Ia menggantungkan kalimatnya, teringat akan rekaman milik Soundwave yang belum ia adukan. "Saya tidak terima dengan ucapan Kak Sentinel yang bilang saya nggak mampu jadi pemimpin. Dari situ, saya ingin membuktikan bahwa pernyataannya itu salah. Saya bisa jadi pemimpin yang lebih baik dari dia."

“Saya paham,” ucap Ultra Magnus. “Kamu punya pandangan ke depan yang bagus. Saya harap nanti kamu bisa punya visi yang lebih jelas lagi kenapa kamu mau jadi ketua OSIS.”

Megatron menatap mata kakak kelasnya yang terlihat teduh itu. Ultra Magnus memang terkenal sebagai sosok yang kaku, tetapi ketika berbicara dengannya, ketegangan yang tadinya ia kira ada di bayangan banyak orang, seketika sirna. Ia punya sisi tenang dan lembutnya sendiri. Lagipula, biarpun Ultra Magnus menghadapinya dengan kaku, Megatron tidak akan mati kutu menghadapinya.

“Apa ada yang mau kamu tanyakan lagi?”

“Pengumuman pembukaan pendaftaran OSIS dan persyaratannya bagaimana, Kak?”

“Oh, nanti poster pendaftaran beserta rincian persyaratannya bakal ditempel di mading sekolah.”

“Baiklah, kalau begitu.” Megatron bangkit berdiri dan permisi untuk keluar ruangan. “Terima kasih, Kak Magnus.”

“Sama-sama.” Ultra Magnus menjawab ringan. Ia memandangi lelaki itu keluar dari ruangan OSIS hingga sosoknya menghilang.

Sebelum bel berbunyi, ketika Megatron sedang berjalan melewati lapangan, bunyi notifikasi aplikasi perpesanan menarik perhatiannya. Ia lantas meraih telepon pintar di saku celananya. Pesan dari Arachnia terpampang di layar.

Mega sayang. Sore ini aku bisa datang ke restoran kamu?

Chapter 15: Akhir Kesepakatan

Summary:

Akhirnya Black Arachnia menggunakan tiket makan gratisnya di restoran punya Megatron. Apa yang Arachnia obrolkan di sana sama Megatron? Apakah mereka sedang nge-date? Atau jangan-jangan, Megatron mengungkapkan perasaan yang selama ini dipendam pada Arachnia?!
//Author digebuk Megatron

Chapter Text

Atasan kaos kuning bermodel crop top dengan hiasan tulisan di tengah berwarna putih dan celana kain panjang hitam bermodel high waist . Arachnia mencoba memadukan setelan bajunya hari ini dengan kesan minimalis yang tidak akan membuatnya terbanting dengan tempat yang akan ia tuju sore ini. Ia juga jaga-jaga mengenakan dalaman tanktop berwarna putih agar perutnya tidak kelihatan.

Gadis berpenutup kepala hitam dengan ornamen kuning dan mempunyai tangan tambahan di punggung itu berjalan mendekati sebuah tempat makan serupa rumah kaca. Dari luar, ia bisa melihat meja-meja, orang-orang yang duduk di dalam tempat itu, serta kasir yang terpampang langsung di depan pintu utama. Ketika memasuki tempat itu, ia memandangi dan mengamati sekitar dahulu. Karena menemukan tulisan kalau pesanan dibuat melalui pelayan antar, ia pun langsung duduk di salah satu meja kosong dekat pintu utama yang terdiri dari dua kursi dan satu meja bundar mungil berwarna abu terang kusam.

Ia mengetikkan sesuatu pada telepon pintarnya, mengabari seseorang kalau ia sudah tiba dan duduk di salah satu meja. Tak sampai lima menit, sesosok pegawai berseragam hitam dengan hiasan garis putih melintang pada atasan pendek yang dikenakannya mendatangi meja Arachnia.

“Aku nggak nyangka, kamu beneran ….” Arachnia memandangi pegawai restoran itu sembari memasang senyum takjub. “Kamu sekalian kerja di sini?”

“Iya, saya jadi staf manajer di sini.”

“Hebat, padahal baru kelas sepuluh.”

Lelaki itu berlalu menuju kasir yang memiliki beberapa buku menu yang tertumpuk di atasnya. Ia mengambil salah satunya dan kembali ke meja Arachnia.

“Langsung pesan aja. Kakak mau pesan apa? Mumpung pengunjungnya lagi nggak banyak. Biar saya yang catat pesanan Kakak.” Megatron memberikan buku menu tersebut kepada Arachnia dan mulai membuka buku pesanan untuk mencatat. Arachnia melihat-lihat menu yang tertera di buku itu sembari membalikkan halaman demi halaman.

“Aku pesen cheesy french fries , garlic cheese bread , sama cold tiramisu latte -nya satu.”

Arachnia memberikan buku menu itu kembali kepada Megatron. Lelaki itu segera mengembalikan buku itu ke tempatnya dan berlalu ke dapur restoran. Butuh waktu dua puluh menit bagi gadis itu untuk mendapati Megatron tiba dengan nampan berisi makanan dan minuman yang ia pesan. Dengan luwes, Megatron meletakkan pesanan Arachnia di meja.

“Sebentar, ya, Kak,” katanya seusai meletakkan pesanan gadis itu dan berlalu menghilang. Arachnia tak membalas apa-apa terhadap kepergian lelaki itu. Ia melihat tatanan makanan yang ia pesan tersusun dengan indah, membangkitkan selera makan dan segera menyantap kentang goreng bersaus keju itu terlebih dahulu. Enaknya makanan itu membuat senyuman di bibirnya mengembang.

Sekitar sepuluh menit ia menikmati santapan dan atmosfer restoran, baru Megatron kembali dan duduk di hadapannya. Ia meminta izin untuk bertemu pelanggan secara langsung secara restoran saat ini hanya diisi tak sampai lima meja, sehingga ia harus menyelesaikan pekerjaannya terlebih dahulu.

“Orang tua kamu berjiwa wirausaha banget, ya? Bisa sukses punya restoran kayak gini.” Arachnia memberikan komentar terkait tempo lalu Megatron bilang kalau restoran ini adalah miliknya. “Bahkan kamu dikasih jabatan penting.”

Ketika ditanya tentang orang tua, Megatron pasti tak langsung menjawab. Ia perlu diam beberapa detik dahulu sebelum memberi respons.

“Iya,” jawab Megatron. “Cuma staf. Saya cuma bantu manajer soal administrasi dan keuangan, kadang-kadang koordinasiin pelayan dan bagian dapur kalau waktunya jam makan. Sebelumnya saya juga pelayan. Baru-baru ini naik jabatan.”

Arachnia ber- oh pelan. “Sejak kapan kamu disuruh kerja di sini?”

Megatron melirik miring ke atas, mencoba mengingat. “Sebelum masuk SMA … dua atau tiga minggu seusai ujian nasional.”

Arachnia berhenti dari kegiatan makannya. Ia memandangi Megatron dengan kedua tangannya yang saling menggenggam itu bertopang di bawah dagu. “Orang tua kamu keras banget, ya. Anaknya udah dididik sejak dini buat nerusin usaha dari bawah.”

Megatron hanya diam mendengar hal tersebut. Ia mengalihkan pembicaraan ke hal lain. “Jadi, kenapa Kakak ke sini?”

“Nggak apa-apa, sih. Aku bilang kan kemarin mau ngapelin kamu.” Arachnia menoleh ke arah lain, seakan ucapannya berupa omongan kosong belaka. Ia kembali memandangi Megatron dan mengubah posisi duduk untuk bersandar lebih nyaman di ucapan selanjutnya. “Sebentar lagi OSIS buka pendaftaran.”

“Soal itu,” tukas Megatron, “tahun ini siapa yang bakal nyalon jadi ketos?”

Arachnia kembali memakan kentang goreng pesanannya. “Setahu aku untuk periode ini bakalan Sentinel aja yang nyalon.”

“Kok gitu?”

“Karena yang lain ngerasa percuma dan udah minder duluan,” jawab gadis itu. “Kamu udah lumayan tahu, 'kan, kalo Sentinel itu nama belakangnya ‘Prime’ nggak cuma nama? Keluarga Prime itu … Gimana, ya.” Ia menggaruk pipinya dengan telunjuk. “Ya, mereka keluarga berada gitu. Kalo dilihat dari luar, sih, kayaknya pada biasa aja sama Sentinel, tapi mereka juga nggak mau macem-macem, misal kayak ngalahin Sentinel pas pemilihan ketos. Soalnya kalo lihat Sentinel orangnya kayak apa ….”

Arachnia membuang napas. “Kalo gini nggak bakalan ada pemilihan juga. Paling Sentinel cuma bakal diwawancara sama anggota inkoor OSIS periode sebelumnya, dan hasilnya tergantung sama itu.”

“Bakal langsung lolos?”

“Pasti lolosnya emang karena yang nyalon cuma dia. Lagian, Sentinel gitu-gitu juga bisa mimpin, Ga. Kalo enggak, nggak mungkin dia di-ACC jadi ketua pelaksana LDKS kemarin.”

Percakapan di antara Arachnia dan Megatron berhenti sejenak. Arachnia memperhatikan Megatron yang menunduk tampak memikirkan sesuatu.

“Kakak nyaranin saya masuk OSIS dari sekarang, dan bilang kalau saya masuk OSIS saya bakal bisa ngapain aja. Bukannya aku bakal jadi babu dulu kalau aku daftar OSIS sekarang?” Megatron mengungkapkan tanya yang selama ini tak sempat ia bicarakan kepada Arachnia secara langsung. “Terlebih, Kak Magnus bilang buat jadi ketua OSIS, aku nggak perlu masuk OSIS terlebih dahulu.”

“Tapi?” Arachnia menyesap minuman tiramisu latte dinginnya sedikit, memberi respons seakan ia tahu ada ucapan lain yang dilontarkan oleh ketua OSIS mereka itu.

Megatron melipat kedua tangannya di dada, memandang ke arah lain. “Kak Magnus bilang lebih baik masuk OSIS dari sekarang biar aku tahu budaya kerja OSIS gimana.”

Arachnia hanya memberikan senyum puas mendengar omongan Megatron.

“Tapi aku nggak perlu itu. Aku pintar beradaptasi.”

“Apa?” Ekspresi wajah Arachnia berubah mendengar perkataan itu.

Megatron masih pada pose melipat tangan di bawah dada. “Aku bakal nyalon jadi ketua OSIS, tapi nggak lewat jalur babu. Aku juga bisa mantau sebagian proker OSIS dari event - event yang dilaksanakan di sekolah.”

Arachnia terbengong mendengar omongan lelaki itu. Ia pikir, ia bisa membuat Megatron terlena dengan semua informasi dan hal-hal yang ia berikan agar ia mau masuk ke organisasi sekolah yang cukup punya kuasa akan banyak hal. Pada kenyataannya, ia perlu usaha lebih baik lagi.

“Jadi,” Mata Megatron memandang Arachnia lekat. “Apa yang Kakak inginkan sampai segitunya pengen aku masuk OSIS?”

Arachnia terdiam. Di saat seperti ini, barulah ia tersadar mengapa Megatron mengiyakan ajakannya untuk sekalian bertemu di tempat ini, selain menggunakan kupon makanan gratis yang ia terima melalui kesepakatan di pos negosiasi jurit malam LDKS kemarin. Selama ini mereka hanya berkomunikasi melalui aplikasi perpesanan, bahkan Arachnia tak pernah menemuinya selain di saat MOS dan LDKS kemarin.

Ternyata, Megatron memancingnya untuk mempermalukan dirinya sendiri di hadapan lelaki itu.

“Seenggaknya Kakak harus tunggu setahun lagi sampe aku jadi orang penting di OSIS.”

Arachnia masih berupaya membujuk laki-laki itu. “Padahal Kakak udah kasih kamu banyak info selama ini, tapi ternyata kamu orang yang nggak tahu terima kasih.”

“Ini masih kurang?” Ia menunjuk makanan dan minuman yang dipesan oleh Arachnia. “Aku masih ada jatah gratis buat Kakak. Kalo mau pesan aja lagi buat dibawa pulang.”

Andaikan ia tidak mengenakan penutup kepala, mungkin saat ini bisa terlihat kalau telinga gadis itu memerah lantaran ucapan Megatron semakin membuat dirinya malu.

Megatron melihat ke arah jam dinding yang dipajang di belakang area kasir. “Jam makan malam bentar lagi tiba,” ujarnya. “Kalo gitu aku permisi cabut, ya, Kak Arachnia. Mau briefing dulu sama pegawai yang lain.”

Lelaki itu menarik kursi yang ia duduki agar bisa berdiri dari tempatnya.

“Oh, iya. Yang lain jangan lupa ajak kemari.”

“Siapa?”

“Teman-teman Kakak yang di pos negosiasi kemarin.”

Arachnia memandang datar. “Mereka bukan teman-temanku.”

Megatron tak memberikan reaksi berarti mendengar hal itu. Sebelum melangkah pergi, ia melirik ke arah makanan Arachnia yang belum habis. “Makanannya jangan nggak dihabisin. Jangan mubazir,” ucapnya sembari menunjuk piring di meja yang masih terisi kudapan.

Arachnia memandangi beberapa biji kentang yang sudah tak renyah lagi, dua potong roti kecil, dan minumannya yang tinggal setengah gelas. Ia lalu melihat punggung Megatron yang menghilang di balik sisi ruangan restoran.

Diselimuti kegundahan, seketika sebuah ide terlintas di benak Arachnia. Senyuman jahat dan tatapan sinis pun kembali terukir di wajahnya. Setelah menghabiskan makanan dan minumannya, ia beranjak dari kursi dan keluar dari restoran itu. Ia rogoh ponselnya sambil melangkah di trotoar. Jari-jari lentiknya menekan tombol-tombol angka di ponsel itu membentuk sebuah kalimat yang akan ia kirimkan pada Megatron. 

Dear Meggy,

Sepertinya kamu udah nggak bisa diajak kerja sama lagi. Sayang sekali, padahal aku mau lebih lama sama kamu. Kalau begitu, aku akan adukan pada panitia LDKS kalau salah satu anggota kamu, Soundwave, merekam seluruh rangkaian acara LDKS. Aku nggak tahu apa aja yang udah dia rekam, tapi sepertinya teman-teman seangkatanku bakal marah besar sama anggota kamu itu kalau sampai rekaman tersebut jatuh ke tangan guru.

 

Apa yang akan kamu lakukan sebagai pemimpin, Megatron?

Chapter 16: Sebuah Rencana

Summary:

INI BAGIAN YANG SERUNYA SIH. ASLI. KITA NULISNYA PENUH PERASAAN. HARUS BACA!!! LAGI GAK BISA BIKIN SUMMARY KARNA SAKING SERUNYA //ditabok

Pokoknya ini cerita ttg Megatron yg mulai mengibarkan bendera perang ke OSIS! :))

Chapter Text

Pesan yang Megatron terima dari Arachnia dibiarkan menggantung. Ia tidak membalasnya, hanya membaca. Ia juga tidak meneruskan pesan itu langsung ke Soundwave, apalagi diteruskan ke grup LDKS kelompoknya tanpa kakak pembimbing. Megatron tidak langsung meneruskan semua pesan tersebut, melainkan memberitahu intinya saja.

 

Megatron
Gue dpt kabar dari si laba2. Dia bakal ksh tau ke panitia kalo SW bakal bongkar kebusukan mereka di depan guru.

 

Ia baru memberi pesan pada mereka berlima di hari Minggu sore, tetapi tidak ada yang langsung membalasnya hingga malam pun tiba. 

 

Skywarp
SW siapa, Ga? Gue?
Emang gue tau apaan dah?

Starscream
Lu tau apaan, Warp?
Emang kebusukan panitia apaan?

Skywarp
Mana gua tau, jir.
Gue aja gak tau ini panitia LDKS apa MOS.

Thundercracker
SW maksudnya Shockwave kali.

Shockwave
Gk logis. Gw gk da bkti bwt dtnjkkin k gru

Skywarp
Chat nya pelit bet pelit.

Starscream
Gak gampang tulis pake satu tangan sama satu mata.
Pahamin itu dong, Warp 😀

Skywarp
Oh, iya. Ok bang.
Maap ya Shockwave 😀

Thundercracker
Anjir ketikan lo dijaga dong.
Brarti Soundwave ya.

Starscream
Lah gue kan ngmong apa adanya
Lihat tuh anaknya jga ga marah.

Skywarp
Ini Megatron kemana dah. Gak muncul2.

Starscream
Kalo Megatron gak muncul, berarti gue jadi admin grup ini!
Hahahaha!

Megatron
Gue dpt kabar dari ARACHNIA. Dia bakal ksh tau ke panitia kalo SOUNDWAVE bakal bongkar kebusukan mereka di depan guru.

Starscream
Cih, pake muncul.

Megatron
Lu mau keluar @Starscream?

Starscream
Nggak.
Sorry.

Megatron
Ini mana @Soundwave gak muncul2?

Shockwave
Dah tdur kli.

Soundwave
Sorry bru buka WA
Gue ksh makan kucing dulu tadi
Ada apa?

Megatron
Baca pesan gw di atas.

Shockwave
Klo kt gw. Mlh bgs si ngdu k gru.

Skywarp
Bgs apa sih? Bagas?

Starscream
Bagas siapa jir 😂

Shockwave
Bagus.

Thundercracker
Mending lu diem aja dah @Shockwave. Kyak waktu LDKS kmrn di grup yg ada Kak Astro, lu kan gak muncul2 tuh. Dripada sekalinya muncul bikin orang kagak paham.

Shockwave
Bgst.

Skywarp
Bgst? Bagus banget?

Megatron
@Shockwave. Lu vn aja. Gak usah chat. Ngomong yg penting aja.

Shockwave
Y.

Megatron
Ini sw mana dah. Gak muncul2 lagi.

Skywarp
Ini gue muncul.

Starscream
BUKAN LU!

Thundercracker
BUKAN LU! (99+)

Skywarp
Ok ;_;

Soundwave
Bentar. Gue baca dulu.
Bru kelar kasih makan burung.

Thundercracker
Abis ini mau ksh makan apa lagi?

Soundwave
Paling kelelawar si.

Starscream
Lu buka kebun binatang, ye?

Skywarp
Main ke rumah Soundwave keknya asik nih.

Soundwave
Bukan utk umum.

Megatron
Baca chat gue woi. Jangan smpe chat gue tenggelem.

Soundwave
Udah
Trs gue hrs apa?
Lngsung ksh rekamannya ke guru?

Megatron
Iya. Hari Senin lngsung ksh ke Pak Megatronus aja.

Soundwave
Eh, lngsung ke Pak killer? Serius nih?

Megatron
Iya. Lu mau ditemenin?

Soundwave
Bentar. Kak Astro telpon.

Thundercracker
Kyaknya Kak Arachnia dah nyebar ke panitia LDKS deh… eh tp gak tau juga sih. Siapa tau urusan lain, kan.

Shockwave memulai panggilan video grup.

Starscream
Ini ngepain dah lu buat panggilan video
Gue msh di bathup
Lu mau liat gue mandi?

Thundercracker
Wey bang
Lu msh di kamar mandi?
Lama banget dah!

Skywarp
Cepetan bang! gue jg mau mandi!
Gue males kalo gue ke kamar mandi, tapi lu masih di dalem.
Cepetaaaaaaaaaaaan @Starscream!

Starscream
Bawel lo pada!
Kamar kalian masing2 kan ada kamar mandi!

Skywarp
Tapi gue mau yg ada bathup nya!

Shockwave mengakhiri panggilan video grup.



Megatron mengembuskan napas panjang saat melihat pesan-pesan itu terus berlanjut. Keberadaan triplet itu di dalam grup cukup membuatnya terganggu. Mereka sulit dibawa serius, seakan mereka memiliki dunianya sendiri. Grup yang ia harap akan menjadi grup circle-nya, malah terlihat seperti grup untuk keluarga si kembar tiga itu. Walau begitu, ia membiarkan mereka ada di sana. Toh mereka memang sudah ada di kelompok LDKS dari awal. Jika ada sesuatu yang terjadi pada mereka, Megatron merasa perlu turun tangan juga untuk menunjukkan kalau ia pemimpin yang bertanggung jawab.

Jari Megatron menekan kontak Shockwave, lalu menekan tombol yang menunjukkan gambar video. Tidak lama berselang, panggilan video itu diangkat oleh Shockwave.

Cahaya warna kuning hampir memenuhi layar ponsel Megatron ketika panggilan videonya diangkat. Ia juga mendengar samar-samar suara kegaduhan berasal dari seberang sana.

“Lo lagi di mana?” Megatron membuka suara.

“Lagi di lab orang tua gue,” jawab lelaki berkepala ungu itu.

“Lagi sibuk banget, ya?” tebaknya.

Optik tunggal itu melepas pandangan dari layar ponsel, dan memandang lurus ke sesuatu yang tidak dapat Megatron lihat. “Nggak. Gue cuman ngamatin orang tua gue kerja dan diskusi tentang … sesuatu yang gue yakin lo nggak paham.”

“Gue juga nggak tertarik buat tahu,” timpal Megatron. “Terus kenapa lo tiba-tiba ajakin panggilan video di grup?”

“Kepencet,” jawab Shockwave tanpa beban.

Dua alis Megatron terangkat. “Lah, gue kira lo mau ngomong hal penting.”

"Emang ada yang mau lo omongin?"

"Ada. Coba lo ajak Soundwave gabung ke sini."

"Soundwave aja? Triplet nggak?"

"Nggak. Mereka berisik. Gue yakin kalau mereka bertiga gabung kerjaannya pasti cuma ngerusuh doang."

"Cukup logis."

Megatron dapat menerka dari tampilan layar ponselnya itu saja, kalau Shockwave meletakkan ponsel itu di atas meja sebelum ia gunakan salah satu tangannya untuk mencari kontak rekannya itu. Mulut Megatron sempat terbuka untuk bertanya, kenapa lo nggak pakai tangan satunya lagi? Tapi untungnya Megatron langsung menutupnya lagi saat teringat tentang kondisi Shockwave.

Akhirnya muncul satu kotak lagi di ponsel Megatron, yang menandakan Soundwave telah bergabung di panggilan video itu.

“Lo lagi di mana, Ga?” tanya Soundwave saat melihat latar belakang Megatron berupa langit gelap malam.

“Di luar, lagi nunggu bus. Baru balik kerja.”

“Loh? Lo kerja?”

“Iya.”

Megatron dapat melihat reaksi wajah Soundwave yang tampak sedikit heran, sedangkan Shockwave … Megatron takkan pernah bisa membaca ekspresi lelaki itu selain dari nada suara perkara fitur wajahnya yang selalu terlihat sama. Biar begitu, ia tak mau memikirkan isi pikiran mereka yang baru saja mengetahui kalau ia sudah bekerja.

"Kak Astro ngomong apa ke lo?" tanya Megatron cepat, tanpa perlu basa-basi dia sedang ada di mana atau bertanya kenapa ia masih mengenakan masker dan kacamatakalau memang benar ia beradadi rumahnya. 

"Ngomongin rekaman. Dia minta gue serahin rekaman itu."

"Jangan … -sih langsung … ke … Astro … itu." Suara Shockwave terdengar bergetar dan putus-putus. 

Soundwave mendecak sekilas. "Lo nggak di chat, nggak di video call , gue nggak paham lo ngomong apa. Apa perlu gue samperin rumah lo dulu buat gue tahu omongan lo?"

"Sabar, Soundwave. Mungkin dia susah sinyal?" kata Megatron. Benar saja, sambungan Shockwave terputus sejenak dan video dirinya tak terlihat. 

"Dih, dia tinggal di goa?"

Megatron menaikkan sebelah alis. "Lo ada masalah sama Shockwave?"

"Nggak," ketusnya. Megatron masih terdiam dan menunggu kalimat Soundwave berikutnya. "Maaf, Ga. Gue lagi agak sensi aja setelah ditelepon Kak Astro."

"Jangan minta maaf ke gue. Minta maaf ke Shockwave," jawab Megatron, bertepatan dengan munculnya optik tunggal Shockwave di kotak panggilan video yang sempat terputus itu. 

“Gelombang elektromagnetik dari penelitian orang tua gue agak ganggu sinyal HP gue. Suara kalian juga putus-putus. Tadi kalian ngomong apa?” Optik tunggal Shockwave tidak fokus melihat layar ponsel, melainkan melihat ke sesuatu di depannya terus. Tampaknya kini ia sedang berjalan menuju suatu tempat untuk mendapat sinyal sekaligus tempat nyaman untuk bicara.

“Maaf, Shockwave. Gue baru aja jelek-jelekin lo di belakang,” ucap Soundwave yang terdengar tiba-tiba.

“Ya, gue tahu lo dari awal emang benci sama gue tanpa alasan, dan lo pasti disuruh Megatron juga buat minta maaf.” Setelah Shockwave tiba di kamarnya, ia mendudukkan diri di kursi belajar. “Selagi lo cuman ngomongin di belakang dan nggak sabotase nilai gue, gue nggak peduli kalo lo mau benci sama gue.”

You are such a guy with a great lack of emotion and expression,” cibir Soundwave. Shockwave tidak menanggapinya, selain memandangnya dengan optik tunggal miliknya.

Tidak ingin mereka berdua berdebat terus, Megatron pun buka suara. “Gue di sini bukan jadi wasit adu bacot kalian. Soundwave, kasih tahu kita. Kak Astro bilang apa aja?”

Soundwave mengembuskan napas sejenak. “Gue nggak yakin ini jatuhnya gue diancem apa nggak, tapi Kak Astro bilang kalau gue hari Senin harus ketemu dia dulu sambil bawa rekaman gue. Biar gue aman dari kakak kelas lain.”

“Terus lo jawab apa?” tanya Megatron lagi.

“Gue bilang aja, ‘Hari Senin rekamannya mau dibawa adik saya ke sekolah buat tugasnya,’ gitu.”

“Tapi Kak Astro minta lo pindahin rekamannya dulu ke flashdisk, nggak?” Kali ini Shockwave bertanya.

“Nggak. Tapi dia maksa gue buat bawa rekaman itu dan suruh gue kasih solusi buat tugas adek gue.”

“Bodoh. Padahal hasil rekaman bisa dipindahkan ke flashdisk, tapi untunglah dia nggak saranin lo buat pindahin rekaman itu,” balas Shockwave.

Bus jadwal terakhir yang Megatron tunggu pun tiba saat sebuah pikiran terlintas di benaknya setelah mendengar penjelasan singkat dari Shockwave. Sembari menaiki tangga bus, lelaki itu berkata, “Gue ada ide. Kalian berdua, dengerin gue baik-baik.”

***

Teriknya mentari siang di hari pertama dalam seminggu ini membuat siapa pun ogah untuk berkeliaran di lapangan. Salah satunya adalah Astrotrain yang kini sedang berteduh di bawah pohon rindang dekat lapangan sekolah. Dengan dua tangan terlipat di dada, ia memperhatikan keenam siswa berjalan menghampirinya.

"Gue kecewa sama kalian." Itu adalah kalimat pertama yang dikeluarkan Astrotrain ketika mereka berenam tiba di hadapannya. Ketika Megatron baru membuka mulut, tangan Astrotrain sudah terangkat. "Nggak usah bicara. Kita langsung selesaikan ini di ruang OSIS dengan yang lain."

"Kak, saya juga ikut ke ruang OSIS?" tanya Starscream. Ia paham kalau Astrotrain sedang tidak bisa terlihat akrab di depan mereka. 

"Gue cuman minta Soundwave yang datang, tapi kalau yang lain juga mau datang, ya, terserah."

Sebuah sumringah muncul di wajah Starscream, tetapi sumringah itu hilang seketika saat melihat tatapan tajam Megatron. Dari wajah gaharnya saja Starscream sudah merasa terancam, dan seakan Megatron berkata, ' Gue bakal jadiin lo karung tinju kalau lo berani-berani angkat kaki dari masalah ini. '

"Megatron kan udah ngasih tahu kalau ini masalah kita bersama karena nggak ngelaporin Soundwave dari awal. Kita hadapi ini bersama sebagai satu kelompok," kata Thundercracker. 

"Bang Star gimana, sih. Gitu aja nggak tahu," sambar Skywarp, yang membuat Starscream mendengus sebal. 

Akhirnya, mereka tiba di dalam ruang OSIS. Di sana hanya berkumpul beberapa orang saja yang memiliki peranan penting dalam kepanitiaan. Ada Ultra Magnus yang harus hadir selaku ketua OSIS, Sentinel selaku ketua pelaksana LDKS, Jetfire selaku ketua divisi acara, Blurr selaku ketua divisi pembimbing, dan Drift selaku ketua divisi keamanan. Astrotrain juga ada di sana selaku ketua divisi perlengkapan sekaligus kakak pembimbing mereka berenam.

"Soundwave, letakkan rekaman kamu di atas meja," perintah Ultra Magnus. Suaranya terdengar tegas, tetapi masih ada sedikit kelembutan dalam ucapannya. 

Tanpa membantah, Soundwave merogoh saku celana seragamnya, lalu meletakkan benda kotak itu di atas meja yang tersusun panjang menyamping, yang membatasi kakak kelas dan mereka. 

"Jadi, itu alat perekamnya? Kamu bilang itu kotak obat," kaget Drift. Lalu, ia menoleh ke Sentinel yang duduk di sebelah Ultra Magnus. "Saya sama anggota yang lain udah cek semua tas sama barang-barang yang mereka bawa di kantong baju mereka. Saya sempat ketemu barang itu, tapi katanya itu kotak obat, dan saya cek memang kotak obat. Jadi saya balikin lagi ke dia."

Blurr yang duduknya dekat dengan meja langsung mengambil kotak berwarna biru berbentuk seperti radio itu. Wujudnya memang seperti sebuah perekam karena adanya tombol-tombol di sisi depan. Tapi di bagian atasnya, ada sebuah penutup kecil. Blurr membuka kotak tersebut dan mengintip isinya. Lalu, ia membalikkan kotak tersebut, dan keluarlah beberapa tablet obat berwarna putih. 

"Ini obat apa?" Blurr mengambil satu butir obat yang tercecer di meja. 

"Aspirin."

"Kamu gampang pusing?"

"Iya. Kalau agak stres, saya langsung pusing. Mungkin keturunan."

Blurr mengangguk sekilas. "Kotak obat rangkap perekam?" bingung Blurr saat ia menemukan sebuah saklar kecil yang tersembunyi di dalamnya. 

"Iya. Tombol-tombol baru berfungsi sebagai perekam kalau tombol di dalam kotak itu diaktifkan."

Tanpa bertanya lebih lanjut, Blurr sudah menaikkan saklar itu. Tidak ada tanda-tanda kalau perekam tersebut sudah menyala. Jadi, ia menekan tombol dengan simbol 'play' di depannya. Lalu, terdengar sebuah musik klasik yang terdengar agak statis seakan-akan musik itu baru saja direkam. Blurr menekan tombol lainnya, dan suara itu pun berganti dengan suara burung. Ditekan lagi, suara kelelawar. Lalu, ada juga suara kucing. 

"Kamu sengaja rekam-rekam yang nggak jelas gitu buat kita salah sangka, ya?" ketus Sentinel. "Cepat, mana hasil rekamannya?!" bentaknya sambil menggebrak meja.

"Emangnya yang Kakak cari apa? Kok sampe semarah itu?” tanya Megatron berlagak skeptis. “Apa ada sesuatu yang seharusnya nggak boleh terekam dari alat perekam itu?"

"Saya belum kasih kamu izin bicara!" tunjuk Sentinel pada Megatron. 

"Tapi peraturan LDKS sudah tidak berlaku setelah acara selesai," ucap Shockwave. "Dan secara logika, seharusnya Megatron bisa bicara tanpa perlu minta izin."

"Bukankah di LDKS itu mengajari kita untuk bebas berpendapat dan berpikir kritis?" Megatron menunjukkan senyum miringnya. "Lalu kenapa Kak Sentinel melarang saya untuk memberikan pertanyaan kritis? Kak Sentinel mau membungkam saya?"

Sentinel beranjak dari kursi. "LO BERANI"

"Sentinel!" Ultra Magnus ikut berdiri dan meletakkan tangannya di depan Sentinel, bermaksud menahannya.

"TAPI"

"Jangan emosi! Jaga sikap kamu di depan adik-adik kelas kamu!" tegas Ultra Magnus. “Kamu itu kenapa kok saya lihat bawaannya emosi mulu sama Megatron?” Lalu, tatapannya mengarah ke Megatron. "Kamu juga. Jangan buat suasana makin nggak kondusif."

"Dengan segala hormat, Kak Ultra Magnus," ucap Megatron. Ia mengangkat tangan kanan dan menunjuk Sentinel dengan telapak tangan terbuka. "Seandainya siswa seperti dia menjadi ketua OSIS, saya tidak yakin dia bisa membawa nama OSIS di sekolah tercinta ini menjadi lebih baik. Bukankah pemimpin yang baik itu tidak boleh menunjukkan sisi temperamennya seperti ini? Bagaimana jika dia benar-benar terpilih menjadi ketua OSIS? Saya khawatir dia akan bertindak lebih parah pada anggota-anggotanya nanti."

"Kamu sok tahu banget bilang saya mau jadi ketua OSIS?" Sentinel memberi dalih.

"Memangnya orang kayak Kakak nggak bakal nyalon jadi ketua OSIS? Kakak jadi ketua pelaksana LDKS itu kan trial dari Kak Magnus. Don't ask why. Itu udah jelas kelihatan." Kemudian, Megatron menghadap ke arah Ultra Magnus lurus-lurus. Ia mengubah ekspresi wajahnya menjadi serius. “Di samping itu, saya 'kan hanya bertanya, memangnya apa yang ditakutkan Kak Sentinel dari isi rekaman Soundwave? Dan saya punya hak untuk bertanya. Satu ruangan ini punya hak untuk mendengarkan, dan panitia yang terlibat di acara LDKS kemarin punya kewajiban untuk memberikan transparansi terkait mengapa Soundwave sampai harus dipanggil dengan membawa rekaman itu. Logikanya cuma satu, yaitu karena ada hal yang nggak beres selama LDKS kemarin dan rekaman itu bisa punya buktinya. Tapi, kalau bukan karena itu, sekarang juga saya mewakilkan kelompok saya meminta kejelasan kenapa Soundwave dipanggil dan harus menghadapi para panitia LDKS kemarin di ruangan ini, dan harus membawa rekaman itu, alih-alih langsung diberi sanksi.”

Ultra Magnus tertegun. Ia terkesan dengan pemilihan kata dan cara penyampaian kritis Megatron. Sedangkan Sentinel sendiri, dua pendengarannya semakin panas pada ucapan Megatron. Tiap kata yang Megatron sampaikan seperti sebuah panah api yang menargetkan dadanya dan membuatnya semakin panas. Mata tajam Sentinel melirik ke arah Blurr yang tampaknya mulai panik karena tidak menemukan rekaman yang dimaksud. 

Kaki Sentinel terasa ringan saat hati serta pikirannya menyatu dan dikendalikan oleh emosi. Ia melangkah cepat ke arah Blurr, lalu tangannya sigap meraih rekaman itu. Kemudian ….

Brak!!

Sentinel membanting rekaman itu tepat di seberang meja, di hadapan Soundwave. Mata Soundwave melebar tak percaya. Tablet-tablet putih di dalamnya berserakan di lantai. Sisi-sisinya retak dan dua tombolnya lepas. Rekaman berharganya itu rusak tepat di depan matanya. 

Seketika terjadi keheningan. Mereka kaget atas tindakan Sentinel yang tak diduga-duga itu.

"Ada yang nggak beres, kamu bilang?! Memangnya kami ngapain tiga hari tiga malam selama kegiatan kemarin? Buat anak orang pingsan? Buat anak orang mati?” Ia berbicara kuat. “Dan 'kenapa', kamu tanya? Ngerekam percakapan orang tanpa seizin orang itu juga melanggar privasi! Cuman orang freak yang ngerekam semua yang dia dengar!" seru Sentinel dengan penuh amarah. Ultra Magnus tidak bisa berkata-kata padanya yang tampak berbeda itu.

"Wow, gue nggak bisa bayangin, sih, gimana hancurnya OSIS kalau dipegang sama orang kayak dia." Starscream buka suara. Ia agak takut, tetapi rasa kesalnya lebih besar karena tidak tahan dengan sikap Sentinel. " Sorry to say , Kak Sentinel. Dibanding Megatron, lo pemimpin terburuk yang pernah gue temui."

"LO IKUT CAMPUR"

"Nel! Nel! Udah! Sabar, Nel! Jangan emosi lagi!" Drift langsung turun tangan dan memegang dua pundaknya. "Kita keluar dulu, yuk. Cari udara segar. Daripada lo kepanasan di sini, 'kan"

"Gue belom kelar!"

"Apa perlu gue panggil Optimus buat tenangin lo?" Astrotrain buka suara. 

Mendengar nama adik sepupunya disebut, emosi Sentinel mulai agak mereda. Tentu saja ia tidak ingin Optimus malu setengah mampus melihat dirinya seperti ini. Akhirnya, dengan berat hati, Sentinel membanting langkahnya keluar ruangan dengan Drift mengekornya. 

Terjadi keheningan lagi. Kali ini, pandangan mereka berpindah dari pintu yang baru tertutup ke Soundwave yang berjongkok mengambil alat rekaman serta serpihan-serpihan kecilnya. 

"Um, Soundwave … tolong maafin Kak Sentinel, ya?" kata Jetfire dengan senyum menyesal. "Kayaknya rekaman sekeren itu mahal banget. Nanti kami ganti aja, ya. Kamu beli di mana?” lanjutnya. 

Soundwave masih membisu dengan muka syok pada rekaman yang ia tadah dengan dua tangan. Tidak ada yang membantunya menjawab. Tidak ada yang tahu di mana rekaman itu dibeli.

Ultra Magnus yang sedari tadi terduduk di sofa panjang memegangi kepalanya pusing, tak menyangka kejadian seperti hari ini terjadi di depan matanya. Ia bingung harus menyikapi situasi seperti apa, biarpun Magnus mencoba untuk tetap berpikir jernih.

Ia pun akhirnya mendongakkan kepala. "Soundwave, tolong beritahu kami di mana kami bisa mengganti rekaman itu," pinta Ultra Magnus selembut mungkin.

“Yang kayak gini … nggak bisa diganti, Kakak-kakak ….” Soundwave nyaris tak mampu mengucapkan kalimat secara utuh. Kakak-kakak kelasnya yang berada di ruangan itu menunjukkan ekspresi bingung dan bimbang melihat sorotan mata Soundwave yang belum berubah.

“... Maksud kamu?” tanya Jetfire tidak paham.

"Ini hadiah … warisan dari orang tua saya."

"Warisan? Orang tua kamu udah meninggal?" tanya Blurr. Soundwave tak memberikan reaksi apa-apa. Sikap Soundwave yang seperti itu cukup membuat teman sekelompoknya mengerti bahwa jawabannya adalah 'iya', dan hal itu membuat mereka tertegun, apalagi tiga kakak kelas di sana yang merasa bertanggung jawab atas rusaknya barang berharga Soundwave. 

"Parah banget …." Skywarp menggeleng tak percaya. "Gue bakal nangis kejer kalau warisan orang tua gue dirusak gitu aja."

Megatron menghadap ke tiga kakak kelas itu, lalu maju satu langkah. Tubuhnya tegap dan pendiriannya tampak kokoh. Wajah gaharnya terlihat lebih serius dari biasanya. Ada banyak makna di pandangan yang Megatron tunjukkan. Setelah itu, ia membuka suara. 

"Kalian kepengurusan OSIS paling buruk dan tidak konsisten yang pernah saya lihat."

Chapter 17: Perpecahan

Summary:

uhhh author pengen peluk Soundwave di sini :"))
Siapa sih yg gak sedih setelah barang warisan ortu malah dirusak sama orang lain? Sakit banget sih ya.
Terus kejadian2 apa aja nih yang bakal muncul setelah rekaman Soundwave itu dirusak? Cus lah langsung baca aja~

Chapter Text

Megatron dan teman kelompok LDKS-nya keluar begitu saja setelah panitia LDKS yang seluruhnya merupakan pengurus OSIS itu hanya bisa terdiam menerima perkataan dari Megatron. Sepulang sekolah, keenam murid itu pun tak langsung pulang ke rumah. Mereka menongkrong di meja kantin yang sepi. Thundercracker dan Skywarp duduk di masing-masing sisi Soundwave, dengan Thundercracker yang merangkul bahu Soundwave, sembari sesekali mengelus punggung lelaki itu untuk menenangkannya. Soundwave memang masih pada masker dan kacamata merahnya, tetapi teman-temannya itu tahu yang laki-laki itu lakukan sedari tadi hanyalah menahan tangis supaya tidak tumpah.

Megatron sendiri dari tadi terlihat sibuk dengan pikiran sendiri, berpose sikut yang bertumpu di atas meja dan kedua telapak tangan yang ia katupkan di depan wajah. Di hadapannya ada Shockwave yang menatap lurus padanya.

Lama lelaki berkepala abu-abu itu diam, melamun heran.

“Nggak habis pikir, gue.” Akhirnya, satu kalimat meluncur dari mulutnya. “Bahkan sampe akhir pun mereka nggak kasih kejelasan kenapa rekaman itu mesti diperiksa.”

“Gue juga heran sama Kak Magnus yang kayak beneran lepas tangan sama panitia LDKS.” Shockwave memberi pendapat, tetapi kemudian ia meralat. “Bukan. Kayak nggak tegas. Tapi sebenernya nggak bisa salahin Kak Magnus juga. Yang punya acara, Sentinel.”

“Kalo lo bilang gitu, sekarang gue yang heran lagi,” ujar Megatron menatap Shockwave. “Ngapain Kak Magnus ada di ruangan segala? Harusnya kan cuma panitia LDKS doang? Urusan internal acara kenapa bawa-bawa orang di luar kepanitiaan?”

“Gimana pun dia ngerasa punya tanggung jawab, karena yang ACC bentuk kepanitiaan kan dia sebagai ….”

“Sebagai apa?” tanya Megatron memotong omongan Shockwave.

“Penasihat.” Shockwave menjawab singkat, kemudian menambahkan, “Kalo Kak Magnus bukan ketua, berarti dia dewan penasihatnya.”

Megatron mendengus remeh. “Sumpah. Nggak jelas banget kejadian di ruangan tadi.”

Ia menoleh ke arah Soundwave di seberang yang masih menatap meja kosong, memandangnya lama. Ada rasa tak nyaman dalam dirinya mendapati temannya itu harus mengalami kejadian yang tak menyenangkan.

“Kalo lo nggak nyolot, kemungkinan rekaman Soundwave masih utuh di sakunya dia.”

Ucapan Starscream yang tiba-tiba itu membuat semua mata tertuju padanya. Tak terkecuali Soundwave yang masih memancarkan sedikit pilu.

Megatron menatapnya garang. “Apa lo bilang?”

“Lo nggak tuli.” Starscream bertopang pipi kanan dengan wajah tak peduli. Di saat kedua adiknya mencoba menenangkan lelaki biru itu, Starscream sendiri justru seperti tidak menampakkan simpati.

“Apa yang bikin lo bisa ngomong gitu?”

“Tingkah lo yang seolah mesti membenarkan segala hal,” ucap Starscream datar. “Lo harusnya cukup bicara sampai kenapa rekaman itu perlu diperiksa, tapi lo sok mutar omongan. Ngomong nggak boleh kritis, lah, sampe nyudutin Sentinel nggak bisa jadi ketua OSIS, lah. Emangnya lo sendiri sehebat apa?”

Tatapan teman-temannya lekat pada sosok Starscream yang duduk di sebelah Megatron, apalagi kedua adiknya yang berpikir, ‘Bang! Lo salah besar udah ngomong kek gitu barusan!’ . Namun, mereka juga tidak bisa berkomentar karena sesaat kemudian berpikir bahwa ucapan kakak tertua mereka itu ada benarnya. Sejenak, hanya sepi yang mengisi di antara mereka.

Megatron beringsut mendekati Starscream. Dalam jarak yang cukup dekat, ia memposisikan badan menghadap lelaki itu. Kemudian—

PLAK!!!

Thundercracker, Skywarp, dan Soundwave terperanjat melihat Megatron menampar Starscream, sementara Shockwave terdongak sedikit melihatnya. Suara yang diciptakan oleh telapak tangan lelaki abu-abu itu bukan main kencang ketika bergesekan singkat dengan rupa Starscream. Bekas tangan Megatron memerah jelas di pipi kiri lelaki itu. Setetes darah lalu mengalir keluar dari salah satu lubang hidungnya, membuat teman-teman yang lain semakin merasa ngeri. Kejadian di ruang OSIS sudah membuat suasana runyam, dan kini kejadian di antara Megatron dan Starscream justru memperkeruh keadaan di antara mereka.

Megatron menunggu reaksi dari Starscream, tetapi Starscream hanya diam saja dengan kelopak mata setengah tertutup seakan menatap benci. Mendapati hal itu, ekspresi wajah Megatron berubah, seperti menyadari sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan.

“Gue tahu kenapa lo nampar gue.”

Starscream meraih tas ransel tiga warna miliknya dan menyampirkannya di punggung, kemudian bangkit berdiri dari kursi kantin.

“Karena omongan gue bener,” ungkap Starscream padanya, “dan dibanding marah sama diri lo sendiri, lo lebih memilih untuk lampiasin hal itu ke gue.”

Ia mulai beranjak dari tempatnya duduk.

“Selamat, Megatron. Lo nggak lebih baik dari Sentinel kalo soal ngelola emosi.”

Lelaki itu kemudian berlalu begitu saja, meninggalkan adik-adiknya yang masih bingung mesti bersikap bagaimana. Mengetahui kakak tertua mereka sudah berjalan jauh melewati lapangan sekolah, dua adik kembar itu pun pamit pada teman-temannya untuk pulang terlebih dahulu.

Megatron, Soundwave, dan Shockwave masih duduk di masing-masing posisi dalam waktu yang lama, sibuk dilumat isi pikiran rumit masing-masing.

***

Rusaknya rekaman berharga milik Soundwave benar-benar di luar perkiraan Megatron. Ia hanya mengira kalau isi rekaman itu akan dihapus, tetapi Shockwave dapat menerka kalau alat perekam itu akan rusak, karena ia mengingat Sentinel itu sosok yang mudah emosi yang mungkin saja dapat merusak barang di sekitarnya. Meskipun begitu, Shockwave tidak menyampaikan hipotesisnya itu kepada Megatron, karena ia memang ingin membuktikan kalau hipotesisnya itu benar meskipun rekaman berharga milik teman sekelompoknya itu menjadi korban. 

Sekali lagi, Shockwave memperhatikan flashdisk biru di satu tangannya yang sedari tadi dia genggam.

“Kenapa Soundwave sedih banget, padahal semua isi rekaman itu ada di sini?” gumamnya pelan.

“Wajar dia sedih. Itu barang peninggalan orang tuanya yang udah tiada,” jawab Thundercracker yang masih bisa mendengar gumaman teman sebangkunya itu. “Orang tua lo masih ada, makanya berani ngomong gitu,” lanjutnya sambil menutup buku tulisnya.

“Iya, tapi mereka sibuk sama pekerjaan mereka setiap hari.” 

“Kalau orang tua lo udah nggak ada dan mereka kasih barang berharga ke lo, pasti lo bakal sesedih Soundwave kalau barang itu dirusak.”

Shockwave mengedikkan sebelah bahu. “Entah. Gue sendiri nggak yakin mereka bakal kasih sesuatu ke gue.” Lalu, ia mengambil flashdisk warna hitam di tempat pensilnya dan meletakkan kembali flashdisk biru ke dalam tempat yang sama.

Thundercracker memilih untuk tidak menanggapinya. Ia berdiri dari kursinya. “Ya, udah. Mending kasih sekarang sebelum istirahat pertama selesai. Lo jadi kasih bukti rekaman ke Pak Megatronus, 'kan? Lo mau sendiri aja apa ….” Ia menggantungkan kalimatnya.

“Lo mau ikut?”

“Lo mau ditemenin?”

“Gue udah sama Megatron, sih.”

Sebelah alis Thundercracker terangkat. “Lo janjian sama Megatron?”

Shockwave ikut berdiri setelah ia mengambil flashdisk berwarna biru lagi. “Megatron chat gue kemarin. Katanya gue ajak lo juga kalau lo mau ikut.” Lalu, ia melangkah keluar kelas.

Thundercracker pun menyusulnya. “Kok dia nggak chat di grup aja?” herannya.

“Entah.”

Jawaban singkat itu adalah akhir dari perbincangan mereka. Mereka melewati kelas X IPS 3. Thundercracker langsung berhenti dan melongokkan kepala ke pintu kelas tersebut untuk memanggil saudara kembarnya. Skywarp sedang berbincang dengan seseorang yang lebih pendek darinya, yang Thundercracker kenali dengan nama Swindle.

Skywarp menghampiri adiknya itu, tetapi tanpa diundang, Swindle juga mengikutinya. 

“Eh, Dek. Kebetulan banget. Pinjem duit dong.”

“Buat apaan? Justru gue ke sini buat ngajak lo ketemu Megatron.”

Mendengar nama Megatron disebut, mata Swindle langsung tampak berbinar. Ia menghadap ke Skywarp. “Gimana kalau gini aja, Warp. Gue bakal kasih lo nomor-nomor cewek cantik di sekolah ini gratis, asal nanti lo kasih tahu perbincangan lo dan adek lo sama Megatron pas pulang sekolah?”

“Oke!” ucap Skywarp penuh semangat.

“Tunggu dulu,” kata Thundercracker. “Buat apa lo tahu perbincangan kita?”

“Kemarin gue nggak sengaja lihat kelompok lo masuk ruang OSIS. Terus Kak Sentinel marah-marah pas keluar ruangan OSIS.” Lalu, ia memajukan sedikit wajahnya dan berbisik. “Gue cuman mau tahu apa yang terjadi di sana, terus—”

“Lo jual, ‘kan? Lo bakal jual informasi yang lo dengar, ‘kan?” potong Thundercracker.

Swindle tertawa canggung. “Gue mau bilang bakal gue rahasiain kalau lo nggak mau berita itu disebar.”

“Kenapa harus tanya kita? Lo kan udah punya sumber terpercaya dari Kak Magnus sendiri?” Thundercracker semakin heran.

Swindle masih memasang senyum canggungnya. “Kayaknya abang lo udah banyak cerita tentang gue hehehe ... Tapi, yahh … gue nggak yakin dapat sumber itu lagi. Dia nggak bales nomor sama pesan gue,” ujarnya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Kalau gitu, gue bakal minta bayaran yang sama kalau mau tahu apa yang udah terjadi di ruang OSIS kemarin,” ucap Thundercracker. “Ayo, Bang. Jangan di sini terus. Nanti istirahatnya selesai,” lanjutnya sambil menarik tangan Skywarp dari kelas itu, meninggalkan Swindle yang mendecih sekilas.

Megatron sudah menunggu kehadiran mereka di depan ruang guru, sendirian. Tidak ada Starscream dan Soundwave yang sekelas dengannya.

“Gue udah ajak mereka berdua. Soundwave nggak mau ikut. Terus Starscream … dia diemin gue dari tadi pagi,” kata Megatron yang seakan baru saja membaca pikiran si kembar.

“Wajar, sih, Bang Star diemin lo,” celetuk Thundercracker sambil melipat tangan di dada.

“Gue tahu risiko itu. Jadi, jangan buat suasana hati gue jelek lagi hari ini,” timpal Megatron dengan tatapan sinis ke Thundercracker, yang dibalas dengan dengusan sebal. 

“Tapi Soundwave masuk, ‘kan?” tanya Shockwave.

“Masuk. Tapi sebenernya dia juga diemin gue.”

“Oh, ya, udah. Ini.” Shockwave memberikan Megatron sebuah flashdisk berwarna biru. Saat Megatron hendak mengambil benda itu, tangan Shockwave menjauh. “Ini bukan untuk dikasih ke Pak Megatronus. Ini kasih ke Soundwave.”

Pernyataan itu membuat Megatron mengernyit. “Terus yang dikasih ke Pak Megatronus mana?” 

Shockwave merogoh saku seragamnya, lalu ia tunjukkan sebuah flashdisk berwarna hitam. “Ini. Gue udah pisahin rekaman penting buat dikasih ke Pak Megatronus.”

Megatron menerima dua flashdisk itu dan menatapnya bergantian. “Kenapa lo pisahin gitu? Emang isi rekamannya banyak banget?”

“Besar semuanya hampir 150 gigabyte .”

Si Kembar langsung terbelalak. “Gila. Gede banget. Itu rekaman isinya apaan aja dah sampai sebanyak itu?” kaget Skywarp.

“Memori di rekaman itu ada satu terabyte . Isinya ada suara hewan-hewan, beberapa cuplikan musik, rekaman dia marah-marah sama adiknya, ngobrol sama neneknya, obrolan kita juga waktu bahas LDKS.”

“Gue makin nggak paham itu tujuan dia ngerekam kayak gitu buat apa,” komentar Thundercracker.

“Terus rekaman suara paling pertamanya ….” Shockwave melanjutkan. “Ada rekaman suara orang tuanya.”

Lalu, terjadi keheningan. Tidak ada yang berkomentar lagi menanggapi ucapan Shockwave, hingga akhirnya Megatron buka suara. “Baiklah. Gue kasih ini ke Soundwave,” ucapnya sambil mengantungi flashdisk biru itu. “Kita kasih flashdisk ini ke Pak Megatronus dulu.”

Pintu ruang guru sudah terbuka sebelum Megatron sempat mendorongnya. Seseorang yang familier di mata Megatron-lah yang membuka pintu tersebut, Optimus Prime. Mereka saling melempar pandang sejenak, sebelum akhirnya Megatron tersenyum tipis dan menepi bersama ketiga temannya.

Akan tetapi, Optimus tidak membalas senyumnya. Ia langsung keluar begitu saja seakan ia tidak mendengar apapun. Hanya satu nama yang ia dengar ketika ia baru saja membuka pintu itu.

Buat apa dia ketemu Pak Megatronus?

Chapter 18: Kekesalan Sentinel (dan Megatron)

Summary:

Gak ada yang nyangka kalo rusaknya rekaman berharga Soundwave bakal membawa banyak kejadian tak terduga baik dari pihak Sentinel dan Magnus, apalagi Megatron.
Arachnia paling bisa melihat peluang. Musibah orang lain adalah kesempatan baginya. Apa yang dilakukan Arachnia pada kesempatan yang muncul itu?
POKOKNYA INI ARC SERU!! HARUS BACA SIH! :)))

Notes:

Sorry baru update sekarangg. Soalnya ada satu dan lain halnya selama beberapa minggu belakangan hehe
Selamat menikmati~

(See the end of the chapter for more notes.)

Chapter Text

Hari Kamis ini adalah hari ketiga Optimus melihat wajah kakak sepupunya itu memerah bukan karena malu apalagi tersipu, melainkan amarah menggebu. Namun, Sentinel seakan sulit untuk mengungkapkan apa yang membuatnya emosi pada adik sepupunya itu. Teman-teman OSIS-nya juga cukup segan memberitahu Optimus, dan memintanya untuk bertanya sendiri. Hingga akhirnya, Optimus memberanikan diri di jam istirahat kedua ini setelah ia berhasil menyeret Sentinel ke kantin. Optimus tidak sendiri. Ada Ironhide, Ratchet, Prowl, Jazz, juga Jetfire. 

"Kalau lo nggak kasih tahu kenapa muka lo kayak kepiting rebus, gue nggak bakal ikut OSIS."

Pernyataan Optimus itu seperti sebuah ultimatum bagi Sentinel yang memaksanya untuk buka suara. Ia menghela napas dalam-dalam. "Megatron berengsek!" serunya dengan satu embusan napas. 

Hampir semua siswa yang ada di kantin itu menatap Sentinel bingung, sebelum akhirnya mereka melanjutkan santapan mereka. Kebetulan sekali tidak ada Megatron atau kawanan kelompok LDKS-nya di tempat itu. Setelah emosinya sedikit reda karena seruan itu, akhirnya Sentinel memulai penjelasannya tentang mengapa ia terlihat murka belakangan ini. Semua dimulai dari ditemukannya rekaman itu. 

"Dan parahnya, walau kebanyakan masih banyak yang bilang gue bener, tapi ada juga yang nyalahin gue karena banting rekaman Soundwave." Sentinel melanjutkan ceritanya setelah ia selesai menjelaskan kronologi perdebatannya dengan Megatron. "Mana gue tau kalo itu hadiah warisan?! Aturan dia bilang dari awal kalo itu barang berharga!"

"Lo sendiri juga bego, sih. Main marah-marah nggak jelas. Kali aja dia mau ngomong, tapi udah takut duluan gara-gara lo," celetuk Ironhide. 

"Dua cecunguk ini, nih. Mereka dua dari lima orang yang nyalahin gue," kata Sentinel sambil menunjuk Ironhide dan Jetfire di kanan kirinya. 

"Gue lebih ke kasihan, Nel," kata Jetfire. "Kemarin gue udah coba hubungin dia biar gue cariin tukang buat benerin rekaman itu, tapi dia nolak. Katanya itu udah nggak bisa dibenerin lagi."

"Tuh, dia sendiri juga nolak buat dibantu, 'kan? Gue juga udah minta maaf lewat chat. Tapi dia read aja," tambah Sentinel. 

"Ya, masa minta maafnya lewat chat. Ngomong ke orangnya langsung, lah!" sahut Optimus. 

"Tuh, Optimus aja kesel. Jadi wajar aja kalo gue juga kesel," sambar Ironhide sambil menyiku Sentinel. 

"Mending lo minta maaf langsung aja deh, Kak. Daripada dia dendam kesumat sama lo," saran Ratchet. 

"Dih, ogah." Sentinel memasang wajah jijik.

“Emang dari awal lo nggak niat buat minta maaf,” putus Optimus menyimpulkan.

"Kalo gue jadi Soundwave, gue bakal cari dukun buat santet lo, sih, Kak," tambah Jazz sebelum ia menghabiskan minumannya. Jazz berani berucap lantang seperti itu lantaran dia punya Optimus sebagai temannya.

"Soundwave tuh yang mana, sih?" tanya Prowl setelah ia menelan suapan terakhir. 

"Dia pernah sekali duduk sebelahan sama lo waktu agenda pemateri LDKS. Masa lo lupa?" heran Jazz. 

"Apaan, sih. Emang gue perhatiin satu-satu orang di sebelah gue? Apalagi lo bilang dia cuman sekali duduk sebelahan sama gue. Mana gue inget?" timpal Prowl. 

"Dia pakai kacamata sama masker. Penutup kepalanya biru dan kelihatan hampir sama kayak Optimus," jelas Ratchet. 

"Gue masih belum ada bayangan. Dia anak IPA?"

"IPS. Sekelas sama Megatron," jawab Ratchet lagi, tetapi wajah Prowl masih mengandung tanda tanya. "Nanti lo cari sendiri, dah." Akhirnya, Ratchet menyerah. 

"Lo kenapa nggak mau minta maaf, sih?” Optimus kembali menatap Sentinel tak suka. “Dia anak yatim piatu, loh. Doa anak yatim aja langsung dijabah, apalagi doa anak yatim piatu? Nanti kalo lo kenapa-kenapa, gimana?” Suaranya naik turun, tetapi terselip kekhawatiran di dalamnya. Tentu saja Optimus tidak ingin kerabatnya itu mendapat kesialan atas kelakuannya sendiri.

“Ada alasan lain, Mus.” Sentinel membenarkan posisi duduknya. “Nih, asal lo tau. Kemarin Pak Killer dateng ke ruang OSIS. Kita kena sembur karena dia dapat bukti kita memeras peserta LDKS.”

Jetfire langsung meringis saat mengingatnya. “Ah, pengalaman buruk yang sangat memalukan,” gumamnya. 

“Pak Killer siapa?” tanya Prowl lagi.

“Pak Megatronus. Wakil bidang kesiswaan, yang biasanya ngurus kedisiplinan siswa. Kalau ada tindak perundungan atau pemerasan, biasanya dia yang selesaiin masalah itu,” jelas Jetfire pada Prowl. “Kayaknya rekaman itu cuman salah paham. Kita nggak benar-benar minta sesuatu dari peserta cuman buat ditukar sama kertas laminating … ‘kan?” Suara Jetfire terdengar ragu di akhir.

“Di pos negosiasi, ya?” tebak Ratchet.

“Iya. Kalian kasih apa ke mereka?” 

“Kasih name tag kita, Kak. Kita nggak punya apa-apa buat ditukar,” jawab Optimus pada Jetfire.

“Oh, bagus, deh. Soalnya kelompok Megatron itu kasih panitia di pos negosiasi, voucher makanan. Nah, potongan rekaman itu yang dikasih ke Pak Killer,” lanjut Jetfire. 

“Yah, kalau itu mah, wajar Pak Killer marah,” ujar Jazz.

“Iya, tapi, pada kenyataannya ….” Sentinel kembali buka suara. “Nggak ada satu anggota OSIS pun yang tagih apa yang udah ditawarkan. Gue udah tanya Brainstorm, Drift, sama Blitzwing. Mereka nggak temuin Megatron sama sekali buat tagih voucher makanan itu. Gue udah jelasin ke Pak Killer juga kalo kita nggak meras mereka, tapi Pak Killer udah terlanjur percaya karena ada bukti rekaman itu. Pokoknya dia marah-marah, dah!” sahutnya. 

“Gara-gara itu, kita nggak boleh pakai ruang OSIS selama tiga hari ini buat rapat. Padahal sebentar lagi pembukaan pendaftaran OSIS dan MPK,” lanjut Jetfire.

“Nggak, Jet. Itu masih nggak terlalu parah. Kita bisa rapat di luar,” timpal Sentinel. “Yang paling parah itu, Kak Magnus mulai nggak percaya gue bakal jadi ketua OSIS yang baik!” 

Dari awal gue juga nggak percaya, Nel, Optimus ucapkan itu dalam hati agar Sentinel tidak semakin kesal. “Emang Kak Magnus ngomong langsung ke lo?” tanya Optimus.

“Kagak, sih. Tapi temen-temen OSIS lain, dia sempat ditawarin Kak Magnus satu-satu buat ikutan nyalon jadi ketua OSIS," jawab Sentinel. "Dan itu yang buat gue nggak bisa jadi kandidat tunggal ketua OSIS!" lanjutnya dengan dramatis. 

Keempat adik kelas itu langsung terheran. "Kandidat tunggal? Emang pemilihan bisa kayak gitu?" Optimus mewakili pertanyaan mereka. 

"Nggak. Lebay doang itu si Sentinel," jawab Ironhide. "Dia takut kalah saing sama kandidat lain kalau Magnus nggak percaya lagi sama dia."

"Emang kandidat lainnya siapa lagi, Kak?" tanya Prowl. 

"Belum tahu siapa, tapi biasanya setelah pendaftaran selesai, bakal diumumin yang jadi kandidatnya," jawab Jetfire. 

"Kalo Kak Magnus di pihak kita, gue yakin kita bisa menang, Jet. Tapi masalahnya, Kak Magnus mulai ragu sama gue gara-gara kelompoknya Megatron itu." Dua tangan Sentinel mengepal. "Sialan. Aturan gue ambil juga tuh memori rekamannya. Anjir, lah. Coba aja Arachnia kasih tahu gue lebih awal, pasti nggak bakal ada kejadian ini!"

"Ngomong-ngomong tentang Kak Arachnia," Ratchet teringat sesuatu, "dia juga dimarahin di ruang OSIS sama Pak Megatronus, nggak?"

"Nggak, lah. Dia kan udah nggak ikut OSIS," jawab Ironhide. "Sama kayak gue. Walau gue ikut jurit malam, gue datang sebagai tamu. Nggak ikut-ikutan tanyain apalagi ngubah acara."

"Oh? Nggak boleh ikut-ikutan tanyain peserta, Kak?" ulang Prowl. 

"Iya. Mereka cuman duduk lihatin aja. Paling kasih komentar atau apa, tapi nggak sampai ikut campur," jawab Jetfire. Saat melihat ekspresi yang ditunjukkan keempat adik kelasnya itu, ia lanjut bertanya. "Emang kenapa? Ada mantan anggota OSIS yang ikut campur?"

"Kak Arachnia sempat tanya-tanyain kita di pos negosiasi," jawab Optimus. 

"Mampus!" Sentinel menepuk jidat.

"Aduh … gue inget banget Drift ditugaskan di pos negosiasi. Kenapa dia nggak ngusir Arachnia, dah?" keluh Jetfire. "Nanti gue samperin Drift deh."

"Tapi gue heran. Dia kenapa ngebet banget jatuhin OSIS, sih? Emang dia punya dendam apa sama OSIS?" tanya Optimus. 

"Gue juga nggak tahu, Mus. Sejauh yang gue lihat waktu gue masih OSIS, kita baik-baik aja ke dia," jawab Ironhide. 

"Kayaknya emang ada masalah, sih. Di situ ada asap, di situ ada api," tambah Jazz. 

Di tengah-tengah obrolan mereka yang masih terheran dengan tujuan Arachnia itu, sebuah terkaan muncul di benak Sentinel. Terkaan yang membuat matanya terbelalak. 

"Sialan. Dia pasti mau ngincer ketua OSIS!"

"Hah? Emang bisa di luar OSIS jadi ketua OSIS?" bingung Prowl. 

"Bisa. Kalau dia berkompeten, bisa. Apalagi dia mantan OSIS. Jadi dia udah tahu kerja OSIS ngapain aja," jawab Sentinel. 

Jetfire menggeleng tak percaya. "Kita tahu kebusukan dia. Kak Magnus sendiri juga tahu. Nggak mungkin Kak Magnus tawarin Arachnia jadi kandidat juga."

"Tapi … dia punya pesona, Jet. Siapa tahu Kak Magnus jatuh ke perangkap laba-labanya itu," gumam Sentinel. 

Meskipun masih cukup ragu, tapi Sentinel waspada kalau Arachnia sungguhan mencalonkan diri menjadi ketua OSIS. Ia tidak sudi kalau OSIS itu dikuasai oleh siluman laba-laba itu. Jika ia harus berada di bawah Arachnia, lebih baik ia keluar tanpa hormat dan mengubur mimpinya menjadi OSIS. Sejak saat itu, Sentinel sulit untuk tidak memikirkan kalau Ultra Magnus akan bertemu dengan Arachnia. 

***

Langit sore tak begitu menunjukkan bahwa cuaca hari ini sedang cerah. Awan-awan serabut bertebaran mengisi mendung abu. Sejak tadi siang, rintik-rintik tipis sesekali turun. Hujan seperti tak punya niat untuk sungguhan mengguyur tanah.

Ultra Magnus dengan jaket kulit berwarna biru tua dan kaos merah pekat yang ia kenakan berdiri di salah satu rumah petak berwarna krim sederhana. Ia ketuk pintu rumah beberapa kali. Tak berselang lama, ia dapat melihat seseorang mengintip dari balik tirai jendela di samping pintu. Kemudian, pintu terbuka sedikit, menampakkan Blackarachnia yang sedang mengenakan baju rumah dan celana pendek.

“Ra,” panggil Magnus pendek.

“Kak Magnus.” Arachnia membalas. Ia memasang wajah kelewat datar, wajah yang sangat jarang ia tampilkan pada orang-orang.

“Saya boleh masuk?” tanya Magnus meminta izin. “Ada yang mau saya bicarakan sama kamu.”

Alih-alih membuka pintu lebih lebar, Arachnia keluar dari celah pintu yang terbuka sedikit itu, kemudian menutupnya dari luar.

“Ngomong di sini aja,” jawabnya biasa. “Ada perlu apa?”

“Kamu mau kalo periode OSIS selanjutnya kamu mendaftarkan diri jadi ketua OSIS?” tanya Magnus langsung ke inti.

Sebelah alis Arachnia naik. “Nggak salah, saya ditawarin hal kayak gitu?”

Ultra Magnus menoleh ke arah lain, seakan barusan mengatakan kenyataan yang pahit.

“Saya nggak punya pilihan.”

Arachnia mengubah nada suaranya menjadi lebih serius. “Kak Magnus punya pilihan buat nggak depak saya dari OSIS.”

“Saya waktu itu–”

Omongan Magnus berhenti. Ia melihat kerutan dahi Arachnia yang terlihat jelas dengan kedua tangan yang gadis itu lipat di bawah dada.

“Apa?” tanya Arachnia lantang tanpa peduli kalau Magnus itu kakak kelasnya. “Karena saya bilang nggak ada yang cocok jadi ketua humas selain saya?” Suara Arachnia lebih berat dari yang biasanya ia tunjukkan. “Lihat, sekarang ketua OSIS-nya yang justru datang mengemis ke saya.”

“Jadi pengurus OSIS itu nggak hanya soal kemampuan, Arachnia, tetapi juga akhlak–”

“Ke mana akhlak mengantar OSIS sekarang?” Arachnia tak segan untuk terus menyerangnya. “Kepada Sentinel yang semena-mena menyikapi adik kelasnya? Akhlak?”

Ultra Magnus terdiam. Omongan Blackarachnia tidak bisa ia lawan.

“Jangan bicara soal akhlak sama saya kalau Kak Magnus ngontrol Sentinel dalam lingkup organisasi aja nggak bisa.”

“Oke, kamu menang.” Lelaki itu menyerah menghadapinya.

“Saya nggak berusaha memenangkan sesuatu, by the way.” Wajah Arachnia mengendur menjadi datar kembali.

“Iya, iya.” Ia tak mau mendebatnya lagi. “Kamu benar. Jadi, kamu terima tawaran saya atau enggak?”

Mereka berdua bertatapan cukup lama. Ultra Magnus menunggu reaksi dari Arachnia yang berdiri di hadapannya. Gadis itu masih pada pose tangan di bawah dadanya.

Tiba-tiba saja, tangan Arachnia bergerak ke depan. Tubuh Ultra Magnus terdorong ke depan lantaran Arachnia menarik tangannya dan—

Cup!

“Terima, dong!” Ia mendaratkan kecupan di pipi Ultra Magnus. Lelaki berkepala biru itu membeku sesaat mendapati hal yang gadis itu lakukan terhadapnya.

“Kamu,”–Akhirnya, Ultra Magnus kembali ke kenyataan–“barusan ngapain?!”

“Ngasih hadiah,” jawab Arachnia santai setelah melepas tangannya.

“Hadiah?!” Magnus menjerit malu sambil mengusap-usap pipinya. “Saya itu ketua OSIS kamu–”

“Mumpung saya belum masuk OSIS lagi.” Arachnia melepas senyum jahil pada kakak kelasnya itu.

“Kalo ada yang lihat gimana?!”

Arachnia pun tertawa geli melihat Ultra Magnus yang salah tingkah. “Kak Magnus dan kekakuannya,” ujarnya. “Aku ganti baju dulu kalo gitu.”

Magnus tak berkomentar apa-apa pada Arachnia yang mengubah kata sapaan terhadap dirinya sendiri itu. “Ganti baju?”

“Omongan ini masih berlanjut, 'kan? Sebuah tawaran untuk mendaftar jadi ketua tak berhenti hanya sampai kandidat ketuanya.” Arachnia berbalik badan hendak membuka pintu. “Dan kesopanan Kak Magnus takkan membiarkanku untuk bicara dengan kandidat wakilku sendirian.”

“Oh? Kamu sudah punya nama siapa yang cocok jadi wakilmu?” Ekspresi Magnus berubah penasaran.

“Mumpuni,” koreksi Arachnia. “Oh, ya, dan tolong traktir aku, ya, Kak. Soalnya kalo jam segini anaknya nggak lagi di rumah.”

Bibir Ultra Magnus naik sedikit menunjukkan rasa keingintahuannya sembari melihat Arachnia menghilang di balik pintu rumah yang dalamnya tampak gelap.

***

Megatron tidak pernah tahu. Ia tidak pernah dikabarkan oleh Arachnia sendiri kalau ia akan mengunjungi restoran tempat kerja Megatron bersama seseorang yang sangat tidak asing di mata Megatron. Kak Magnus? Kenapa dia dateng ke sini sama Arachnia? bingungnya. Namun sayangnya, Megatron sulit untuk mengamati apalagi mendengar perbincangan mereka karena kondisi restoran yang sedang ramai. 

Ditambah, Megatron sendiri juga sebenarnya sudah enggan untuk bertemu perempuan itu. Beberapa karyawan sudah menyampaikan pesan Arachnia yang meminta Megatron untuk menemuinya, tetapi Megatron sering beralasan nanti setelah ia melayani pengunjung lain. Arachnia yang sempat melihatnya lewat itu juga memanggilnya, tetapi Megatron menolak dengan alasan yang sama. Setiap Megatron melihat wajahnya, ia jadi teringat dengan rekaman Soundwave yang rusak. Ia berpikir kalau perempuan itu juga harus bertanggung jawab atas rusaknya barang berharga milik teman dekatnya itu. 

Laba-laba sialan. Kenapa dia harus kasih tahu rekaman itu ke OSIS? Padahal gue udah nggak suruh Soundwave kasih rekaman itu ke guru.

Meskipun begitu, Megatron cukup penasaran dengan kepentingan Ultra Magnus menemui Arachnia. Apa yang mereka bicarakan dari sore hingga malam seperti ini? Sesekali, ia melihat Arachnia tertawa bersama Ultra Magnus. Sesekali mereka juga saling diam menyantap makanan ringan masing-masing—yang seakan tak pernah habis. Mungkin ini karena mereka tidak menemukan topik. Seharusnya, jika semua sudah selesai dibicarakan, mereka segera pulang. Akan tetapi, ini tidak. Seolah-olah mereka sedang menunggu Megatron untuk bergabung dengan mereka. 

"Udah selesai kerjanya, sayang?" tanya Arachnia saat ia melihat Megatron berjalan ke meja mereka berdua sembari membawa pesanan minuman yang terakhir ia pesan lagi. Lelaki itu meletakkan segelas cold tiramissu latte di hadapannya.

Megatron memegang nampan bundarnya di depan dada. “ Sayang, sayang. Mulut lo dijaga.”

Arachnia hampir tersedak kentang yang sedang ia kunyah mendengar ucapan kasar Megatron yang baru ia dapat pertama kali. Reaksi Ultra Magnus sendiri hanya melebarkan mata tanda terkejut, tetapi ia tidak berkomentar apa-apa.

Shift kamu sudah berakhir?” tanya Ultra Magnus menggantikan Arachnia.

"Belum." Ia melirik laki-laki di depan Arachnia sekilas. "Tapi sekarang saya udah luang." Megatron tidak ingin menunjukkan kedekatannya dengan Arachnia pada Ultra Magnus, meski lontaran kalimat sebelumnya tentu mengundang tanda tanya di benak Ultra Magnus.

Megatron pun menarik kursi dari meja lain untuk duduk di antara mereka berdua.

"Oh, gitu." Arachnia menyesap minumannya terlebih dahulu, meredakan tenggorokannya yang masih terasa tersangkut makanan. Lalu, ia bicara dengan mata mengarah pada Ultra Magnus. "Kak Magnus, aku pilih Megatron buat jadi kandidat pasanganku sebagai wakil ketua OSIS."

Megatron terheran. Banyak pertanyaan yang muncul di benaknya tentang apa yang Arachnia katakan, tetapi ia memilih diam dan membiarkan mereka menjawab pertanyaan yang tersimpan di pikiran terlebih dahulu. 

"Kamu yakin?" tanya Magnus pada Arachnia. 

"Yakin. Instingku tidak pernah salah dalam memutuskan." Arachnia menunjukkan senyum percaya dirinya.

“Bukan. Kamu yakin dianya mau jadi wakil kamu?”

Arachnia menoleh pada Megatron. “Gimana? Kamu mau?”

Megatron masih mencoba mencerna situasi. "Sebentar. Ini maksudnya apa, ya?"

Arachnia mengubah posisi duduknya menjadi lebih nyaman. "Biar aku jelasin,” kata Arachnia ketika ia melihat Magnus hendak membuka suara. Setelah mendapat izin, ia pun melanjutkan. “Jadi, tadi Kak Magnus datangin aku dan nanya apa aku mau mencalonkan diri jadi kandidat ketua OSIS, dan aku mau. Terus, soal kandidat yang jadi pasangan wakilku … aku ajak dia ke sini, deh.”

Untuk sejenak, Magnus memandang ke arah Megatron. "Kalau kamu bersedia jadi wakilnya Arachnia, kalian berdua bisa langsung daftar menjadi kandidat calon ketua dan wakil ketua OSIS saat pendaftarannya dibuka nanti."

"Ok!" Arachnia menunjukkan telunjuk dan ibu jarinya yang membentuk lingkaran tanda setuju, sembari mengedipkan sebelah mata.

Megatron melihat sinis ke arah Arachnia. “Saya belum bilang kalau saya mau.”

Arachnia meminum tiramissu latte-nya cuek, sedangkan Magnus kembali menatapnya untuk mengalihkan topik sebentar.

"Sepertinya kamu sudah mengenal Megatron, ya? Makanya kamu pilih dia jadi wakilmu?" tanya Magnus memastikan. 

"Ah, nggak juga," jawab Arachnia sambil menggerakkan tangan kanannya ke kanan dan kiri sekilas. "Aku udah banyak denger tentang Megatron. Public speaking-nya bagus dan karismanya sebagai pemimpin sangat baik,” Ia melirik Megatron dan tersenyum tipis dengan makna. “Tapi aku tahu kalo dia juga perlu belajar. Jadi aku harap dengan pengalamannya menjadi wakil ketua OSIS nanti ketika kami terpilih, bisa mengantarnya menjadi ketua OSIS saat dia udah lebih matang.”

Penjelasan itu memunculkan pertanyaan lain di benak Megatron yang membuatnya memandang heran Ultra Magnus. “Kenapa harus Kak Arachnia? Emangnya dari OSIS sendiri nggak ada kandidatnya? Senti–maksud saya, Kak Sentinel nggak jadi daftar kandidat ketua?”

“Sentinel udah pasti daftar. Dia pilih Jetfire jadi wakilnya, tapi nggak ada kandidat lain dari OSIS sendiri yang mau daftar. Brainstorm katanya mau daftar jadi ketua, tapi katanya buat formalitas aja biar Sentinel nggak jadi kandidat tunggal. Sedangkan saya nggak suka kalau ada yang daftar jadi ketua OSIS buat main-main aja,” jelas Magnus.

“Emangnya mantan OSIS selain dia, nggak ada lagi?” tanya Megatron.

“Wah, kayaknya kamu nggak suka banget aku jadi ketua OSIS, ya,” kata Arachnia sebelum kembali meneguk minumannya, tetapi Megatron tidak menanggapi perkataan itu dan menunggu balasan Ultra Magnus.

“Cuman Ironhide dan Arachnia. Tapi Ironhide nggak mau daftar karena pekerjaannya. Sama sepertimu, tetapi sepertinya dia lebih sibuk bekerja sampai-sampai tidak ikut organisasi atau ekskul lain,” jawab Magnus. Lalu, ia memandang perempuan di seberangnya. “Blackarachnia memang punya citra yang buruk, tapi saya bisa melihat kebaikan dalam dirinya juga. Dia tidak sepenuhnya buruk seperti yang orang-orang bilang, dan yang terpenting, dia bisa mengendalikan emosi. Tahu kapan tegas, kapan lembut, kapan jahil. Dia juga cukup penyabar menghadapi cemooh dari sekitar.”

Wajah Ultra Magnus sempat berubah merona saat ia mengingat kejadian di depan rumah Arachnia tadi. Lirikannya ke arah lain mengundang senyum simpul dari gadis itu hingga sampai ke mata.

Arachnia pun tertawa pelan. “Ah, Kak Magnus bisa aja.”

“Saya bicara berdasarkan pengamatan saya,” ucap Magnus tanpa melihatnya. Kemudian, ia mengembuskan napas sekilas dengan tatapan berubah miris. “Sejak Sentinel bertindak liar sampai merusak barang berharga adik kelasnya, saya jadi ragu kalau Sentinel itu bakal jadi ketua OSIS yang baik.”

Arachnia mendecak sambil menggeleng pelan. “Kejadian yang sangat disayangkan. Tapi mungkin kalau nggak ada kejadian itu, Kakak nggak mungkin datangin aku dan Megatron buat nyalon jadi ketua dan wakil ketua OSIS.”

“Hampir semua anggota OSIS masih membela tindakan Sentinel karena menganggap dia sudah melakukan tindakan yang benar dalam mendisiplinkan peserta yang melanggar aturan,” kata Magnus. “Cuman Ironhide, Jetfire, Astrotrain, dan Blurr yang sebenarnya menyayangkan tindakannya. Dari situ, saya berpikir mencari kandidat lain yang serius untuk melawan Sentinel nanti.”

Megatron merasa sangat buruk ketika ia ikut senang atas tindakan Sentinel yang membawanya ke posisi ini. Seakan-akan ia telah mengorbankan barang kesayangan temannya untuk menjadi wakil ketua OSIS.

“Saya siap seratus persen menjadi kandidat ketua OSIS,” ucap Arachnia mantap. “Bagaimana Megatron? Kamu siap jadi kandidat wakilku?”

Megatron tampak berpikir. 'Wakil' bukanlah kata yang disukainya. Terlebih, ada urusan pribadi yang masih mengganjal kalau Megatron mengingat perempuan itu adalah penyebab Soundwave dirundung pilu beberapa hari ini. Akan tetapi, jika dengan menjadi wakil Arachnia dia bisa menyingkirkan Sentinel dari jabatan ketua OSIS, mau tak mau ia pun harus menerima pinta khusus dari Ultra Magnus sebagai ketua OSIS periode saat ini.

Megatron masih memasang wajah datar yang sama. Ia melirik sinis pada Arachnia sesaat, sebelum akhirnya sudut bibirnya tertarik sedikit ke atas.

“Ya, saya siap. Saya akan buktikan kalau saya bisa membantu untuk memimpin OSIS, bahkan warga sekolah menjadi lebih baik.”

Notes:

Karna sebelumnya dah lama gak update, jadi sekarang kita triple update nih buat selesain arc inii. Semoga suka yaaaw

Chapter 19: Permintaan Maaf

Summary:

“Shockwave, kok lo goblok?” hardik Megatron tak sungkan-sungkan. “Ngapain gue sengaja bikin rekaman Soundwave dirusakin Sentinel? Lo kalo ngomong yang ngotak. Jangan kayak Starscream.”

Widiiww tiba2 aja si Megatron bilang Shockwave kek gitu. Kira2 ada konflik apaan sih sampe Megatron bilang Shockwave dah kyak Starscream? Bakal panas banget sih nih konfliknya! Yuklah dibaca sampe abis!!! :))

Chapter Text

Di atas meja belajar yang tersusun rapi, sebuah perekam suara kotak berbentuk seperti radio tergeletak tak berdaya. Dua tombol putih yang sempat lepas, terpasang kembali ke tempatnya. Satu tombol untuk memutar rekaman dan tombol lain untuk memutar rekaman selanjutnya. Namun sayangnya, kedua tombol itu tidak dapat digunakan, sehingga ia tidak dapat memutar rekaman itu setelah ia hidupkan. Ia sendiri tidak yakin apakah rekaman tersebut masih bisa dihidupkan. 

Soundwave sudah mendapat tawaran dari kakak kelas untuk mencarikan tempat servis, tetapi ia menolak karena agak sulit mempercayai tempat servis yang ditawarkan. Ia bahkan sulit untuk mempercayai bahwa ada tempat servis yang bisa membenarkan rekaman tersebut.

Shockwave yang memberinya sebuah flashdisk biru dengan kapasitas besar yang sudah diisi oleh semua rekaman yang ia tangkap itu cukup menenangkannya. Namun, hal itu belum bisa mengobati perasaan sepenuhnya karena alat perekamnya itu masih rusak. Apalagi kalau mengingat yang memberikannya bukan Shockwave sendiri, tetapi justru melalui Megatron. Lelaki berpenutup kepala abu-abu itu mencegatnya di koridor ketika pulang sekolah kemarin, bermaksud ingin berbicara dengannya. Akan tetapi, Soundwave mengambil begitu saja flashdisk di genggaman tangan Megatron dan berlalu meninggalkannya.

Semakin ia pikirkan, ia semakin merasakan pening di kepala. Ia sedang tidak ingin mengkonsumsi aspirin yang sudah tinggal sedikit itu. Jadi, ia pun beranjak dari kursi belajar menuju tempat tidur di sebelahnya. Saat ia hendak menonaktifkan data seluler ponselnya, ia melihat sebuah notifikasi pesan masuk dari grup LDKS.

 

Megatron
Gue mau ksh tau pengumuman penting
Baru Soundwave aja yg baca. Yg lain muncul dulu.

 

Soundwave mendecih sekilas karena ia sudah terlanjur menekan notifikasi itu.

 

Soundwave
Pala gue pusing. Gue mau tidur. Cpt ksh tau pengumumannya.

Megatron
Oh, lo lg pusing?
Ya udh tidur aja sound
Bsk aja lu baca chat ini pas udh mendingan

Skywarp
Skywarp hadir!! 

Thundercracker
TC hadir

Shockwave
Pngmman apan?

Megatron
Warp. Panggil Abang lu.
Suruh muncul.

Skywarp
Kita bertiga lg di mobil otw pulang ga
Bang star baca grup lewat widget WA, jd gak ketauan klo dia dah baca

Starscream
Gk usah dikasih tau jg, Warp!!

Megatron
Ok. Dah pd ngumpul
@Soundwave gk jd tidur? 

Soundwave
G.
Lngsung ksh tau aja pengumumannya.

Megatron
Td Arachnia sm Kak Magnus ke restoran
Kak Magnus tawarin Arachnia jd kandidat ketua OSIS
Trs Arachnia minta gue jd kandidat wakil ketua OSIS
Trs gue terima
Jadi, kalian harus, wajib, kudu, musti, dukung gue

 

Mata Soundwave yang terasa sepat menjadi terbuka lebih lebar akibat tak percaya dengan apa yang ia baca pada layar telepon pintarnya itu.

 

Soundwave
Ha?
Lo mau jd wakilnya si laba2?
Lo gk lg mabok, kan? @Megatron

Megatron
Iya. Tp gue punya alasannya.

Starscream
Anjir. Kok lo bsa jd wakil, sih?
kan lo msh kls 10. Msk OSIS aja blom.

Megatron
Ini nunjukin klo gue emng bisa mimpin. Gk kyak lo yg cuman omdo.

Starscream
Bgst lo.

Megatron
Lo ngatain gue? @Starscream 

Skywarp
Nggak ga. Itu mksdnya BaGuS bangeT lo. Gt.
Dia puji lo dri lubuk hati terdalam :) 

Thundercracker
Mending lo diem aja Bang @Starscream
Drpd kena bogem mentah lg kan.

Soundwave
Apa alasan lo trima tawaran itu? @Megatron

Megatron
Karna cuman cara ini yg buat peluang gue jd ketua OSIS itu terbuka
Gue jd wakil dulu biar bnyak yg kenal sama gue dan ngeliat kerja gue
Stlh dpt kepercayaan dri siswa dan guru, gue yakin bnyak yg milih gue jd ketua OSIS pas kelas 11 nanti.

Soundwave
Lo yakin? Cmn itu satu2nya cara lo jd ketua OSIS?

Megatron
Sejauh ini, yg kliatan menjanjikan cuman ini.

Starscream
Arti dri chat di atas ini adalah, ‘kalo cari cara lain, gue harus korbanin barang berharga temen gue yg lain.’
Jujur aja, Ga. Lo sbnrnya seneng ‘kan? Rekaman Soundwave rusak, tp lo berhasil jd wakil ketua OSIS?

Megatron
Jaga mulut lo, star.

Starscream
Gue bicara fakta.
Dan gue ngetik pake tangan, bukan mulut.

Skywarp
Itu bang star asal omong kok, ga.
Jngn dianggap serius hehehe…

Starscream
Gue udh tuker informasi sama Swindle.
Laba2 itu emng pngen mau jd kyak gini
K Magnus gk percaya sm Sentinel, K Magnus tawarin Arachnia kandidat ketua OSIS, akhirnya lo dipercaya jd kandidat wakil.
Klo Sentinel gk kepancing emosi smpe banting rekaman sw, lo pasti gk bakal ditawarin kandidat wakil.
Skrng gue paham knp lo ‘sengaja’ mancing2 amarah Sentinel.

Soundwave
Jd itu bener, Ga?

Megatron
@Starscream oke lo dpt info dri Swindle, lo ga tanya Swindle sumber infonya dri mana?
Klo lo blg dia dpt dri Arachnia, brrti lo bego
Antara dua, lo bego karena diboongin Swindle atau lo yg sbnrnya boong

Soundwave
Ga. Jwb pertanyaan gue. Itu bener, apa nggak?
Lo ngorbanin rekaman gue buat keinginan lo?

Megatron
Sound, gue tau lo pinter
Yakali gue tau rekaman lo bakal diancurin sama sentinel?

Soundwave
Tapi lo jg msih mau urusan sama laba2 itu.
Knpa coba?

Megatron
Nggak enak ngomong di sini
Gue ngomong lgsg ke lo aja nnti

Soundwave
Jwb sini aja! Biar semua tau
Gw males ketemu lo

Starscream
Knp, Ga? Gk bisa bicara FAKTA di sini?

 

Satu menit, tiga menit, lima menit, Soundwave tidak melihat adanya balasan dari Megatron. Akan tetapi, ia dapat melihat Shockwave sedang merekam sesuatu. Tidak lama setelahnya, ia pun mengirim sebuah pesan suara ke grup. Soundwave langsung mendengarkannya.

Gue udah curiga dari awal tentang Megatron yang emang keliatan mancing-mancing emosi Sentinel. Padahal gue inget banget kalau itu bukan bagian dari rencana. Awalnya, kita mau biarkan mereka hapus rekaman di alat perekam Soundwave, terus nanti Soundwave kasih alasan ke mereka kalau itu hadiah warisan biar mereka kembaliin rekaman itu, lalu kita kasih ke Pak Megatronus buat kasih rekaman yang udah gue simpan. Jadi kesimpulannya, gue curiga jangan-jangan Megatron udah ngobrol dulu sama Arachnia biar mancing-mancing amarah Sentinel sampai dia banting rekaman itu.

Shockwave memiliki analisis yang sangat baik dan logis, sehingga Soundwave merasa sangat terluka saat mendengar penjelasannya. Dua matanya terasa panas. Ia membaca respons Skywarp dan Thundercracker yang kurang setuju dengan pernyataan Shockwave. Sedangkan Starscream, ia begitu senang saat ada yang satu pemikiran dengannya. 

Soundwave menunggu balasan dari Megatron, tetapi tak kunjung muncul. Ia berpikir kalau diamnya Megatron itu adalah sebuah pembenaran dari pernyataan Shockwave.

Namun, sesuatu yang lebih mengejutkan muncul di layar. Megatron melakukan panggilan grup. Ia menimang-nimang untuk masuk ke panggilan itu. Akhirnya, ia menekan tombol bergabung tanpa menyalakan kamera video panggilannya.

“Soundwave? Lo di sana?” tanya Megatron sedikit menggebu. Ia dapat melihat latar kamar Megatron dengan dinding berwarna putih, tetapi ia enggan untuk menjawab pertanyaan laki-laki itu.

Beberapa saat kemudian, Shockwave bergabung dengan panggilan grup disusul kembar tiga yang lain.

“Shockwave, kok lo goblok?” hardik Megatron tak sungkan-sungkan. “Ngapain gue sengaja bikin rekaman Soundwave dirusakin Sentinel? Lo kalo ngomong yang ngotak. Jangan kayak Starscream.”

“Oooooh, gue dibilang nggak ngotak.” Starscream memotong dengan suara lantang. “Lo kali, Ga, yang nggak ngotak, nggak lihat-lihat keadaan kalo mau nyerang orang.”

“Besok lo di sekolah, habis lo sama gue.” Megatron menunjuk siluet gelap Starscream di layar dengan jarinya.

“Oh, hajar aja gue sampe mampus sekalian,” tantang Starscream padanya. “Lo goblok kalo lo beneran hajar gue di sekolah besok. Lupa lo sama omongan gue kemarin?”

Megatron terdiam mendengar hal itu. Tak berlangsung lama, Shockwave mulai berbicara. “Terus lo ngapain masih punya urusan sama Kak Arachnia?”

“Demi Primus, Shockwave. Gue nggak ada kontakan lagi sama Arachnia sebelum tadi sore dia datangin gue sama Kak Magnus!”

“Atau emang sebelum lo ngabarin ke kita kalo rekaman Soundwave udah diaduin sama Kak Arachnia.”

“Hah?” Megatron semakin melebarkan kedua bola matanya.

“Siapa yang tahu? Nggak selamanya lo stay diem di kelas selama istirahat, 'kan?”

“Iyap, belakangan dia suka keluar kelas sendiri entah ke mana.” Starscream membenarkan.

Megatron memelototi layar mereka berdua dengan ekspresi tak percaya. “Gue belum hajar Starscream sampe mampus, tapi lo udah kesambet dia duluan?” ucapnya melihat ungkapan Shockwave yang baginya tidak masuk akal itu. “Perlu gue datengin rumah lo buat jedotin kepala lo biar otak lo nggak geser lagi?”

Seketika, Shockwave keluar dari panggilan, disusul Thundercracker dan Skywarp yang sedari tadi hanya menyimak. Siluet gelap Starscream yang menunjukkan kalo ia masih berada di dalam mobil menetap tinggal. Akhirnya, Megatron sendiri yang memutuskan panggilan itu.

Soundwave yang sedari tadi menyimak pertikaian itu memegangi kepala yang ia benamkan pada bantal. Segala lontaran kalimat yang ia dengarkan tidak benar-benar meresap dalam saraf-saraf otaknya untuk bisa ia pahami, justru membuat kepalanya semakin terasa pusing seiring dengan dadanya yang semakin terasa sesak. Ia tahu ini sangat tidak baik. Jarinya menekan informasi grup itu, lalu ia tekan tombol yang memunculkan sebuah notifikasi di grup tersebut.

 

Soundwave meninggalkan grup.

 

***

Hari Jumat ini adalah hari terakhir Megatron bertemu Soundwave dalam satu minggu ini. Megatron tidak tahu alamat rumahnya, sehingga ia bakal bertemu dengannya lagi hari Senin depan. Sedangkan Megatron sendiri, ia tidak mau terlalu lama memendam perasaan tidak enaknya pada Soundwave atas rusaknya rekaman berharga itu.

Megatron sungguh tidak menyangka kalau Soundwave akan keluar dari grup itu. Ia bahkan juga memblokir nomor Megatron, sehingga ia tidak dapat menghubunginya.

Megatron harus bicara langsung dengan Soundwave hari ini, tetapi Megatron kesulitan untuk bicara dengannya. Hari ini Soundwave datang terlambat, tapi untungnya guru yang mengajar cukup baik karena membiarkannya masuk. Saat jam istirahat pertama, guru yang mengajar Geografi meminta siswa yang remedial ulangan harian untuk segera ke ruang guru. Soundwave salah satu dari lima siswa yang remedial. Istirahat kedua, giliran Megatron yang harus menjalankan remedial matematika di perpustakaan bersama 10 siswa lainnya. Seakan takdir tidak memperkenankan mereka untuk bersama.

Hari ini Soundwave ada jadwal piket kelas. Megatron menunggunya di luar kelas. Satu per satu siswa yang piket, keluar dari kelas itu. Namun, sampai terakhir, ia tidak melihat Soundwave keluar. Ia pun melongokkan kepala ke pintu yang sedikit terbuka itu. Ternyata Soundwave duduk di kursinya paling belakang sambil memainkan ponselnya.

“Soundwave? Lo nggak pulang?” tanya Megatron, tetapi yang ditanya tidak menjawab. Megatron pun melangkah masuk. “Lo masih mau ngambek sama gue? Gue bisa jelasin ke lo sekarang.”

“Jadi kesimpulannya, gue curiga jangan-jangan Megatron udah ngobrol dulu sama Arachnia biar mancing-mancing amarah Sentinel sampai dia banting rekaman itu.”

Soundwave memutar rekaman suara Shockwave dari ponselnya. 

“Ini buktinya udah ada di depan mata lo, tapi lo masih bisa kasih gue alasan? Kok bisa, sih?” 

Setelah sekian lama, akhirnya Megatron mendengar suaranya lagi.

“Bukti? Itu cuma spekulasi, Soundwave,” ujar Megatron sembari mengatur emosi karena ia tak ingin berbicara dengan suara lantang kepada Soundwave. “Gue nggak mau nyangkal, Sound, tapi ucapan Shockwave nggak lebih cuma teori semata.”

“Terus?”

Meskipun terhalang oleh kacamatanya, Megatron dapat melihat tatapan kecewa dan berkaca-kaca di balik kacamata itu. “Gue … gue cuman mau bilang bahwa … itu semua nggak bener. Gue tekenin lagi, Shockwave baru kasih prasangka dia ke lo. Starscream juga nggak ngasih lo fakta.” Nada suara Megatron hampir meningkat, tapi ia berusaha untuk menurunkannya kembali. “Gue juga bingung kenapa lo lebih percaya ucapan mereka tentang gue. Padahal gue udah berusaha buat lo nggak dapat masalah sama OSIS–”

“Oke, fine! Lo udah buat gue aman dari teror anggota OSIS. Thank you. Tapi yakin, lo bantu gue tanpa ada bayaran?”

Megatron tak yakin. Tentu saja ia sadar betul tentang rekaman Soundwave yang rusak serta dirinya yang ditawari kesempatan mendaftar menjadi kandidat wakil OSIS. Ia mengambil napas dalam. Ia merasa semakin bersalah mendengar suara Soundwave yang terdengar serak seperti menahan isakan itu.

Ia mengambil tempat untuk duduk di kursi sebelah Soundwave. “Gue–”

“Awas! Gue mau pulang!” Soundwave mendorong Megatron, tetapi tenaganya tak cukup kuat untuk membuat Megatron jatuh, hanya menggesernya saja. 

“Dengerin gue dulu, Sound!” Megatron meraih pergelangan tangannya. 

“Lepasin!”

Please. Datang ke restoran gue, ya. Nanti gue traktir sekalian gue jelasin.” Megatron menyelipkan sebuah kertas ke telapak tangan Soundwave, sebelum ia melepaskan cengkeramannya.

Soundwave tidak menjawab, tetapi Megatron dapat melihat tangan Soundwave merobek kertas tersebut sambil berjalan keluar kelas. Megatron masih berdiri diam di kelas untuk memutar otak. Mau tak mau, ia harus cari cara agar Soundwave mengetahui alamat restorannya.

Shockwave.

Walau Megatron masih cukup kesal dengannya, tidak ada cara selain memintanya untuk menghubungi Soundwave. Ia tidak mau Skywarp dan Thundercracker tahu kalau sekarang ia sedang berusaha minta maaf pada Soundwave. Kalau mereka tahu, sudah pasti mereka akan memberitahu kakak tertua mereka. Starscream mungkin saja malah menambah masalah. Megatron berencana menyelesaikan masalah dengan Soundwave lebih dahulu, sebelum ia menemui Starscream.

Ia pun memulai panggilan untuk menghubungi Shockwave. Lelaki itu mengangkatnya.

“Shock–”

“Sori. Otak gue kemarin emang lagi geser.”

Megatron senyap mendengar ucapan temannya itu.

“Ya, jangan diulang lagi. Logis nggak logisnya sesuatu itu dilihat dari kenyataan, Shockwave. Bukan spekulasi, bukan dugaan. Lo bukan Starscream.”

“Tapi, surprisingly, ucapan Starscream bener, ya.”

Ada jeda di antara mereka.

“Tuh anak sehat BTW?” tanya Shockwave iseng.

“Sehat,” ujar Megatron padanya. “Jadi dia salah.”

“Di antara kita berdua, kita semua tahu ucapan Starscream bener makanya lo nampar dia kemarin, Megatron.”

“Dan lo sok nambah-nambah teori dari hal-hal yang minim.”

Shockwave kembali memberi jeda. Megatron punya bayangan seakan lelaki itu sedang mengedikkan kedua bahunya di seberang.

“Tetep nggak menutup kenyataan logisnya ucapan Starscream.”

Megatron masih memegangi telepon pintarnya di sebelah telinga sambil melangkah keluar menuju gapura sekolah.

“Iya, oke. Iya. Nggak usah diungkit lagi. Oke?”

Ada jeda sebentar kala Megatron berjalan keluar dari pekarangan sekolah.

“Jadi, kenapa lo nelpon gue?”

“Tolong bujuk Soundwave buat dateng ke restoran.”

Shockwave diam sebentar.

“Oke.”

Tak lama kemudian, panggilan pada Shockwave pun tertutup.

Memang benar, Megatron sama sekali tak ingin mengungkit soal itu …

… karena ia tak ingin melihat kebenaran dirinya sebagai pribadi yang buruk.

***

Sebuah panggilan masuk menyadarkan Soundwave dari lamunannya. Ia melepas pandangan dari dua burung yang sedang terlelap di kandangnya masing-masing, ke arah meja bundar tak jauh di sebelah kandang itu. Ia meminta kucing yang duduk di pangkuannya turun, lalu mengambil ponselnya. Nama Shockwave tertera di layar ponsel.

“Halo?”

Soundwave terdiam sejenak. “Apa?” ucapnya segan.

“Megatron minta lo dateng ke restorannya.”

“Males.”

“Kenapa?”

“Lo pikir aja sendiri.” Soundwave kembali ke tempat duduknya. Kucing hitam itu kembali melompat ke pangkuannya. 

“Ya, udah. Gue cuman kasih tahu kalau Megatron tungguin lo di restorannya.”

“Udah? Lo cuman kasih tahu itu aja?” heran Soundwave.

“Iya. Kontak Megatron lo blokir. Jadi gue disuruh Megatron buat ingetin lo,” kata Shockwave, tetapi Soundwave menunggu perkataan selanjutnya. “Alamatnya masih lo pegang, ‘kan?”

“Megatron suruh lo kasih alamatnya ke gue juga?”

“Iya. Tapi gue yakin lo masih simpan alamatnya, walau kata Megatron dia ngeliat lo sobek-sobek kertas alamat itu.”

Soundwave semakin heran. “Kenapa lo bisa seyakin itu?”

“Karena orang yang lembut pada binatang, kemungkinan bersikap kasar pada sesamanya akan sangat kecil. Megatron emang ngeliat lo sobekin kertas itu, tapi sebenarnya lo masih simpan kertas itu, ‘kan? Lo cuman ngerasa belum ketemu waktu yang tepat buat nyamperin restorannya.”

Terkaan Shockwave tepat sasaran. Matanya mengarah ke kertas yang sudah diisolasi di atas meja. Ia berpikir kalau menyangkal di depan seorang jenius dan sulit ditebak seperti Shockwave adalah hal yang sia-sia.

“Gue nggak paham kenapa lo bisa semarah itu sama Megatron. Sorry kalo ini buat lo agak tersinggung, tapi sejujurnya gue emang nggak paham. Emosi lo itu nggak logis, padahal udah banyak yang mau bantuin lo,” lanjut Shockwave.

“Gue nggak tersinggung … gue tahu lo emang nggak ada emosi, jadi nggak paham sama apa yang gue rasain ini,” balasnya. Soundwave mengembuskan napas panjang sambil menyandarkan punggung ke kursi. “Gue sebenarnya agak malas, sih … tapi … gue bisa minta tolong ke lo, nggak? Tapi gue nggak bisa kasih sesuatu buat balas budi.”

“Lo udah korbanin rekaman lo. Gue puas waktu tahu panitia LDKS kena marah Pak Megatronus. Jadi, lo mau minta tolong apa?”

“Orang tua lo peneliti, ya? Kira-kira bisa nggak, ya, kalau mereka benerin perekam gue?” Sebelum Shockwave menjawab, Soundwave tertawa pelan sekilas. “Ah, peneliti sama teknisi kayaknya beda, ya? Mana mungkin bisa benerin–”

“Bisa,” potong Shockwave. “Orang tua gue bisa apa aja, tapi kenapa lo mau benerin perekam lo ke gue? Nggak ke tempat servis terdekat?”

“Gue cuman kurang percaya aja sama tempat servis sekitar rumah gue. Gue pernah benerin laptop, tapi bukannya makin bener, malah makin rusak.”

“Oh, kenapa mereka buka tempat servis kalau mereka nggak bisa servis?”

“Ya, mana gue tahu, Shock.” Soundwave menghela napas. “Jadi, orang tua lo beneran bisa, ‘kan?”

“Bisa. Lo bawa aja ke rumah gue. Apa gue yang ke rumah lo?”

“Gue aja yang ke rumah lo, tapi nanti. Abis gue pulang dari restoran Megatron.”

“Sebuah keputusan bijak.”

Soundwave tersenyum tipis mendengarnya. “Makasih udah bantuin gue, Shocky.”

“Sebutan yang aneh. Jangan panggil itu lagi kalo mau gue bantu, Soundy.”

“Lo sendiri panggil gue gitu.”

Tak ada balasan dari Shockwave.

***

Hari Jumat dan Sabtu, Megatron sudah menunggu seseorang di dua hari itu. Namun, orang itu tak kunjung datang dari pagi hingga malam. Hari Minggu ini ia menghubungi Shockwave sekali lagi, dan katanya ia sudah menyampaikan pesan itu kepada Soundwave dari hari Sabtu. Shockwave menolak untuk menghubunginya lagi karena menurutnya tak logis jika memaksa seseorang untuk datang yang mungkin saja sebenarnya tidak berniat untuk datang.

Tapi gue yakin, Ga. Dia pasti datang. Lo tungguin aja.”

Megatron berpegang teguh pada ucapan Shockwave sebelum ia mengakhiri panggilannya.

Waktu sudah menunjukkan angka sembilan malam, tinggal satu jam lagi sebelum waktunya tutup. Megatron mengembuskan napas panjang saat tidak melihat orang yang diharapkan melewati pintu utama.

Sampai akhirnya, ia melihat seseorang dari jendela besar restoran. Seseorang baru turun dari bus di halte seberang restoran tersebut. Ujung bibir Megatron tertarik ke atas saat mengenali orang itu dari penutup kepala serta kacamata dan maskernya. Ini juga kali pertama ia melihat Soundwave dengan setelan kemeja putih yang dilapis sweater biru dan celana jeans biru. 

Megatron tidak langsung menemuinya, melainkan menunggunya memilih tempat sendiri di restoran itu. Soundwave masih belum menyadari keberadaan Megatron di sana. Ia memilih tempat di dekat jendela besar restoran. Kemudian, barulah Megatron menghampirinya dengan sebuah menu di tangan.

“Akhirnya lo dateng juga. Gue tungguin lo dari kemarin,” kata Megatron sambil meletakkan menu di depannya.

Sorry baru dateng. Kemarin gue ngurusin Ravage dulu. Dia sakit,” jawab Soundwave sambil membuka buku menu itu.

Megatron bernapas lega dalam hati mendengar suara Soundwave yang terdengar tenang itu. “Ravage siapa?” tanya Megatron sambil duduk di hadapannya.

“Kucing hitam gue.”

“Udah sembuh?”

“Kemarin udah dibawa ke dokter. Sekarang udah mendingan.” Soundwave tidak melepas mata dari daftar makanan di menu itu.

“Oh, gitu. Baguslah.”

Lalu, terjadi keheningan. Megatron tidak ingin mengganggunya memilih makanan dan minuman yang ingin dinikmatinya. Hingga akhirnya, Soundwave menentukan pilihan. “Latte dingin.”

“Makanannya?”

Soundwave menggeleng sambil menutup buku menu itu. “Gue udah makan di rumah. Gue mau minum aja. Jangan lupa sedotan.”

“Oke. Ditunggu, ya.” Megatron mengambil buku menu itu lalu memproses pesanan temannya itu.

Tidak lama setelahnya, akhirnya Megatron kembali dengan sebuah latte dingin di atas nampan. Ia suguhkan minuman itu bersama sedotannya. 

“Kenapa lo nggak buka masker lo aja?” Pertanyaan itu keluar dari mulut Megatron ketika ia melihat Soundwave menyelipkan sedotan itu ke bawah maskernya untuk menyedot minuman itu, tetapi Soundwave tidak menjawab. Pertanyaan itu tidak penting untuk ia jawab.

“Gue punya pertanyaan lebih baik. Kenapa lo nggak bilang ke gue kalo lo mau korbanin alat perekam gue?” tanya Soundwave setelah ia mencicipi minuman itu.

Megatron mengambil napas sejenak. “Soundwave, gue nggak bermaksud korbanin alat perekam lo. Ada sedikit kesalahpahaman di sini. Biarkan gue jelasin rinci ke lo.”

“Ya, udah. Tinggal jelasin.”

“Pertama. Gue bukannya sengaja mancing emosi Sentinel. Gue emang hampir kebawa sama sikapnya Sentinel itu. Lo lihat sendiri reaksi gue waktu jurit malam, 'kan? Dia kesel, gue ikutan kesel. Gue udah panas sama omong kosongnya Sentinel yang nggak ada otak itu, akhirnya gue kebawa emosi juga waktu ngadepin dia. Terus kedua, gue nggak pernah nyangka kalo Sentinel bakal banting rekaman lo. Itu sungguh di luar rencana yang udah kita buat. Kita kira mereka cuman bakal langsung hapus, ternyata Sentinel malah ngerusak.”

Soundwave mendengarnya dengan seksama. “Ketiga?” Namun, ia masih belum puas.

“Ketiga … gue nggak pernah nyangka kalau Arachnia bakal tawarin gue posisi kandidat wakil. Oh, bukan itu. Justru gue lebih nggak nyangka lagi Kak Magnus malah tawarin Arachnia jadi kandidat ketua. It was beyond my control, my friend.”

“Kalau waktu bisa diulang. Lo pilih tahan omongan biar Sentinel nggak rusak rekaman gue apa nggak?”

Satu tangan Megatron mendarat di pundak kanan Soundwave. “Kalo gue tahu Sentinel bakal ngerusak barang berharga lo, gue bakal tahan omongan gue,” jawab Megatron sambil menunjukkan senyum lembut nan meyakinkan. Jawaban yang cukup membuat Soundwave merasa lega.

Ia merasa sesak di dada mulai sedikit berkurang saat mendengar suara lembut itu. Di balik maskernya, Soundwave tersenyum haru, tetapi ia masih segan untuk menunjukkannya pada Megatron. Biarkan Megatron yang menerka-nerka.

“Jujur, Sound. Gue ngerasa bersalah atas rusaknya rekaman lo. Jadi, lo mau maafin gue, 'kan?” tanya Megatron sekali lagi sambil mengusap sebelah pundak Soundwave.

“Iya, gue maafin, tapi ….” Soundwave meletakkan tangan kirinya di atas tangan Megatron yang masih ada di pundaknya. "Gue minta satu hal sama lo. Bisa?"

"Apa?" Megatron memasang wajah ingin tahunya.

"Jangan jadi orang gegabah buat ngambil sebuah kesempatan. Lo harus pertimbangin segala hal yang bisa terjadi terhadap sesuatu, seenggaknya lo pertimbangin apa yang bakal terjadi ke depannya ketika lo mulai memutuskan untuk bertindak dan berbuat sesuatu. Please, perhatiin itu,” ucap Soundwave menjelaskan. “Ya? Jangan jadi orang gegabah, ya?"

Sebuah saran yang langsung masuk ke relung hati Megatron. Masukan dari Soundwave membuat Megatron tersenyum lembut. Ia mengangguk sekilas, menyanggupi apa yang Soundwave minta.

“Iya. Gue bakal lebih hati-hati lagi. Thank you buat masukannya.”

You're welcome.”

Megatron melihat minuman latte Soundwave sudah habis. “Lo mau bawa makanan buat di rumah?”

“Nggak usah. Di rumah masih banyak makanan. Gue mau ke rumah Shockwave dulu.”

Megatron mengernyit. “Lo tahu di mana rumah Shockwave?”

“Iya. Waktu mau pindahin isi rekaman ke flashdisk, gue bawa rekaman gue ke rumah Shockwave buat dipindahin dulu.”

Megatron mengangguk lambat. “Mau gue anter?”

“Bukannya lo masih kerja?”

“Udah mau tutup. Biasanya juga gue keluar jam segini. Gue antar, ya? Gue juga mau tahu rumah Shockwave di mana.” Permintaan yang terdengar seperti tuntutan yang memiliki alasan jelas. 

“Oke. Kayaknya asik kalo ada temen ngobrol.”

“Tapi kayaknya gue bakal lebih banyak omong ke lo. Nggak apa-apa, ‘kan?”

It’s fine, Megatron. I’m a good listener.”

Chapter 20: Permintaan Maaf (2)

Summary:

“Soal di kantin,” ucap Megatron membahas. “Maafin gue–”
“Nggak usah.” Starscream lantas berucap ketus.
“Tapi, Star–”
“Percuma. Lo sekarang minta maaf, nanti bakal keulang lagi,” tuduhnya final. “Jadi nggak usah, dan nggak usah dipikirin lagi.”

Kalo ngomongnya kyak gini, kira2 Starscream beneran maafin gak tuh? Apa kayak gini aja udah cukup buat meredakan konflik Megatron sama Starscream? Yuklah langsung gas chapter terakhir di arc inii~

Chapter Text

Minggu ini pendaftaran OSIS sudah mulai dibuka. Megatron tidak punya inisiatif apa-apa untuk menghubungi Arachnia dahulu terkait perumusan visi dan misi dan persiapan kampanye pemilihan kepengurusan OSIS periode selanjutnya. Ia menunggu gadis itu dahulu untuk menghubunginya.

Setidaknya dalam dua hari ini, ia menghitung. Kalau di hari ketiga Arachnia tak kunjung menghubunginya, mau tak mau Megatron yang akan mengontak dahulu.

Ia sedang duduk di bangkunya, baru saja selesai mencatat materi penjelasan yang diberikan guru di papan tulis berisikan tulisan padat disertai gambar lingkaran dengan potongan pai putus-putus. Sang guru matematika baru saja keluar kelas lantaran suatu urusan mendadak di kantor guru, menjadikan kelas X IPS 1 ditinggalkan begitu saja tanpa ada pengawas, dan pandangan mata Megatron yang sesaat terlihat kosong pikiran.

Laki-laki berpenutup kepala abu-abu itu berkedip. Ia menoleh sedikit ke arah teman sebangkunya di samping kiri. Starscream masih mencatat materi di papan tulis dengan kecepatan gerakan tangan yang tidak begitu cepat. Stabil. Tulisan tangan Starscream memang tidak sebagus Megatron, tetapi Megatron menyelesaikan catatannya lebih cepat karena dia mencatat sambil meringkas.

Seminggu penuh, bahkan lebih, dua teman sebangku itu memang tidak ada saling bicara semenjak kejadian Starscream menerima tamparan tangan Megatron. Lelaki berpenutup kepala hitam dengan banyak rongga di sisi-sisi wajahnya itu hanya sempat menanggapi isu omongan di grup tempo lalu. Mereka sama sekali tak melakukan interaksi di dunia nyata hingga hari ini.

“Star,” panggil Megatron biasa.

“Hm.” Starscream langsung membalas, masih mencatat materi yang ada di papan tulis tanpa sedikit pun menoleh pada teman sebangkunya.

“Soal di kantin,” ucap Megatron membahas. “Maafin gue–”

“Nggak usah.” Starscream lantas berucap ketus.

“Tapi, Star–”

“Percuma. Lo sekarang minta maaf, nanti bakal keulang lagi,” tuduhnya final. “Jadi nggak usah, dan nggak usah dipikirin lagi.”

Megatron terdiam sejenak. Kalaupun ia menimpali pernyataan itu, ia sadar betul kalau keputusannya tersebut malah dapat memperpanjang masalah. Ia ingin bertanya, Jadi lo maafin gue apa enggak?

Namun, sepertinya Starscream pun takkan menjawabnya. Lelaki itu cukup lama diam menatap udara hingga dirinya berceletuk, “Pendaftaran OSIS udah mulai dibuka.”

Good luck.” Starscream masih pada pandangannya terhadap buku tulis dan tangannya yang menulis.

Megatron menoleh ke arah Starscream sesaat.

Yah, batinnya berpikir, Mau diapakan lagi.

***

Perkumpulan Megatron bersama kembar tiga dan duo Wave kini sedang berlangsung di kantin sekolah. Starscream dan Soundwave mengikuti Megatron, duduk di kanan dan kiri lelaki berpenutup kepala abu-abu itu. Thundercracker dan Skywarp mengikuti kakak tertua mereka, duduk di hadapan Megatron dan Soundwave. Shockwave adalah orang yang terakhir datang dan duduk di samping Thundercracker.

“Tumben lo ke kantin, Shock? Biasanya ngadem di kelas,” komentar Thundercracker.

“Hari ini gue nggak bawa bekal,” jelas Shockwave padanya. “Pengen ngerasain makanan kantin.” Ia menunjukkan sebuah roti isi yang baru saja ia beli dari salah satu kios kantin.

Bekal? Lihat lo makan aja gue nggak pernah, batin Thundercracker dalam hati.

Pandangan Shockwave beralih pada Megatron dan Starscream yang duduk berdampingan. Ia mengamati Starscream yang memandang ke arah lain.

“Star? Lo sehat?” tanya Shockwave dengan makna tersirat.

Starscream yang bertopang sebelah pipi, menoleh padanya sedikit. “Sehat,” katanya. “Masih sehat.”

Megatron yang mendengar hal itu seketika memijit pelipisnya sehingga menutupi pandangan mata disertai kepala yang agak tertunduk. Tentu ia tahu maksud dialog singkat dua murid itu. Shockwave pun dapat mendengar lelaki itu membuang napas kasar.

“Kali terakhir,” ucapnya sambil memandangi Megatron.

“Iya,” balas lelaki itu. “Sekali lagi kalo lo singgung–”

“Habis gue, Shockwave,” ujar Starscream memandang meja. “Heran gue sama orang yang nggak belajar dari masa lalu.”

“Star, udah.” Soundwave turut buka suara. “Kalo lo masih kesel sama Megatron, lo bisa menjauh dan nggak usah ada di dekat dia dari tadi.”

Starscream diam tak memberikan tanggapan apa-apa. Megatron mencoba mengalihkan topik.

“Kalian pulang sekolah hari ini kosong?” tanya Megatron, yang kemudian langsung menyampaikan maksudnya. “Ada yang mau gue bicarain terkait pendaftaran OSIS. Tapi kayaknya kalau sekarang waktu buat ngebahasnya nggak cukup. Kalo kalian hari ini lowong, sore kalo bisa datang ke restoran.”

“Oh, iya. Lo punya restoran, ya, Ga? Punya ortu lo?” Skywarp tampak antusias. “Gue, sih, tiap hari kosong, Ga.” Ia lalu melepas tawa.

“Besok gue nggak ada deadline tugas, sih. Ya, 'kan, Shock?” tanya Thundercracker memastikan.

“Iya. Tugas buat minggu ini juga udah gue kelarin semua,” balas Shockwave yang belum memakan roti isinya.

“Sama.” Megatron menjawab. Tanpa kembali memandang dua teman di sisinya, ia pun melanjutkan, “Kalo gitu kalian semua fix datang sore ini, ya. Gue tunggu. Mendekati jam lima aja. Biasanya jam segitu sepi pengunjung.”

Bel masuk kelas berbunyi. Shockwave adalah orang pertama yang angkat kaki lebih dahulu. Tangannya yang meraih roti isi yang sedari tadi tergeletak di atas meja dan kemudian membawanya pergi itu meninggalkan tanda tanya di kelima benak temannya.

Gue penasaran dia makannya gimana …. 

***

Trio kembar Starscream-Skywarp-Thundercracker sudah muncul di dalam restoran tempat Megatron bekerja paruh waktu, mengenakan jaket bermodel sama dengan berbeda warna. Starscream tetap pada warna merah-biru-kuning yang didominasi warna putih di bagian lengan. Jaket Skywarp sendiri berwarna ungu di bagian sisi kanan dan kiri badan dengan bagian tengah jaket berwarna kuning, dan lengan berwarna hitam, sementara jaket Thundercracker hanya didominasi satu warna biru dengan bagian tengah jaketnya berwarna kuning sama seperti kedua kakaknya.

Megatron langsung menghampiri saat kehadiran mereka tertangkap oleh pandangan matanya.

“Gue belum lowong. Kalian duduk aja dulu, ya. Itu Shockwave udah datang duluan.”

Ia menunjuk sosok Shockwave yang kali ini berbadan tampak lebih bidang dari biasanya dengan jaket ungu yang lelaki itu kenakan. Lalu, lelaki berseragam hitam itu berlalu untuk melayani pengunjung dan berkoordinasi dengan pegawai lainnya. Para kembar tiga itu pun menyapa Shockwave dan ketiganya duduk di seberangnya dengan Starscream berada di antara dua adiknya. 

“Eh, Bang. Urusan lo sama Megatron udah kelar?” tanya Thundercracker tiba-tiba, menoleh pada kakak tertuanya.

“Soal dia nampar gue?” tanya Starscream kosong. “Gue anggap angin lalu.”

“Yakin lo? Gue lihat sikap lo ke dia aja udah kek ogah gitu. Cuma gue heran lo masih betah ada di samping dia.”

“Dan lo bisanya cuma komentar,” cerca Starscream pada adik bungsunya itu.

Skywarp membela, “Ih, lo, nih. Siapa juga yang mau kena bogem mentah orang. Lo tuh terlalu bandel tahu nggak, Bang.” Ia menunjukkan wajah kecutnya.

“Gue kan ngomong apa adanya yang ada di pikiran gue. Dia nggak terima, ya, itu urusan dia.” Starscream menjawab defensif. “Gue emang udah males nerima sikap dia yang main fisik kek gitu, cuma dia itu kalo nggak ditunjukin sifat jeleknya bakalan makin menjadi.”

Shockwave ikut menimbrung. “Jadi, gimana? Dia minta maaf ke lo?”

“Iya.”

“Terus?”

“Ya, udah. Gitu doang," jawab Starscream final, cukup membuat Shockwave sedikit memiringkan kepala. 

“Dia ada ngebujuk lo gitu nggak, Bang?” kali ini Skywarp yang penasaran.

“Nggak. Ya, minta maaf biasa aja, terus kelar.”

Shockwave menyuarakan kesimpulan yang muncul di benaknya. “Beda banget, ya, perlakuan Megatron ke lo sama perlakuannya ke Soundwave.”

Lelaki kembar tiga yang duduk bersamanya itu memasang wajah bingung.

“Maksud lo?” tanya Starscream tak mengerti.

“Hari Sabtu kemarin, Megatron minta gue hubungin Soundwave buat minta dia ke sini buat ditraktir. Soundwave kan waktu itu blokir kontak dia, jadi Megatron nggak bisa chat dia. Terus akhirnya Soundwave ke sini juga.” Ia menerangkan. “Gue nggak tahu Megatron ngomong apa aja sama Soundwave, tapi intinya Soundwave udah maafin dia dan nggak blokir kontaknya lagi.”

Shockwave menceritakan hal yang seharusnya tidak ia bagikan kepada orang lain: pesan dari Megatron ketika lelaki itu menceritakan situasinya dengan Soundwave waktu mereka berkunjung ke rumahnya. Tampaknya, Shockwave melupakan pesan itu.

Sosok kembar tiga itu pun sama-sama menunjukkan wajah heran.

“Gila. Mega sampe traktir Soundwave buat minta maaf, sedangkan lo cuman dikasih ucapan minta maaf doang, Bang Star,” ujar Skywarp menanggapi.

“Dia kok kayak pilih kasih gitu, ya,” lanjut Thundercracker menambahi.

Starscream menggerutu kesal. “Bangke, lah. Padahal dia sampe blokir kontak Megatron sama keluar grup, tapi Megatron malah traktir dia.”

“Menurut gue, sih, Megatron tahu kalo Soundwave ini gampang sensi. Jadi dia deketinnya mungkin agak lebih lembut dibanding lo.” Shockwave memberikan pemikirannya.

“Gampang sensi? Maksud lo baper?” tanggap Skywarp.

Starscream mencemooh, “Halah, gitu aja baper. Padahal Megatron nggak harus banget minta maaf karena dia nggak rusakin rekaman berharga punya dia itu. Lah, gue? Dia tampol gue keras banget, anjir. Tapi gue kagak ada tuh ditraktir. Dia malah sampe keluar grup sama blokir si Megatron. Dih, pake drama-dramaan buat minta maaf doang.”

Shockwave memberikan balasan, “Lo sendiri udah langsung ngiyain pas dia minta maaf, 'kan? Nggak kayak Soundwave yang ngambek duluan. Ya, kalo gitu buat apa dia sampe traktir lo segala?”

“Tetep aja, sih. Gue rasa nggak adil kalo Megatron treat orang beda-beda kek gitu,” ucap Thundercracker yang tak setuju.

Tak lama setelah itu, Soundwave dengan kemeja putih dan sweater biru yang sama sudah hadir di hadapan mereka. Melihat Shockwave masih duduk sendiri, ia pun memilih di sebelah Shockwave. Ketika ia hendak duduk, ia mendengar suara yang membuatnya menahan diri untuk duduk di sana. 

“Eh, drama queen udah dateng,” celetuk Starscream menyindir.

Drama queen?” tanggap Soundwave tak paham.

“Iya. Gue udah denger dari Shockwave tentang lo yang ditraktir Mega biar lo maafin dia. Lo drama banget, sih, buat dapetin maafnya Megatron. Pake keluar grup sama blokir nomornya segala.”

“Gue udah masuk grup sama nggak blokir nomor Megatron lagi.” Soundwave masih berdiri di sisi meja mereka.

“Itu kemarin,” tanggap lelaki berjaket merah-kuning-biru itu. “Kok lo bisa, sih? Padahal rekaman lo CUMAN rusak. Pun sebenarnya bukan Megatron juga yang rusakin.”

“Bang, kok omongan lo gitu, sih? Kita semua kan tahu itu warisan dari orang tuanya,” ujar Thundercracker dengan kedua alis berkerut heran.

“Nggak ‘cuman’, ya.” Soundwave menanggapi. “Dan dengerin tuh apa kata adek lo.”

Pandangan wajah Thundercracker beralih pada Soundwave. “Tapi emang Megatron ngapain lo lagi? Dia sempet tampol lo juga?”

“Nggak.”

“Ya, berarti ‘CUMAN’ itu,” balas Starscream langsung. “Jadi, wajar aja gue panggil lo drama queen. Lo lebay banget bikin Megatron minta maaf sampe segitunya.” Starscream berucap ketus.

“Tapi NGGAK CUMAN itu! Dia emang ada salah sama gue, jadi wajar dia minta maaf. Tapi gue males kasih tahu apa kesalahan Megatron ke gue. Kalian nggak perlu tahu juga.” Soundwave membela diri. “Lagian, Scream, omongan lo duluan, ya, yang bikin gue sama Megatron jadi ada kejadian kayak gini.”

“Lah, ucapan gue bener, 'kan? Kalo Megatron nggak mancing-mancing emosi Sentinel, rekaman lo palingan dihapus sama disita, nggak sampe dibanting sama dia. Gue emang simpati sama lo, tapi lo-nya sendiri, sih, yang lebay nanggepin omongan gue.” Starscream menunjuk lelaki itu. “Lagian, kesalahan kayak apa, sih, yang lo maksud? Look at me, being tortured and injured since the first day I introduced myself with him.”

“Sekarang, lo yang drama queen.”

“Gue emang dramatis, tapi seenggaknya gue bener. Dramatis sama lebay beda, sih, ya.”

Well,” kata Soundwave memberi tanggapan final, “soal Megatron yang main fisik ke lo, itu derita lo sendiri, sih. Gue nggak peduli.”

Mata Starscream melebar bulat. “Sialan lo. Sejak kapan lo jadi nyebelin banget kek gini? Lo mau berantem sama gue?”

Dalam waktu yang tak begitu lama, Megatron berjalan menghampiri meja mereka. Ia dapat melihat suasana tegang yang sedang mengisi atmosfer di sekitar meja itu sekarang.

“Kenapa? Ada apa?” tanya Megatron meminta kejelasan, kemudian ia menoleh ke arah Soundwave. “Kok lo nggak duduk, Sound?”

“Ini, Ga. Ada yang nggak terima lo suka kasarin dia.” Soundwave menunjuk Starscream yang duduk di hadapannya.

“Wajar dong gue nggak terima!” Starscream dengan berani menghadapkan badan ke dua orang yang berdiri itu. “Soundwave berulah dikit lo lembutin, gue salah dikit langsung lo hajar!”

“Kapan Soundwave berulah?” Megatron berkacak pinggang. “Star, dengerin, ya. Soundwave ngambek sama gue juga gara-gara omongan lo. Soal gue hajar lo, kalo kelakuan lo nggak yang aneh-aneh, gue juga nggak bakal hajar lo.”

Starscream tampak ingin melawan omongan Megatron lagi, tetapi kemudian Megatron kembali melanjutkan, “Dan kalo habis ini lo naikin lagi nada omongan lo ke gue, setelah dua adik lo bakal seret lo keluar dari sini, besok lo yang gue seret ke toilet sekolah buat gue habisi.”

“Kan?” Starscream menyahut sarkastik. “Selain kekerasan fisik, nggak ada lagi cara lo buat ngancem gue?”

Ia memberikan sindiran itu. Namun, tatapan balasan Megatron terasa menusuk menembus bola mata Starscream, seolah Megatron berkata secara tidak langsung kalau Starscream bukanlah sosok yang seharusnya melawannya. Akhirnya, lelaki itu tertunduk mengalah dengan ekspresi dongkol. Megatron kemudian menoleh pada Soundwave, “Lo juga. Jangan pancing-pancing emosi Starscream lagi kalo udah ngerti karakter temen lo gimana.”

“Iya. Sori.” Soundwave menyahut singkat.

“Ya, udah. Lo duduk, dah. Gue mau minta izin dulu buat istirahat shift sebelum jam makan malam sama ganti baju.”

Megatron berlalu menuju ruang khusus pegawai dan masuk ke ruangan itu. Beberapa menit berlalu, dan mereka melihat Megatron berjalan melewati sisi luar restoran melalui jendela kaca lebar restoran, kemudian masuk dari pintu utama pelanggan, mengenakan celana abu-abu yang sama seperti yang ia kenakan sewaktu bekerja dan kaos abu-abu panjang berbahan katun. Ia segera mengambil tempat duduk di sebelah Soundwave.

“Gue mau nanya ke kalian dulu,” ujar Megatron memulai pembicaraan. “Kalian ada yang minat masuk OSIS?”

“Nggak.” Starscream langsung menjawab.

“Kenapa?”

“Nggak ada yang gue kejar di OSIS.”

Lelaki berpenutup kepala abu-abu itu memandang Starscream sebentar, kemudian mengangguk kecil tanda mengerti. “Sisanya?”

Thundercracker dan Skywarp menggeleng.

“Gue mau fokus belajar aja,” kata Thundercracker menanggapi.

“Kalo gue mau fokus main aja,” sambung Skywarp, kemudian melepas tawa singkat.

Megatron menoleh bergantian ke dua orang di sisinya.

“Lo gimana, Shock?” tanya Megatron pada lelaki berbadan besar itu.

Shockwave hanya memberi gumaman, sebelum ia justru melempar tanya kepada temannya. “Sound?”

Soundwave memandang keduanya. Matanya tampak nanar. Pandangannya beralih pada meja, tetapi kemudian naik lagi. Lebih tepatnya pada Megatron.

“Kalo lo minta gue masuk OSIS ….” Soundwave menimbang-nimbang. “Gue tertarik buat daftar jadi wakil sekre.”

Kedua kelopak mata Megatron terbuka lebih lebar, senang mendengar ucapan itu.

“Iya, cocok sama lo yang suka ngerekap suara orang.” Megatron menyelipkan sedikit canda dan tertawa sekilas. “Tapi nanti yang lo rekap tulisan sama laporan.”

Shockwave menimbrung, “Gue temenin lo, deh.”

“Lo mau jadi apa?” tanya Megatron mengalihkan pandangan ke sebelahnya, ingin tahu.

“Anggota bidang dulu, 'kan, kalo sekarang. Entar kelas dua baru gue kejar jadi ketua bidang,” jawab Shockwave. “Gue mau masuk bidang akademik.”

“Bagus,” ujar Megatron. “Lo tolong jagain Soundwave waktu pas ospek OSIS nanti, ya.”

“Kalian nggak mau jadian aja?” celetuk Starscream yang masih memasang wajah kesal.

Ketiga lelaki di hadapannya itu langsung menatap Starscream bersamaan. Lelaki sulung itu membuang muka cemberut ke arah lain. Megatron lantas berucap, “Mau lo apa, sih, Star?”

“Jujur, Ga … Kalo … gue boleh jujur.” Thundercracker yang bersikap agak segan mengambil inisiatif untuk menyambung bicara. “Tapi … menurut gue emang sikap lo ke Soundwave dan sikap lo ke abang gue nggak fair.”

Megatron hanya menatap Thundercracker sebagai balasan, tidak menjawab apa-apa. Lelaki itu melanjutkan, “Gue emang nggak tahu, ya. Mungkin selama lo temenan sama Soundwave, dia emang belum ngelakuin hal yang menurut lo salah. Gue akui abang gue kelakuannya juga kadang bikin jengkel, tapi reaksi lo sendiri tiap kali Starscream buat kesalahan ….”

Megatron tiba-tiba saja berdiri dari kursinya. Ia berjalan pergi meninggalkan meja teman-temannya, menghilang di balik sisi ruangan yang lain. Saat kembali, ia membawa sebuah buku menu dan meletakkannya di meja.

“Gue lihat kalian belum pada pesen apa-apa,” ujarnya. “Pesen, gih. Biar gue catet sekalian gue pesenin.”

Skywarp mengambil buku menu itu, dan mereka pun membacanya bergantian. Mereka menyebutkan pesanan mereka satu-satu, kecuali Shockwave, juga Starscream yang masih memandang ke luar jendela. Megatron memanggilnya, tetapi ia tidak menjawab. Thundercracker mencoba bertanya pada Starscream ia ingin memesan apa, yang akhirnya mau dijawab.

“Abang gue mau hazelnut latte, Ga.”

“Oke.”

Megatron kembali menghilang. Obrolan di belakang lelaki abu-abu itu kembali hadir.

“Bang, yang sabar, ya,” kata Skywarp bersimpati. “Kayaknya … Megatron udah betah jadiin lo pelampiasan amarahnya dia.”

“Kok lo ngomong gitu, Warp?” ucap Soundwave memberi respons.

Thundercracker memasang senyum kecutnya. “Lo denger, 'kan, Sound … Omongan gue dicuekin sama Megatron.”

Mendengar hal itu, Soundwave tidak mengucapkan apa-apa lagi. Tidak ada lagi obrolan yang berlangsung di antara mereka sampai Megatron datang dengan sebuah nampan berisi empat buah minuman dingin dan satu cangkir kopi. Ia meletakkan masing-masing minuman satu-satu di depan yang memesan, lalu meletakkan cangkir kopi miliknya di depan kursinya. Lelaki itu lalu melihat pada Starscream yang langsung menyesap minuman dinginnya.

“Enak, Star?” tanya Megatron biasa. Starscream sesaat tampak bingung.

“Hah? Iya, enak.” Ia akhirnya mau memandang wajah lelaki abu-abu itu. “Kenapa lo nanya–” Omongan Starscream terjeda sebentar. Tatapannya berganti pada minuman di depannya dan wajah Megatron lagi. “Lo yang bikin?”

“... Iya.” Megatron menggaruk belakang kepalanya sekilas sembari memalingkan pandangan.

“Anjir, multitalent banget lo. Layanin orang bisa, ngatur orang bisa, sekarang lo jadi barista?” komentar Skywarp takjub.

“Ya … harus serba bisa biar pendapatan yang didapet juga lebih.” Megatron kemudian kembali duduk di tempatnya.

“Emangnya orang tua lo nggak cukupin lo?” Akhirnya, Starscream mau mengobrol dengan teman sebangkunya di kelas itu. Pertanyaan Starscream membuat sorot mata yang Megatron tunjukkan sedikit berubah.

“Nggak gitu juga.” Ia tak menatap Starscream langsung kala mengucapkan itu.

“Abisan lo kerja sekeras itu gue lihat. Lo diperes sama orang tua lo apa gimana?” Starscream menunjukkan keheranannya yang terlihat serius.

“Kali aja orang tua Megatron lagi mengira-ngira kemampuan anaknya sampe mana buat bagi waktu, Star,” ujar Shockwave memprediksi lebih dahulu. “Didikan orang tua Megatron kayaknya emang lebih keras dari gue, cuma juga fleksibel sebenernya. Mungkin karena jiwa entrepreneur lebih terbuka dibanding jiwa akademisi yang lebih teguh. Gue rasa kalo belajarnya Megatron terganggu, orang tuanya bakal suruh dia berhenti dari kerjaan yang dia handle.”

“Iya,” balas Megatron. “Gue kemarin sempet remed matematika sekali gegara kecapekan lupa belajar. Nggak mau gue sampe remed lagi.”

Sejenak, tak ada yang membalas lagi omongan yang terakhir terucapkan, hingga para lelaki itu melihat Skywarp menyikut lengan Starscream. “Asyik. Drama lo ada buahnya juga, tuh.”

Thundercracker menimpali diiringi tawa. “Iya. So sweet banget, ya, dibikinin minum.”

Starscream melirik kedua adiknya yang duduk di masing-masing sisi bergantian. “Lo pada ngomongin apa, sih, Dek?”

Tawa keduanya semakin kencang. “Bang Star malu, Ga!”

“Gue nggak malu, monyet-monyet.” Namun, tawa kedua adiknya tak kunjung menghilang. “Bego lo pada. Minuman kalian kan juga dibikinin sama Megatron.”

“Iya, Ga?” Skywarp bertanya.

Megatron menatap lurus sebentar, tak langsung menjawab.

“Nggak. Tadi gue bikin minum berdua sama temen kerja gue. Gue cuma bikinin minuman Starscream sama kopi gue aja. Sisanya dibikinin sama temen gue.”

Skywarp dan Thundercracker sudah hendak memberikan reaksi, tetapi Starscream dengan cepat berkata, “Yaaah … waktu lo bujuk Soundwave kemarin, lo juga yang bikinin dia minum, 'kan.” Starscream menunjukkan gestur seolah ia tidak peduli.

Megatron mengangkat cangkir kopi mendekati bibirnya, kemudian menyeruput minuman itu.

“Nggak.”

Tawa dua adik kembar itu pecah. Soundwave pun ikutan tertawa geli mendengar pengakuan Megatron.

“Yakin, nih, yang harusnya jadian gue sama Megatron?” ucap Soundwave balas menyindir omongan Starscream sebelumnya.

“Omongan lo nggak usah yang aneh-aneh, Sound,” tunjuk Starscream pada lelaki di hadapannya itu.

Lo duluan yang mulai omongan, ya.” Soundwave memberikan satu kalimat penuh penekanan pada Starscream.

Megatron kembali berbicara. “Sebenernya gue bukan barista resmi. Tadi aja gue nanya dulu resep hazelnut latte apaan sama temen gue.”

“Ayo, Bang Star. Udahan ngambeknya.” Skywarp belum berhenti menyelipkan tawa di setiap ucapannya. “Udah sampe rela dibikinin minum, loh,  sama Megatron. Traktir doang mah tinggal keluar uang. Ya, nggak, Sound?”

Affirmative,” balas Soundwave singkat.

Rona merah di wajah Starscream yang sedari tadi tampak tipis, kini mulai terlihat jelas.

“Anjir lo pada! Kok malah gue yang digangguin, sih?!” pekiknya dengan wajah malu. Seketika, seisi meja tertawa bersama, tak terkecuali Megatron yang tertawa lepas, sementara Shockwave tak mengeluarkan suara sama sekali.

Megatron meredakan gelaknya. Ia melanjutkan pembahasan yang sempat terpotong. “Berhubung yang ikut OSIS jadinya kami bertiga, lo pada harus jadi tim sukses gue nyalon jadi waketos, ya.”

Skywarp dan Thundercracker menyahut antusias, sedangkan Starscream membalas dengan gumaman mengiyakan. Sinar senja belum menembus kaca jendela besar restoran ketika tiba-tiba seseorang muncul di antara mereka.

“Wah, adik-adik kelas lagi pada ngumpul di sini, ya?”

Semua mata beralih pada sosok itu. Netra Megatron membulat sempurna melihat kehadiran perempuan yang kini berdiri di sisi meja hadapannya, pun Soundwave yang juga menampakkan wajah terkejut. Sesuatu yang tak bisa ia raba, sesuatu yang entah kenapa terasa imajiner namun mengisi rongga dadanya, seketika seperti mencelus dari tempatnya tertambat. Ia merasakan kehampaan yang sangat tidak nyaman dalam dadanya.

Megatron lekas berdiri dan menarik kursinya ke belakang. Ia langsung meraih tangan gadis itu dan membawanya keluar dengan sedikit memaksa.

Chapter 21: Perumusan Visi dan Misi

Summary:

Pemilihan ketua OSIS dan wakil ketua OSIS semakin dekat. Siapa pun yang mendaftar, harus sudah mulai mengisi berkas pendaftaran, salah satunya adalah penyusunan Visi dan Misi.
Sentinel dan Jet Fire bisa mengatasi itu, tapi bagaimana dengan Arachnia dan Megatron dalam membangun visi dan misi?
Mungkinkah mereka berdua bisa merancang visi misi jadi ketua dan wakil ketua OSIS? Apa jangan-jangan visi misi yang dibangun itu visi misi rumah tangga Arachnia dan Megatron di masa yang akan datang??
//Author ditabok Megatron

GAS LAH BACA AJA BIAR GAK PENASARAN HEHEEHEH

Chapter Text

Megatron masih memegangi tangan Arachnia, menuntunnya–secara paksa, tentunya–keluar melalui pintu belakang restoran. Perempuan itu tak banyak bertingkah, meski ia kesulitan mengikuti langkah kaki Megatron yang lebar. Beberapa jarak menjauh di area belakang bangunan terdapat sebuah gudang kecil. Megatron melepas tangan Arachnia, seakan menghempaskannya pada dinding gudang di belakang gadis itu. Telapak tangannya ia letakkan pada dinding di sebelah kepala gadis itu, mencegah perempuan itu untuk pergi dari tempatnya, walau Arachnia sendiri tak begitu punya niat untuk kabur dari lelaki itu.

Kedua mata mereka saling bertemu. Megatron memberikan tatapan tajam pada perempuan serupa siluman laba-laba itu. Sudah cukup ia menahan emosi sewaktu mereka berdua bertemu dengan kehadiran Ultra Magnus di antara mereka. Arachnia sendiri berupaya membalas pandangan Megatron dengan tenang, menunggu lelaki itu mengeluarkan kalimat dari mulutnya.

“Kak,” Megatron mencoba mengontrol emosi dari suara yang ia keluarkan, “habis ini lo harus minta maaf sama Soundwave.”

Arachnia mencoba menelusuk pada pandangan mata yang diberikan Megatron. Ia dapat menangkap amarah tertahan yang jelas dari optik merah terang itu. Meski jarak wajah mereka tak begitu dekat, Arachnia dapat mendengar napas tak begitu teratur yang lolos dari mulutnya, berusaha mengontrol diri untuk tidak berbuat sesuatu yang lebih membahayakan dari ini.

Namun, seketika fokus pikiran Arachnia berganti pada hal yang lain.

“Kamu ganteng,” ungkapnya antara sadar dan tak sadar.

Megatron memelototkan matanya tak percaya mendapati respons Arachnia yang seperti itu.

“Lo emang gila, ya,” ujar lelaki itu. Ia menurunkan tangannya yang ia tempelkan pada dinding dan memundurkan badan.

Arachnia tak kembali melihatnya. “Gue serius.”

Megatron menolehkan pandangan pada gadis itu, masih dengan wajah herannya. Arachnia masih memalingkan pandangan darinya. Ia pun menerka kalau kakak kelasnya itu mulai menunjukkan sisi lain yang tidak ia gunakan untuk menggoda orang lain.

Dia barusan ngucap 'gue' , batin Megatron jeli.

Lelaki itu mencoba mengembalikan pembicaraan. “Sama,” katanya. “Gue emang mau jadi calon wakil buat nemenin lo jadi calon ketua. Tapi kalo lo mulai bertingkah lagi, apalagi sampe bawa-bawa temen gue yang ada di satu meja tadi, gue nggak segan-segan buat hancurin hidup lo.” Ia menaikkan wajah sedikit dan mengeraskan rahangnya. “Ngerti?”

“Ngerti,” jawab Arachnia dengan suara rendah. “Mulai sekarang gue bakal murni bantuin lo. Gue nggak bakal macem-macem.”

“Bagus.” Megatron menarik sudut bibirnya sedikit. “Itu yang mau gue denger.”

Megatron pun mengajak Arachnia kembali masuk ke restoran. Gadis itu mengekor tak jauh di belakang. Ketika sudah tiba di meja teman-teman Megatron, Arachnia mendekatkan diri sedikit di antara sisi meja dan kursi paling ujung yang kosong. Ia menatap pada Soundwave yang duduk di kursi tengah.

“Soundwave, maafin Kakak, ya. Karena Kakak kamu sampe harus kehilangan barang berharga yang kamu punya.”

Soundwave mengamati air muka Arachnia. Mata laki-laki bermasker abu-abu itu mengedip sekali, menimbang apakah ia bisa menerima permintaan maaf itu. Ketidaksukaan dan kecurigaannya pada Arachnia sebenarnya memang sudah berada di puncak, tetapi ekspresi wajah gadis itu tampak tulus meminta maaf kepadanya. Soundwave berpikir, entah apa yang dilakukan Megatron barusan di luar pada Arachnia hingga ia mau bersikap lembut seperti ini.

“Iya, Kak. Saya maafin,” ucap Soundwave ringan. Tak lama kemudian, dia bertanya, “Kakak kok tiba-tiba datang ke sini? Mau bahas soal pendaftaran OSIS sama Megatron?”

“Iya. Lo biasanya ngontak gue duluan kalo mau nyamperin,” ujar Megatron yang masih berdiri di sisi meja–yang membuat kelima temannya menoleh cepat karena dia sudah memanggil Arachnia dengan lo-gue.

Arachnia menengok ke belakangnya. “Ah, kemarin gue sama Kak Magnus ke sini kan nggak ngontak lo juga, Ga.”

Kelima teman Megatron itu semakin melebarkan mata. Ke mana embel-embel ‘sayang’ dan gaya bicaranya yang mendayu sok menggoda itu? batin mereka semua.

Arachnia memandangi wajah-wajah yang duduk di kursi makan itu. “Tapi lo lagi ngabisin waktu sama temen lo, ya? Kalo gitu gue tunggu di meja lain aja.”

“Bentar lagi waktu istirahat gue abis. Paling bisa diprediksi gue lowong lagi jam setengah sembilanan.”

Arachnia melipat tangan di bawah dada. “Kalo gitu gue jalan-jalan dulu di mall sebelah.”

Memang benar. Tepat di sebelah restoran itu, lebih tepatnya–karena muka restoran menghadap ke barat–terdapat sebuah mall di arah utara yang bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Gadis itu pun berjalan pergi sambil melambaikan tangannya. “ Bye , adik-adik! Yang akur, ya, satu sama lain.”

Arachnia menghilang dari pandangan ketika ia sudah melewati pintu utama restoran.

“Kak Ara lo apain, Ga, kok jadi kayak gitu?” tanya Starscream ketika pandangan mata mereka bertemu.

“Gue suruh minta maaf ke Soundwave,” jawab Megatron lugas.

“Ya, kali, cuma itu aja,” bantah Starscream tak percaya. Namun, Megatron tidak menambahkan apa-apa lagi. Ia justru berujar, “Kalo minuman kalian udah habis, lo pada langsung pulang sana. Nanti dicari orang tua kalian.”

“Megatron hari ini perhatian banget, ya, kayaknya.” Skywarp menggoda sembari tertawa geli.

Megatron menunjukkan wajah datarnya. “Gue nggak mau dibilang jadi pengaruh buruk sama orang tua kalian.”

Starscream menampilkan senyum tipisnya. “Iya, tahu gue.”

Sejenak, mereka semua meminum minuman mereka yang sudah tinggal sekitar seperempat gelas. Setelah minuman di gelasnya tandas, Starscream beranjak dari kursi tempatnya duduk. “Makasih, ya, buat minumannya.”

“Bayar.”

“Tahu."

Mereka berdua dapat mendengar Soundwave yang ikut berdiri menanggapi dengan tawa kecil. Thundercracker pun tersenyum melihat duo ribut itu sudah akur. Mereka pun pamit satu sama lain untuk pulang ke rumah.

***

Pendaftaran kandidat calon ketua OSIS dan wakil ketua OSIS sudah di depan mata. Siapa pun dapat mendaftar dan mengisi formulir yang diajukan. Mereka mengambil berkas tersebut langsung dari tangan Ultra Magnus selaku ketua OSIS yang akan lengser.

Sentinel antara kaget dan tidak kaget saat melihat Arachnia beserta Megatron keluar dari ruang OSIS dengan sebuah map merah yang pastinya berisi formulir yang sama yang sedang Sentinel pegang. Mereka berdua ternyata memang benar ingin mendaftar menjadi kandidat ketua dan wakil ketua OSIS.

“Mereka ngapain pake daftar segala, sih!” seru Sentinel sambil meremas map itu ketika saingannya itu menghilang di belokan. 

“Sabar aja, Nel.” Jetfire merangkulnya–agak paksa–dan mengajaknya menjauhi pelataran ruang OSIS. “Fokus ke kita aja. Nggak usah mikirin yang lain,” lanjutnya. 

Sentinel duduk di kursi panjang di ujung koidor. “Nanti kalo mereka curang, gimana?”

“Lo tahu dari mana kalo mereka bakal curang?” tanya Jetfire balik sambil duduk di sampingnya dan mengambil map merah itu agar kertas-kertas di dalamnya tidak rusak oleh cengkeraman kuat Sentinel. 

“Karena laba-laba sialan itu. Dia licik banget, Jet. Terus ditambah ada Megatron pula. Mereka pasti bakal buat rencana jahat buat kita nggak menang!” jawab Sentinel.

"Udahlah, Nel. Jangan prasangka buruk terus. Nanti kalo lo kena masalah lagi, gue juga yang kena." Jetfire sedikit meninggikan suaranya. "Nggak usah urusin mereka. Nanti waktu kita kebuang sia-sia. Lagian gue nggak pernah lihat Arachnia apalagi Megatron beneran jahatin orang."

Ucapan rekannya itu ada benarnya juga. Ia memang tidak seharusnya memikirkan apa yang mereka rencanakan terus sampai melupakan kewajibannya. Sentinel mendengus sebal, sebelum ia mulai mengisi formulir yang ada dalam map tersebut. 

Hampir dua jam telah berlalu setelah bel pulang sekolah berbunyi. Sentinel dan Jetfire sudah selesai mengisi formulir sekaligus menyusun visi dan misi mereka yang akan dikampanyekan menjelang pemilihan. Mereka sudah merancang itu sejak masa LDKS, jadi sekarang tinggal penyempurnaan saja. 

"Lihat, Nel. Kalau kita fokus, pasti ini selesai lebih cepat," ujar Jetfire sambil memasukkan formulir yang sudah terisi itu ke dalam map. 

"Siapa bilang kita udah selesai?" 

"Emang ada yang belum?" herannya. 

"Ada. Sekarang kita nyusun rencana buat menjatuhkan saingan kita!" seru Sentinel penuh semangat. 

Jetfire memandangnya datar. "Males." Kemudian, ia berdiri sambil membawa map itu dan tas ranselnya, lalu meninggalkan Sentinel di kursi panjang itu. 

"Eh, Jet! Tungguin gue!" Sentinel pun menyusulnya dan berkata kalau ia hanya bergurau. Tentu saja ia tahu kalau rekannya itu memang lebih senang untuk bersaing sportif. Karena hal itu, ia mencoba menghargainya dengan cara percaya padanya kalau mereka berdua tidak akan dicurangi. 

Lain halnya dengan Sentinel dan Jetfire yang langsung mengisi formulir saat itu juga di kursi koridor, Arachnia dan Megatron baru bisa mengisi saat hari Sabtu di restoran tempat Megatron bekerja, karena tempo lalu saat ia kembali ke restoran Megatron, ternyata jumlah pengunjung melebihi biasanya dan lelaki itu tampak sangat sibuk. Kalau ia memaksa laki-laki itu untuk menyelesaikannya saat itu juga, sudah pasti Arachnia bakal kena marah oleh Megatron yang mementingkan pekerjaan  dahulu. 

Tidak ingin itu terjadi, akhirnya Arachnia memutuskan untuk datang di jam istirahat Megatron hari-hari berikutnya. Untuk beberapa menit, perempuan itu tidak melihat kehadirannya. Ia bertumpu tangan dan menoleh ke jendela besar di sebelahnya dan melihat lalu-lalang kendaraan yang sedang ramai karena kebanyakan orang sedang bermalam minggu. 

Ekor matanya mendapati seseorang duduk di seberangnya. Ia pun menoleh ke depan untuk mendapati Megatron sudah duduk di hadapannya sambil mendorong minuman cold tiramisu latte ke arahnya. 

"Gue nggak mesen," kata Arachnia. 

"Iya, tahu. Tapi lo pasti bakal disuruh keluar kalo di meja lo nggak ada makanan atau minuman," timpal Megatron sebelum ia menyeruput kopi macchiato hangatnya. 

"Tapi gue nggak mau bayar, loh, ya."

"Gue nggak minta lo bayar."

Arachnia tersenyum dengan dua mata sedikit menyipit. "Oh? Jadi lo traktir gue, nih?" ucapnya. 

Megatron mendecih. "Kalo lo nggak mau, ya, buat gue aja," ketusnya. Ketika ia hendak mengambil minuman dingin itu, tangan Arachnia lebih gesit menjauhkannya dari jangkauan Megatron. 

"Iya, iya. Gue cuman bercanda." Kemudian, ia mengubah intonasi suaranya menjadi lebih menggoda "Makasih, ya, sayang ."

Megatron memutar mata dengan ujung mulut tertarik ke bawah. "Berisik. Gue nggak punya banyak waktu. Cepet selesain sekarang."

Arachnia tertawa pelan melihat ekspresinya itu sebelum ia memberikan formulir identitas dalam map merah yang harus diisi Megatron. Untuk beberapa saat, terjadi keheningan di meja untuk dua orang itu selama mengisi formulir masing-masing. Sesekali Megatron bertanya pada Arachnia jika ada kolom yang membuatnya bingung, hingga akhirnya, mereka tiba di pengisian visi dan misi di formulir yang berbeda, selembar kertas yang memiliki judul “Visi dan Misi Kandidat Calon Ketua OSIS dan Wakil Ketua OSIS”. Mereka harus menyatukan tujuan untuk dikampanyekan. 

"Gue udah susun visi misi kita," ucap Arachnia sambil mengeluarkan selembar kertas dari tas kecilnya. Ia bentangkan lipatan kertas itu di atas meja. 

"Gue juga udah." Megatron meletakkan selembar kertas dari saku celana ke atas meja. 

"Lo buat juga? Kenapa nggak bilang-bilang?"

"Lo sendiri juga nggak bilang ke gue kalo lo buat visi misi," timpal Megatron seraya mengambil kertas Arachnia. Begitupun sebaliknya. 

Arachnia terdiam sejenak sambil membaca visi misi yang ditulis Megatron. Megatron sendiri juga sedang mencerna apa tujuan dari Arachnia menjadi Ketua OSIS. 

Mata Megatron menyipit saat membaca visi dan misi milik Arachnia. Dengan kata-kata yang tersusun rapi, Megatron dapat menyimpulkan bahwa Arachnia ingin meningkatkan potensi siswa dan menunjukkan bahwa perempuan itu bisa menjadi pemimpin. 

Sedangkan, Arachnia sendiri bisa menebak visi dan misi Megatron. Tujuan laki-laki itu memegang jabatan penting di OSIS tentunya tidak akan jauh dari menjunjung tinggi kesetaraan antarsiswa dan memberikan siapapun kesempatan dalam mengembangkan potensi serta kemampuan mereka. 

"Visi misi gue lebih bagus," ucap Megatron sambil mengembalikan kertas itu. 

"Berarti lo nggak mendukung perempuan untuk jadi pemimpin?" balas Arachnia seraya mengembalikan kertas itu juga. 

"Lo nggak paham, ya, sama visi misi gue? Jelas-jelas di situ ditulis kesetaraan. Gue nggak lihat gender atau jabatan. Gue cuman mau semua dilihat sama."

Arachnia mendecih sekilas. Ia tidak ingin buah pemikirannya itu terbuang sia-sia. "Tapi misi punya lo itu masih belum rinci," ucapnya. 

Megatron akui kalau misi yang ia tulis tidak sebanyak Arachnia. "Hmm … ya, udah. Digabung aja?"

Perempuan itu tersenyum puas. "Itu yang gue pikirin. Kita gabung aja!"

Mereka berdiskusi sejenak untuk meleburkan dua sudut pandang itu menjadi satu. Setelah beberapa pertimbangan, akhirnya visi dari Megatron tetap digunakan tanpa diubah. Lalu mereka menambahkan misi dari Arachnia dan menghapus beberapa misi dari Megatron yang memiliki makna sama itu. 

"Jam istirahat gue udah selesai. Lo lanjutin yang belum kelar," ucap Megatron sambil beranjak dari kursi dan membawa dua gelas yang sudah kosong itu.

Tanpa menunggu respons, Megatron sudah bergegas ke tempat kerjanya. Arachnia mengamati satu kertas terakhir yang harus mereka isi, lalu salah satu ujung bibirnya tertarik ke atas saat membaca kertas dengan judul 'Surat Pernyataan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme'. Hanya berkas itu yang perlu tanda tangan materai. 

"Wah, kira-kira kenapa harus ada berkas ini, ya? Gimana reaksi Megatron kalau dia harus menandatangani ini juga?"

Chapter 22: Kampanye dan Pemilihan Ketos

Summary:

"Kayak majikan sama anjing penjaga."

Komentar polos yang dilayangkan Skywarp pada poster yang menunjukkan gambar Megatron mengundang banyak tawa.

"Anjir! Dikatain anjing penjaga nggak, tuh?!" sambar Starscream, kemudian mengeluarkan tawa yang lebih kencang.

Kalo Starscream wajar lah ya buat ditampol sama Megatron karna dah ngejek. Kalo Skywarp? Apakah Dek Skywarp mendapat bogem mentah juga dari Paduka Megatron?

Kita lihat aja kelanjutannya~~

Chapter Text

Heran sudah pasti, tetapi Megatron tidak mempertanyakan lebih dalam mengenai berkas yang mengharuskannya memberikan tanda tangan di atas materai. Bagi Megatron, mempertanyakan hal itu pada Ultra Magnus cukup membuang-buang waktu. Biasanya berkas-berkas ini sudah digunakan di periode-periode sebelumnya, jadi Megatron tidak ingin memperpanjang masalah itu. Akan tetapi, tentu saja Megatron tidak menyia-nyiakan kesempatan sekecil apa pun itu. 

"Gue bakal pakai berkas KKN itu saat debat calon nanti sekaligus meng- highlight salah satu misi yang gue tambahin tentang KKN di sekolah." Begitu kata Megatron saat ia sedang berkumpul di restoran bersama tim suksesnya setelah pulang sekolah. 

"Bagus, deh. Berarti lo udah nggak ada masalah sama agenda debat nanti, ya?" tanya Soundwave memastikan. 

"Nggak. Agenda terdekat apa, Soundwave?" tanya Megatron. 

Ia membuka catatan di ponselnya. "Besok, hari Selasa. Pengambilan nomor urut. Dari situ udah mulai kampanye, lalu hari Jumat debat kandidat calon. Sabtu dan Minggu masa tenang, tidak boleh kampanye. Pengambilan dan perhitungan suara hari Senin."

"Dih. Lo nyuruh Soundwave kayak bos nyuruh sekretarisnya. Padahal posisi lo nanti masih jadi Wakil OSIS kalo lolos," cibir Starscream pelan dengan pandangan ke jendela di sebelahnya, tapi ucapannya barusan masih bisa didengar mereka berlima. 

"Lo mau gue tendang dari sini?" ancam Megatron. 

Starscream sedikit tersentak sambil melepas pandangan dari jendela. "Eh, so-sori, sori. Tadi keceplosan."

"Makanya, punya mulut dijaga," balas teman sebangkunya itu, masih menatap lurus padanya.

"Mulut lo keceplosan mulu, Bang. Ditambel dong," celetuk Skywarp. 

“Berisik lo!” gerutu Starscream.

"Pamflet sama poster kampanye udah jadi?" Megatron bertanya pada Starscream selaku ketua tim sukses, mengalihkan topik. 

"Udah. Ada di laptop Thundercracker," kata Starscream. 

Tanpa disuruh, Thundercracker mengeluarkan laptopnya dari dalam tas, lalu menghidupkan laptop hitam itu yang sedang dalam mode Sleep . Ia putar gawai itu agar layarnya menghadap ke Megatron di seberangnya. Karena Skywarp dan Starscream juga ingin melihat, laptop itu dipindahkan kembali dengan layar membelakangi jendela. 

"Gue baru buat poster. Ini gue buat sendiri semalaman kemarin. Gimana? Bagus, nggak?" tanya Thundercracker. 

Sebuah desain poster yang menunjukkan gambar full body Arachnia sedang berdiri di ujung tebing lautan. Pose yang ditampilkan Arachnia bisa dibilang seperti seorang karakter utama. Posisi pengambilan gambar berada di serong Arachnia, sehingga Ia tidak terlihat menghadap ke kamera. Ia mengenakan pakaian seorang penjelajah. Lalu, kaki kanannya berada di atas batu, tangan kirinya berada di pinggang, dan ia menunjuk ke arah lautan luas di depannya dengan tangan kanan. Dagunya sedikit terangkat dan senyumannya menunjukkan sebuah keoptimisan, tetapi juga terselip sedikit kemisteriusan pada senyum itu karena dua matanya setengah terbuka dan mengandung makna berbeda dari senyumnya. 

Lalu, Megatron sendiri berada di belakang Arachnia dan menggunakan seragam penjelajah versi laki-laki. Wajah gaharnya tampak jelas. Tidak ada senyuman di wajahnya itu. Dua tangan Megatron berada di belakang tubuh dan dua matanya tepat mengarah ke kamera dengan tatapan tajam. 

"Kayak majikan sama anjing penjaga."

Komentar polos yang dilayangkan Skywarp mengundang tawa dari Soundwave. Ia refleks menutup mulut rapat-rapat dan menunduk. Namun, ia tidak bisa menahan dua pundaknya yang sedikit bergetar karena menahan gelak tawa. 

"Anjir! Dikatain anjing penjaga nggak, tuh?!" sambar Starscream, kemudian mengeluarkan tawa yang lebih kencang.

"Mana mata Megatron hadap ke kamera, lagi. Bukan ke laut kayak Arachnia. Ekspresi lo juga tegang banget. Gue ngelihatnya lo kayak lagi ambil foto KTP. Tegang dan komuknya dapet," tambah Skywarp, yang membuat Starscream semakin tertawa lepas dan Soundwave memendamkan wajahnya di tumpukan tangan atas meja. 

Hanya tiga dari mereka yang tidak tertawa. Thundercracker selaku pembuat, Megatron selaku yang ditertawakan, dan Shockwave selaku makhluk tanpa emosi. 

"Emang jelek, ya?" bingung Thundercracker sambil mengambil kembali laptopnya. 

"Bukan jelek. Tapi Megatronnya yang–"

Megatron langsung menyumpal mulut Starscream dengan roti sobek yang mereka pesan. Tangan lainnya gesit mengambil roti untuk disumpal di mulut Skywarp yang mentertawakan kakaknya itu. 

"Kalo ada yang ketawa lagi, gue lempar kalian keluar lewat jendela ini!" Megatron menunjuk mereka berdua dengan tatapan tajam. 

"Dih! Ya, kali lo lempar gue di depan pelanggan lain!" balas Starscream membantah spontanitas Megatron. “Lah, Soundwave juga ketawa itu! Lo sumpel mulutnya pake roti juga, dong!" protesnya sambil mengunyah roti yang sudah masuk mulutnya itu. 

Soundwave mengangkat kepalanya lagi sambil berdeham sekilas dan membenarkan kacamatanya. "Sori, gue ketiduran. Kalian bahas apa tadi?" 

"Dia tidur, bukan ketawa," ucap Megatron. 

"Jelas-jelas dia ketawa di awal tadi, Ga!" tunjuk Skywarp setelah menghabiskan roti cokelat itu.

"Dia pakai masker juga. Gue harus buka maskernya dulu. Ribet," balas Megatron lagi. 

"Buka tinggal buka, anjir. Alasan aja lo." Starscream memutar mata. 

"Masih ada yang mau dibahas lagi nggak ini? Gue ada les jam enam nanti." Shockwave buka suara sambil melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan angka 5 sore. 

"Posternya ganti!" titah Megatron. "Gue nggak mau ada di belakang Arachnia. Walau dia ketuanya, gue mau ada di sampingnya. Wakil dan ketua harus berdampingan."

Thundercracker langsung mencatat perintah itu di catatan laptop. "Ada lagi?"

"Terus gue nggak mau ada di latar tebing ngehadap lautan. Gue maunya di podium. Depannya itu siswa-siswi yang menyeru 'All Hail Megatron!'" 

"... Lo kesambet apa, sih, Ga?" ujar Starscream mendengar omongan itu. "Gue nggak tahu lo copas omongan siapa, tapi lo nggak bakal dipilih kalo pake poster kayak gitu, tau," timpal Starscream. 

"Gue setuju," kata Shockwave sebelum Megatron buka suara. "Jangan kalimat itu. Nanti lo bakal dikira diktator. Lo juga curi highlight Arachnia sebagai ketua OSIS. Ketidaklogisan itu bisa aja buat lo nggak bakal kepilih," lanjutnya, lalu melihat Starscream. " Copas kalimat lo, lah. Pake nyindir segala."

Starscream memanyunkan bibir dan lagi-lagi memutar mata mendapati omongan Shockwave yang seperti itu.

Megatron mengusap dagu sambil memperhatikan poster itu sekali lagi. "Iya juga, sih. Tapi gue mau konsepnya bukan petualangan. Lebih realistis aja. Jangan fantasi." Ia menyuarakan pikirannya. "Gue kesambet lo, nih, Star. Mending abis ini sampe beberapa hari ke depan lo jangan duduk sebangku sama gue, deh."

"Gue lagi, gue lagi." Starscream pasrah menerima tuduhan mereka berdua.

"Berarti di sekolah aja? Podium sekolah? Berarti kayak lo sama Arachnia ada di auditorium sekolah dan lagi pidato?" tanya Thundercracker mengembalikan arah pembicaraan. 

"Iya, kayak gitu. Terus pakai seragam sekolah aja. Jangan baju lain," tambah Megatron. 

"Oke, oke."

"Thundercracker buat posternya digambar apa edit foto?" tanya Soundwave.

"Edit foto sama digambar dikit-dikit," jawab Thundercracker. "Gue minta foto ke Arachnia. Dia yang kasih masukan konsep petualangan. Jadi dia kirim gue foto pose kayak di poster ini. Terus gue minta Megatron buat foto full body juga, posenya petualangan, tapi Megatron kirim gue foto kayak gini. Jadi, ya … begini hasilnya."

"Itu gue foto waktu di tempat kerja. Nggak mungkin gue pose yang aneh-aneh. Terus gue udah bilangin ke lo juga buat bikin poster simpel aja," kata Megatron. 

"Iya, tapi Arachnia mau yang wow , dan gue kepikiran konsep kayak gini."

"Lo sama Arachnia kek bertentangan banget," komentar Skywarp. 

Gimana kalo mereka bakal kepilih beneran jadi ketos dan waketos? Bakal ada kubu-kubuan di OSIS kalo mereka kepilih, pikir Starscream. 

"Dia jarang kasih tahu gue. Makanya gue suka kesel sendiri sama dia," balas Megatron sambil menatap tajam Skywarp.

"Sekarang bahas poster sama pamflet aja. Gue ada les nanti," kata Shockwave mengingatkan. 

"Ya, udah. Poster udah jelas. Sekarang pamflet. Lo dengerin kata gue aja. Nggak usah terima masukan dari laba-laba itu tentang pamflet." Megatron memberikan perintahnya pada Thundercracker. 

"Oke. Gue kontakan sama lo aja, ya, Ga, kalo gue ada yang bingung dari pamfletnya."

"Iya."

***

Kampanye sudah diperbolehkan ketika nomor urut sudah dibagikan. Sentinel dan Jetfire mendapat nomor urut kedua, sedangkan Megatron dan Arachnia nomor urut pertama. Para timses dari masing-masing kandidat berembuk ketika acara telah selesai. Nomor urut pertama adalah nomor urut yang dinantikan Arachnia dan Megatron karena banyak hal yang bisa dikaitkan dengan angka satu itu. Thundercracker juga memiliki banyak ide kreatif tentang pamflet atau berbagai alat kampanye lainnya yang berhubungan dengan angka satu. 

“Pasti mereka udah sabotase, nih! Aturan kita dapat nomor urut satu!” gerutu Sentinel di depan tim suksesnya yang terdiri dari Optimus, Ratchet, Jazz, Prowl, dan Ironhide yang kini berada di kantin kosong.

“Lo, mah, su’udzon mulu. Sekali-kali husnudzon kek!” timpal Jetfire. 

“Justru gue malah curiga lo yang sabotase kalo beneran dapat nomor urut satu,” tambah Optimus.

Sentinel melotot pada Optimus. “Lo serius bakal tuduh gue begitu? Sedangkan lo masih inget, 'kan, kalo Megatron pernah bohongin lo?”

Pernyataan tidak menyangka dari Sentinel itu cukup membuat Optimus untuk terdiam dan termenung. Ia juga mulai menduga-duga seperti yang dilakukan kakak sepupunya itu. Mungkinkah mereka dapat urutan nomor satu karena memang sudah disabotase?

“Angka dua, tuh, sebenarnya banyak juga simbolnya. Kayak dua berarti peace ,” usul Prowl sambil mengangkat jari telunjuk dan tengahnya. “ Peace , damai. Sentinel dan Jetfire membawa kedamaian untuk sekolah.”

“Atau dua berarti metal,” tambah Jazz sambil mengangkat jari telunjuk dan kelingkingnya. “Sentinel and Jet will make you rock and roll , baby ! Woooww!!!” Jazz menganggukkan kepala dan tangan seperti ia sedang berada di konser band metal.

“Nah, betul, tuh. Angka dua banyak idenya juga. Lo-nya aja yang nggak kreatif,” sambar Ironhide pada Sentinel.

“Tapi lebih banyak angka satu,” balas Sentinel lagi. 

“Angka dua juga banyak,” kata Ratchet yang sedang melihat layar ponselnya. “Aku dan kamu adalah dua, dua adalah kita. Anak dua lebih baik … Jika ada cinta kedua, pilihlah yang kedua … karena tidak mungkin ada cinta … kedua jika setia pada cinta pertama ….” Ratchet memelankan tempo suaranya dan semakin lambat hingga akhir, merasa seperti membaca sesuatu yang salah

“Tuh, ‘kan. Banyak,” kata Optimus. “Mata kita ada dua, tangan kita dua, kaki kita dua–”

“Jangan pakai anggota tubuh gitu,” potong Jetfire. “Kalo didenger Whirl yang punya mata satu sama Shockwave yang punya mata dan tangan satu, mereka bisa tersinggung,” jelasnya.

“Ya, udah. Pakai slogan yang udah ditemuin Ratchet aja.” Optimus menoleh ke layar ponsel Ratchet di sebelahnya. “Lo udah dapet apa aja?”

“Udah lumayan banyak, nih, yang berhubungan sama angka dua. Mau pakai yang mana? Gue kirim tautannya ke grup timses, ya,” jawab Ratchet.

Mereka pun membahas slogan serta kata-kata untuk kampanye yang mendukung Sentinel dan Jetfire. Ketika mereka sedang sibuk dengan alat-alat kampanye, pasangan nomor urut satu sudah membagi-bagi tugas pada timses mereka. Khusus untuk pasangan kandidat ketua dan wakil ketua, mereka fokus pada materi perdebatan yang akan dilaksanakan hari Jumat minggu ini dibantu oleh Duo Wave. Mereka serahkan urusan kampanye itu pada triplet sepenuhnya. 

Megatron yakin kalau semua akan berjalan lancar dan sesuai dengan rencana. Kepercayaan diri Megatron meningkat saat ia dan Arachnia dapat menjawab pertanyaan dari guru-guru pinalis. Ia juga berhasil membungkam Sentinel dan Jetfire dengan memberikan sedikit kritik pada visi serta misi mereka. Sementara itu, mereka berdua tidak bisa membuat Megatron terdiam saat mereka menyerang visi dan misi itu. 

Awalnya Megatron seyakin itu, berpikir kalau ia bisa memenangkan dengan mudah hati para siswa dan siswi di sekolah itu. Menyabet gelar Wakil Ketua OSIS dengan Arachnia di sebelahnya sebagai Ketua OSIS. Megatron mengira semua akan semudah itu.

Pada kenyataannya ….

“Selamat kepada Sentinel Prime dari kelas 11 IPA 2 dan Jetfire dari kelas 11 IPA 1 yang berhasil mengumpulkan 239 suara dengan selisih 5 suara dari pasangan nomor satu!

Chapter 23: Kekesalan Sentinel dan Megatron (2.0)

Summary:

Megatron sama Sentinel lagi sama2 kesel. Terus mereka curhat. Gak curhat juga deng, tapi lebih ke 'melampiaskan h̶a̶w̶a̶ ̶n̶a̶f̶s̶u̶ emosi yang menggebu2'
Gimana cara mereka melampiaskannya?? Cuss lah baca aja udah wkwk

Notes:

Mohon maafff atas keterlambatan update nyaaa. Jadai ini kita update 2 chp sekaligus yaaa. Semoga sukaaa~~

Chapter Text

Kecewa sudah pasti. Marah dan murka apalagi, tetapi Megatron tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan rasa sesak di dada. Padahal, beberapa hari telah berlalu sejak Sentinel dan Jetfire ditetapkan menjadi ketua dan wakil ketua OSIS, yang ia pikir seharusnya ada di genggamannya. Amarah yang menggelora itu membuat kinerjanya selama bekerja di restoran menjadi menurun lantaran ia bekerja serampangan, seperti menanggapi omongan dengan ketus, juga asal meletakkan peralatan makan dengan kasar. Akibatnya, ia mendapat teguran dari pegawai yang lain dan atasannya. 

Sampai saat ini, suasana hatinya pun tak kunjung membaik. Ia justru semakin ingin meluapkan semua emosinya.

Brak!!!

Sebuah kursi kayu kecil melayang ke dinding ruangan bercat putih yang sedikit bernuansa violet itu, dan langsung patah tanpa meninggalkan lubang pada dinding. 

“Berengsek!” 

Megatron tidak peduli jika raungannya itu didengar oleh kelima temannya, termasuk pemilik kamar itu. Ia hanya ingin menumpahkan emosi yang sudah tidak bisa ia bendung lagi, dan kamar Shockwave adalah tempat yang menurutnya tepat karena pemiliknya seakan tidak peduli jika kamarnya berantakan–asal dibereskan lagi oleh pelaku yang membuatnya berantakan.

“Sabar, Ga. Ini rumah orang.” Starscream sudah menegurnya baik-baik, tetapi tetap mendapat tatapan sinis dan tajam dari Megatron yang kini napasnya sedang memburu.

“Lo nggak usah ikut campur!” seru Megatron sambil melempar serpihan kursi kayu itu pada Starscream, yang untungnya dapat dihindari oleh Starscream yang langsung menundukkan kepala.

Di kamar yang luas itu, mereka berlima menjaga jarak dari Megatron yang mondar-mandir di sekitar depan pintu keluar. Sudah beberapa menit berlalu sejak mereka tiba di kamar itu, tetapi Megatron belum menunjukkan tanda-tanda emosinya akan mereda. Soundwave sibuk memainkan ponsel sambil bersandar di sandaran tempat tidur dan menyelonjorkan kaki di sana. Shockwave hanya duduk di kursi belajar sambil membaca buku sains, dan hanya triplet yang heran dengan sikap pemilik rumah yang tampak tak acuh itu. Mereka bertiga duduk berdempet di tepi tempat tidur.

“Kalo ortu lo ngelihat kamar lo, mereka nggak marah? Mereka nggak keganggu kalau Megatron marah-marah di sini?” tanya Thundercracker.

“Lab ortu gue kedap suara dan jauh banget dari kamar gue. Mereka juga nggak pernah masuk kamar gue. Jadi, kalian simpulkan sendiri,” jawab Shockwave tanpa melepas pandangan dari tulisan di buku.

“Kayaknya Megatron pernah dateng ke kamar lo sebelumnya, ya?” tebak Skywarp.

“Iya. Ini kedua kalinya. Megatron pertama datang ke sini buat temenin Soundwave benerin rekaman. Terus Soundwave datang ke sini udah empat kali.”

Starscream mendelik pada Soundwave. “Udah empat kali? Pantes aja lo di sini kayak lagi di kamar sendiri.”

“Emang lo ngapain aja di sini, deh?” tanya Skywarp.

“Mau tahu aja apa mau tahu banget?” balas Soundwave tanpa melepas pandangan dari layar ponsel.

“Oh, kalian pacaran di sini–”

Ucapan Starscream terpotong karena menerima lemparan bantal tepat di wajah dari Soundwave, tetapi Shockwave tidak peduli pada komentar itu.

“Gue ngurusin berkas pendaftaran OSIS bareng dia di sini,” jawab Soundwave sambil mengantungi ponselnya di celana. 

Mendengar kata OSIS, Megatron langsung menatap tajam pada Soundwave. “Kenapa lo bawa-bawa nama OSIS sialan itu?” tunjuk Megatron padanya.

“Lah? Kan lo yang suruh gue sama Shockwave daftar OSIS. Gimana, sih?” Soundwave berdiri dan menghampiri tas selempangnya di meja belajar itu untuk mengambil sebuah map plastik. “Terus kita juga berhasil lewatin tahap administrasi dan wawancara. Abis itu harus ikut Latihan Dasar Kepemimpinan OSIS hari Sabtu dan Minggu ini. Tempatnya bukan di sekolah kita.” Ia mengeluarkan sebuah kertas undangan dan ia tunjukkan pada Megatron.

“Kok lo nggak kasih tahu gue?” heran Megatron.

“Gimana gue mau kasih tahu lo? Tiap lo denger nama OSIS aja langsung meledak-ledak,” timpal Soundwave. “Makanya gue kalo ada apa-apa tentang pendaftaran OSIS, gue sering chat Shockwave atau dateng ke rumahnya.” Suaranya terdengar naik turun saat menjelaskan.

Megatron tidak marah, apalagi membentak balik. Ia hanya mendengus sebal sambil duduk di sofa panjang sebelah pintu keluar itu. Sebuah reaksi yang cukup buat Starscream heran, tetapi ia tidak jadi heran saat teringat siapa yang sudah memarahi Megatron itu.

Takut-takut, lelaki itu masih mencoba untuk menyuarakan hal lain yang ia pikirkan, "Lo kok sampe seemosi itu, sih? Lo kan masih punya kesempatan tahun depan buat nyalon jadi ketua."

Megatron memalingkan pandangan pada Starscream, menunjukkan wajah beringasnya yang belum hilang.

"Optimisme lo …." Ia lantas membalas omongan lelaki itu walau kehilangan kata-kata selanjutnya karena terlalu kalut dilumat emosi sendiri. "Gue udah siapin semuanya baik-baik, dengan cara yang tepat dan efisien–gue yakin hasilnya bakal baik. Kenyataan juga harusnya mendukung gue–perdebatan kemarin, lo lihat, 'kan? Kalian lihat, 'kan?" Megatron menghadap dan menunjuk temannya satu-satu "Harusnya gue menang mutlak, tapi kenapa gue masih kalah suara?!"

"Lo cuma kalah lima suara. Itu artinya lo tetep punya pengaruh gede, Megatron. Itung-itungan statistik lo yang tajem dikit, lah," komentar Shockwave pada lelaki itu.

"Nah, tuh, lo sebut. Cuma kalah lima suara . That's a suspicious number to be counted . Pemilihan kemarin suaranya beneran bersih atau enggak, si–"

"Sekarang, lo yang ngawur." Shockwave masih memandangi lelaki abu-abu itu. "Lo sendiri yang bilang jangan pake prasangka belaka kalo mau nuduh sesuatu, 'kan?"

Rona muka Megatron masih tampak memerah dan ekspresi wajahnya menunjukkan seolah ia sangat ingin membantah … membalas perkataan Shockwave demi membuktikan kebenaran. Namun, ia sadar betul tak ada yang bisa dibuktikan dari tuduhan asalnya itu. Kalau mau berandai-andai, kuasanya pun tak sampai situ untuk tahu apakah proses pemilihan suara dilakukan secara bersih dari awal hingga akhir.

Megatron berpikir, ia masih bisa percaya, 'kan, kalau tidak ada yang macam-macam untuk memanipulasi hasil pemilihan suara pasangan ketos dan waketos tempo hari?

“Ehm … ini nggak ada minum? Mungkin Megatron perlu minum dingin dulu biar lebih tenang?” kata Skywarp sambil menoleh ke Shockwave.

“Kulkasnya di situ. Lo ambil sendiri aja,” kata Shockwave sambil menunjuk lemari pendingin dua pintu yang berada di sebelah lemari pakaian yang besar, sehingga lemari pendingin itu tidak terlalu terlihat dari beberapa titik lihat. Skywarp pun langsung menghampiri lemari pendingin itu.

Megatron menerima sekaleng soda dingin yang diberikan Skywarp. Wajahnya sudah terlihat mengendur. Ia pun membuka topik pembicaraan lain sembari membuka kaleng soda dan duduk di sisi kasur. “Jadi, gimana? Siapa aja yang ikut OSIS?”

“Sejauh yang gue lihat, Optimus, Prowl, Ratchet, Elita dari kelas 10. Lalu Kak Windblade dan Kak Brainstorm yang daftar ulang dari kelas 11. Tapi mereka nggak ikut LDKO lagi,” jawab Soundwave.

“Gue juga lihat ada yang namanya Wheeljack waktu tahap wawancara,” tambah Shockwave.

“Emang wawancara kalian nggak barengan?” tanya Thundercracker.

“Nggak. Gue duluan baru besoknya Soundwave,” jawab Shockwave lagi.

"Ada peserta wawancara yang nggak lolos?" tanya Megatron setelah meneguk minuman dinginnya. 

"Gue nggak tahu. Gue bukan mata-mata super yang bisa taruh rekaman suara di dalam ruang OSIS." Kali ini mata kuning Shockwave melirik ke laki-laki bermasker dan berkacamata yang selonjoran di tempat tidurnya. 

"Enak aja!" sahut Soundwave seakan paham maksud kalimatnya itu. "Gue nggak mau nekat taro rekaman kesayangan gue di sekitar OSIS. Kalo rekaman gue rusak lagi–"

"Tinggal dibenerin sama ortu gue," sambung Shockwave. 

"Gue nggak mau! Walau ortu lo serba bisa, gue udah trauma lihat rekaman gue hancur di depan mata gue!" balas Soundwave tak terima.

"Hmm …." Megatron melipat tangan dengan pandangan lurus ke jendela yang menunjukkan langit senja. "Kalo gitu nggak ada yang tahu siapa yang lulus dan nggak lulus, ya," gumamnya. 

"Kecuali kita punya orang dalam," Thundercracker menoleh ke Megatron. "Lo udah nggak kontakan lagi sama Kak Arachnia?" lanjutnya. 

"Dia udah nggak mau berurusan lagi sama OSIS. Katanya mau fokus belajar aja," jawab Megatron. 

"Kayak lepas tangan gitu, ya?" kata Skywarp. 

"Bukan. Kesempatan dia buat masuk OSIS lagi emang udah nggak ada. Semester depan udah kenaikan kelas. Kelas 12 udah nggak boleh daftar OSIS lagi." Megatron meneguk lagi soda dinginnya. "Asal lo pada tahu, nomor gue langsung diblokir sama dia. Terus dia juga sering ngehindarin gue kalau gue tanya tentang OSIS."

"Wah, bagus, deh. Akhirnya lo udah bebas dari jaring laba-labanya," ucap Soundwave. 

"Tapi gue nggak bisa tahu perkembangan OSIS lagi dari luar OSIS."

Sebuah tanggapan dari Megatron itu membuat Soundwave membelalakkan mata. "Gue nggak salah denger lo ngomong gitu?"

Megatron menutup mulut rapat sambil memalingkan wajah. Ia baru sadar kalau ia memang salah bicara. Walau begitu, tidak ada kata maaf keluar dari mulutnya. 

"Lo lupa gue sama Shockwave ikut OSIS buat apa? Buat siapa?" lanjut Soundwave dengan suara meningkat. 

"Oh? Jadi lo ikut OSIS bukan karena kemauan lo sendiri?" balas Megatron yang kali ini memandangnya balik dengan tatapan tak suka. 

Shockwave dapat melihat kalau mood dari keduanya sedang tidak baik. Megatron ternyata masih terbawa emosi perkara dirinya tidak terpilih menjadi petinggi di OSIS, sedangkan Soundwave, ia masih tidak mengerti mengapa pemuda itu mudah terpancing emosi jika nama Arachnia disebut. 

"Kalian berdua ngajuin pertanyaan bego yang udah kalian ketahui jawabannya masing-masing," potong Shockwave sebelum kondisi semakin memanas. "Nggak ada gunanya kalian berantem kayak gitu. Nanti makin kelihatan idiotnya."

Megatron berdiri dan berjalan mengitari sisi kasur lebar Shockwave.

"Coba lo bilang kata itu sekali lagi?" Ia mengambil kaki kursi kayu yang patah tergeletak di lantai. 

"Idiot."

Megatron langsung melompat melewati tempat tidur besar itu mendekati kursi meja belajar Shockwave, sedangkan Shockwave segera berlari menjauh menuju pintu kamar. 

"SINI LO!!! DASAR CYCLOPS TANGAN BUNTUNG!!!" Megatron yang berang itu langsung keluar kamar dan mengejarnya dengan balok kayu di tangan. 

"Bisa-bisanya Megatron ngejer pemilik rumah di sini," ucap Thundercracker sambil menggeleng tak menyangka. 

"Semoga aja Megatron ketemu ortunya Shockwave, terus kena marah sama mereka!" seru Starscream dengan senyum harap. 

"Kemungkinan itu kayaknya kecil, deh, Bang," balas Skywarp. "Rumahnya kan gede banget. Terus kata Shockwave juga tadi, lab ortunya kedap suara. Jadi kayaknya mereka teriak-teriak pake toa pun nggak bakal kedengeran juga," lanjutnya. 

"Ditambah, mereka juga pasti cuek, sih. Lebih pentingin analisis lab," kata Soundwave. 

"Terus kita diundang Megatron ke sini cuman buat dengerin Megatron marah-marah doang?" tanya Starscream. Tidak ada yang menjawab pertanyaan itu. "Demi apa? Kita ke sini cuman buat itu?" Starscream melotot tak menyangka. 

"Gue nggak tahu, Bang. Lo kan temen sebangkunya dia," kata Thundercracker. 

"Kita tunggu aja sampe Megatron balik lagi ke sini," saran Soundwave. "Biasanya dia suruh kita ngumpul pasti ada hal penting yang harus dibahas."

Namun, pada kenyataannya, Megatron memang mengumpulkan mereka di hari libur kerjanya itu hanya untuk menumpahkan emosi mengenai dirinya yang gagal menjadi wakil ketua OSIS. 

***

"Kok lo lolosin mereka berdua, sih?"

Sentinel tampak kesal setelah membaca laporan di kertas yang Jetfire serahkan padanya. Saat ini, ia sedang berada di ruang OSIS bersama adik sepupunya serta dua teman adik sepupunya itu untuk bersantai sekaligus membiasakan diri di sana. 

"Mau gimana lagi? Mereka emang berkompeten buat masuk OSIS," jawab Jetfire sambil mengedikkan bahu. 

"Emang itu apaan?" tanya Optimus penasaran.

"Daftar nama calon OSIS yang lolos wawancara," jawab Sentinel. 

"Gue lolos, nggak?" sambar Prowl. 

"Lo dapet surat undangan buat ikut LDKO?" tanya Jetfire balik. 

"Dapet."

"Ya, berarti lo lolos."

"Terus Shockwave sama Soundwave juga lolos?" sambar Sentinel. 

"Iya, lah. Kan gue bilang, mereka itu punya potensi. Sayang kalau mereka nggak gabung di OSIS." 

"Loh? Mereka juga ikut OSIS?" kaget Ratchet. 

"Jadwal wawancara dia sama kayak lo. Lo nggak lihat?" heran Prowl. 

"Kagak," balas Ratchet. “Oh, akhirnya lo notice juga, ya, sama sosok mereka berdua.”

"Tapi emang hawa keberadaannya agak tipis sih. Gue baru sadar dia ikut OSIS pas keluar ruang OSIS. Nggak sadar dia juga tunggu di depan ruang OSIS," tambah Prowl.

Sentinel menunjuk ke adik-adik kelasnya itu dengan dua tangan terbuka. "Lihat, Jet? Justru OSIS perlu anggota yang hawa keberadaannya terasa. Bukan kayak hantu yang tiba-tiba muncul," ucapnya. "Emang mereka berdua potensinya apa?"

"Parah lo, Nel,” ujar Jetfire padanya. “Masa lo nggak tahu Shockwave juara olimpiade sains waktu SMP? Kabar soal orang pinter itu pasti menyebar ke satu sekolah. Harusnya meresap masuk ke telinga lo juga, dong,” katanya. “Nilai wawancara dia 95 karena dia ngasih solusi yang sangat bagus dari beberapa masalah yang ditanyakan."

Jetfire menghela napas sejenak. "Terus Soundwave sangat mudah mengingat percakapan orang. Rekaman suara warisan orang tuanya--yang untungnya sekarang udah bener--juga sangat berguna tiap kita rapat karena penyimpanan rekaman suara itu sangat besar. Nilai wawancaranya 90. Analisisnya untuk menyelesaikan masalah, hampir sebagus Shockwave, tapi solusi yang diberikan masih belum buat kita puas. Walau begitu, nilai mereka berdua bisa dibilang merupakan nilai tertinggi dari semua calon anggota yang mendaftar. Dan gue akui, mereka hebat karena dapat nilai murni tertinggi tanpa bantuan dari orang dalam."

Kali ini Optimus memandang Sentinel datar, bahkan terselip ketidaksukaan. Dari ekspresinya saja, Sentinel dapat mendengar pikiran Optimus yang berkata, Pokoknya ini salah lo karena bocorin pertanyaan wawancara ke gue. Awas aja kalo lo buat gue malu selama di OSIS.  

"Itu, sih, bagus banget. Sayang kalo mereka nggak ikut OSIS," komentar Ratchet. 

“Tuh. Sayang, 'kan? Kalo lo sengaja nggak lolosin mereka, lo kayak buang berlian 24 karat ke tempat sampah,” tambah Jetfire. 

Sentinel mendecih sekilas. “Lo nggak usah lebay, Jet. Mereka pasti ada kurangnya juga.”

“Sama kayak lo. Malah lo banyak kurangnya,” balas Jetfire lagi.

“Lo ada masalah apa, sih?” 

Optimus langsung berdiri di antara mereka. “Kalian udah jadi pasangan ketua sama wakil ketua OSIS. Jangan berantem gitu!” tegurnya. 

“Baru aja jadian, udah mau pisah aja,” celetuk Prowl, yang langsung mendapat tatapan sinis dari Sentinel dan Jetfire. 

“Lo jangan memperkeruh suasana.” Ratchet menyikunya.

“Iya, maap.”

Jetfire menunjuk Sentinel melewati pundak Optimus. “Nel. Gue paling nggak suka sikap lo yang pilih kasih sama subjektif gini. Kalo lo nggak kasih kesempatan mereka buat ikut LDKO, gue bakal lakuin hal yang sama ke adek sepupu lo ini.”

“Optimus dapat nilai wawancara 88 atas kemampuan dia sendiri,” timpal Sentinel.

“Tapi setelah lo kasih sedikit bocoran ke dia. Gue tahu dari Optimus sendiri yang langsung ngomong ke gue.” Balasan Jetfire itu membuat Sentinel melotot tak percaya pada Optimus.

“Kenapa lo kasih tahu dia, sih?!”

“Karena gue mau usaha sendiri, Nel. Gue capek disuapin sama lo terus.” Optimus menatapnya tak suka. 

“Akhirnya gue buat pertanyaan wawancara baru dan secara khusus wawancarain Optimus,” sambung Jetfire. “Untungnya dia bisa jawab semua dan dapet nilai bagus.”

Sentinel memijat keningnya yang berkerut. “Astaga, Mus. Udah dikasih jalan tol, malah cari jalan macet,” gumamnya.

Jetfire menarik lengan Optimus untuk menjauhkannya dari Sentinel. “Optimus malaikat. Lo iblis, Nel. Makanya lo jangan macem-macem sama malaikat.”

“Ya, udah.” Sentinel mendesah sekilas. “Lo mau Soundwave sama Shockwave lanjut, 'kan? Ya, udah, lolosin aja. Kasih surat undangannya ke mereka. Puas?”

“Kenapa harus puas? Emang harusnya begitu. Lagian Astrotrain juga udah kasih suratnya ke mereka berdua.”

“Terus kenapa lo ancem Optimus buat nggak lolos wawancara?!” Sentinel kembali meningkatkan suara.

“Ya, karena lo heran sama gue yang lolosin mereka!”

Perselisihan itu kembali berlanjut dan tiga adik kelas mereka di sana hanya bisa menonton tanpa ada niatan menyela. Kalau sudah baku hantam, salah satu dari mereka pasti akan melapor pada Ultra Magnus yang sudah pensiun itu untuk menegur mereka. 

Tinggal tiga hari lagi LDKO akan dilaksanakan. Dengan tempat acara tidak di sekolah, melainkan di daerah terbuka, mengharuskan panitia dan pesertanya memastikan apa yang harus disiapkan dan dibawa sudah ada.

Chapter 24: LDKO, Dimulai!

Summary:

LDKO, Latihan Dasar Kepemimpinan Organisasi. Agenda yg diwajibkan untuk anggota OSIS yang baru masuk. Soundwave dan Shockwave sudah pasti ikut karna juga termasuk anggota baru. Optimus, Ratchet, Prowl mencoba akrab dengan mereka berdua, apakah mereka bertiga bisa akrab dan mengetahui motivasi sebenarnya dari mereka mengikuti OSIS? Atau justru mereka bertiga merundungi mereka berdua? Mengingat Soundwave hampir membuat nama OSIS tercoreng gara2 rekamannya, apakah ia akan menjadi bulan2an panitia LDKO?

Yuklah langsung baca ajaaa~

Chapter Text

Dari dalam bus yang sudah disiapkan untuk para peserta LDKO, Optimus melihat dua peserta lain yang masih berada di luar melalui jendela. Dari sekitar sepuluh peserta yang masih ada di luar bus, Optimus hanya memperhatikan mereka berdua yang sedang mengobrol dengan kembar tiga yang tidak ikut ke acara itu. Optimus tidak tahu apakah tiga bersaudara itu datang ke sekolah di hari Sabtu untuk ekskul atau untuk menyampaikan perpisahan sejenak sebagai teman dekat--mengingat ia sudah beberapa kali melihat mereka bertiga bersama Shockwave dan Soundwave saat istirahat. 

Mata biru Optimus memicing ketika mendapati Starscream menyelipkan sesuatu di dalam kantung jaket Soundwave, juga membisikkan sesuatu di telinganya. Optimus tidak dapat melihat yang diberikan apalagi mendengar yang dibisikkan Starscream itu. Namun, yang pasti, ia melihat Soundwave mengangguk sekilas dan disusul dengan Starscream yang tersenyum sinis. 

Optimus langsung memalingkan wajah menjauhi jendela ketika Starscream melirik ke jendelanya. Optimus terus menoleh ke kursi kosong di sebelahnya untuk beberapa saat. Saat ia hendak menoleh ke jendela lagi, ia melihat Soundwave baru saja menaiki bus itu, dan disusul Shockwave di belakangnya. Ternyata pertemuan singkat mereka sudah selesai. 

Masih ada beberapa kursi kosong di depan Optimus, tetapi Soundwave terus melangkah melewati kursi-kursi kosong itu. Saat melewati kursi Optimus yang berada di tengah-tengah bus, Soundwave memandangnya sejenak sambil terus melangkah. Lalu ia mengambil tempat duduk tepat di belakang Optimus. 

Mereka berdua ngapain duduk di belakang gue? heran Optimus, yang mengira Shockwave juga duduk di belakangnya. 

Akan tetapi, ternyata pemuda bermata satu itu duduk di kursi kosong samping Optimus. 

Optimus terbelalak. Tidak menyangka kalau Shockwave akan duduk di sebelahnya tanpa bilang-bilang. Sebelum ia sempat bicara untuk bertanya, ia melihat Ratchet baru tiba di bus itu dengan napas memburu. 

"Astaga, Mus. Gue kira gue telat, tau." Ratchet melangkah menuju tempat Optimus saat ia dapat melihat kepalanya mencuat dari beberapa kursi bus. "Untungnya gue nggak telat. Masih banyak peserta lain di luar–" Ia menjeda ucapannya saat melihat kursi di sebelah Optimus sudah terisi. "Oh? Lo duduk sama Shockwave sekarang?" 

Optimus menggeleng cepat. "Dia tiba-tiba duduk di sebelah gue." Suaranya terdengar menuduh. 

"Siapa cepat dia dapat," kata Shockwave. 

Ratchet melihat Soundwave di belakang Optimus sedang memandang jendela sambil mendengarkan musik melalui earphone . "Lo nggak duduk sama Soundwave? Biasanya kemana-mana kalian berdua terus," kata Ratchet.

“Kapan?” kata Shockwave. “Gue kalo kemana-mana selalu sendiri.” Kemudian, ia melanjutkan, "Gue nggak boleh duduk di sini?" 

"Bukannya nggak boleh. Gue kira lo bakal duduk sama Sound–"

"Oh, nggak boleh. Ya, udah, gue ke belakang aja." Shockwave tiba-tiba berdiri sambil membawa tas tenteng besarnya. "Gue kira para calon anggota OSIS di sini bakal bisa berbaur. Ternyata main kubu-kubuan."

Setelah memberikan pernyataan yang cukup menusuk Ratchet, Shockwave menghampiri tempat duduk paling belakang. Melihat pemuda berbadan bidang itu tidak duduk di sebelah Soundwave yang tepat berada di belakangnya, Ratchet merasa tidak enak ketika ia duduk di sebelah Optimus. 

"Udah, biarin aja. Mungkin mereka berdua emang lagi marahan. Nggak usah diladenin," bisik Optimus, seakan bisa membaca ekspresi Ratchet. 

"Iya … tapi tetep aja gue nggak enak," balas Ratchet. 

"Nanti gue suruh Prowl di sebelah Soundwave aja." Optimus semakin mendekatkan diri ke samping wajah Ratchet. "Soalnya gue ngelihat Soundwave dikasih sesuatu sama Starscream. Gue nggak tahu apa. Makanya kita coba deketin Soundwave biar dia ngaku bawa apa aja. Takutnya dia buat masalah lagi kayak waktu LDKS," bisiknya sepelan mungkin. 

"Oh … oke. Gue ikut aja."

Selagi masih belum tiba di sekolah, Optimus segera mengirim pesan ke Prowl untuk memberitahu alasan kenapa ia harus duduk di sebelah Soundwave. 

Kakak-kakak panitia sudah mulai mengingatkan peserta untuk segera masuk ke dalam bus. Satu per satu dari mereka mengisi tempat duduk yang ada. Mereka hanya melirik ke tempat duduk Soundwave tanpa ada niatan untuk duduk di sana, hingga akhirnya ada seseorang yang menepuk pundak Soundwave, yang mengharuskannya menoleh sambil melepas sebelah earphone itu. 

"Gue boleh duduk di sini?"

Soundwave memandang pemuda berpenutup kepala putih dengan ornamen merah sedikit menukik dan sebagiannya meruncing ke atas di atas jidatnya itu sebentar. "Boleh."

" Thanks ." Ia tersenyum sambil duduk di sebelahnya. "Boleh kenalan? Gue Prowl," ujarnya sambil menjulurkan tangan. 

"Soundwave." Ia menjabat tangan itu dan melepasnya cepat. 

Optimus berdiri dengan dua lutut di atas kursinya dan menghadap ke belakang. Ratchet juga mengikutinya. 

"Wah, di belakang lagi ada yang kenalan, nih," kata Optimus. "Halo, Soundwave. Gue Optimus. Gue udah banyak dengar tentang lo dari kakak sepupu gue, tapi gue pengen kenal lo dari pandangan gue sendiri, bukan dari Sentinel." Ia menyunggingkan senyum. 

"Gue dibilang yang jelek-jelek, ya?" tanya Soundwave berterus terang. 

Optimus tertawa canggung sejenak. "Y-Yaa … begitulah. Tapi tenang aja, pandangan gue nggak bakal sama persis kayak dia."

"Betul. Gue udah lumayan sering sama Optimus. Jadi udah tahu sifatnya Optimus sama Kak Sentinel emang bertentangan," sambar Ratchet. "Oh, ya. Gue Ratchet BTW. Salken." 

"Tumben banget kalian rekrut orang buat kubu kalian. Kenapa? Kurang orang? Apa mulai overthinking sama ucapan Shockwave tadi?" balas Soundwave. Meski wajahnya ditutup kacamata dan masker, dari suaranya saja mereka dapat membayangkan ia sedang menunjukkan senyum sinis.

“Kubu?” tanya Optimus seakan tak paham.

“Kalian bertiga kan selalu satu meja kalo di kantin. Gue merhatiin dari meja gue.”

“Apa bedanya sama sirkel kelompok LDKS lo?” ucap Ratchet padanya. “Semenjak LDKS selesai, gue lihat meja lo juga selalu diisi lima orang yang sama–kadang enam.”

“Gue sama mereka seangkatan, and it's a good point you pointed out ‘sirkel LDKS’ there . LDKS mempertemukan gue dengan temen-temen yang solid,” ujarnya menerangkan. “Tapi mereka yang dari awal nongkrongnya sama kakak kelas yang sama terus, apalagi sekarang berada di dalam organisasi yang sama, bikin tanda tanya, sih.”

Ratchet menatapnya tak suka. Sebelum ia sempat buka suara, Optimus sudah berkata dengan suara kalemnya. " I see , tapi bukan itu maksud gue. Gue cuman kasihan sama lo aja kalo sendirian begitu."

"Gue bukan anak kucing tanpa induk yang harus dikasihani," timpal Soundwave. 

"Tapi kenyataannya lo emang kayak gitu," sambar Prowl. "Gue beberapa kali ngelihat lo sama Megatron atau nggak Starscream sama Shockwave. Gue nggak pernah ngelihat lo sendirian kecuali sekarang. Optimus juga sadar itu. Makanya dia berbaik hati ngajak lo ngobrol biar nggak sendirian banget waktu lo marahan sama Shockwave," jelasnya. 

"Gue nggak duduk sama Shockwave bukan berarti gue marahan sama dia. Terus gue juga nggak minta kebaikan hati kalian karena kalian mengira gue kesepian, padahal gue–"

"Lo mau rekaman kesayangan lo dihancurin lagi?" potong Ratchet tiba-tiba dengan suara mulai terdengar emosi. 

Optimus mendapati sekilas Soundwave yang tertegun mendengar ancaman itu. Meski ingin membalas omongan Ratchet, tetapi trauma Soundwave mengalahkan keinginan itu, membuatnya hanya terdiam dan menatap nyalang pada lelaki berpenutup kepala putih yang bentuk ornamen tanduk abu-abunya serupa dengan Prowl.

"Ratchet." Optimus meletakkan satu tangannya di pundak Ratchet. "Gue mau ngomong sebentar."

Mereka pun langsung duduk kembali di kursi dan menghadap depan. 

Soundwave mengenakan kembali earphone -nya. Kali ini, ia meningkatkan volumenya hingga ia tidak mendengar suara di sekitarnya. Ia sudah sangat segan melanjutkan obrolan bersama mereka bertiga setelah mendengar ancaman dari Ratchet.

Meskipun Ratchet berusaha minta maaf karena sudah membuatnya tidak nyaman akibat perkataannya barusan, Soundwave tetap tidak ingin bicara dengan mereka lagi selama di perjalanan dalam bus itu dan menyibukkan diri dengan ponselnya. 

Berbeda dengan Soundwave yang menjadi perhatian Optimus untuk mengajaknya berteman, Shockwave yang duduk paling belakang menikmati waktu sendirinya sambil mengotak-atik sebuah program di ponsel canggihnya. Setelah ia berhasil menyelesaikan deretan algoritma yang ia kerjakan, layar ponselnya menunjukkan sebuah tampilan kamera yang mengarah ke ponsel itu. Mata tunggal Shockwave mengarah ke jendela, lalu antena kanannya terhentak ke depan. 

Ponsel itu menangkap sebuah foto pemandangan di luar. Ketika antena kanannya bergerak ke belakang, ia mengambil video. Ia bisa menghentikan video itu setelah mengembalikan posisi antenanya. Dalam keadaan ponsel dikunci, video dan foto masih tersimpan otomatis ke dalam ponselnya. Ponsel dalam keadaan terkunci, layarnya akan menyala setiap ia mengambil foto atau video. Notifikasi akan muncul di layar kunci yang memberitahu bahwa ada file yang baru diterima ponsel tersebut. Shockwave bisa menonaktifkan notifikasi itu dengan mudah, tetapi semua akan sia-sia jika ponsel itu dalam keadaan mati total.

Bodohnya gue. Bisa-bisanya gue lupa bawa power bank. 

Optik tunggal Shockwave mengarah ke Soundwave yang cuek, meskipun masih diajak berbincang oleh Optimus dan Ratchet. 

Kayaknya dia bawa power bank. Nanti gue pinjam aja selama LDKO ini , batin laki-laki itu.

***

Sebuah Sekolah Dasar yang tampak terbengkalai. Mereka diturunkan di lapangan sebelum bus meninggalkan sekolah berlantai satu itu. Di sana ternyata sudah ada beberapa kakak panitia yang menyambut 22 calon anggota OSIS baru kelas 10 yang baru saja tiba. Mereka berbaris berjajar, dan di tengah mereka ada Sentinel dan Jetfire. 

Blurr yang berada di satu bus dengan mereka dan bertanggung jawab atas keselamatan mereka selama di bus, langsung mengambil komando untuk membuat mereka berbaris. Setelah rapi, barulah Sentinel memberikan kata-kata pembuka dan memberitahu mereka bahwa pelaksanaan LDKO akan berlangsung di sekolah terbengkalai itu--sama seperti tahun-tahun sebelumnya. 

Setelah itu, Jetfire memberitahu mereka tempat-tempat yang akan mereka kunjungi selama LDKO. Ada dua kelas yang digunakan untuk tempat mereka beristirahat. Siswa dan siswi harus terpisah, dan mereka harus menerima bagaimanapun kondisi kelas mereka itu. Ada ruang aula di samping ruang panitia. Ruang aula itu tempat mereka akan menerima materi yang diisi oleh para alumni OSIS yang sudah lulus SMA atau mantan ketua OSIS sebelumnya. Tidak ada kelompok dan kakak pembimbing selama LDKO itu. Mereka mengikuti rangkaian acara secara individu. Barang-barang yang harus dibawa juga bersifat individu. Siapa pun yang tidak membawa atau melanggar peraturan, akan mendapat hukuman secara individu. 

Kali ini, giliran Blurr selaku ketua divisi keamanan dan keselamatan yang membacakan peraturan LDKO yang dimulai dari Sabtu sore hingga Minggu siang.

"Saya tidak suka mengulang bacaan dan membaca lambat, jadi dengarkan baik-baik. Cuman kali ini saya membaca lambat peraturan peserta buat kalian."

Shockwave mendengar dengan seksama peraturan yang dibacakan itu. 

"Pertama, para peserta harus melakukan kewajiban dan dapat menerima hak. Kedua, jika para peserta tidak melaksanakan kewajiban, para peserta tidak punya hak untuk membela diri dan kakak panitia berhak memberikan hukuman atas keteledoran para peserta. Ketiga, para peserta dilarang keras berbincang atau membuat keributan selama pemberian materi berlangsung. Keempat, para peserta wajib membawa obat atau kebutuhan lain yang menyangkut kesehatan individu. Kelima, para peserta dilarang keras membawa senjata tajam, senjata api, barang berbahaya, gawai, perekam suara, dan alat canggih lainnya untuk merekam seluruh rangkaian acara."

Blurr melipat kertas itu. "Sampai sini ada yang ingin ditanyakan tentang peraturan?" 

Shockwave mengangkat tangan kanannya. "Apa hak dan kewajiban para peserta di peraturan pertama?"

"Kewajiban, mengikuti semua rangkaian acara, perintah dari kakak panitia, dan bicara sopan pada kakak panitia. Hak, mendapat ilmu tentang OSIS, bebas berpendapat, dan membela diri jika tidak bersalah. Kalian juga bisa mengkritik perlakuan kakak panitia, tapi kalian harus tahu adab saat mengkritik," jawab Blurr. "Sudah jelas?"

"Jelas, Kak." Shockwave mengangguk. 

"Ada pertanyaan lagi?"

Kali ini tidak ada yang angkat tangan. Setelah itu, Blurr memerintahkan mereka untuk mengumpulkan gawai mereka di atas meja yang diletakkan di koridor dekat tempat mereka tidur dan meletakkan tas. Sebelum mereka masuk kelas, barang bawaan mereka juga diperiksa oleh kakak panitia. Ada kakak panitia khusus yang memeriksa tubuh mereka juga untuk memastikan mereka tidak membawa apa pun di tubuh mereka. 

Windblade memeriksa peserta perempuan, sedangkan Blitzwing memeriksa peserta laki-laki. 

"Ini alat perekam lagi?" kata Blitzwing saat menemukan sebuah kotak berbentuk seperti perekam berwarna hitam di saku jaket Soundwave. 

"Kotak obat aspirin."

Blitzwing membuka kotak tersebut, lalu mengeluarkan semua isinya ke dalam kantong plastik bening dengan zip. Ia berikan kantong plastik berisi tablet putih itu pada Soundwave. "Bawa kotak obat yang bentuknya biasa aja. Kita akan menyita ini," ucapnya sambil mengantongi kotak tersebut. "Saya nggak bakal biarin kamu merekam semua aktivitas di sini," lanjutnya pelan dengan tatapan sinis. 

Soundwave membiarkan kotak itu dipindahtangankan ke Blitzwing, tanpa menanggapi kalimat terakhirnya itu. Ia memasuki ruang kelas setelah tasnya juga diperiksa oleh Drift dan tidak melihat barang terlarang di dalamnya. 

Kemudian, Blitzwing memeriksa Shockwave dari ujung antena sampai ujung kaki. Tidak ada sesuatu yang mencurigakan darinya, sehingga ia bisa masuk begitu saja setelah ponselnya diserahkan dan tasnya diperiksa. Ia menjadi peserta terakhir yang memasuki kelas. 

Shockwave cukup tertegun saat melihat keadaan kelas tidak terlalu luas. Tumpukan meja rapuh tersusun di tengah-tengah ruangan. Lampu tidak menyala, tetapi cahaya mentari senja masuk dengan leluasa melalui satu lubang besar di sudut kelas. Cat dinding sudah banyak yang mengelupas dan ada juga sisi dinding yang menunjukkan deretan batu bata merahnya yang lapuk. Jika sudah malam, pasti ia merasa sedang berada di acara uji nyali. 

Lantainya memang bersih dan mereka mewajibkan membuka sepatu mereka, tapi lantai itu pasti akan jadi basah saat hujan turun. Sialnya, Shockwave tidak menemukan tempat selain di bawah atap berlubang itu. Sisi-sisi kelas sudah terisi dengan dua belas peserta lainnya, kecuali Soundwave yang sudah duduk tepat di bawah atap berlubang itu. Dapat dilihat pula kalau tempat yang cukup untuk dirinya berada di sebelah Soundwave juga. 

"Menjijikkan." Begitu komentar Shockwave saat ia mendudukkan diri di sebelah Soundwave.

"Udah terima aja. Mereka nggak bakal peduli sama komentar lo," balas Soundwave. "Jadi, gimana? Lo ada yang disita?" 

"Nggak." Tanpa bertanya balik, ia sudah melihat kalau Soundwave hanya disita kotak obatnya. Ia melihat sekitar. Tampaknya pada sibuk dengan urusan masing-masing. Ini kesempatan buat bertanya apa yang Starscream berikan pada Soundwave di sekolah tadi. "Starscream kasih apa ke lo?" tanyanya pelan. 

"Cuman kotak obat tadi yang disita."

"Dia kasih kotak obat sama aspirin?" 

"Iya."

Sebelum Shockwave bertanya lagi, ia melihat ada tiga siswa yang menghampiri mereka. Antena kanannya langsung bergerak ke belakang ketika mereka tiba.

"Halo. Kita boleh gabung?" kata Optimus. 

"Nggak. Nanti Sentinel tuduh kita yang nggak-nggak kalau lo duduk di bawah atap bolong," tolak Soundwave yang terdengar cukup logis bagi Shockwave. 

"Astaga, Kak Sentinel lagi. Kan gue bilang Optimus nggak ada hubungannya sama Sentinel di sini," erang Ratchet. 

"Lo nggak bilang gitu," bantah Soundwave. 

"Bilang waktu di bus. Lo-nya aja yang pake earphone terus," jawab Prowl. 

"Kalian di sini cuman mau bully ?" Shockwave buka suara. Lalu antena kanannya kembali pada posisi semula.

"Nggak, kok. Kita cuman mau gabung. Jangan bawa-bawa Kak Sentinel lagi. Gue nggak bakal terima pembelaan dia yang nggak-nggak." Optimus duduk di hadapan mereka. "Kalian berdua jangan buat masalah sama mereka," tegurnya pada Ratchet dan Prowl, yang langsung dipatuhi oleh mereka. “Jadi, gimana? Boleh, 'kan?”

Dari balik kacamatanya, Soundwave memicing pada permintaan Optimus itu. Ia merasa ada sesuatu yang aneh. Seperti tumben sekali adik sepupu ketua OSIS bergabung dengan mereka. Sebelum Soundwave menolak lagi, Shockwave sudah buka suara.

“Silakan. Tapi jangan harap gue bakal bisa langsung akrab sama kalian.”

Optimus tertawa pelan. “Gue nggak mengharapkan apa pun,” ujarnya. “Oh, ya. Ngomong-ngomong, kabar Megatron gimana?”

“Lah? Jadi lo ke sini buat tanyain kabar Megatron? Gue kira mau hancurin stigma kubu-kubu yang Shockwave bilang itu?” kaget Ratchet. 

“Dua-duanya, Ratchet. Ini gue lagi coba berbasa-basi dulu,” balas Optimus pelan padanya. 

“Basa-basi, mah, tanya kabar lawan bicaranya, bukan tanya kabar orang lain,” sambar Prowl. 

“Berarti gue emang nggak bisa basa-basi.” Optimus akhirnya mengakui.

“Kenapa nggak tanya langsung aja ke Megatronnya?” jawab Shockwave pada pertanyaan yang diajukan. 

“Gue hampir nggak pernah jumpa dia lagi. Sekalinya jumpa, tiba-tiba dia langsung melengos pergi ke arah lain gitu aja.” Tatapan Optimus tampak miris. “Gue sebenernya kagum sama dia karena berani ngajuin diri jadi wakil ketua padahal baru kelas 10. Terus waktu debat, dia juga bisa banget ngelawan argumen Kak Sentinel dan Kak Jetfire. Tapi sayang aja dia nggak kepilih pas hari pemilihan. Makanya gue mau tanya kabarnya setelah itu,” jelasnya.

“Emang, sih. Gue akuin Megatron emang udah kayak berpengalaman banget walau belum pernah ikut OSIS,” tambah Prowl. “Tapi gara-gara kebanyakan kakak kelas 11 dan 12 lebih kenal Kak Jetfire itu sosok yang baik dan telaten, akhirnya Megatron kalah.”

“Oh? Jadi nomor dua menang karena ada Kak Jetfire?” Soundwave ikut dalam obrolan.

“Iya,” jawab Optimus. “Dia juga juara umum di sekolah angkatannya Kak Sentinel. Guru-guru juga senang sama dia. Jadi, ya … dari bagian guru, kemungkinan juga banyak yang pilih dia dan menyayangkan kalau dia dipasangkan dengan Kak Sentinel.”

“Kalo menyayangkan, kenapa harus dia yang jadi ketuanya? Kenapa nggak dari kakak kelas lain?” heran Soundwave.

“Karena nggak ada yang mau daftar lagi selain Megatron sama Kak Arachnia. Lagian, nggak semua guru yang menyayangkan. Gue tahu itu setelah dengar cerita sekilas dari guru Fisika gue yang cerita–”

“Kabar Megatron udah membaik. Dia nggak seemosi setelah hari pemilihan,” sela Shockwave yang mendapat tatapan tak percaya dari Soundwave.

“Emosi?” tanya Optimus. Ratchet dan Prowl pun menunjukkan pancaran wajah yang sama dengan Optimus, ingin tahu lebih maksud ucapan Shockwave.

“Iya,” kata Shockwave singkat. “Dia ngamuk di rumah gue.”

Soundwave semakin memelototkan matanya pada Shockwave, sementara Optimus menunjukkan wajah prihatin. “Ya, pasti kesel, sih, ya, kalo nggak kepilih gitu ….” Ia mencoba memberi pengertian, walau penasaran bagaimana ceritanya lelaki itu mengamuk di rumah orang.

“Kalo kalian mau ajak ngobrol lebih lama lagi, mending di kafe. Di sini nggak mungkin ada banyak waktu buat ngobrol,” lanjutnya tanpa melepas pandangan dari jendela kelas. Mereka berempat langsung melihat siapa yang sedang dilihat Shockwave itu.

“Oh, iya. Ya, udah, nanti kita lanjut lagi,” kata Optimus saat melihat Astrotrain sedang berjalan menuju pintu masuk ruang kelas. Mereka pun langsung kembali ke tempat mereka yang tak jauh dari atap lubang itu.

“Kok lo ngomong, sih?” ujar Soundwave pada temannya itu.

“Kenapa? Yang ngamuk kan Megatron. Lo yang malu?” ucap Shockwave membalas omongannya.

Soundwave menoleh ke arah lain. “Kalo aja Megatron ada di sini, pasti lo udah diapa-apain sama dia.”

“Kenyataannya, orangnya nggak ada di sini.”

Tidak lama setelahnya, Astrotrain tiba di pintu masuk dan memerintahkan mereka untuk keluar kelas sambil membawa biskuit dan keripik yang sudah disuruh untuk dibawa.

“Nggak boleh ada yang pakai jaket. Name tag harus dipake. Pukul lima pas, kalian sudah harus berbaris di lapangan. Telat satu menit lebih, kalian dapat hukuman.” Setelah mengatakan itu, Astrotrain menutup pintu kelas.

Mereka memiliki waktu lima menit lagi sebelum pukul lima. Peserta yang mengenakan jaket, langsung melepas jaket dan merapikan dasi abu-abu dan kemeja putih mereka. Name tag berupa kertas karton hijau berbentuk lingkaran yang memuat nama, tempat tanggal lahir, kelas, moto hidup, dan pas foto mereka, lalu dilaminating dan dipasangkan tali rafia hitam yang sudah dikepang. 

“Gue kira lo nggak bakal bawa rekaman warisan ortu lo,” ucap Shockwave pelan ketika ia mendapati Soundwave sedang mengeluarkan sebuah perekam suara berwarna biru dari kantung jaketnya.

“Gue sebenernya emang nggak mau bawa. Tapi … Megatron suruh gue bawa buat dapetin bukti lagi ….” Suaranya terdengar lirih di akhir dan dua tangannya yang menangkup perekam itu terlihat mengerat. 

“Megatron yang suruh apa lo yang emang nggak bisa lepas dari barang lo itu?” 

“Megatron suruh.”

“Tapi lo nggak tolak suruhannya? Kenapa?” Pertanyaan Shockwave tidak dijawab olehnya, sedangkan waktu yang ada sangatlah sedikit. “Ya, udah. Sekarang lo mau bawa rekaman itu apa tinggal di tas lo aja?” 

“Di jaket gue ada kantung rahasianya. Tapi di seragam gue nggak. Gue nggak tahu tempat terpercaya buat taruh ini di mana,” kata Soundwave sambil menggali isi tasnya.

Shockwave melihat ke sekitarnya lagi di belakangnya. Ternyata sudah tinggal mereka berdua di kelas itu. Meskipun jam masih menunjukkan dua menit lagi, bisa jadi mereka dianggap telat karena baru keluar kelas paling terakhir. 

Tiba-tiba tangan Shockwave merebut rekaman itu dan ia langsung berjalan cepat keluar kelas sambil masukkan dalam kantung celana. Soundwave tidak bisa langsung mengejarnya sambil memintanya berhenti. Jika ada kakak panitia yang melihat dan mendengar apa yang ia minta dari Shockwave, sudah pasti ia ketahuan membawa perekam suara lagi. 

Soundwave tidak tahu motif dari tindakan Shockwave itu, tetapi ia bersumpah akan mencolok optik tunggalnya dengan paku kalau perekam suara berharganya itu kenapa-kenapa.

Chapter 25: LDKO 2

Summary:

LDKO hari kedua dimulai!!!
Padahal rekaman Soundwave pernah dirusak sama Sentinel, tapi dia tetap nekat ikut LDKO sampai hari kedua. Kira2 gimana tuh nasibnya di LDKO itu setelah kakak2 OSIS kena marah sama Pak Megatronus gara2 dia? Apakah dia akan selamat tanpa cacat di akhir acara nanti? Yuk lah langsung dibaca aja~

Chapter Text

“Baru kegiatan pertama sudah telat? Bagus sekali.”

Soundwave yang baru tiba di lapangan itu mendapat sindiran halus dari Sentinel. 

“Maaf, Kak.” Hanya itu kata yang keluar. 

“Kenapa kamu telat?”

Ia tidak mungkin menjawab tentang perekam suara. Ingatannya tentang Shockwave yang mengambil perekam suaranya itu, membuatnya agak panik dan tidak tahu harus menjawab apa. “Tadi … saya cari biskuit dulu. Sama pakai dasi abu-abu.”

“Kamu nggak bisa pakai dasi?” Sentinel mendelik padanya.

“Ng-Nggak, Kak ….” Soundwave semakin menunduk, agar terlihat ia ‘memang’ tidak bisa memakai dasi. 

Sentinel tertawa sekilas. “Astaga. Anak SMA nggak bisa pakai dasi? Berarti tiap berangkat sekolah, kamu dipakaikan dasi sama Mama Papa kamu?” Suaranya terdengar meledek. Jetfire mulai merasa tidak nyaman melihat Sentinel merendahkan adik kelasnya itu. 

“Sentinel,” panggilnya, “mending langsung aja suruh mereka ke aula,” kata Jetfire. Sebelum Sentinel menjawab, Soundwave sudah menyelanya.

“Orang tua saya udah nggak ada, Kak. Cuman ada Nenek.” Soundwave mengoreksi sekaligus mengingatkan. Mereka berdua sungguh lupa kalau mereka sedang berhadapan dengan siswa yatim piatu. Sentinel hanya berdeham, dan tampaknya tidak ingin meminta maaf. “Oh, iya, maaf Soundwave. Kami lupa kamu sudah tidak punya orang tua.” Akhirnya, Jetfire mewakili.

“Walau begitu, bukan berarti kamu dapat perhatian spesial di sini, ya,” tambah Sentinel. “Teman-teman kamu harus menunggu tiga menit di sini buat kamu. Menyia-nyiakan tiga menit yang seharusnya bisa mereka pakai buat dengerin narasumber di aula,” kata Sentinel.

Soundwave melirik jam tangan digitalnya sekilas. “Tapi sekarang sudah jam lima lebih sepuluh menit, Kak. Bukannya Kakak yang makan waktu lebih banyak?” tanyanya yang membuat Sentinel kembali terdiam.

“Oh, iya. Terima kasih sudah diingatkan, Soundwave.” Jetfire mengarah ke barisan peserta LDKO itu, lalu memerintahkan mereka menuju aula. Namun, ia belum mengizinkan Soundwave bergabung dengan mereka. 

Sentinel meraih pergelangan tangan kiri Soundwave, lalu mengamati jam tangan itu. “Emang jam tangan boleh dibawa?” 

“Boleh,” jawab Soundwave lagi.

“Saya nggak ngomong sama kamu,” sinisnya. “Jet, ketua divisi keamanan siapa?”

“Blurr.”

“Coba panggil dia ke sini.”

Jetfire mengirim pesan pada pemuda itu, dan tidak sampai semenit ia sudah tiba di lapangan. Drift juga datang ke sana selaku anggotanya.

“Kenapa, Nel?” tanya Blurr.

“Jam tangan boleh dibawa peserta?”

“Boleh.”

“Tuh, 'kan,” sambar Soundwave.

“Diam kamu!” bentak Sentinel sambil menghempaskan tangannya. “Mulai sekarang, jam tangan nggak boleh dipakai peserta. Kita nggak tahu jangan-jangan di jam tangan itu ada perekam video atau apa. Zaman mulai berkembang, sekarang kalkulator aja ada di jam tangan.”

“Baik.” Blurr langsung membuka jam tangan Soundwave, lalu bergegas menuju aula dan mengabarkan panitia di sana untuk menginfokan pada peserta yang memakai jam tangan.

“Saya boleh ke aula, Kak?” 

“Bole–”

“Tunggu. Jangan dulu,” sela Drift pada Jetfire. “Saya mau ngecek kamu sekali lagi. Saya nggak mau kejadian LDKS terulang lagi. Angkat tangan kamu.”

Soundwave tertegun, tetapi ia tetap mematuhinya. Dua tangan Drift meraba pakaian seragam putih abu-abu Soundwave dari atas sampai bawah. Memeriksa setiap kantungnya dan hanya menemukan sekantung obat aspirin. 

Drift memperhatikan kantung plastik itu, terutama obat-obat di dalamnya. “Ini saya ambil.”

“Bukannya obat pribadi itu dipegang sama peserta?” tanya Soundwave cepat.

“Saya kasih ke Kak Windblade. Dia ketua divisi kesehatan. Kalau kamu pusing, kamu samperin dia aja,” jawab Drift sambil mengantungi obat itu.

“Tapi–”

“Nggak ada tapi-tapian! Kamu langsung ke aula!” potong Sentinel sambil mendorongnya dari belakang. Soundwave hampir terjatuh, tapi untungnya dua kakinya masih cukup kuat menahannya.

Dua tangan Soundwave mengepal erat. Ingin rasanya ia melayangkan bogem mentah ke wajah sombong Sentinel, tetapi sudah pasti ia akan kalah kalau sampai termakan emosi di depan para panitia. 

Soundwave mengembuskan napas cepat sebelum ia melangkah menuju aula. Tanpa menoleh, ia dapat mendengar kalau Drift akan memeriksa sekali lagi tiap tas para peserta dalam kelas itu. Terutama tas peserta laki-laki.

Seolah-olah semua mata dari para panitia tertuju padanya. Soundwave dapat merasakan itu, dan tidak tahu apa yang sedang mereka pikirkan. Namun, yang pasti, tidak jauh-jauh dari kejadian LDKS. Mereka tidak akan kecolongan lagi. Mereka memperketat ‘keamanan’ dengan cara memusatkan perhatian pada Soundwave. Bukan dalam hal baik, justru sebaliknya dan membuat pergerakannya sangat terbatas. Dalam hati, ia bertanya-tanya.

Apa gue bisa bertahan di OSIS kalau perlakuan mereka kayak gini terus?

***

Tiga materi telah dibawakan dari dua narasumber berbeda. Ketika mereka keluar dari aula, langit sudah gelap dan bertabur bintang. Kali ini, mereka diberikan waktu satu jam untuk makan malam di kelas masing-masing sebelum berbaris lagi di lapangan nanti untuk pengarahan selanjutnya.

Ruang kelas yang gelap gulita itu diterangi oleh empat lentera saja yang diletakkan di atas tumpukan meja agar adil. Mereka menyantap makan malam dalam keadaan cahaya remang-remang. Optimus, Ratchet, dan Prowl kembali menghampiri Soundwave dan Shockwave untuk makan bersama, tetapi ternyata mereka berdua sudah selesai menyantap makanan masing-masing. Walau begitu, Optimus tetap makan di sana untuk bertanya pada Soundwave apa yang terjadi tadi sore.

“Kak Drift sita aspirin gue,” kata Soundwave sambil menyandarkan kepala di atas dudukan kursi kayu kelas. 

Dua antena Shockwave spontan berdiri. “Kenapa?”

“Gue nggak tahu. Tapi katanya dia nggak mau kejadian LDKS terulang lagi. Jadi kayaknya dia curiga ada perekam bentuk tablet aspirin,” jelasnya.

“Nggak logis.”

“Terus kalo lo pusing, lo disuruh istirahat aja?” tanya Ratchet.

“Nggak. Gue disuruh temuin Kak Windblade.” Soundwave mendesah sekilas sambil memijat sisi kepalanya. “Mana kepala gue mulai pusing sekarang.”

“Mau gue temenin cari Kak Windblade? Apa gue aja yang cari dia?” tawar Optimus.

“Nggak usah. Gue udah males ketemu mereka,” ketusnya. Benak Optimus memunculkan tanda tanya mendengar hal itu, tetapi pada akhirnya ia hanya diam saja.

Soundwave membenamkan wajahnya di atas tumpukan tangan. “Gue mau tidur aja.”

“Nanti kita baris. Jangan tidur dulu, Sound,” kata Prowl, tetapi tidak dibalas olehnya.

“Biarin aja dia tidur dulu. Nanti kita bangunin dia.” Begitu kata Optimus. 

“Gue aja yang bangunin,” kata Shockwave. 

“Oke.”

“Gue nyamperin Kak Windblade dulu.” Ratchet lantas beranjak dari duduk bersilanya, seolah tak bisa melihat seseorang sakit di depan mata.

Suara Optimus dan Prowl yang mengajak Shockwave mengobrol mengenai motivasinya masuk OSIS meskipun ia terlihat dekat dengan Megatron yang membenci OSIS itu, mulai terdengar samar-samar, sebelum akhirnya Soundwave tidak mendengar suara mereka lagi. Ketika Ratchet kembali dengan membawa aspirin yang ia minta dari Windblade, melihat Soundwave sudah tampak pulas pun membuatnya mengurungkan niat untuk menyuruh Soundwave meminum obat.

Satu jam telah berlalu. Astrotrain tiba di ruang kelas tepat pukul 10 malam untuk memerintahkan mereka berbaris di lapangan. Suara lantang Sentinel yang berasal dari lapangan terdengar jelas hingga kelas mereka. Ia terdengar sedang menghitung mundur dari angka 15, sehingga para peserta terburu-buru untuk keluar dari kelas itu dan berbaris di lapangan.

“Sound, bangun.” Shockwave menepuk pelan pundaknya, tetapi tidak ada respons. Ia tidak berusaha menariknya menjauh dari kursi yang dijadikan sandaran kepala itu. Ia langsung keluar kelas dan membiarkannya masih tidur di sana.

Di lapangan itu, lagi-lagi Sentinel tidak melihat kehadiran Soundwave di barisan. Hingga beberapa menit kemudian, orang yang dicari akhirnya keluar kelas bersama Astrotrain di sampingnya. 

“Dua kali, Soundwave. DUA KALI KAMU TELAT BARIS!” bentak Sentinel sambil menunjuknya.

“Maaf, Kak.” 

“Cuman bilang ‘maaf’? Kamu udah buang-buang waktu–”

“Kak Sentinel.” Seseorang memotong ucapannya. Ternyata, Optimus yang bicara. “Soundwave sakit tadi, Kak. Jadi dia istirahat sebentar,” lanjutnya.

“Oh, sakit? Kenapa nggak langsung temuin Windblade?” Suara Sentinel mulai terdengar melembut pada Soundwave.

“Istirahat di kelas aja udah cukup, Kak.”

“Astrotrain,” panggil Sentinel. “Kamu bawa dia ke Windblade. Minta buatin teh hangat.”

“Oke.”

Soundwave ingin berkata kalau dirinya sudah merasa sedikit lebih baik. Akan tetapi, jika dipikir ulang, sepertinya memang lebih baik kalau ia temui divisi kesehatan dulu. Siapa tahu dia tidur di tempat empuk karena sakit? 

Ruang UKS sekolah itu ternyata bisa dibilang berada dalam kondisi baik. Ada dua tempat tidur, sebuah dispenser, dan sebuah meja. Windblade membuatkan teh hangat dulu di ruangan itu. Dugaannya tentang tidur di tempat empuk ternyata memang benar. Setelah ia menikmati teh hangat itu menggunakan sedotan yang disediakan, ia bisa tidur di atas salah satu kasur.

“Mau minum aspirin kamu dulu, nggak?” tanya Windblade. “Aku bisa keluar dulu kalau kamu keberatan aku di sini waktu kamu minum obat itu,” lanjutnya.

“Nggak dulu, Kak. Saya mau langsung istirahat aja.”

“Oke. Aku duduk di sini, ya. Bilang aku kalau kamu butuh sesuatu.”

“Iya. Makasih, Kak.”

***

LDKO yang diselenggarakan di sekolah terbengkalai itu tidak memiliki agenda jurit malam seperti LDKS. Mereka tidur nyenyak dari sekitar pukul 10 malam sampai dengan pukul 6 pagi. Selaku anggota dari divisi acara, Astrotrain lagi-lagi bertugas untuk membangunkan semua peserta di dua ruang kelas itu. Setelah tugasnya selesai, ia berdiri menyandarkan punggungnya di dinding kelas sambil melipat tangan di dada. 

"Lo udah free , Stro?" 

Suara perempuan di sebelahnya, membuatnya menoleh. "Udah. Lo?" 

Windblade menghadap ke lapangan sambil bersandar ke dinding. "Nggak ada orang lagi di UKS. Dia udah bisa ikut baris lagi," jawabnya sambil mengedikkan dagu sekilas ke Soundwave yang baru bergabung. Peserta itu tidak kena marah Sentinel lagi karena telat berbaris, dan membiarkannya masuk ke barisan paling belakang yang kosong. 

"Bagus, deh. Bisa kacau kalau Sentinel buat anak orang yang sama kenapa-kenapa lagi," kata Astrotrain. 

"Gue bakal nyesel pilih Sentinel kalo dia buat kesalahan yang sama," balas Windblade. "Oh, iya. Gue lihat Sentinel sering ngatur acara LDKO. Emang dia ketua divisinya, ya?"

"Bukan. Brainstorm ketua divisi acaranya."

Windblade mendelik. "Lah? Dia ketuanya? Kok gue nggak tahu."

"Kaget kan, lo? Sama, gue juga. Dari semua anggota OSIS kelas 11 yang daftar dan udah ikut LDKO tahun lalu, kenapa dia yang ditunjuk Sentinel jadi kadiv acara coba," kata Astrotrain. Mata tajamnya mengarah ke Sentinel yang masih memberi arahan itu. "Kalo yang gue lihat dari kemarin, kayaknya Brainstorm jadi kadiv acara buat formalitas aja. Sentinel yang emang kepengen jadi kadiv acara, tapi statusnya udah jadi Ketua OSIS. Makanya dia bisa seenak jidat tunjuk orang buat jadi kadiv dan ambil jobdesk orang."

Windblade dapat mendengar emosi dari ungkapannya itu. "Lo kayaknya benci banget sama Sentinel, ya?"

"Lo pikir aja sendiri." Setelah mengatakan itu, Astrotrain pergi meninggalkannya. 

Windblade memandang nanar punggung besar itu sebelum menghilang di balik ruang panitia. Ia kembali menghadap ke lapangan seakan menggantikan Astrotrain di tempat itu. Pikirannya melayang pada pernyataan Astrotrain, tetapi matanya mengamati satu per satu peserta untuk mencari apakah ada peserta yang tampak tak sehat sebelum olahraga pagi. 

Jika ada yang terlihat sakit, Windblade sudah pasti menariknya keluar barisan. Kalau sampai peserta itu ikut olahraga pagi berupa joging keliling rumah-rumah di sekitar sekolah itu, sudah pasti ia akan tumbang di tengah jalan. Meski begitu, sampai pemanasan selesai dilakukan, ia tidak melihat peserta yang pucat. Baguslah , begitu pikir Windblade. 

"Padahal gue mau pimpin lari joging, tapi Jet malah ngelarang gue," keluh Blurr di ruang panitia setelah melihat barisan peserta itu keluar gerbang sekolah. 

"Lo mah cocoknya pimpin lari maraton," celetuk Ironhide yang sedang berkunjung ke sana. "Kagak. Sprint lima kilometer, tapi yang ada entar pada pingsan semua. Udah bener Jet yang pimpin jogingnya."

Brakk!!

Pintu ruangan mendadak terbuka keras, dan muncul Brainstorm yang berdiri di ambang pintu. " Guys ! Guys !" Ia menunjukkan sekantung bubuk hitam di dua tangannya. "Akhirnya gue nemuin campuran bubuknya!" seruannya menarik perhatian beberapa panitia di ruangan itu. 

"Campuran bubuk apa?" tanya Astrotrain. 

"Bubuk buat hukuman peserta yang nggak bisa jawab pertanyaan." Ia langsung duduk di hadapan Astrotrain sambil membuka salah satu kantung. Bau menyengat yang tidak sedap dihirup dan membuat hidung terasa gatal, langsung menyeruak ketika ikatannya dibuka. 

"Iya, ini campuran bubuk apa aja?" tanyanya lagi sambil menutup hidung. 

"Sepuluh sendok kopi, sepuluh sendok teh hijau, sejumput merica, dan lima sekop tanah yang masih ada cacingnya!" Dua matanya yang melengkung menunjukkan bahwa ia bangga dengan campuran bubuk buatannya itu. 

"Kopi? Teh hijau? Itu lo ambil dari barang peserta?" tanya Blurr meyakinkan. 

"Iya!"

"Itu kan buat konsumsi minum kita sama narasumber!" seru Mixmaster dari sudut ruangan. "Pantes aja kopi sama tehnya kurang!" keluhnya sambil menepuk kening. 

"Emang gue nggak boleh ambil?" Brainstorm sedikit memiringkan kepala. 

"Boleh. Tapi lo bilang dulu ke gue. Gue ditunjuk jadi kadiv konsumsi lagi, nih." Mixmaster menghampirinya dan mengambil salah satu bungkusan berukuran cukup besar itu. "Aduh, sayang banget kopi sama teh hijaunya."

"Oh, sorry kalo gitu. Terus gimana? Mau gue balikin lagi? Gue cari saringan dulu kalo gitu," kata Brainstorm sambil berdiri. "Apa mau gue pisahin satu butir demi satu butir? Kayaknya asyik, tuh, pisahinnya!" 

"Nggak usah. Kelamaan. Lo pake aja ini buat rencana lo. Nanti gue tinggal minta duit ke bendahara buat beli kopi sama teh," ujar Mixmaster sambil kembali ke tempatnya di sudut ruangan untuk menyiapkan camilan siang. 

"Emang gimana cara lo hukum peserta yang salah?" tanya Astrotrain penasaran. 

Brainstorm kembali duduk di sofa itu. "Kesalahan ringan, gue olesin ini ke wajah mereka aja. Kesalahan fatal, gue lempar serbuk ini ke wajah dia!" 

Mata Astrotrain sedikit memicing. "Dia? Lo udah tandain satu peserta, ya?" terkanya. 

"Tanpa gue kasih tahu, lo udah pasti tahu, Astro."

"Lo masih dendam aja ke dia."

"Bukan gue aja sebenernya yang kesal sama dia gara-gara kasih rekaman ke Pak Megatronus. Terus gue juga heran kenapa dia mau ikut OSIS, padahal rekaman dia udah dirusak sama Sentinel."

"Terus lo mau ngapain pas sesi tanya jawab sebelum pengumuman kelulusan itu?"

Meskipun Astrotrain tidak melihat wajahnya karena terhalang masker, ia dapat membayangkan sebuah senyum licik dari tatapannya saja. "Nanti lo lihat aja sendiri." Begitu kata Brainstorm. 

Astrotrain tidak paham dengan jawaban itu. Ia juga tidak mengerti bagaimana jalan pikiran Brainstorm selama ini. Pemuda dengan masker kuning itu selalu memiliki rencana di luar nalar yang kemungkinan memiliki dua dampak. Antara dampak yang sangat positif, atau dampak yang sangat negatif. Meskipun begitu, ia perlu mengawasi tindakan yang akan diambil kadivnya itu dan kembali membaca kertas susunan acara untuk hari terakhir ini.

Setelah joging pagi adalah sarapan di kelas masing-masing. Dengan waktu 15 menit yang diberikan, mereka tidak sempat untuk bersih-bersih dahulu sebelum dikumpulkan kembali ke lapangan. Materi terakhir dibawakan oleh Sentinel sendiri selaku ketua OSIS baru. Ia tidak ingin mengisi materi di aula, melainkan langsung di lapangan itu tanpa menyuruh mereka duduk.

Shockwave tidak tahu apakah ponselnya masih menyala atau sudah mati kehabisan baterai. Ia tidak melihat kesempatan sama sekali untuk mengecek ponselnya yang sedang diamankan oleh kakak panitia. Karena ketidaktahuannya itu, Shockwave tidak akan merekam seluruh kegiatan LDKO, kecuali perlakuan kasar panitia saja yang sudah ia dapatkan dari beberapa kakak panitia. Ia segan sekali untuk merekam Sentinel yang sedang membagikan pengalamannya selama OSIS itu. 

Rekaman suara milik Soundwave sudah ia kembalikan pada pemiliknya saat joging tadi dalam keadaan baik. Soundwave langsung memasukkan perekam itu dalam kantung rahasianya–dalam kantung jaket itu ada kantung lagi yang cukup lebar dan dalam untuk meletakkan ponsel dan perekam suara. Ia tidak sempat mengeluarkan perekam itu selama joging, bahkan saat sarapan tadi karena Optimus dan dua kawannya itu kerap menghampiri mereka. Jika ia ketahuan membawa perekam, sudah pasti Optimus akan mengadukannya pada Sentinel.

Soundwave sama sekali tidak tahu apakah perekamnya dalam keadaan mati atau sedang merekam sesuatu? Ia tidak tahu itu. Yang penting, perekamnya kembali. 

Waktu sudah menunjukkan pukul 11 ketika Sentinel memanggil bawahannya untuk berkumpul di lapangan. Brainstorm sudah tiba di lapangan lebih dulu dan di belakangnya menyusul sepuluh panitia lainnya termasuk alumni yang ingin di sana sampai acara selesai. Kali ini, Brainstorm yang ambil alih barisan itu. Ia meminta barisan tersebut dibagi menjadi tiga. Barisan Optimus, Ratchet, dan Prowl terpecah karena mereka berbaris agak berjauhan. Sedangkan Soundwave dan Shockwave yang berbaris paling belakang bersama Optimus dan lima peserta lainnya, mengikuti arahan dari Brainstorm. Lalu, Ratchet dan enam peserta lainnya mengikuti arahan Blitzwing, Prowl dan enam peserta lainnya mengikuti arahan Jetfire.

“Kita berhenti di sini,” kata Brainstorm saat tiba di halaman belakang sekolah. Mereka berhenti di atas rerumputan liar yang merambah hampir seluruh tanah di halaman belakang itu. Selain Brainstorm, ada Astrotrain, Ironhide, dan Drift di sana. 

“Acara terakhir kita adalah sesi tanya jawab. Iya, tahu, namanya payah. Tapi saya nggak mau dengar komentar nggak berguna kalian,” ucap Brainstorm. “Kalian bakal ditanyakan oleh kakak panitia lainnya tentang materi LDKO, dan mereka bakal pilih sepasang dari kalian untuk ditanya-tanyakan. Dimulai dari saya dulu yang pilih.”

Tanpa pikir panjang, ia langsung menunjuk ke dua peserta yang berdiri di paling belakang barisan. “Kalian berdua. Duo Wave. Maju ke depan.”

Mereka pun maju tanpa membantah, meski bisa menerka-nerka alasan Brainstorm menunjuk mereka. Setelah itu, kakak kelas lainnya memilih pasangan lainnya untuk ditanya-tanyakan.

Brainstorm mengajak mereka berdua agak menjauh dari yang lain, dan tanpa sepengetahuannya, Shockwave sudah mulai merekam Brainstorm melalui optik tunggalnya. Sesampainya mereka berpijak di lantai keramik koridor halaman belakang itu, Brainstorm berbalik ke arah mereka.

“Gue masih nggak tahu alasan kalian masuk OSIS apa. Jadi, satu-satu kalian jelasin ke gue kenapa kalian tertarik masuk OSIS walau kalian sempat dirundungi di ruang OSIS.”

Mereka berdua tidak memedulikan ucapan lo-gue yang keluar dari mulut Brainstorm. Daripada menegur dan berakhir jadi masalah, lebih baik mereka tidak berkomentar.

Shockwave menjawab lebih dahulu. “Saya masuk OSIS karena ingin mengembangkan riset dan minat serta kemampuan akademis siswa melalui sosialisasi kegiatan terkait, selain itu sudah jadi tanggung jawab guru dalam memberi ilmu, maka saya ingin memberi wadah pada siswa yang ingin menggeluti di bidang riset akademik.”

Sebuah jawaban yang terdengar menggiurkan bagi Brainstorm. Ia tidak pernah melihat anggota OSIS yang memiliki keinginan yang sama seperti dirinya selama berada di OSIS. Sudah lama sekali ia menantikan seseorang yang satu pemikiran dengannya. 

Brainstorm tersenyum lebar, bisa terlihat dari dua matanya yang melengkung. " Bravo ! Magnificent !" girangnya sambil bertepuk tangan. "Alasan yang mengagumkan!"  Dua matanya tampak berbinar-binar. "Jadi kamu berminat di divisi akademik, ya?"

"Iya."

" Good !" Kemudian ia beralih ke pemuda yang sedikit lebih rendah dari Shockwave. Senyumnya memudar cepat dan tatapannya mengandung kebencian pada pemuda itu. 

Menganggap bahwa Brainstorm sedang menyuruhnya, Soundwave pun buka suara. "Alasan saya masuk OSIS karena–"

"Emang gue udah nyuruh lo jawab?" potong Brainstorm. 

"Belum."

"Terus kenapa lo udah jawab?"

"Saya … mau lebih peka aja."

"Emang gue minta lo jadi peka?" 

"Bukankah anggota OSIS itu memang harus peka pada masalah sekitar?" 

Shockwave sampai melirik ke Soundwave saat mengatakan itu. Lalu, ia mendapati dua tangan Brainstorm sudah mengepal erat. Brainstorm memasukkan kedua tangannya di dalam kantung hoodie toskanya. 

"Emang lo udah resmi jadi anggota OSIS?"

"Saya pikir tidak perlu jadi anggota OSIS dulu untuk jadi peka," balas Soundwave. 

Brainstorm mendecih saat tahu peserta di hadapannya itu seakan memiliki balasan yang tak pernah habis. "Ya, udah. Terserah. Lo masuk OSIS karena apa?" ketusnya. 

"Alasan saya masuk OSIS karena–"

"Disuruh Megatron. Iya, 'kan?" potong Brainstorm lagi. 

Soundwave mendelik. "Jangan sok tahu, Kak."

"Gue emang tahu, kok. Lo kemana-mana bareng dia. Lo kan kacungnya Megatron."

"Saya masuk OSIS untuk mengasah kemampuan manajemen waktu saya. Lebih detailnya, tanya aja ke Kak Jetfire yang wawancara saya," timpal Soundwave. "Terus, bukan saya aja yang deket sama Megatron. Shockwave juga. Starscream malah duduk sebangku sama Megatron. Saya cuman teman sekelas dia dan mulai dekat karena LDKS," lanjutnya dengan suara naik turun. 

Kata LDKS itu memicu amarah Brainstorm yang sudah ia tahan sejak berhadapan dengannya. "Gara-gara pelanggaran lo di LDKS itu … GUE KENA HUKUMAN PALING BERAT DARI PAK MEGATRONUS! DAN SEKARANG LO JUGA HARUS KENA HUKUMAN DARI GUE!"

Satu tangan Brainstorm keluar dari kantung hoodie itu. Segenggam bubuk hitam berada dalam cengkeramannya. Ia pun meluncurkan bubuk hitam itu ke wajah Soundwave, tetapi tiba-tiba saja ….

Grab!!  

Shockwave menahan pergelangan tangan Brainstorm sebelum mendarat pada target, tetapi Brainstorm mengeluarkan tangan kanan dari dalam kantung hoodie dengan menggenggam serbuk hitam yang sama. Shockwave juga menahan tangan itu menggunakan capit yang menggantikan tangan kirinya yang tidak sempurna. 

"Lo ngapain ikut campur?!" bentak Brainstorm. 

Shockwave diam saja. Ia langsung mendorong Brainstorm dan hampir membuatnya terjatuh ke belakang. Shockwave lebih tertarik pada bubuk hitam yang tercecer di lantai dibanding kakak kelasnya yang semakin emosi. Jemari kanannya mengambil serpihan bubuk itu dan optik tunggalnya menganalisisnya secara singkat. 

"Hei! Lo ngapain dorong gue?!" Brainstorm meluncurkan tendangan saat Shockwave sedang berjongkok, tetapi Shockwave sudah lebih dulu bergerak ke belakang dan ayunan kaki Brainstorm tidak lebih dari lima senti di depan matanya. 

Shockwave langsung berdiri dengan tangan kanan terkepal. Ia pun melayangkan sebuah pukulan di wajah Brainstorm yang sempat lengah, tetapi tangan besarnya itu malah ditahan oleh Soundwave. Rekannya itu sampai mengerahkan dua tangan untuk menahannya yang ingin sekali memukul wajah kakak kelasnya itu. 

"Shock, udah. Lo jangan buat masalah," peringat Soundwave pelan. 

"Dia mau celakain kita duluan. Serbuk berbahaya itu mau dia lempar ke wajah lo dan dia mau tendang gue. Lo pikir gue bakal diemin aja? Kagak!" balas Shockwave.

Ketiga kakak kelas lain yang sedari tadi sebenarnya juga terkejut hampir saja turun tangan, tetapi melihat Soundwave yang menahan tangan Shockwave, badan mereka kembali terduduk di tanah.

Soundwave cukup tertegun mendengar pernyataan yang mengandung emosi itu dan melihat dua antena Shockwave berdiri tegak. "Ya … gue pikir lo bakal diem aja dan apatis karena lo nggak punya emosi."

“Lo beneran mikir gue nggak punya emosi?!” ucap Shockwave lantang. Soundwave terperangah mendapati balasan pemuda itu.

Shockwave pun kembali terdiam, dan perlahan antenanya sedikit menurun. Tidak ada satu pun yang dapat menerka apa yang dipikirkan pemuda itu melalui ekspresi di wajah yang hanya terdiri dari optik tunggal saja. Namun, Soundwave dapat merasakan tenaga di tangan Shockwave berkurang, hingga akhirnya kembali tergantung di sebelah tubuhnya. 

"Lo berdua mau ngelawan gue, hah?!" Brainstorm mengeluarkan sekantung plastik serbuk hitam itu dari kantung hoodie -nya. "SINI KALO BERANI!"

Shockwave spontan berdiri di depan Soundwave dan bersiap melawannya lagi, tetapi untungnya, Astrotrain sudah tiba di tempat mereka dan langsung menahan Brainstorm dari belakang. Ironhide juga sudah tiba untuk jaga-jaga kalau Brainstorm semakin bertindak liar. 

"Kalian berdua mending langsung ke kelas aja. Kalo ada yang tanya, bilang kalo kalian udah selesai," usul Drift yang juga menghampiri mereka. 

Mereka berdua pun langsung menurut, tidak menggubris teriakan Brainstorm yang memanggil dan merutuki nama mereka.

Akhirnya, sesi tanya jawab di barisan Brainstorm selesai lebih cepat dari yang lainnya karena kakak-kakak kelas lainnya sibuk menenangkan Brainstorm yang sudah meledak-ledak tak terkendali. 

***

“Duduk sini aja, Sound.”

Optimus menepuk kursi di sebelahnya ketika melihat Soundwave baru memasuki bus. Soundwave tidak membalas sejenak dengan mata mengarah ke pemuda yang duduk di paling belakang dekat jendela bus. 

“Gue duduk di belakang aja.” Setelah Soundwave menolaknya, ia pun kembali melangkah untuk duduk di samping pemuda itu.

“Hei, Shock,” sapanya pelan sambil meletakkan tasnya di kolong kursi. 

“Kirain lo bakal duduk di samping Optimus,” komentar Shockwave tanpa melepas pandangan dari jendela.

“Nggak, ah. Gue nggak mau ambil kursinya Ratchet.”

“Oh.” 

Lalu, terjadi keheningan, sampai bus itu mulai melaju.

“Lo nggak kenapa-kenapa? Ada yang luka?” tanya Shockwave saat menoleh ke pemandangan luar.

Shockwave baru bertanya sekarang ini–dan bukan saat tidak lama setelah kejadian atau saat pengumuman bahwa mereka semua telah lolos dari tahap terakhir menjadi anggota OSIS–karena ia menunggu waktu yang menurutnya tepat. Ia berpikir pasti akan sangat merepotkan jika ada kakak kelas yang menyimpulkan sesuatu tentang ‘mengikuti OSIS karena disuruh Megatron’ yang mungkin akan merugikannya. 

Namanya sudah disebut Soundwave saat menjawab pertanyaan Brainstorm itu. Jadi, ia hanya tidak ingin terlalu dicurigai karena terlihat bersama Soundwave terus setelah kejadian itu. Akan tetapi untungnya, di barisan kelompoknya itu ada Optimus yang juga melihat kejadian itu. Shockwave sudah tahu kalau Optimus memiliki kepedulian yang tinggi kepada teman-temannya, sehingga ia bisa lebih tenang saat melihat Optimus yang berada di dekat Soundwave. 

Namun, Shockwave tak kunjung mendapat jawaban. “Sound?” panggilnya lagi, lalu menoleh. “Astaga … ternyata lo pake earphone .”

Soundwave melepas pandangan dari ponselnya sambil melepas earphone sebelah kanan. “Lo ngomong sama gue?”

“Iya.”

“Ngomong apa?” tanya Soundwave sambil menghentikan musik yang dimainkan di ponselnya itu.

“Lo … ngomong apa aja sama Optimus setelah kejadian itu?” Shockwave langsung meralat pertanyaannya. Ia pikir, bertanya kondisi Soundwave yang tampak baik-baik saja itu terlihat sekali basa-basinya. 

“Gue sempet rekam percakapan sama Optimus. Lo mau denger?” tanya Soundwave pelan

“Nggak. Itu buang-buang waktu. Ceritain kesimpulannya aja.”

Soundwave mendengus sekilas. “Dia tanyain kondisi gue. Terus sama tanyain Megatron.”

“Dia tanyain Megatron apa?” tanya Shockwave penasaran.

“Alasan kenapa dia bohongin Optimus waktu LDKS itu dan kenapa dia mau daftar jadi wakil ketua OSIS. Tapi gue nggak jawab detail banget,” kata Soundwave. “Kalo mau lebih jelasnya, dengerin rekaman gue aja nanti.”

Shockwave mengangguk sekilas. “Lo cuman rekam percakapan lo sama Optimus aja?”

“Iya. Waktu Brainstorm marah-marah atau Sentinel mau pojokin gue, nggak kerekam sama sekali,” keluhnya.

“Seandainya kejadian itu kerekam, emang mau lo apain?” 

“Hmm … kurang tahu, sih, soalnya gue nggak kenapa-kenapa juga. Kita juga lolos seleksi OSIS dan tunggu sertijab aja nanti. Kalo rekaman itu dijadiin bukti buat lapor ke Pak Megatronus, udah pasti kita bakal dimusuhin semua OSIS,” pikir Soundwave. “Kenapa lo tanya itu? Emang lo juga bawa perekam suara?” 

“Iya. Gue pakai lensa optik kamera yang dibuat ayah gue.” Shockwave menunjuk optik tunggalnya. “Dari jauh emang nggak kelihatan, tapi kalau dilihat lebih dekat, optik gue keliatan lebih redup.”

Soundwave mendekatkan sepasang optik di balik kacamatanya pada optik tunggal Shockwave. Ia baru bisa melihatnya saat jarak mereka sekitar 10 senti. Cahaya kuning itu memang tampak lebih redup karena suatu lapisan bening yang tebal. “Whoa … keren. Terus cara rekamnya gimana?” kagum Soundwave, sebelum ia menarik kepalanya lagi.

“Ada satu cip yang harus ditempel di dalam antena. Cip itu yang menyambungkan lensa dengan sistem di ponsel pintar. Jadi, gue bisa ambil foto atau video saat menggerakkan cip di antena itu, terus nanti disimpan di ponselnya,” jelas Shockwave. “Tapi kayaknya gue nggak bisa rekam semuanya.” Ia mengeluarkan ponselnya yang dalam keadaan mati total. “Gue nggak tahu kapan ponsel gue mati dan gue nggak sempet pinjam power bank juga ke lo. Jadi ya ….” 

Soundwave mengagumi cara kerja rekaman itu yang terbilang sangat maju. “Lo mau pinjem power bank gue sekarang?” tanyanya sambil menunduk, mengambil tasnya.

“Boleh.” Setelah berkata itu, Shockwave menerima power bank miliknya. “ Thanks .”

Soundwave teringat satu hal. “Kenapa lo nggak bilang gue? Apa Megatron suruh lo?”

“Gue inisiatif bawa ini sendiri sekalian cobain percobaan baru ayah gue, dan ternyata cukup berhasil. Megatron nggak suruh gue dan gue nggak mau kasih tahu ini ke Megatron.”

Soundwave sedikit memiringkan kepala. “Loh? Kenapa?”

“‘Kenapa’?” Kali ini, Shockwave yang bingung. “Sound, nggak semua yang gue punya mesti gue laporin ke Megatron. Lo pikir gue bawahannya dia kayak lo? Sayangnya, nggak, Sound.”

“Gue juga bukan bawahannya dia. Pertemanan itu nggak ada atasan sama bawahan.” Soundwave membantah.

“Gue udah cukup lama perhatiin lo, dan hasil pengamatan gue, lo emang bawahannya dia. Begitu juga Starscream, Thundercracker, Skywarp. Kalian semua.”

Soundwave semakin heran dengan pernyataan itu. “Maksud lo ngomong begitu … apa, Shock?”

Shockwave menghadapkan badannya pada Soundwave. “Anggap aja gue lagi peduli, karena gue mau ngasih lo saran, yang logis,” katanya. “Hubungan dengan orang itu nggak lebih dan nggak kurang untuk mengambil manfaat. Kalo bisa, lo jangan terlalu nurut atau bergantung sama temen lo.”

“Manfaat?” tanya Soundwave bingung. “Emangnya apa yang selama ini lo peroleh dari gue?”

Pertanyaan Soundwave sengaja digantungkan sejenak oleh Shockwave yang kini kembali melihat pemandangan di jendela bus.

“Shock?” panggilnya lagi. “Jadi lo selama ini nganggap gue apa? Megatron apa? Yang lain juga apa?”

“Temen, tapi makna temen buat gue sama buat kalian beda.”

“Kok gitu?”

Shockwave diam lagi, memperhatikan hijaunya sawah di luar jendela bus. Biar begitu, Soundwave masih memanggil namanya untuk yang terakhir kali.

“Emangnya logis, ya? Buat kasih tahu secara gamblang alasan gue temenan sama kalian? Gue pikir, itu nggak logis.”

Chapter 26: Kekhawatiran

Summary:

Masa LDKO sudah selesai, dan tidak ada masalah berarti yang cukup besar hingga menghebohkan sekolah. Bisa dibilang lancar, meski meninggalkan beberapa 'kesan' pada sebagian pesertanya.

Soundwave dengan overthinking-nya dan Optimus dkk dengan berbagai dugaan yang belum tentu benar.

“Kalo gitu, kita emang mesti hati-hati, ya, sama mereka.” -Ratchet

Siapa yang membuat Ratchet berkata demikian? Kekhawatiran apa yang muncul dalam benak Optimus pasca LDKO? Apakah semua kejadian di LDKO akan Soundwave sampaikan ke Megatron?

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

Soundwave sudah sampai di rumah. Ia sedang bersantai di kasur lebar kamarnya yang tampak tenang. Namun, pikiran Soundwave justru sedang penuh sekarang. Ia kepikiran perkataan Shockwave sewaktu di bus yang secara tak langsung menyatakan kalau mereka bukanlah teman, atau ia tidak tulus berteman dengan mereka.

Harusnya gue nggak kaget juga, sih, denger omongan kayak gitu dari dia. Cuma gue kok kepikiran banget, ya?

Pikirannya masih bergelut sendiri hingga tanpa sadar ia bangkit berdiri. Soundwave menggigiti ibu jarinya dan berjalan mondar-mandir perlahan. Apa bakal baik-baik aja kalo gue biarin Shockwave dulu? batin Soundwave bertanya. Ia juga tak yakin. Soundwave berpikir, memangnya Shockwave punya rencana apa?

…Tunggu. Gue bahkan nggak tahu dia punya niat jahat apa.

Soundwave memegangi kepalanya geram. Ia sempat terpikir untuk menghubungi Megatron melalui aplikasi perpesanan, tetapi apa yang mau ia bicarakan nanti? Megatron jelas bukan orang yang mau meladeni prasangka buruk belaka. Ia bisa saja mengingatkan Megatron tentang perilaku Shockwave, hanya saja sepertinya dia terlalu meremehkan Megatron jika dia harus begitu.

Kenapa gue jadi suka overthinking gini, sih, sejak masuk SMA?

Soundwave terduduk di sisi kasurnya dengan kedua tangan menungkup di atas paha. Kali ini, ia terpikir akan teman berpenutup kepala abu-abunya itu. Omongan Shockwave ada benarnya, sebetulnya. Tidak usah berpikir jauh dari awal. Contohnya saja, ya, saat ini. Rasanya, apa-apa ingin ia bicarakan saja pada teman abu-abu yang baru dikenalnya itu. Meski baru beberapa waktu yang lalu ia bertengkar dengannya, pikiran jernih Soundwave tahu bahwa kejadian rekamannya yang dirusak itu berada di luar kendali mereka. Soundwave berpikir, kemungkinan ia seperti ini karena ia percaya dengan Megatron, dan alasan ia percaya adalah Megatron selalu mengatakan hal-hal yang berupa fakta. Seumur hidupnya, bahkan sampai saat ini, yang ia dengar selalu omong kosong saja–kecuali dari neneknya, dan Shockwave juga sebenarnya (lelaki itu selalu menimbang segala sesuatu dengan perkataan logis-tidak-logis). Ia melihat Megatron adalah orang yang apa adanya. Meski terkadang temperamennya terlihat buruk, dan bahkan terkesan arogan, setidaknya Megatron bukan orang yang mengada-ada.

Ah, sudahlah.

Soundwave menyerah dengan kekalutan pikirannya sendiri. Ia baru saja hendak membanting badannya di kasur, tetapi tiba-tiba seseorang membuka pintu kamarnya.

“Mas,” panggil laki-laki yang memiliki rupa mirip dengan Soundwave dan mengenakan penutup kepala bermodel sama berwarna hitam. “Ravage mana?”

“Paling main di luar,” ucap Soundwave. Ia berbaring perlahan, lalu menoleh malas. “PR udah kamu kerjain?”

“Udah.” Adiknya itu memasuki kamarnya. “Aku mau lihat Buzzsaw, Mas.”

Soundwave menunjuk malas pada kandang burung yang tergantung di dekat pintu lebar yang menghubungkan kamar dengan serambi luar. Adiknya yang bernama Soundblaster langsung mendekati kandang burung dan bermain-main dengan hewan peliharaan itu.

Soundwave membuang napas pasrah. Adiknya yang melihat ia tampak lemah pun berujar, “Lagi banyak masalah, Mas?”

“Bukan urusanmu.” Soundwave membalas ketus. Ia membenarkan posisi tidur di tengah kasur dan berbaring membelakangi Soundblaster.

“Ditanya baik-baik, maunya mancing kujahatin terus.” Soundblaster tidak mengindahkan kakaknya lagi. Ia kembali bermain dengan burung kecil berwarna putih-kuning dalam kandang. Soundwave hanya berbicara lagi untuk menyuruhnya menutup pintu kamar jika ia sudah puas bermain dengan burung kesayangannya sebelum ia terlelap.

***

Senin sore tepat pukul 3 esoknya adalah pertemuan pertama ekskul debat. Saat kakak kelas mereka sedang menyampaikan materi yang menurut Megatron kurang penting, ia memulai obrolan pada teman yang kini duduk di sebelahnya. “LDKO kemarin gimana? Ada kejadian?”

Soundwave menatap wajah Megatron sesaat sebelum menjawab.

“Enggak.” Ia menggeleng. Meski teringat kejadian antara Brainstorm dengan ia dan Shockwave, Soundwave memutuskan untuk tidak menceritakannya. Toh, mereka berdua sudah sepakat tidak akan berbuat macam-macam untuk melaporkan kejadian itu kepada guru. Jadi, Megatron pun tidak perlu tahu.

Lelaki berhelm abu-abu itu ber-oh pelan. Soundwave memulai omongan pada topik lain. “Ekskul debat jam segini, lo libur hari ini?”

“Enggak. Gue masuk jam empat. Ekskul paling cuma sejam, 'kan? Molor-molor, setengah jam. Pegawai di restoran banyak. Gue juga udah titip tugas sama yang lain, soalnya gue kan staf manajer,” jelas Megatron. “Molor nggak molor, ya, abis ekskul gue ngebut ke restoran naik ojek.”

Soundwave memandangi temannya itu dengan sedikit melongo. “Lo kayaknya nggak ada istirahatnya, ya. Kapan lo belajarnya kalo gitu?”

“Ya, di sekolah, sama waktu luang nyari-nyari celah.”

Megatron kembali fokus pada penyampaian kakak kelas di depan. Lelaki bermasker abu dan visor merah itu memandanginya heran. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan pada temannya itu–dan di saat yang sama teringat akan kalimat yang pernah Starscream ucapkan.

“Kok lo kerja sekeras itu, Ga?”

Megatron menoleh lagi. “Oh, soalnya ….”

Fokus Megatron kembali tergantikan oleh kakak kelas yang menyampaikan materi dasar debat. Ia pun berujar pada Soundwave, “Udah mulai materi dasar. Nanti lanjut lagi, ya.”

Soundwave mengangguk kecil. Ia masih memandangi temannya sebentar. Meski pertanyaan yang ia ajukan terpotong, Soundwave tak berniat untuk menanyakannya ulang hingga kegiatan ekskul hari ini berakhir dan mereka berpisah.

***

Optimus sekawan sedang menikmati makanan kantin seperti biasa di waktu istirahat siang mereka. Lelaki berantena biru itu memandangi Prowl di hadapannya, yang kantung matanya tampak terlihat jelas dan tampak kesal, tak menyentuh makan siangnya sama sekali.

“Lo kenapa, Prowl?” tanya Optimus.

Prowl membuang napas. “Gue capek, Mus,” ucap lelaki itu. “Besok sore gue seleksi paskibra buat masuk tingkat provinsi.”

“Oh, yang tingkat sekolah lo udah tembus kemarin, ya?” tanya Optimus lagi.

“Udah sebelum LDKO kemarin. Kota pun udah.” Prowl menempelkan dagu di atas meja dan memasang wajah cemberut.

“Lo kan punya waktu istirahat dua hari ini. Nggak lo manfaatin?”

“Iya, tapi udah kepikiran duluan karena jaraknya nggak jauh, udah bikin capek duluan.”

“Lo ikut paskib dari hati apa enggak, sih?” sambar Ratchet setelah menyuap nasi sayur brokoli ke mulutnya.

Prowl menghadapkan kepala ke arah lain, masih menempel pada meja. “Dari hati.”

Optimus, Ratchet, dan Jazz yang melihat perilaku temannya itu hanya bisa menghela napas dengan wajah khawatir.

“Minum vitamin yang banyak. Jangan sampe lo sakit,” ujar Ratchet menasihati. Kepala Prowl yang masih pada posisi yang sama mengangguk tiga kali.

“Lo seleksi di sekolah besok sore, 'kan?” tanya Jazz yang duduk di sebelahnya. “Mus, Chet, kita bertiga lihat, yuk. Jadi tim hore Prowl.”

Kedua teman yang duduk di hadapannya itu mengangguk setuju. Bel istirahat usai berdering. Selama berjalan ke kelas, Jazz mencoba menyemangati teman sebangkunya itu sembari memegangi kedua pundaknya.

Esok sorenya, ketiga lelaki itu berdiri di dekat tiang koridor pinggir lapangan. Mereka dapat melihat Prowl yang sedang dalam posisi istirahat di tempat, berbaris dengan siswa-siswa lainnya yang mengikuti seleksi paskibra agar lolos menuju tingkat provinsi. Mata lelaki itu sedikit melirik ke pinggir lapangan, mendapati ketiga temannya sedang melihat. Jazz yang berada di dekat tiang koridor, mengepalkan tangannya memberi tanda semangat.

“Semangat, Prowl!” bisik Jazz, berharap Prowl dapat menangkap gerakan ucapan bibirnya meskipun ia tak dapat mendengar suaranya. Prowl tak memberi respons apa-apa tentu.

Seorang wanita muda yang membawa sebuah papan ujian mulai menyuruh beberapa siswa untuk melakukan gerakan baris-berbaris. Ketika wanita itu berdiri di depan Prowl, wanita itu tampak meneriaki Prowl, tetapi ketiga temannya tak dapat mendengar apa yang wanita itu ucapkan. Tak lama, lelaki bertanduk merah di atas kening itu juga mulai melakukan gerakan baris-berbaris. 

Optimus, Ratchet, dan Jazz hanya melihat siswa-siswa itu dalam kejemuan pada akhirnya. Saat langit senja sudah terlihat, mereka melihat akhirnya peserta lapangan dibubarkan. Prowl yang dipenuhi peluh keringat pun berjalan menghampiri mereka.

“Gimana? Lancar?” tanya Jazz pada temannya itu.

“Nggak tahu.” Prowl menjawab ketus.

“Kok nggak tahu?” Ratchet memiringkan kepala.

Optimus yang tadi berdiri agak jauh di belakang kini mendekati Prowl. “Tadi kayaknya lo sempet diteriakin?”

“Iya,” Prowl menoleh ke arah lain. “Postur gue dibilang jelek. Gue dibilang pendek. Padahal tinggi badan gue masuk bare minimum .” Ia mengatakan itu dengan nada agak dongkol.

Optimus, yang memperhatikan kalau tinggi Prowl itu setinggi daun telinganya, sedikit melirik ke bawah. Lirikan itu ditandai oleh Prowl.

“Lo nggak usah lirik-lirik ke bawah,” ujar Prowl jengkel. “Cih, lo lebih tinggi dari gue, tapi malah nggak ikut paskib.”

“Nggak, ah. Mengabdi pada negeri nggak harus lewat jadi paskibra,” balas Optimus biasa. Di antara mereka, memang badan Optimus-lah yang paling tinggi, sedangkan tiga lainnya mempunyai tinggi badan yang hampir sama.

“Lo makan apa, Mus, bisa kayak tiang listrik gitu?” ucap Ratchet padanya.

Optimus memandang heran pada Ratchet. “Lo baru nanya sekarang, Chet?” kata lelaki itu, kemudian membantah, “Apanya yang tiang listrik. Megatron apalagi Sentinel masih lebih tinggi dari gue.”

“Lo kayaknya merhatiin Megatron, ya,” ujar Ratchet pada lelaki itu, seperti sebuah tuduhan.

“Iya, tuh. Gue lihat tinggi kalian berdua kayaknya sama aja.” Prowl menambahi.

“Kagak. Beda tipis. Gue lebih pendek–” Optimus menjeda ucapannya, teringat sesuatu. “Kak Jetfire, noh, tiang listrik.”

“Pilar beton dia, mah,” tanggap Jazz. 

“Pilar beton pendek, loh.”

“Pilar beton buat mall kalo nggak istana.”

Perdebatan pilar beton itu berakhir dengan mereka yang saling tatap dengan wajah datar. Jazz merangkul Ratchet dan Prowl di sisi-sisinya. “Udahan ngobrolnya. Mau gelap ini. Mending kita cari tempat buat minum yang seger-seger, terutama buat Prowl. Keringetan banget dia.” Ia menoleh pada teman duduknya di kelas itu. “Lo nggak usah cemas. Postur lo bagus kok tadi gue lihat. Tegap.”

“Bukan lo yang ngenilai, Jazz,” tanggap Prowl melemah.

Mendengar ucapan Jazz sebelumnya, Optimus pun mengiyakan sarannya. Langit memang tampak mulai menggelap biru. Ia, dengan Ratchet dan Prowl mengikuti langkah Jazz yang masih merangkul keduanya, lantas keluar dari pekarangan sekolah bersama. Mereka kemudian berjalan menuju sebuah ruko terdekat dari letak sekolah mereka. Bangunan itu terkenal dengan minuman es degannya yang menyegarkan. Biar begitu, pemilik usaha juga menyediakan menu camilan dan makanan pembuka lain.

Setelah mengambil tempat duduk dan minuman pesanan mereka berempat datang, Jazz agak bertingkah heboh meraih minuman dan mendekatkan gelas itu ke arahnya. “Ayo, diminum, diminum. Sekali-sekali minum es degan selain energon,” suruhnya. “Biar seger, apalagi Prowl beneran keringetan kayak gitu.” Lelaki bervisor biru itu menoleh pada lelaki yang duduk dekat tembok di sampingnya.

Prowl menenggak es kelapa muda yang diberi sirup merah itu dari gelasnya langsung, lalu menaruh gelas yang ia pegang di meja dengan kepala mendongak ke atas.

“Ah ….” Ekspresi puas terpatri di muka Prowl. “Seger banget.”

Optimus dan Ratchet pun meminum minuman mereka menggunakan sedotan dalam sunyi. Suasana menjadi senyap dalam beberapa saat. Tak tahan dalam keheningan suara, Jazz memantik sebuah obrolan di antara mereka.

“Pengukuhan OSIS kalian kemarin gimana? Seru nggak? Ada kejadian yang bikin heboh?” tanya Jazz ingin tahu.

“Kejadian?” Optimus mengulang pertanyaan Jazz. Sesaat ia menoleh ke arah Ratchet yang juga balas melihatnya. “Biasa aja, sih. Nggak ada yang aneh-aneh … walau di gue ada kejadian Soundwave sama Shockwave mau dicelakain sama Kak Brainstorm pake bubuk kopi.”

“Hah, serius lo?” tanya Ratchet terkejut.

“Bubuk kopi? Emang bahayanya apa bubuk kopi?” tanya Jazz heran.

“Bubuk kopi kalo masuk mata bisa bikin sakit juga, Jazz,” komentar Prowl.

Optimus berbicara lagi, “Oh, iya. Gue baru inget. Gue sempat kepikiran pas mau berangkat ke SD, soalnya gue lihat kalau Soundwave itu dikasih sesuatu sama Starscream. Tapi gue nggak sempet lihat barangnya apa.”

“Mencurigakan.” Wajah Prowl kembali kaku seperti biasanya.

“Eh, iya, Mus. Bukannya lo rencananya mau nanya ke dia, ya, soal barang bawaannya dia?” Ratchet pun juga baru teringat kala Optimus memberitahunya soal itu ketika mereka berdua duduk di bus.

“Ngobrol sama mereka agak susah ngalirnya. Nggak ada topik yang bisa nyambung buat nanya ke dia, dan gue pun juga lupa,” terang Optimus. “Tapi, kayaknya itu bukan barang berarti? Kalo itu barang yang dilarang dan mereka macem-macem, pasti waktu kita diperiksa kan mereka bakal dapet masalah lagi.”

“Soundwave itu,” ujar Prowl menimbrung, “sebenernya niatnya baik, sih, kalau denger kejadian dia sama temen LDKS-nya dipanggil ke ruang OSIS sampe rekamannya dirusak. Tapi jatuhnya kayak kedok. Bukti yang dikumpulkan secara tidak sah itu nggak bisa jadi bukti kalo kita bicara tentang kejahatan.”

“Widih, Prowl, serius banget lo. Mentang anak Pak Pol,” ujar Jazz yang memberikan tatapan merasa ngeri dibuat-buat pada Prowl sembari memundurkan badannya sedikit. Prowl tak menanggapinya.

“Jatuhnya kayak nyari-nyari kesalahan OSIS nggak, sih?” tanggap Racthet pada omongan Prowl.

“Betul.” Prowl kemudian menoleh ke arah Optimus. “Mus, lo mesti curiga sama Soundwave walau sampe detik ini nggak ada kabar nggak mengenakkan muncul lagi. Shockwave juga. Mau senetral apa pun sikap yang dia tunjukkan ke kita, gimanapun selama LDKO kita lihat sendiri, 'kan, mereka cenderung berdua kalo ngapa-ngapain.”

“Jangan gitu. Mungkin mereka berdua itu emang udah temen masa kecil, atau temen tetangga? Makanya apa-apa berdua terus selama LDKO,” sambar Jazz.

“Nggak gitu, Jazz,” kata Prowl. “Lo nggak ikut LDKO, sih. Makanya nggak tahu. Kalo mereka temen dari kecil, masa mereka diem-dieman terus? Kelihatan kaku sama canggung, lagi. Mereka ngobrolin sesuatu, abis itu diem lagi. Gue yakin mereka ngobrolin rencana atau hal penting.”

Ratchet mencubit dagunya. “Kalo gitu, kita emang mesti hati-hati, ya, sama mereka.”

Optimus memandangi Ratchet dan Prowl dengan ekspresi agak sangsi. Menurutnya, perkataan mereka ada benarnya. Akan tetapi, Optimus tidak mau kalau teman-temannya sampai terlalu berburuk sangka pada orang yang belum begitu mereka kenal.

“Kita lihat aja dulu ke depannya gimana. Sikap kita ke mereka juga jangan nunjukin kalo kita ngasih jarak ke mereka. Kalo mereka macem-macem, kakak OSIS yang lain juga nggak mungkin bakal diem aja.”

Prowl meminum es kelapa mudanya lagi hingga tandas dalam satu tegukan. Menghadap ke serong kirinya, ia bertanya untuk melanjutkan topik obrolan, “Mus, menurut lo, mereka berdua gabung ke OSIS ada campur tangan dari Megatron nggak?”

Mata Optimus melebar mendengar perkataan Prowl. Ia diam dalam beberapa saat. Prowl melanjutkan ucapannya, “Megatron kalah jadi petinggi OSIS, dan temen-temennya yang satu grup sama dia pas LDKS ikut daftar jadi pengurus OSIS. Emang nggak semua, sih, tapi gue terpikir kalo mereka berdua masuk OSIS nggak sekadar buat masuk OSIS ….”

Optimus masih diam mendengarkan perkataan lelaki berornamen alis tanduk merah itu. Dengan pelan, hanya satu kalimat yang keluar dari mulutnya sebelum mereka menyudahi waktu tongkrong mereka di tempat itu.

“Itu … bukan hal yang dapat kita terka begitu saja, Prowl.”

Notes:

Sorry banget uploadnya lamaaa huhu
Mohon dimaklumi yaa, sesungguhnya kita masih ada keseibukan di rl yg sulit banget ditinggalin. Jd mohon pengertiannya yaaaww
Dan semoga aja kalian suka sama cerita ini~~

Chapter 27: Rasa Kagum

Summary:

Ekskul KIR kelas 10 dimulai!! Dan anggota KIR itu ada Shockwave dan Brainstrom!
Kira2 gimana tuh ya interaksi antara Brainstrom dengan Shockwave setelah insiden yg hampir terjadi di LDKO waktu itu? Apakah ada kejadian lainnya di KIR yang bisa berbuntut panjang seperti sebelum-sebelumnya?
Cuss lahh kita langsung baca aja! Oiya ini sedikit cuplikan buat chp ini~

“Mainan saya waktu kelas 1 SD buat roket air. Jadi, kalau boleh bicara jujur, saya bosan dengan project roket air. Bagaimana kalau roket yang memiliki daya dorong dari tekanan dan air, diganti dengan roket yang memiliki daya dorong dari plasma yang dikembangkan dari penelitian fusi nuklir?" -Shockwave

“Roket air. Hari ini. Titik.” -Brainstrom

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

Pukul 3 sore di hari tengah minggu–Rabu. Brainstorm yang mengenakan jaket licin berwarna toska sedang duduk di kursi plastik guru sembari memutar-mutar pena dengan jemarinya. Ia menaikkan dan memundurkan badan ke belakang, membuat dua kaki kursi depan mengambang naik turun berlagak bosan, bersiul pelan pada hawa udara yang tidak begitu terasa panas.

Hari ini pertemuan pertama ekskul karya ilmiah remaja.

Brainstorm menghitung dengan jam yang ia kenakan di tangan kanannya. Sebelas menit sejak ia menunggu, akhirnya anggota-anggota baru ekskul KIR mulai berdatangan dan mengambil duduk di tempat masing-masing. Lelaki itu mengenali beberapa wajah di antara mereka. Salah satunya adalah Shockwave. Murid kelas 1 itu memang sangat menarik perhatian dirinya–meskipun sempat terjadi insiden sewaktu LDKO dengan orang terkait–karena Brainstorm dapat mengetahui seseorang yang tampak pintar dari kesan yang diperlihatkannya. Ia semakin penasaran akan potensi laki-laki itu mengetahui sekarang Shockwave juga berada di divisinya dalam OSIS. Ia juga mendapati kesan yang sama ketika melihat seorang siswa berpenutup kepala hitam yang mengenakan kacamata sebelah mata saja.

Karena melihat tidak ada siswa yang masuk lagi ke ruangan, lelaki itu pun berdiri dan memulai sesi perkenalan.

“Selamat sore, adik-adik! Beberapa dari kalian mungkin udah tahu siapa saya, tapi saya tetap bakal memperkenalkan diri. Nama saya Brainstorm, siswa yang diamanahkan menjadi ketua ekskul KIR saat ini.” Ia memberi jeda sebentar. “Mungkin kalian heran kenapa kakak kelas yang datang cuma saya aja. Sesi hari ini memang dikhususkan untuk anggota baru, atas inisiatif saya. Harusnya ada Kak Jetfire juga sebagai wakil ketua saya, tapi dia tidak bisa datang karena ada urusan lain.”

Brainstorm memandangi sepuluh siswa yang memperhatikan sosoknya secara lekat itu. Ia pun kembali lanjut bicara.

“Dalam kegiatan ekskul ini, saya mau untuk bicara satu sama lain kita masih formal, ya, walau santai. Karena ini masih kegiatan di sekolah. Jadi jangan ada yang pake lo-gue kalo ngomong ke saya,” ujarnya pada mereka. “Nah, sampai sini ada yang mau kalian tanyakan?”

Salah satu siswa yang mulutnya tertutup masker bergaris-garis mengacungkan tangan. “Anggota KIR yang dari periode sebelumnya ada berapa, Kak?”

Brainstorm tak langsung menjawab. Ia memasang wajah tidak enak sebelum membalas pertanyaan itu. “Ada sekitar lima orang dari angkatan saya, empat orang dari kelas 3. Tapi yang beneran serius cuma saya dan Kak Jetfire, dan seringnya yang megang project itu saya karena Kak Jetfire sering ikut olimpiade di luar.” Ia berkata dengan nada kecewa. “Hari ini yang datang ada sepuluh, ya? Termasuk banyak, loh, ini. Saya harap kalian nggak pada minggat, ya.” Setengah wajah Brainstorm kemudian menunjukkan ekspresi jahil. “Kalo kalian ilang-ilangan dan beneran ilang, saya aduin ke guru Fisika buat potong nilai kalian, lho!”

Beberapa siswa yang duduk di hadapannya itu menunjukkan sedikit ekspresi takut. Shockwave yang duduk di tengah dan tidak punya muka untuk dilihat, akhirnya bersuara untuk menanggapi omongan kakak kelasnya itu, “Nggak adil kalau seperti itu. Kegiatan ekskul kan punya kolom nilai sendiri dan tidak terikat dengan mata pelajaran pada kegiatan belajar di sekolah. Seharusnya beri nilai E saja pada nilai ekskul. Jangan mengurangi nilai akademik murid.”

Shockwave menyampaikan pendapatnya dengan nada tenang. Tampaknya ia tidak menyimpan dendam terhadap Brainstorm. Tak disangka, murid yang duduk di bangku baris kirinya mengangguk setuju. “Saya setuju. Lebih baik juga pengurangannya diberi pada nilai bagian akhlak dan kepribadian, karena murid tidak bertanggung jawab untuk tetap komitmen mengikuti ekskul, kecuali ada alasan yang masuk akal.”

Mata Brainstorm melirik dua orang yang sempat ia perhatikan sebelumnya itu bergantian. Ia pun membalas omongan mereka dengan wajah santai. “Saya cuma bercanda kok. Tapi makasih buat sarannya! Masukan dari kalian bagus banget.” Brainstorm mengacungkan jempol. “Saya senang karena dari kalian udah ada yang nunjukin kalau kalian bisa berpikir kritis. Nah, di ekskul ini, selain kritis, kalian juga harus kreatif.”

Shockwave memperhatikan dengan intens bagaimana cara Brainstorm menanggapi ucapannya tadi serta bagaimana kakak kelas satu-satunya itu menjelaskan intro dari ekskul KIR itu. Brainstorm memberitahu bahwa hari ini mereka akan membuat proyek kecil-kecilan berupa roket air–sesuai dengan dugaan Shockwave. Kebanyakan dari mereka tampak antusias dengan pembuatan roket air yang akan mereka kerjakan itu, tetapi tidak bagi Shockwave.

“Wah, sepertinya di sini semangat sekali buat roket air, ya. Di sini yang pernah membuat roket air waktu SMP siapa?” tanya Brainstorm dengan senyum di balik maskernya. Matanya tertuju pada satu siswa yang mengangkat tangan.

“Iya, Wheeljack? Kamu pernah buat roket air kelas berapa? Berarti sebelumnya sudah pernah ikut KIR, ‘kan?” cecarnya.

“Saya belum pernah buat, Kak. Tapi saya pernah lihat penampilan KIR waktu SMP. Teman saya buat roket air dan itu keren banget!” cerita Wheeljack penuh antusias.

Senyum Brainstorm sedikit memudar. “Ehh … berarti kamu belum pernah sama sekali buatnya?”

Ia menggeleng cepat. “Itu sebabnya saya semangat buat bikin roket air hari ini! Soalnya waktu SMP, saya cuman boleh ikut OSIS sama orang tua saya. Baru pas SMA boleh ikut KIR,” jelasnya.

Brainstorm melempar pandang ke yang lain. “Berarti tidak ada yang pernah buat roket air di sini?”

Kali ini Shockwave angkat tangan. “Saya.”

“Sejak kapan buatnya?”

“Mainan saya waktu kelas 1 SD buat roket air. Jadi, kalau boleh bicara jujur, saya bosan dengan project roket air,” ucap Shockwave. “Bagaimana kalau roket yang memiliki daya dorong dari tekanan dan air, diganti dengan roket yang memiliki daya dorong dari plasma yang dikembangkan dari penelitian fusi nuklir? Kita buat prototipenya saja. Untuk plasmanya bisa dipikir setelahnya.”

Terjadi keheningan dengan tatapan bingung yang kebanyakan mengarah ke pemuda bermata satu itu. Wheeljack menatapnya kagum, tetapi sebelah mata Brainstorm berkedut pada pernyataan Shockwave, antara senang menemukan seseorang yang menyukai sains seperti dirinya, atau kesal dan marah pada Shockwave yang tampak lebih tahu segalanya dari dirinya.

“Roket air. Hari ini. Titik.” Begitu kata Brainstorm mengakhiri perdebatan dengannya. Lalu, ia terpikirkan sebuah ide. “Shockwave, karena kamu kayaknya udah jago banget dan menguasai soal roket air, saya minta kamu awasin temen-temen kamu bikin roket air, ya, dan kalo ada yang dibingungin temen-temen di sini, tolong dibantu,” katanya dengan suara lebih rendah. “Saya mau keluar sebentar. Kamu nggak usah bikin roket air nggak apa-apa.”

Sebelum melangkah keluar, Brainstorm menghadap pada adik-adik kelasnya lagi, memberi tahu letak bahan-bahan yang ada di dalam lemari di sudut kelas. Kemudian, ia pun menghilang dari pandangan mereka.

Shockwave tidak menanggapi ucapan Brainstorm, tetapi ia memutuskan untuk menurutinya saja. Siswa selain dirinya mulai bergegas ke belakang untuk membuka lemari kayu yang tertutup itu. Salah satu siswa bertanya padanya, “Shockwave, ini bahan-bahan yang mesti diambil apa aja?”

Shockwave mendekat ke lemari besar itu dan melongok ke dalam. Banyak bahan dan peralatan praktikum yang tersedia di sana dan disusun berdasarkan jenis dan fungsinya. Setelah menyebutkan bahan dan peralatan yang diperlukan—botol bekas, ban, karton, mika, gunting, cutter , lem, dan lakban—mereka pun mengambilnya, lalu kembali ke tempat duduk masing-masing. Shockwave pun memberikan demonstrasi sebentar sebelum yang lain mulai membangun roket air sendiri-sendiri.

Shockwave memandangi mereka bergantian. Ia dapat melihat ada dua tiga siswa yang menatap tidak suka padanya, meskipun sebenarnya Shockwave tidak dapat menangkap emosi tersirat dari pandangan yang diberikan siswa-siswa itu. Ia hanya penasaran sesaat pada ekspresi mereka yang berbeda, tetapi kemudian tidak memikirkannya lagi karena dirasa percuma.

Ia berjalan mengitari jalur kosong di antara bangku-bangku kelas perlahan. Dirinya berhenti di sebelah bangku yang diduduki seorang siswa yang memakai kacamata hanya sebelah mata–yang menimpali omongannya tadi. Shockwave memperhatikan tangan laki-laki itu bekerja cukup lama. Ia membandingkan dengan siswa yang lain sembari menolehkan pandangannya. Teman-temannya yang lain agak asal-asalan dalam membuat roket, sementara siswa di depannya ini benar-benar melakukan semuanya dalam langkah yang urut. Akan tetapi ….

Cara kerjanya lambat banget , begitu pikir Shockwave.

Mata Shockwave masih belum pindah memperhatikan siswa itu. Orang yang dipandang pun tampaknya tidak merasa terganggu, tetap fokus pada pekerjaannya. Shockwave angkat kaki dari tempatnya ketika ada temannya yang bertanya karena lupa langkah yang mesti dikerjakan di tengah-tengah membuat roket.

Hampir satu setengah jam telah berlalu, tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang menyelesaikan roket air tersebut. Shockwave lebih sering duduk diam di kursi paling depan sambil memperhatikan mereka, dan akan membantu jika ada yang maju ke depan untuk bertanya. Namun selebihnya, ia ogah untuk memberitahu berulang kali pada temannya yang memiliki daya tangkap yang kurang.

Baru Wheeljack yang menyelesaikan roket airnya setelah ia aktif bertanya pada Shockwave. Ia juga dengan senang hati membantu teman-temannya yang kesusahan. Karena bantuannya tersebut, akhirnya mereka selesai bertepatan dengan ketibaan Brainstorm. 

“Wah, ternyata kalian berhasil menyelesaikan roket air!” kagum Brainstorm.

“Iya, dong. Siapa dulu yang bantuin buat roket air?” sambar Wheeljack sambil tersenyum bangga.

Brainstorm menepuk sebelah pundak Shockwave. “Kerja bagus udah ngebantu temen-temen buat roket air, Shockwave!” pujinya.

“Eh? Eh? Tapi saya yang—”

“Sudah kewajiban saya untuk membantu mereka,” balas Shockwave. Ia melirik sekilas pada tatapan mata Wheeljack yang tidak terima. Meski begitu, tampaknya ia hanya diam saja. 

“Oke. Sekarang kita bawa roket airnya ke lapangan dan kita tes di sana, ya,” pinta Brainstorm.

“Jangan lupa bagian peluncur sama pompanya dibawa,” tambah Shockwave pada teman-teman ekskulnya.

Mereka pun membawa roket air serta peluncurnya masing-masing untuk dicoba di lapangan. Lalu, mereka berbaris dan mulai memasang roket air itu pada peluncurnya setelah roket tersebut diisi oleh air.

Wheeljack menjadi peserta pertama yang akan mencoba roket air tersebut secara sukarela. Dari tatapannya saja menyiratkan sebuah kepercayaan diri yang tinggi kalau roket airnya pasti akan melambung tinggi. 

“Lihat karya ilmiah pertamaku! Roket air ini pasti akan meluncur setinggi langit!” seru Wheeljack sambil menunjuk ke atas.

“Mari kita lihat hasil kerjamu,” kata Shockwave, yang terdengar tidak berekspektasi apa pun terhadap Wheeljack.

Sambil memompa roket air tersebut, Wheeljack merasa sangat yakin bahwa roket air itu akan berhasil. Namun, kenyataan justru sebaliknya.

Duar!

Roket air itu justru meledak dan memuncratkan air ke mana-mana ketika sedang dipompa. Baju dan celana Wheeljack basah kuyup. Semburan airnya sampai mengenai teman-teman di sekitarnya, bahkan mengenai lensa optik bulat Shockwave dan wajah Brainstorm.

“Airnya memang meluncur setinggi langit,” sarkas Shockwave.

“Ledakan yang mengesankan, Wheeljack!” seru Brainstorm sambil bertepuk tangan.

“Ma-Maaf! Saya nggak tahu kalau roketnya bakal meledak!” Wheeljack segera memeriksa roket airnya. “Aduh, kira-kira yang salah apa, ya?”

“Mungkin karena kamu terlalu semangat mompanya,” kata Brainstorm sambil melangkah mendekatinya. Shockwave yang penasaran, juga ikut mendekati dan berjongkok.

“Plastik botolnya juga tipis. Airnya diisi penuh. Hukum Newton III yang seharusnya berlaku untuk mendorong tubuh botol dari mulutnya, justru berlaku pada tubuh botolnya gara-gara plastik yang tipis dan air yang diisi penuh itu,” kata Shockwave sambil mengambil satu serpihan botol roket. “Ini hanya hipotesis,” lanjutnya, saat ia menjadi pusat perhatian.

“Hipotesis yang bagus,” komentar Brainstorm. Tiba-tiba, ia melihat sebuah percikan sekilas di sisi atas dari mata bulat Shockwave. “Mata kamu nggak apa-apa?” tanyanya.

“Apa?” Ketika Shockwave menggerakkan mata tunggalnya ke atas untuk melihat Brainstorm, ia spontan meringis saat merasakan sengatan di optik yang menjalar ke kepalanya. “Sial. Lensa optik ini ternyata nggak tahan air,” gumamnya pelan dan cepat.

“Lensa optik? Kamu pakai softlens ?” cecar Wheeljack yang mendengarnya.

Softlens ? Kok kamu pakai softlens ?” tambah Brainstorm yang terheran.

Shockwave tertegun. Suaranya ternyata terdengar oleh mereka. “Saya … ke kamar mandi sebentar.” Ia buru-buru berdiri tanpa melihat mereka, apalagi menggerakkan matanya, kemudian bergegas menuju kamar mandi.

“Memangnya ke sekolah boleh pakai softlens ?” bingung Wheeljack.

“Ya, nggak boleh, sih, Wheeljack. Tapi kan kondisinya Shockwave beda.” Brainstorm memperhatikan sejenak punggung yang semakin menjauh itu sambil mengusap dagu. “Hmm … aneh. Udah punya mata begitu kenapa mesti pake softlens segala?”

“Apa mungkin itu penemuan baru dia? Atau selama ini dia memang pakai softlens ? Siapa tahu?” Wheeljack mengedikkan bahu. Pernyataan itu menimbulkan sedikit kecurigaan dari Brainstorm.

“Bisa jadi ….” gumamnya.

“Brainstorm.”

Dugaan dalam benak Brainstorm mengenai Shockwave terhenti sejenak saat ada yang memanggilnya. Ia pun menoleh, mendapati Jetfire sedang berjalan ke arahnya.

“Hei. Tumben ke sini, Jet,” ucapnya.

“Udah bagi kelompok per tiga orang?” tanya Jetfire yang sedang memegang selembar pamflet itu.

Brainstorm menepuk kening. “Oh, iya! Lupa! Ini gue lagi tes roket air dulu. Baru satu orang yang tes, dan lihat hasilnya. Wajah gue jadi basah kuyup!”

“Ya, maap, Kak. Kan udah minta maap,” kata Wheeljack spontan menjawab.

Melihat cara bicara Brainstorm yang seperti itu, anggota ekskul kelas 10 yang ia dampingi itu pun langsung menolehkan wajah dan menatap sangsi kepadanya. Jetfire yang mengerti maksud tatapan adik-adik kelasnya itu pun menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Eh, sorry –maaf. Keceplosan,” ujar Brainstorm agak lemah, kemudian ia terkekeh sekilas pada Wheeljack. “Saya nggak lagi ngejelekin. Justru lagi ngebanggain,” ngelesnya.

Jetfire memandangnya datar. “Kalau roket air dulu, agak kelamaan. Mending nanti aja. Bentar lagi jam ekskulnya selesai. Kita bagi kelompok dulu.”

“Emang bagi kelompok buat apa, Kak?” tanya Wheeljack penasaran.

“Kalian akan ikut lomba sains!” seru Brainstorm dengan dua tangan terbentang dan senyum lebar.

“Astaga, baru juga masuk, Kak!”

“Saya masih buta sains, nih, Kak!”

“Kak, jangan saya yang diikutin lomba ya!”

Cukup banyak protes dari mereka yang tampak pesimis itu.

“Nggak apa-apa. Kalian coba ikut aja buat nambah pengalaman. Lagian ini lombanya di sekolah, kok,” kata Jetfire. 

“Yeay! Lomba sains!” Mungkin hanya Wheeljack yang begitu semangat dengan pengumuman tersebut. “Saya mau satu kelompok sama Shockwave biar menang!” lanjutnya.

“Enak aja! Aku juga mau sekelompok sama dia!” ujar siswa lain pada Wheeljack

“Curang banget yang satu kelompok sama Albert Einstein!”

Lagi-lagi, terjadi sedikit keributan dalam memperebutkan si paling pintar itu. 

“Shockwave sendiri aja!” seru Brainstorm yang menarik perhatian mereka. “Kalau kalian satu kelompok sama dia, yang ada kalian cuman jadi beban,” lanjutnya tanpa merasa bersalah.

“Saya nggak beban-beban banget,” balas Wheeljack.

“Roket air kamu meledak. Itu beban kalau temanya nanti tentang roket air.” Brainstorm menatapnya datar. Wheeljack hanya tertawa canggung sambil menggaruk belakang kepalanya. Setelah itu, Brainstorm memerintahkan mereka untuk membuat kelompok dengan tiga anggota tanpa Shockwave sama sekali.

“Oh, iya, Shockwave mana? Dia masuk, 'kan?” tanya Jetfire sambil menoleh sekitar. 

“Masuk. Dia lagi di kamar mandi. Kayaknya ada sedikit kerusakan di matanya,” jawab Brainstorm.

Jetfire tersentak. “Kok bisa kerusakan mata? Terus udah diobatin?” 

“Nggak tahu yang rusak itu matanya apa kontak lensanya. Pokoknya muncul percikan di matanya dia tadi.” Brainstorm menerangkan. “Setahuku, harusnya mata Shockwave tahan air, soalnya aku pernah lihat si Whirl yang kondisinya sama kek dia pernah digebyur air dan matanya nggak kenapa-kenapa. Kecuali … kalau ada yang nempel di matanya, kayak softlens ,” jelasnya.

Softlens bisa ngeluarin api?” Jetfire semakin bingung.

“Kurang tahu." Brainstorm mengedikkan bahu. "Aku kepikiran itu bukan softlens biasa."

“Hmm … mungkin Shockwave selama ini minus? Jadi dia make softlens ,” terka Jetfire.

“Bisa jadi, tapi menurut gue harusnya problem dari kondisi matanya bisa langsung diatasi lewat optik buatannya dia. Gue juga ragu kalo softlens minus bisa ngeluarin percikan api kek gitu waktu kena air. Harus diselidiki, nih,” pikirnya, kemudian ia menjulurkan lidah berlagak hendak muntah. “Bleh. Kelu lidah gue pake aku-kamu sama yang sebaya.”

Brainstorm masih mendapat tatapan tajam dari adik-adik kelasnya, tetapi ia mencoba untuk tak menghiraukan itu.

Jetfire membalas ucapannya, “Ya, ampun, Brain. Kan dia udah jadi bagian dari OSIS. Nggak ada curiga-curigaan. Kita keluarga, inget? Harusnya lo percaya sama Shockwave kayak sebelumnya.” Kemudian, Jetfire menghadap ke arah adik-adik kelasnya sambil memasang wajah tak enak. “Maaf, ya, temen-temen.”

Brainstorm mendekat ke Jetfire. Ia berkata dengan suara pelan, “Sejak kapan gue percaya sama Shockwave soal urusan OSIS? Gue mengagumi kecerdikan mereka–terutama Shockwave–tapi gue nggak pernah percaya sama mereka.”

“Mereka? Maksud lo–”

“Shockwave dan Soundwave di OSIS. Siapa lagi? Gue yakin banget kalau sebenarnya mereka berdua dikirim Megatron buat ambisinya.”

Jetfire melotot bulat pada pernyataan lelaki itu.

Notes:

So sorry for the late update :""))

But i hope you guys like it :)

Chapter 28: Rasa Kagum (2)

Summary:

Sebuah kekaguman yang muncul

Notes:

(See the end of the chapter for notes.)

Chapter Text

Kecanggungan dari keheningan akhir percakapan Brainstorm dan Jetfire pun membuat keduanya menyuruh para anggota ekskul KIR kembali masuk ke kelas dan duduk sesuai kelompok masing-masing yang sudah dipinta Brainstorm. Shockwave kembali ke kelas sebelum Brainstorm menjelaskan bahwa mereka akan mengikuti pekan lomba sains yang akan diadakan pada saat classmeeting nanti. Pengumuman yang sudah disampaikan dari sekarang menandakan bahwa lomba sebenarnya sudah dimulai sejak Brainstorm memberitahu mereka. Menyusun karya ilmiah dan membuat sesuatu itu membutuhkan waktu, jadi lebih tepatnya classmeeting nanti merupakan tenggat mereka untuk menampilkan karya mereka pada sebuah expo. Brainstorm hanya menginstruksi mereka untuk mencari tema terlebih dahulu yang akan dikonsultasikan di pertemuan selanjutnya sebelum membubarkan sesi ekskul hari ini.

Saat adik-adik kelasnya sudah keluar semua, Brainstorm dan Jetfire masih menetap di kelas untuk sementara. Lelaki berpenutup kepala putih itu melepas masker kuningnya, menampilkan luka membujur yang terdapat di kedua pipinya. Ia mendongakkan kepala sembari mengambil napas dalam-dalam dan mengeluarkannya.

“Hah … seger,” katanya. “Untung hawa sore ini nggak panas.”

Setelah merasa cukup menghirup banyak udara, ia kembali memasang penutup mulut yang sempat ia letakkan di meja dan meraih tas selempang kulit berwarna kuning miliknya. Seraya menyampirkan tas itu di sebelah bahu, Jetfire yang berdiri di depannya berujar, “Lo bukannya terlalu berburuk sangka sama mereka berdua?”

Brainstorm yang menunda untuk melangkah pun menjawab, “Hadeh, Jet. Lo sekali-sekali jangan terlalu naif gitu, lah.”

Brainstorm kemudian berjalan keluar kelas, diikuti Jetfire yang sudah membawa tas punggung putih miliknya juga dan menyejajarkan langkah di samping lelaki itu.

Saat melewati lapangan sekolah, Brainstorm kembali berbicara. “Lo kudu kilas balik gerak-gerik mereka dari awal. Nggak ada, ya, siswa kelas satu yang seniat mereka buat coba jatuhin OSIS–”

 

“Jatuhin OSIS? Itu kan kesalahan pos lo sendiri karena terlalu jahil, dan apesnya pos lo ngadepin kelompok yang sifatnya pada kelewat serius semua.” Jetfire menerangkan. “Serius, deh. Mereka cuma waspada dan tindakan mereka nggak salah. Lo, tuh, yang terlalu curigaan.” Kemudian, Ia menekankan, “Dan gue nggak naif. Gue ngerti mana orang yang punya niat jahat mana yang nggak.”

Brainstorm menatap mata Jetfire dalam-dalam. “Kita buktiin aja nanti.”

Melihat pendirian keras Brainstorm, Jetfire pada akhirnya hanya menghela napas kasar.

***

Optimus sedang melamun sebentar sewaktu pulang sekolah tiba, di saat teman-temannya yang lain mengemas buku dan peralatan tulis ke dalam tas. Hal itu menarik perhatian guru di kelas, membuatnya dipanggil untuk membantu membawakan buku latihan yang menumpuk di atas meja guru. Ketiga teman dekat Optimus sempat berpamitan kepadanya untuk pulang terlebih dahulu sebelum Optimus mengekor langkah di belakang guru matematika peminatan yang mengajar di kelasnya itu.

Setelah tugasnya selesai, ternyata Ibu Guru masih ingin menyuruhnya ini dan itu.

“Tolong antarkan berkas ini ke Ibu yang duduk di meja seberang belakang, ya.”

Sudah selesai, datang tugas lain lagi.

“Kamu lagi nggak sibuk, ‘kan, Optimus? Ini tolong bantu Ibu ngecekin nilai latihan kemarin, dong.”

Kemudian, satu dan dua kerjaan lain lagi yang membuat Optimus mondar-mandir naik-turun antara ruang majelis dan tata usaha di lantai dua bangunan itu. Ketika akhirnya ia sudah selesai melakukan tugasnya dan keluar bangunan, lapangan sekolah sudah kosong melompong, kecuali beberapa siswa yang duduk di salah satu meja terbuka dekat bangunan kelas 11 di seberangnya. Optimus menangkap satu perempuan berpenutup kepala merah muda yang ia kenal di penglihatannya–Elita.

Penasaran dengan kegiatan mereka, Optimus pun mencoba mengintip dari balik pilar koridor hingga mereka masuk ke sebuah kelas. Dari balik sisi pintu yang sedikit terbuka, ia kembali mengintip ke dalam. Ada beberapa wajah yang ia kenal lagi. Salah satunya adalah Megatron yang duduk bersama Soundwave di kursi paling depan, sedang mengobrol. Si tiga kembar pun juga ada, duduk di bangku belakang mereka.

Optimus memutuskan untuk mengamati kegiatan mereka dan tidak pulang terlebih dahulu. Kakak kelas yang berdiri di depan kelas sebagai mentor mereka mulai menuliskan sesuatu pada papan tulis, dan yang satunya menyampaikan sesuatu sembari memegang seberkas kertas di tangan kanan. Seusai itu, para siswa memisahkan diri untuk berbagi kelompok, duduk di tempat yang sama per tiga orang.

Optimus melihat bahwa Elita duduk bersama Megatron dan Soundwave, kembar tiga tetap pada kembar tiga, dan kelompok lain yang tidak ia kenal. Mereka semua berdiskusi dengan serius sebelum akhirnya dua kelompok dipanggil untuk maju ke depan.

Mendengar penyampaian kakak kelas yang sedari tadi berdiri di depan kelas, Optimus menduga bahwa kegiatan yang sedang mereka lakukan merupakan kegiatan dari ekskul debat. Ia pun melihat enam siswa yang ia kenal bangkit dan maju ke tiga meja berjajar saling berhadapan yang sudah disusun di depan kelas. Setelah mereka duduk di kursi masing-masing, kakak kelas mereka yang kini duduk di kursi siswa bagian tengah paling depan mempersilakan mereka memulai debat dengan perkenalan. Kelompok Megatron memulai sebagai kelompok afirmasi.

“Selamat sore. Perkenalkan, saya Megatron sebagai pembicara pertama.”

Megatron duduk usai mengucapkan perkenalan diri. Elita yang duduk di samping kanannya berdiri dan menyambung, “Saya Elita sebagai pembicara kedua.”

“Saya Soundwave sebagai pembicara ketiga.” Soundwave mengakhiri perkenalan sebagai anggota yang terakhir kembali duduk di kursinya.

Usai mereka memperkenalkan diri, giliran kelompok Starscream sebagai kelompok oposisi yang memperkenalkan diri. Kakak kelas mereka yang masih duduk di tengah di antara mereka, memimpin jalannya debat sebagai moderator dengan menyebutkan mosi yang harus mereka hadapi:

Pembatasan penggunaan gawai harus diterapkan pada remaja, termasuk anak-anak di bawah umur.

Kedua kelompok diberi waktu untuk menyusun argumen selama 5 menit. Optimus memandangi Megatron dan Elita yang kini duduk saling berhadapan. Elita tampak menggulir layar di telepon pintarnya, sementara Megatron sesekali menunjuk pada layar smartphone Elita, seakan memberitahu mana yang dapat dijadikan materi argumen mereka. Soundwave yang duduk di belakang Elita mengamati dari belakang pundak kanan gadis itu.

Optimus tidak dapat mendengarkan pembicaraan mereka, tetapi ia dapat melihat bahwa kemudian Elita mengetikkan sesuatu yang sepertinya cukup panjang di telepon pintarnya. Megatron kembali pada posisi semula ia duduk dan beralih menggunakan telepon pintar pribadinya. Tidak seperti Elita yang terus mengetik, Megatron terlihat hanya membaca pada layar dengan sangat fokus. Lelaki itu kemudian kembali berbicara pada teman-temannya sebelum kakak kelas mereka mengucapkan, “Waktu sudah habis. Kelompok pro terhadap mosi dipersilakan untuk menyampaikan argumen.”

Megatron pun bangkit dari kursi dan menyampaikan argumennya, “Pembatasan penggunaan gawai terhadap remaja dan anak-anak merupakan hal yang perlu dilakukan. Penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 7 jam, anak-anak terpapar layar gadget hanya untuk hiburan semata, yang mana belum terhitung waktu yang harus mereka gunakan dalam mengakses gadget untuk mengerjakan tugas dari sekolah. Tujuh jam merupakan porsi waktu yang sangat besar dalam sehari dan waktu ini bisa dialokasikan ke kegiatan lain yang lebih berguna ….”

Megatron terus melanjutkan argumennya hingga usai. Suara lantang dan tegas Megatron membuat fokus Optimus pada Elita tergantikan. Lelaki itu sendiri tak menyadari, tetapi matanya membulat lebih lebar dan berbinar terpana menyimak apa yang lelaki itu ucapkan. Ketika Megatron sudah duduk di kursinya lagi, Elita pun memberi argumen tambahan, menyambung apa yang disampaikan Megatron sebelumnya. Tak seperti Megatron yang terlihat mantap, ada sedikit kecanggungan dari Elita yang Optimus lihat, dari caranya berdiri dan meremas rok seragamnya sedikit di awal penyampaian. Namun, tak lama kemudian, Elita mulai memberi gestur tangan, sembari sesekali melihat layar ponselnya. Optimus mengikuti alur penyampaian Elita. Ia terlena dengan suara lembut tetapi tidak terkesan lemah dari gadis itu, alih-alih isi yang gadis itu sampaikan. Di mata Optimus, bunga-bunga imajiner seakan sedang hadir di sekitar wajah gadis itu, menambahkan kesan betapa menawan Elita jika dilihat lama-lama.

Saat Elita sudah kembali duduk, Soundwave berdiri dan menyampaikan lebih sedikit argumen, serta merangkum keseluruhan argumen yang kelompok mereka berikan. Usai dengan kelompok Megatron, giliran kelompok Starscream yang menyampaikan argumen tidak setuju mereka. Starscream dan Thundercracker dapat menyampaikan argumen dengan baik, tetapi ketika Skywarp harusnya menyimpulkan isi argumen yang kedua saudaranya telah sampaikan, ia banyak tergagap dan kehilangan kata-kata yang sudah coba ia ingat dan hapal untuk diucapkan.

Setelah kedua kelompok menyelesaikan argumen mereka, kakak kelas mereka menengahi sesi debat, menerangkan bahwa dalam perdebatan sesungguhnya masing-masing pembicara dapat memberi interupsi atau sanggahan kepada kelompok lawan. Karena belum ada yang memberi sanggahan, kakak kelas yang berperan sebagai moderator itu pun menanyakan apakah dari kedua kelompok hendak memberikan sanggahan. Starscream langsung berdiri tegak dan menunjuk Megatron, “Saya punya sanggahan terhadap pembicara pertama.”

Starscream mulai melemparkan argumen sanggahannya kepada lelaki itu. Megatron langsung membalasnya (tentunya sesuai adab dan etika perdebatan). Ternyata, tak langsung selesai, Thundercracker memberi sanggahan balasan dari yang diberi Megatron. Elita membalas sanggahan Thundercracker, dan saling lempar argumen pun berlangsung di antara mereka. Kedua belah pihak saling memberikan argumen yang kuat dan cukup masuk akal, hingga Optimus dapat melihat sendiri bahwa Megatron dapat membungkam Starscream dan Thundercracker dengan argumen finalnya yang disampaikan dengan penuh karisma.

“Pembatasan penggunaan gawai bukanlah larangan penggunaan gawai. Terlalu lama terpapar sinar yang terpancar dari gawai telah dipastikan lebih banyak mendatangkan kerugian dibandingkan manfaat. Efek kecanduan, masalah fisiologis, serta psikologis lainnya sudah dibuktikan melalui berbagai penelitian dan terpapar pada publikasi jurnal penelitian terkait. Anak-anak dan remaja memiliki lebih banyak waktu berharga dibandingkan orang dewasa, sehingga dianjurkan untuk digunakan secara baik pada kegiatan yang lebih bermanfaat demi menyusun dan meraih masa depan yang cerah, dibandingkan hanya untuk menghabiskan waktu bermain gadget.”

Starscream selaku pihak yang kontra terhadap mosi hanya bisa terdiam, karena argumen itu sudah tidak bisa dibantah. Ia mendengus sebal sambil kembali duduk untuk menerima kekalahan.

Riuh tepuk tangan terdengar dari dalam ruangan ketika kakak kelas mengumumkan bahwa kelompok pro memenangkan perdebatan tersebut. Secara tak sadar, Optimus juga ikut bertepuk tangan. Tatapan kagumnya mengarah pada Megatron yang menarik sudut bibirnya ke atas, bangga akan kemenangannya, serta dua rekan sekelompoknya yang sangat bisa diandalkan.

Baru saja Optimus memandang Elita untuk melihat reaksi kemenangannya, tiba-tiba pundaknya ditepuk oleh seseorang, cukup untuk membuatnya tersentak. Ia pun buru-buru menoleh sambil menjauhi pintu, berharap tidak ada siapa pun di dalam ruangan tersebut menyadari bahwa ia menyaksikan perdebatan tadi.

“Ciee, ciee, ngelihatin siapa, tuh?”

Optimus berbalik, menemukan Drift sedang tersenyum simpul padanya.

“Eh, Kak Drift,” ujar Optimus. “Kok di sini, Kak?”

“Iya, habis ada urusan di ruang OSIS tadi.” Drift menunjuk arah ruang OSIS dengan ibu jarinya ke belakang.

 

“Kok saya nggak dapet info, ya?”

“Oh, bukan rapat umum, kok. Cuma ada urusan kecil aja tadi.”

Meski tampak tak mengerti, Optimus akhirnya hanya mencoba mengangguk paham.

“Sentinel udah pulang, Kak?” tanyanya lagi menambah topik.

“Udah, tadi keluar bareng Kak Jet.” Kemudian, Drift mengingatkannya. “Kamu juga pulang, gih. Kalo kesorean keburu pagar sekolah ditutup, loh.”

Setelah mengucapkan itu, Drift pun melambaikan tangannya dan pergi meninggalkan Optimus. Pandangan mata Optimus beralih pada ruangan yang tadi diintipnya. Anak-anak ekskul debat ternyata sudah mulai berkemas pulang.

“Ya, udah, deh. Mendingan gue pulang.” Optimus pun melangkah pergi dari tempat itu.

Di dalam ruangan, sejenak Megatron memandang ke arah luar kelas, seperti melihat siluet kehadiran yang baru saja pergi dari ambang pintu itu.

“Sound,” panggilnya tanpa mengalihkan pandangan, “tadi lo lihat ada orang di luar kelas, nggak?”

“Hm? Gue nggak merhatiin,” jawab Soundwave yang memandanginya sebentar, kemudian kembali mengemasi buku catatan debatnya ke dalam tas.

Megatron hanya bergumam singkat sambil memandang ke arah luar pintu. Ia yakin bahwa ada seseorang di situ tadinya, entah siapa. Meski begitu, Megatron hanya mengedikkan bahu sekilas seraya merapikan lembaran kertas di atas meja. Siapa pun itu, asal tidak mengganggu aktivitas apalagi kehidupannya, Megatron tak begitu peduli.

Ketika anggota ekskul hendak keluar, seketika kakak kelas mereka berujar, “Buat Megatron, Starscream, sama Elita jangan pulang dulu, ya.”

Ketiga orang tersebut sempat memasang wajah bingung ketika melihat kakak kelas yang memanggil mereka, dan saling ganti pandang di saat yang lain sudah mulai beranjak pulang. Saat ruangan kelas hanya menyisakan beberapa kakak kelas pembimbing ekskul dan mereka bertiga, ketua ekskul itu pun berbicara lagi.

"Kalian akan diikutsertakan sebagai tim debat untuk perwakilan sekolah kita di lomba debat."

Pernyataan dari kakak kelas itu--secara mengejutkan--menimbulkan reaksi yang berbeda dari ketiganya. Elita yang terkejut karena baru masuk sudah diikutkan lomba, Starscream yang begitu semangat, juga Megatron yang bingung, tetapi juga tidak terima.

"Kenapa bisa mendadak banget, Kak?" Elita buka suara.

"Karena pengumuman debatnya juga mendadak. Undangannya baru sampai di sekolah kita tadi pagi dan debatnya sebentar lagi."

"Kenapa timnya nggak sama Soundwave aja? Starscream pasti jadi beban kelompok," ungkap Megatron tiba-tiba. 

"Woi! Gue nggak beban, ya!" Protes Starscream tak digubris Megatron. 

"Soundwave sudah menolak dari awal. Dia mau fokus sama classmeeting nanti."

"Menolak dari awal?" Sebelah alis Megatron terangkat. "Selama ekskul tadi nggak ada pengumuman soal lomba debat."

"Memang nggak saya umumkan di depan semuanya langsung, karena saya mau lihat potensi alami kalian tanpa tekanan apa pun,” kata kakak kelas itu. “Undangan lombanya diterima TU tadi pagi, terus diberikan ke OSIS. Mungkin saat itu yang menerima Soundwave, jadi dia yang langsung berikan undangan itu ke saya pas istirahat pertama tadi dan inisiatif bilang kalau dia nggak bisa ikut lomba,” jelasnya, lalu menambahkan lagi. “Lagian setelah saya lihat, yang pembawaan bicaranya paling bagus dan kelihatan proaktif itu kalian, makanya saya pilih kalian.”

Ujung bibir Starscream tertarik sedikit ke atas dengan mata melirik Megatron. Ada kata-kata yang ingin ia ungkapkan seperti, 'Tumben dia nggak kasih tahu kita atau minimal lo tentang lomba itu.' Namun, tanpa diungkapkan pun Starscream sudah bisa membaca pikiran Megatron hanya dari ekspresinya. Daripada mendapat bogem mentah di depan kakak dan teman sekelas yang lain gara-gara memancing amarah Megatron, lebih baik gue diam aja. Begitulah yang dipikirkan Starscream, membiarkan Megatron bertanya dalam pikirannya. 

Kenapa Soundwave nggak kasih tahu gue soal undangan lomba itu tadi? 

Notes:

Yuhuuuu~ Sorry for the long hiatus.
Kami lagi bnyak urusan bbrp belakangan yang lalu jadinya hiatus.
Tapi snggkanya kita update kok ehe...
Semoga kalian suka dan gak bosen sama ceritanya yaaaa walo kita updatenya melihat waktu luang kami hehe

Thank you for the kudos and comment
Ditunggu kudos dan komen berikutnyaa

See you another time~

Chapter 29: Pendekatan Pertama

Summary:

ciee ada yang mau pdkt nih? Siapa ya kria2 :)

Chapter Text

Di waktu istirahat pertama, Optimus baru saja diberi tugas untuk memeriksa dan mencatat piala penghargaan sekolah yang disimpan di lemari kaca khusus di koridor utama sekolah, memilah mana yang sudah lawas dan mana yang masih bisa dipajang. Tidak dalam waktu yang lama, kepalanya menoleh ke samping karena melihat Megatron sedang membawa piala bertingkat sendirian–sebenarnya ditemani Starscream, tetapi entah mengapa temannya itu tidak turut bantu membawa.

Megatron meletakkan piala yang ia bawa di sisi Optimus berdiri perlahan. Pandangan keduanya pun bertemu.

 

“Ga,” panggil Optimus spontan, memandangi dirinya dan piala di lantai.

“Prime,” balas Megatron juga spontan.

Meski sudah lebih dari sebulan berlalu, keduanya masih ingat bagaimana pertemuan terakhir mereka berlangsung. Bisa dibilang, merupakan situasi yang agak canggung untuk bertemu seperti ini. Di benak Optimus, ia membatin, ‘Soundwave cerita ke dia nggak, ya, kalo gue tanya-tanya soal dia?’. Sedangkan, Megatron sendiri masih ingat akan nasihat Optimus yang akhirnya tak ingin ia pikirkan lebih jauh–karena pikiran tentang itu tak ada ujungnya. Ia tidak menemukan jawaban pasti dari ucapan Optimus.

Maaf kalo gue kesannya ikut campur, tapi tolong ingat apa yang gue bilang ke lo barusan.

Megatron pun memutuskan untuk menepikan pikiran itu ke hilir benaknya.

Optimus membaca label penghargaan pada piala di bawah kakinya. Juara 1 Lomba Debat Provinsi Se-Iacon.

“Wah, congrats, ya,” ucap Optimus mengetahui lelaki itu memenangkan lomba debat yang ia ikuti, berusaha menghilangkan kekakuan di antara mereka. “Nggak ada kabar kalau kalian ikut lomba, tahu-tahu udah menang aja.” Pandangannya beralih pada Starscream yang berdiri di sebelah Megatron.

“Iya …. Kemarin itu dadakan. Gue, Megatron, sama Elita dikumpulin abis ekskul debat selesai dan langsung dibilang kalo kita bertiga kudu ikut lomba debat awal November ini,” jelas Starscream padanya.

Sebuah nama memantik rasa ingin tahu Optimus.

“Elita ikut?” tanya Optimus pada mereka, yang dibalas anggukan oleh keduanya. “Siapa aja yang ikut?”

 

“Ya, cuma kita bertiga satu tim aja,” jelasnya lagi. “Padahal, tuh, ya, waktu sampe sana, gue lihat sekolah lain masing-masing bawa dua tim, loh. Cuma sekolah kita aja yang perwakilan lombanya cuma satu tim.” Starscream terlihat antusias menceritakan pengalaman lombanya. “Terus, karena mendadak, kami bertiga latihan cuma tiga hari, cuy. Gila. Hebat, ‘kan, bisa nyabet juara satu?” Starscream tampak bangga dari ekspresi yang ia tampilkan. Optimus pun memberi senyuman seadanya sebagai respons.

“Lo nggak usah banyak lagak. Kalo gue nggak berhentiin counter lo ke lawan, jangan harap ini tim bisa masuk semifinal tadinya,” protes Megatron pada temannya itu.

“Lo yang aneh. Kalo mau menang, ya, harus buat lawan kicep, lah.”

“Lo ngomong asal ngomong nggak ngebawa bukti. Lo pikir juri bakal kasih poin sama counter lo?”

“Nggak selamanya bukti itu bisa ada. Makanya nalar kudu jalan.”

Optimus memasang senyum tak enak mendapati malah mereka berdua yang berdebat walau sudah sama-sama memenangkan lomba yang mereka ikuti itu. Ia pun mencoba mengalihkan topik. “Ini pialanya mau dimasukin ke dalem lemari?”

Megatron menoleh. “Oh, iya. Lo yang masukin?”

Optimus mengangguk. Seakan mendapat persetujuan lawan bicara, Optimus pun segera mengangkut piala itu dan memasukkannya ke dalam lemari yang masih tersisa ruang. “Berarti kalian udah sempat foto, ya?” tanya Optimus sembari merapikan posisi piala yang ia taruh.

“Udah, tadi. Di depan lapangan,” jawab Megatron lugas.

Optimus teringat kala ia membaca label penghargaan di piala itu lagi. “Ini tingkat provinsi, bakal lanjut ke nasional?”

“Iya, Januari nanti. Di Iacon juga cuma beda tempat.”

 

Optimus memberikan senyuman tipis dan kepalan tangan kanannya. “Semangat, kalo gitu.”

Megatron dan Starscream tak memberi balasan apa-apa. Lelaki berpenutup kepala abu-abu itu hanya mengangguk sekilas dan berbalik badan. “Gue cabut dulu, ya.”

Optimus memandangi dua punggung yang berjalan beriringan menjauh, mengecil dan menghilang bercampur keramaian siswa-siswa yang bermain di lapangan sekolah. Ia kembali menoleh pada lemari kaca yang masih terbuka. Memandangi label penghargaan piala yang baru saja ia masukkan, Optimus seketika terduduk dengan posisi bersila di hadapan lemari besar itu. Ia memandangi besarnya piala tersebut di depan mata.

Kuat juga gue ngangkat piala segede itu sendirian, batinnya. Ya, piala yang barusan ia angkat, dan Megatron bawa, adalah piala tingkat tiga yang setidaknya harus dibawa dua orang agar tidak kesusahan, bahkan bisa sampai tumbang karena terlalu berat.

Pandangan Optimus menerawang ke atas. Pikirannya yang tadi diisi oleh nama ‘Megatron’ kini berganti menjadi ‘Elita’.

“Gue belum ngucap selamat ke dia …,” gumam Optimus. Pandangannya setengah kosong. “Tapi gimana cara ngucapinnya ke dia? Masa gue tiba-tiba datangin ke kelasnya?” Optimus dihampiri kebingungan. “Mana dia sekelas sama Megatron.”

Optimus pusing sendiri. Entah mengapa, rasanya semakin memalukan kalau–

Hm, sepertinya boleh dicoba dahulu?

Dalam sesaat, pikiran Optimus berganti cepat. Lelaki berhelm biru itu bangkit berdiri, menepuk-nepuk kakinya membersihkan debu yang menempel. Setelah memastikan bahwa tugasnya sudah selesai, ia bergegas pergi dari koridor utama. Langkah kakinya menyusuri area pinggir lapangan, mengikuti jalur dari bangunan depan sekolah menuju bangunan kelas 10 berada. Ketika ia sudah menaiki tangga dan dekat dengan kelas IPS 1, Optimus mencoba mengintip dari balik pintu. Ia melihat ….

Buset! Mereka duduk deketan?!

Optimus, yang batinnya menjerit, melihat Megatron dan Starscream di bangku masing-masing, dengan Elita yang ternyata duduk persis di belakang Megatron. Gadis itu tampak sedang mengobrol dengan si kepala abu-abu, sementara Starscream sedang membelakangi mereka, memakan kacang mete di genggaman dengan santai.

Sebelum ketahuan, Optimus bersembunyi di balik pintu kelas. Beberapa siswa yang keluar masuk kelas sempat melempar pandangan heran melihat tingkahnya, tetapi mereka juga tampak tidak begitu peduli. Optimus memegangi dadanya, menghela napas.

Gila. Gue nggak tahu kenapa, tapi bakalan makin canggung kalo ada Megatron waktu gue ngadepin Elita.

Optimus pun bingung. Apa dia tak mau memberikan kesan payah di depan lelaki itu? Secara, ia pernah memberi nasihat padanya tempo lalu. Lalu, ada Starscream juga. Optimus mulai menerka-nerka kalau teman Megatron yang satu itu akan segera meledeknya dengan perkataan yang tidak-tidak jika ia mendatangi Elita untuk sekadar mengucap selamat karena sudah menang lomba.

Optimus menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia pun memutuskan untuk jajan di kantin, menunda keinginannya untuk bisa berbicara dengan Elita barang sejenak. Lelaki itu lantas menyingkirkan bisikan-bisikan halus dalam dirinya yang sejak mengintip tadi singgah, yang membuatnya berpikir bahwa obrolan yang sedang berlangsung antara Megatron dan Elita adalah sebuah usaha kecil untuk mendekatkan diri satu sama lain; topik ringan yang membuat mereka bisa merasa nyaman. Optimus kembali menggelengkan kepala, berpikir bahwa sebenarnya mereka hanya mengobrol biasa. 

Dan kenyataannya, pemikiran Optimus tersebut hampir tepat. Mereka berdua tidak mengobrol ringan, tetapi juga tidak mengobrol biasa. Mereka berbincang tentang perdebatan yang mereka bawakan saat lomba untuk mengevaluasi apa yang kurang, karena dalam waktu kurang dari dua bulan mereka sudah harus menghadapi lomba tingkat nasional. Starscream yang berprinsip 'Datang, Lakukan, dan Lupakan' tidak berminat untuk menimbrung obrolan mereka, sehingga ia sibuk makan kacang sambil sesekali melihat sosial media untuk menghilangkan kebosanan. 

"El. Lo ikut OSIS, 'kan, ya?" Megatron membuka topik setelah pembicaraan tentang lomba debat mereka usai.

"Iya. Kenapa, Ga?" tanya balik gadis itu.

"Kalau undangan lomba kayak debat atau lomba lainnya di luar sekolah, itu sistemnya gimana?" 

"Orang yang ngantar undangan, ketemu TU dulu biar undangannya diarsipkan, terus dikasih ke OSIS buat didata sebelum diumumin atau undangan yang bentuknya poster dipasang di mading," jelas Elita. "Nggak undangan lomba aja, sih, ya. Acara di luar sekolah kayak seminar, workshop, atau pensi dari sekolah lain juga kayak gitu sistematisnya," lanjutnya. 

 

Megatron mengangguk pelan. "Oh, emang sistemnya gitu, ya." Ia melirik pemuda berkacamata dan bermasker yang duduk sendiri di sudut kelas dan sibuk memainkan ponselnya. 

Elita ikut menoleh ke belakang, ke arah siapa yang Megatron pandang. "Iya. Kan kemarin ketua ekskul kita juga jelasinnya gitu. Emang kenapa, Ga?" tanya Elita lagi saat menghadap ke depan. 

"Gue cuman mau mastiin aja." Megatron kembali menatap Elita.

"Oh, gue kira lo bakal tanya ke Soundwave atau Shockwave. Mereka deket sama lo, 'kan?" 

Megatron hanya diam saja, tetapi kemudian ia menjawab, "Kayaknya gue lagi susah buat ngobrol sama Soundwave belakangan ini. Alasannya sibuk terus. Memangnya, OSIS lagi sibuk-sibuknya? Lo kayaknya santai aja, El. Bahkan ikut lomba debat juga."

"Dia sekretaris dua OSIS, Ga. Memang lagi sibuk-sibuknya buat data laporan awal semua ekskul. Makanya, dia lebih sering kontakan sama Kak Windblade. Soalnya Kak Wind sekretaris satu. Gue cuman bendahara dua OSIS, nggak sibuk-sibuk banget," jawab Elita.

"Oh, iya. Sekretaris dua, ya …." gumam Megatron.

"Iya." Elita melanjutkan, "Terus Kak Wind juga lagi agak sibuk bimbing siswa-siswa yang ikut cerdas cermat perundang-undangan sama Kak Magnus, jadi wajar aja kalau Soundwave bisa jadi lebih sibuk. Apalagi pulang sekolah ini mau ada rapat OSIS MPK buat pembagian panitia classmeeting dan pensi."

"Tunggu. Bukannya tugas sekretaris itu pas rapat berlangsung? Memang tugasnya sebelum rapat itu apa?" Megatron semakin heran sambil memandangi pemuda itu.

 

Elita mengedikkan bahu, lalu menoleh ke belakang sebentar. Namun, tak disangka mata mereka berdua saling bertatapan dengan mata di balik kacamata pemuda itu. Elita balik memandang Megatron--yang tidak mengembalikan tatapannya pada gadis itu. "Entahlah. Lo tanya aja sendiri."

Megatron mendapati pemuda itu seketika beranjak dari tempat duduk saat ia berniat menghampirinya. Ia pikir, Soundwave akan berjalan menghindarinya, tetapi nyatanya ia berjalan ke depan kelas lewat jalur yang dekat dengan tempat duduk Megatron. 

"Mau ke mana?" Megatron bertanya sambil mengangkat satu tangan, bermaksud mencegah langkah Soundwave. 

"Ke Kak Windblade. Mau ambil beberapa dokumen buat rapat."

Jawaban itu membuat Megatron menurunkan tangannya. 

"Nanti jadi rapat? Jam berapa?" tanya Elita. 

"Jam setengah empat," katanya pada Elita. "Oh, iya, El. Gue bayar kas OSIS besok aja, ya."

"Iya, santai. Kita kan sekelas."

Setelah mendapat jawaban itu, Soundwave bergegas keluar kelas. 

"Dia nunggak kas?" tanya Megatron pada Elita. 

"Nggak. Malah dia yang udah bayar sampe bulan Desember. Kayaknya dia mau bayar buat Januari tahun depan," jawab Elita. 

 

Megatron kembali mengangguk. Sampai saat ini, Soundwave memang belum sempat memberitahukan informasi mengenai operasional OSIS terhadapnya. Megatron jadi penasaran bagaimana sistem aliran dan pengelolaan kas yang dipegang oleh periode OSIS tahun ini. Tentu itu bagiannya Elita, tetapi jika Megatron bertanya lebih lanjut pada Elita, sudah pasti gadis itu curiga kalau Megatron sedang mengorek informasi tentang OSIS darinya. 

"Hahaha! Ngakak banget!" Tiba-tiba Starscream tertawa. 

Tawa teman sebangkunya itu memancing tangan Megatron untuk menoyor kepalanya dan membuatnya hampir terjatuh ke samping. Elita justru tertawa sekilas melihat tindakan itu. 

"Lo kenapa, sih?! Gue lagi nonton stand up comedy!" Starscream menunjukkan layar ponselnya yang sedang menampilkan acara hiburan itu. "Lo nggak usah ketawa deh, El!" Ujung jarinya juga mengarah pada Elita yang berusaha menahan tawanya. 

"Sori, sori. Gue ngakak aja ngelihat Megatron nggak ada angin nggak ada hujan ngisengin lo."

"Itu bukan iseng, anjir. Itu pem-bully-an!" semburnya. 

"Jangan ketawa deket gue. Suara ketawa lo cempreng. Nanti tangan gue tonjok kepala lo lagi," balas Megatron yang tak gentar pada tatapan sinis Starscream. 

Starscream membuang ludah sambil beranjak dari tempat duduk dengan ponselnya, lalu melangkah ke pintu kelas. 

"Gue titip nasi ayam kayak biasa," ucap Megatron. 

Starscream tak membalas dan sudah keluar pintu. 

"Sama air mineral dingin. Nasi ayamnya pakai kotak aja. Buat dimakan pas istirahat kedua," lanjut Megatron dengan suara lebih keras. 

 

Starscream melongok dari balik pintu. "Iya! Bawel lo!" sahutnya balik sebelum benar-benar pergi dari kelas. 

"Gue masih nggak paham cara kerja pertemanan kalian berdua gimana," kata Elita setelah tawanya mereda. 

"Jangan dipahami, cukup disaksikan," ucap Megatron yang terkesan seperti sebuah titah. 

"Oke, oke." Elita hanya tersenyum canggung, sebelum ia mengajak teman sebangkunya yang dari tadi hanya diam menyimak keluar dari kelas, pamit pada Megatron dengan alasan ke kantin. 

***

Waktu istirahat panjang tiba. Optimus sedang menunggu Prowl yang masih memesan nasi ayam kantin langganan mereka, berdiri di depan stan sementara temannya sedang berdiri di pintu dapur untuk mengambil nasi mereka berdua.

Optimus menoleh ke belakang. “Masih lama, Prowl?”

Prowl balas menoleh sesaat. “Iya, ini bentar lagi. Masih dituangin sama ibunya.”

Ketika Prowl sudah keluar menghampiri Optimus, dan mereka hendak mulai berjalan, Optimus hampir menabrak seseorang yang sedikit lebih rendah darinya. Kantin memang sedang ramai-ramainya dan tempat mereka berdiri merupakan jalur lalu lalang siswa.

“Maaf!” Optimus bereaksi spontan. Kemudian, ia melihat siapa sosok yang ada di depannya. Optimus langsung mengenali dua antena merah muda di atas kepala. “Elita?”

“Eh, Optimus,” balas Elita sedikit lembut.

“Mau ke mana, El?” tanya Optimus padanya.

 

“Em, mau ke kantin yang di sana.” Elita menunjuk stan dapur yang berada di area belakang Optimus.

“Oh, sori. Gue halangin lo.”

Optimus pun sedikit bergeser ke tepi untuk membiarkan Elita-1 lewat, tetapi gadis itu tidak melangkah pergi. “Nggak, kok. Santai aja,” balas Elita. Melihat betapa ramainya kantin sekarang, Elita pun bertanya, “Lo udah dapet meja? Kalo belum, makan bareng gue aja.”

Prowl yang masih berdiri sedikit di belakang Optimus, menilik dari balik bahu Optimus. “Asik. Lampu ijo, Mus.”

Lelaki beralis tanduk merah itu pun mendapat lirikan sinis sesaat dari Optimus. Prowl yang kemudian bergeser ke sebelah Optimus menambah bicara, “Lo sama siapa, El?”

“Sama Moonracer, temen sebangku gue.” Elita kemudian mulai mengambil langkah. “Gue pesen makan dulu kalo gitu, ya. Lo duduk aja langsung di meja gue. Itu yang penutup kepalanya ijo toska.” Elita menunjuk Moonracer yang sedang duduk sendirian berlipat tangan di atas meja, tidak memandang ke arah mereka.

Saat menghampiri Moonracer, setelah permisi untuk ikut bergabung, Prowl pun langsung mengambil tempat duduk di depan gadis hijau itu demi membiarkan Optimus dan Elita duduk berhadapan. Elita tak lama kembali dengan dua piring nasi lauk di tangan. Keempat siswa itu pun mulai menyantap makanan mereka.

Elita memantik obrolan. “Ratchet sama Jazz ke mana? Tumben cuma berdua.”

“Ratchet ada bimbingan olimpiade. Kalau Jazz ….” Optimus memandangi Prowl, meminta jawaban dari pertanyaan tidak langsungnya.

“Nggak tahu, tuh, anak. Waktu bel bunyi udah nggak ada dia di samping gue.” Prowl menjawab ala kadarnya.

“Oh, lo sebangku sama Jazz, ya?” Elita menolehkan pandangan pada lelaki berpenutup kepala putih itu.

“Iya.” Prowl mengangguk.

Saat Optimus sudah berhenti mengunyah di suapan makannya yang ke sekian, ia berbicara kepada Elita. “Oh, iya. Selamat, ya, El, atas kemenangan lomba debat lo. Gue denger dari Megatron tadi pagi. Sori gue nggak bisa ngasih apa-apa.”

Mata Elita membulat sebentar, sebelum akhirnya melepas gelak tawa. “Aduh, maaf. Gue kelepasan,” katanya. “Tapi lo lucu, deh, Mus. Yang ngasih apa-apa itu harusnya gue. Kan gue yang menang.”

“Kalo gitu, ‘apa-apa’ yang mau lo kasih apa, El?” tanya Prowl yang sebenarnya merupakan candaan, tetapi bernada serius dari suara dan ekspresi yang ditunjukkan lelaki itu. Optimus hampir melirik sinis padanya lagi untuk yang kedua kalinya. Candaan Prowl sudah kelewat batas menurut lelaki itu.

Ekspresi muka Elita berubah agak canggung. “Haha, apa, ya ….”

Setelah respons itu keluar, dalam beberapa waktu mereka hanya makan dalam keheningan. Tangan yang terus menyuap ke makanan pun terus berlanjut sampai ….

“Yo!”

Optimus merasa tiba-tiba ada seseorang yang menepuk kedua pundaknya. Ia pun tersentak kaget. Untung saja ia tidak sedang mengunyah nasi. Kalau iya, bisa-bisa ia tersedak sampai terbatuk-batuk.

Optimus langsung mendongak ke belakang atasnya. “Jazz! Bikin kaget aja.”

“Dari mana aja lo?” tanya Prowl pada lelaki itu.

“Abis kumpul ekskul. Bulan depan sebelum UAS ada lomba band. Finalnya abis UAS.” Jazz dengan visor birunya seperti biasa, menunjukkan senyum santai yang tampak adem di mata. Ia memandangi keempat murid yang duduk itu bergantian. “Wah, lagi pada double date, nih? Natural ala sekolah banget, date-nya di kantin.”

Tak disangka, Prowl langsung menjawab, “Iya, nih.” Lelaki itu menelengkan kepalanya ke arah Moonracer sekilas. Optimus tahu Prowl bukan tipe lelaki penggoda wanita, jadi ia lantas memelototkan matanya bulat-bulat pada lelaki itu.

Lo sampe segitunya ceng-cengin gue sama Elita?! batin Optimus marah. Pandangannya sesaat beralih ke arah Moonracer. Benar. Gadis itu jadi merunduk malu setelah mendengar ucapan Prowl.

“Omongannya nggak usah pada ngawur gitu,” komentar Optimus pada akhirnya. Ia berucap demikian dengan niat untuk menjaga harga diri Elita, tetapi saat ia memandang ke arah gadis yang duduk di depannya, Elita justru menampakkan ekspresi wajah tidak enak. Optimus pun menjadi merasa bersalah. Pancaran wajahnya terlihat kecewa. Namun, Optimus tidak tahu juga kata-kata apa yang lebih baik untuk dikeluarkan.

Dengan cepat, Optimus pun segera menghabiskan nasi ayamnya. Ia lantas menegur Prowl untuk segera menghabiskan miliknya juga, sebelum akhirnya mereka berdua pamit untuk bangkit pergi terlebih dahulu. Jazz pun turut mengucapkan sampai jumpa pada Elita dan Moonracer.

Ketika mereka berdiri di sisi area kantin, hendak keluar memasuki koridor bangunan sekolah, Optimus langsung menegur Prowl yang berjalan di sebelahnya, “Lo jangan kayak gitu lagi, dong. Kalo anak orang jadi baper, gimana?”

“Cewek kepala ijo itu?” ujar Prowl sarkastis. “Kalo dia baper, ya, tinggal gue bilangin aja kalo gue nggak serius.”

 

“Gila lo.” Ucapan Optimus penuh penekanan, sementara Jazz hanya menundukkan kepalanya sedikit. Visor biru yang selalu menutupi mata Jazz merupakan hal yang menguntungkan karena orang tak bisa membaca sorot matanya. Biar begitu, garis bibirnya yang kini terlihat datar menunjukkan kesan muram tanda tak suka.

“Jazz aja nggak suka lo kayak gitu.”

“Terus?”

Nada bicara Prowl terdengar menantang. Tak percaya akan betapa lancangnya Prowl, Optimus akhirnya hanya mendiamkan lelaki itu sampai mereka berada di kelas dan waktu bergulir pada pelajaran selanjutnya hingga bel sekolah berdering. Ia tak langsung pulang karena mesti menghadiri rapat OSIS untuk perencanaan pembentukan panitia classmeeting.

Menjelang petang, Optimus sudah sampai rumah dan berbaring di kamarnya setelah hari yang cukup panjang karena rapat. Ia segera meraih telepon pintar di saku celana seragamnya dan menghubungi Elita.

 

Optimus

El, maaf ya soal tadi di kantin

 

Optimus melihat tanda dua centang pada pesan yang dikirimnya. Tak sampai semenit centang itu berubah menjadi warna biru dan ia mendapatkan balasan dari Elita.

 

Elita

Hah? soal apa mus?

Optimus

Omongan gue.. Soal Prowl tadi

Elita

Oh iya gapapa. Gausah dipikirin.

 

Optimus terdiam sejenak masih memandang layar. Ia memutuskan untuk mengetik pesan lagi.

 

Optimus

Lagi apa el? 

Elita

Lagi ngerapiin buku dll di meja nih

Lo?

Optimus

Gue baring santai aja sih ini chatan sama lo

Elita

Wah, lagi nggak sibuk ya? Enaknya

Optimus

Haha lo juga nggak lagi sibuk kan? Kalo iya mana mungkin lo masih balesin chat gue sekarang

Elita

Hahaha.. Nggak juga. Abis ini gue mau buat rekapan kas OSIS bulan ini. 

Optimus

Oh, berarti gue yang emang gabut hehe

Tapi gue ganggu lo gak?

Elita

Nggak kok. Santai aja mus. Temenin gue ngitungin duit orang hehe

Optimus

Haha okedeh

Elita

Oh, iya, btw

Tadi pas rapat. Lo udah klop sama pemilihan panitianya, gak?

 

Optimus terdiam sejenak. Ia juga membuka satu pesan di grup OSIS yang berisi notulen rapat tadi yang ditulis oleh Soundwave. Panitia divisi untuk classmeeting dipegang oleh orang yang sama. Itu sudah disetujui oleh semua anggota OSIS. Optimus berada di Divisi Acara, bersama dengan Elita, Wheeljack, Prowl, Shockwave dan Soundwave dari kelas 10, juga Windblade, Brainstorm, Blurr, dari kelas 11. Divisi Acara itu dikepalai oleh Jetfire.

 

Optimus

Klop2 aja kok. Lo sendiri gimana? Klop gak?

Elita

Sama. Tapi gue baru pertama kali pegang acara. Gue pikir gue jadi bendahara lagi.

Optimus

Tenang. Ada Kak Windblade kok. Dia sekretaris 1 malah. Gue yakin kita bisa ngandelin dia. Terus Kak Jet juga bisa diandalkan.

Elita

Oh, iya. Bener juga. Makasih ya, Mus hehe :) 

Optimus

Sama2 hehe :) 

 

Saling balas pesan itu terus berlanjut. Akhirnya, mereka menghabiskan malam dengan berbalas pesan hingga salah satunya pamit untuk mandi.

Notes:

Jadwal publish diuasahakan Sabtu/Minggu jam malam. Tergantung kesibukan para authornya yang emang lagi pada sibuk. Tp diusahakan buat rutin kok :)

*Cerita ini hanya dipublish di sini dan di Wattpad atas nama compartisan. Jika ditemukan cerita ini di situs lain dan akun lain, tolong untuk dilaporkan*